Washington DC,khatulistiwaonline.com –
Pemerintahan Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Donald Trump menjatuhkan sanksi baru kepada Iran, terkait uji coba rudal. Pemerintahan Trump memperingatkan bahwa sanksi baru ini baru langkah awal untuk Iran.
Seperti dilansir Reuters dan CNN, Sabtu (4/2/2017), sanksi baru ini menyasar 25 individu dan perusahaan yang terkait dengan program rudal balistik Iran serta mereka yang mendukung Pasukan Quds pada Garda Revolusioner Islamis Iran. Sanksi juga dijeratkan kepada tiga jaringan berbeda yang terkait upaya mendukung program rudal Iran, yang ditentang AS.
Beberapa perusahaan yang dijerat sanksi dari Departemen Keuangan AS ini berbasis di Uni Emirat Arab, Libanon dan China. Salah satunya perusahaan yang mendukung jaringan pengusaha Iran bernama Abdollah Asgharzadeh yang mendukung Shahid Hemmat Industrial Group. Grup perusahaan itu disebut AS sebagai anak perusahaan dari perusahaan Iran yang menjalankan program rudal Iran.
Berdasarkan keterangan Depkeu AS, seorang pejabat AS memperkirakan sanksi untuk Iran ini sudah dirumuskan sejak sebelum Trump menjabat pada 20 Januari lalu. Namun hal ini dianggap wajar, karena pemerintahan baru masih berusaha melakukan penyesuaian.
Penjatuhan sanksi baru ini bukan berarti AS meninggalkan komitmennya yang disepakati dalam kesepakatan nuklir tahun 2015 lalu. Sanksi baru ini disebut tak akan mempengaruhi pencabutan sanksi AS dan internasional pada Iran sebagai bagian kesepakatan nuklir dua tahun lalu.
Namun Trump selama ini tidak pernah menutupi ketidaksenangannya pada kesepakatan nuklir yang tercapai pada era Presiden Barack Obama itu. Otoritas AS menyebut, sanksi ini tidak akan menjadi langkah terakhir AS dalam menghadapi Iran, yang disebut ‘berperilaku provoktif’ dengan menggelar uji coba rudal balistik pada Minggu (29/1) waktu setempat.
Presiden Trump, via Twitter, menyebut Iran sengaja bermain api. “Iran bermain dengan api — mereka tidak mengapresiasi betapa ‘baiknya’ Presiden Obama kepada mereka. Bukan saya!” kicaunya via akun Twitter pribadinya @realDonaldTrump.
Semakin menegaskan posisi keras AS pada Iran, Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Michael Flynn menyatakan, AS tidak akan mengabaikan setiap aksi Iran yang dianggap keji. “Pemerintahan Trump tidak akan lagi mentoleransi provokasi Iran yang mengancam kepentingan kita,” tegas Flynn.
“Masa-masa mengabaikan aksi agresif dan keji Iran terhadap Amerika Serikat dan komunitas dunia, telah berakhir,” imbuhnya.
Secara terpisah, seorang pejabat senior pemerintahan Trump mengindikasikan akan ada langkah konkret lain jika Iran tidak juga menghentikan program rudal balistiknya dan terus terlibat dalam konflik kawasan Timur Tengah. Sanksi terbaru ini, sebut pejabat itu, hanyalah langkah awal untuk Iran. Pejabat senior itu juga menyebut, pemerintahan Trump masih melakukan pengkajian strategis secara luas tentang bagaimana AS harus bersikap terhadap Iran. (RIF)
Washington DC,khatulistiwaonline.com –
Ada kejadian menarik saat percakapan telepon Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull soal kesepakatan penampungan pengungsi. Trump menutup telepon secara tiba-tiba saat baru 25 menit berbicara dengan PM Turnbull.
Dilaporkan media Australia, news.com.au, seperti dilansir pada Kamis (2/2/2017), Trump marah karena harus menjalankan kesepakatan era pemerintahan Presiden Barack Obama mengenai pengungsi dari Pulau Manus dan Nauru. Padahal Trump baru saja memberlakukan kebijakan imigrasi yang kontroversial.
Dalam kesepakatan yang disetujui tahun 2016 itu, AS bersedia menampung 1.250 pencari suaka yang kini tertahan di kamp-kamp kepulauan Papua Nugini dan Nauru. Sebagai balasannya, Australia akan menampung pengungsi dari El Salvador, Guatemala dan Honduras.
Media The Washington Post, merupakan yang pertama memberitakan secara rinci ketegangan antara Trump dan Turnbull via telepon itu. The Washington Post menyebut, percakapan telepon pada Sabtu (28/1) waktu setempat itu dijadwalkan berlangsung 1 jam, namun berakhir setelah hanya 25 menit.
Trump tiba-tiba mengakhiri percakapan itu, setelah Turnbull berusaha membahas isu-isu luar negeri lainnya, termasuk soal konflik Suriah. Seorang sumber menuturkan kepada CNN bahwa Trump mengakhiri percakapan telepon itu karena tidak senang soal kesepakatan pengungsi dengan Australia.
“Saat berbicara via telepon dengan PM Australia soal pengungsi, Trump menarik gagang telepon dari telinga dan mengatakan dia ingin mengakhiri telepon, yang langsung diakhiri begitu saja,” sebut wartawan CNN, Jim Acosta, via Twitter mengutip sumber yang memahami telepon ini.
Mengutip pejabat senior AS, The Washington Post menyebut Trump juga memberitahu Turnbull bahwa dirinya berbicara dengan 4 pemimpin dunia lainnya, termasuk Presiden Rusia Vladimir Putin, dan menyebut percakapannya dengan Turnbull merupakan “percakapan telepon terburuk sejauh ini”.
“Ini kesepakatan terburuk yang pernah ada,” ucap Trump soal kesepakatan pengungsi dengan Australia. Tidak hanya itu, Trump juga menuding Australia berniat mengekspor ‘calon pengebom Boston’ ke AS, merujuk pada tragedi bom maraton Boston tahun 2013 lalu.
Saat ditanya wartawan soal laporan The Washington Post, Turnbull enggan berkomentar banyak. “Saya tidak akan mengomentari percakapan antara saya dengan Presiden Amerika Serikat selain apa yang telah disampaikan di hadapan publik dan Anda tentu memahami alasannya,” tegasnya.
“Saya yakin Anda bisa memahami itu. Lebih baik jika percakapan ini dilakukan secara terbuka jujur, privat. Jika Anda melihat laporan soal percakapan itu, saya tidak akan menambahi apapun,” imbuh Turnbull, sembari menegaskan hubungan AS-Australia sangat kuat.
Turnbull juga menegaskan bahwa AS bersedia menjalankan kesepakatan soal pengungsi era Obama. “Fakta bahwa kami mendapat kepastian, fakta bahwa itu terkonfirmasi, kesepakatan yang sangat luas yang kita sepakati dengan pemerintahan (AS) menunjukkan kedekatan aliansi,” ucapnya.
Pada Kamis (2/2) pagi, Kedutaan Besar AS di Australia merilis pernyataan yang menegaskan hal serupa. Namun beberapa jam kemudian, Trump berkicau via Twitter — lewat akun pribadinya @realDonaldTrump — soal pendapat pribadinya mengenai kesepakatan pengungsi dengan Australia itu. “Anda percaya? Pemerintahan Obama sepakat menampung ribuan imigran ilegal dari Australia. Mengapa? Saya akan mempelajari kesepakatan bodoh ini!” tegasnya.(RIF)
California,khatulistiwaonline.com –
Pria berpisau yang melakukan aksi penikaman di jalanan Hollywood, Los Angeles, Amerika Serikat (AS) tewas usai ditembak polisi. Motif penikaman ini belum diketahui pasti.
Seperti dilansir media lokal Los Angeles Times dan news.com.au, Rabu (1/2/2017), pelaku yang membawa pisau berukuran besar ini, sedang berdiri di luar restoran cepat saji Jack in the Box saat polisi tiba di lokasi. Pelaku kemudian bergerak ke dalam restoran.
Kekacauan sempat terjadi di dalam restoran cepat saji itu saat polisi berusaha mengamankan pelaku. Rekaman video yang beredar menunjukkan momen ketika polisi mengamankan pelaku yang mengenakan kaos ungu, yang telungkup di lantai di dalam restoran.
Di dalam restoran cepat saji itu, polisi akhirnya melepas tembakan ke arah pelaku dan menewaskannya. Identitas pelaku belum diketahui pasti. Kepolisian setempat masih berusaha mengidentifikasi pelaku dan menyelidiki motif penikaman ini.
Dua korban luka ditemukan di dalam restoran cepat saji dan satu korban lainnya di luar. Ketiganya mengalami luka tusuk dan dilarikan ke rumah sakit setempat.
Dituturkan koresponden CNN, Maeve Reston, yang juga mantan wartawan Los Angeles Times, pelaku berlari di sepanjang Sunset Boulevard dan berusaha menikam orang-orang di jalanan. Insiden ini terjadi di seberang kantor CNN yang ada di kawasan Hollywood.
Pelaku yang berpisau itu, sebut Reston, sempat berusaha masuk ke dalam sebuah kedai kopi setempat. Namun pengunjung yang ada di dalam kedai, berusaha menahan pintu kaca dan menghalangi pelaku untuk masuk. (RIF)
Texas,khatulistiwaonline.com –
Dana sebesar nyaris US$ 1 juta terkumpul secara online untuk membangun kembali sebuah masjid di Texas, Amerika Serikat yang hancur akibat kebakaran. Otoritas setempat menyebut kebakaran ini sebagai peristiwa mencurigakan.
Seperti dilansir Reuters, Selasa (31/1/2017), masjid Victoria Islamic Center yang terletak di lokasi berjarak 200 kilometer dari kota Houston, Texas ini hangus dilalap api pada Sabtu (28/1) pagi waktu setempat. Tidak ada laporan korban luka akibat kebakaran itu.
Penyebab kebakaran belum diketahui pasti. Namun juru bicara kota Victoria, OC Garza, menyebut kebakaran itu diselidiki sebagai peristiwa mencurigakan.
Terlepas dari penyelidikan yang terus berjalan, publik setempat sepakat untuk menggalang dana demi membangun kembali masjid itu. Penggalangan dana dilakukan secara online melalui situs GoFundMe. Dilaporkan, telah terkumpul dana lebih dari US$ 900 ribu (Rp 12 miliar) dalam waktu dua hari setelah masjid dibakar. Dana itu terkumpul dari 19 ribu orang yang memberi donasi via GoFundMe.
“Hati kami dipenuhi rasa syukur atas dukungan luar biasa besar yang kami terima,” tutur Imam Masjid tersebut dalam pernyataannya, merujuk pada penggalangan dana secara online.
“Cinta kasih, kata-kata indah, pelukan, bantuan dan kontribusi finansial yang melimpah menjadi contoh semangat Amerika yang sesungguhnya,” imbuhnya.
Kebakaran terjadi beberapa jam setelah Presiden AS Donald Trump menandatangani perintah eksekutif yang melarang masuknya pengungsi dan warga dari tujuh negara mayoritas muslim ke AS. Otoritas setempat tidak menemukan bukti konkret yang menghubungkan kebakaran di masjid Texas itu dengan kebijakan imigrasi Trump.
Dijelaskan Garza bahwa api dilaporkan mulai muncul pada Sabtu (28/1) dini hari, sekitar pukul 02.00 waktu setempat. Saat petugas pemadam kebakaran tiba di lokasi, api sudah mencapai bagian atap masjid. Petugas berupaya keras memadamkan api yang mulai menyebar luas ke bagian masjid lainnya.
Bagian dalam masjid terbakar cukup parah dengan hanya dinding bagian luar yang lolos dari api. Otoritas pemadam kebakaran setempat bersama dengan FBI dan Biro Alkohol, Tembakau, Senjata Api dan Peledak AS, masih terus menyelidiki kebakaran ini. Diperkirakan penyelidikan akan memakan waktu berminggu-minggu sebelum penyebab kebakaran diketahui.
Garza menambahkan, otoritas kota Victoria telah bertemu dengan Imam Masjid yang berencana membangun kembali masjid yang hangus terbakar itu. Sekitar 500 warga berbondong-bondong menunjukkan dukungan dengan menghadiri acara doa bersama pada Minggu (29/1) waktu setempat. (RIF)
Washington,khatulistiwaonline.com –
Kanselir Jerman Angela Merkel ikut mengomentari keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump melarang pengungsi atau warga dari tujuh negara mayoritas muslim masuk ke AS. Menurut Merkel, perang melawan terorisme bukanlah alasan untuk melarang pengungsi.
Komentar Merkel tersebut disampaikan oleh juru bicaranya, Steffen Seibert. Dikatakan Seibert, Merkel telah menyampaikan keprihatinannya kepada Trump via telepon pada Sabtu, 28 Januari waktu setempat. Dalam percakapan telepon tersebut, Merkel juga mengingatkan Trump bahwa Konvensi Jenewa mewajibkan komunitas internasional untuk menerima pengungsi perang atas dasar kemanusiaan.
“Dia (Merkel) meyakinkan bahwa bahkan perang tegas dan perlu untuk melawan terorisme tidak lantas membenarkan orang-orang dengan latar belakang atau keyakinan tertentu dimasukkan dalam kecurigaan umum,” tutur Seibert seperti dilansir kantor berita Reuters, Senin (30/1/2017).
Seibert mengatakan, pemerintah Jerman menyesalkan kebijakan imigrasi Trump tersebut dan akan meninjau konsekuensi bagi warga Jerman dengan kewarganegaraan ganda.
Sebelumnya pada Jumat, 27 Januari waktu setempat, Trump telah menandatangani perintah eksekutif untuk melarang seluruh pengungsi dari negara-negara mayoritas muslim masuk ke AS. Sesuai perintah itu, selama empat bulan AS tidak akan menerima pengungsi atau pengunjung dari Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan dan Yaman. Sementara untuk pengungsi dari Suriah, sama sekali tidak diperbolehkan masuk hingga jangka waktu yang belum ditentukan.
Trump menyatakan, langkah ini diambil untuk mencegah masuknya “teroris Islam radikal” ke negara tersebut. Partai Demokrat langsung mengecam perintah Trump tersebut dan menyebut hal itu akan merusak reputasi AS sebagai tanah yang menyambut para imigran. (ADI)
Washington DC,khatulistiwaonline.com
Stephen Bannon, penasihat senior Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, menyebut media massa sebagai oposisi pemerintah. Bannon menyarankan media seharusnya tetap bungkam, setelah dipermalukan karena gagal memprediksi kemenangan Trump dalam pilpres tahun lalu.
“Media seharusnya merasa malu dan merasa terhina dan tetap menutup mulut dan hanya mendengarkan saja, untuk sementara,” tutur Bannon dalam wawancara via telepon dengan New York Times (NYT) pada Rabu (25/1) dan dilansir AFP, Jumat (27/1/2017).
“Saya ingin Anda mengutip ini. Media di sini adalah pihak oposisi. Mereka tidak memahami negara ini. Mereka masih tidak paham kenapa Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat,” imbuhnya.
Bannon yang mantan bos media online AS, Breibart News ini dijuluki sebagai pahlawan ekstremis sayap kanan jauh. Breitbart di bawah Bannon dikenal tidak mendukung multikulturalisme dan menganggap nasionalisme kulit putih sebagai hal paling mendasar. Dia disebut bergaya neo-Nazi, anti-Yahudi, dan menjunjung tinggi supremasi kulit putih.
Pernyataan keras Bannon ini akan semakin memperbesar ‘pertikaian’ Gedung Putih di bawah kepemimpinan Presiden Trump dengan pers. Terlebih pekan lalu, Presiden Trump menyebut wartawan sebagai ‘bagian dari orang-orang paling tidak jujur di Bumi ini’.
Gedung Putih beberapa waktu lalu menuding media merekayasa foto massa di National Mall demi menunjukkan warga yang hadir dalam pelantikan Trump lebih sedikit dari yang sebenarnya. Staf Trump yang kini bertugas di Gedung Putih juga tampaknya masih menyimpan ‘dendam’ atas berbagai pemberitaan yang menyudutkan Trump semasa kampanye. “Media elite salah besar, 100 persen salah besar,” tuding Bannon merujuk pada pilpres tahun lalu.
Kebanyakan media memprediksi kemenangan capres Partai Demokrat Hillary Clinton, rival Trump, dalam pilpres. “Kekalahan yang memalukan yang tidak akan pernah bisa terhapus, akan selalu ada,” sebut Bannon soal kesalahan prediksi itu.
Saat ditanya soal kredibilitas Sekretaris Pers Sean Spicer usai adu argumen sengit dengan wartawan beberapa waktu terakhir, Bannon kembali menyerang media. “Media tidak memiliki integritas, tidak memiliki kecerdasan dan tidak bekerja keras. Anda adalah pihak oposisi. Bukan Partai Demokrat,” ucapnya kepada NYT. (NOV)
Washington DC,khatulistiwaonline.com –
Pemerintahan Amerika Serikat (AS) yang baru bersumpah akan mencegah China menguasai perairan internasional di Laut China Selatan. Hal ini berisiko memicu konflik dengan China.
Pemerintah AS selama ini lebih berhati-hati dalam menanggapi isu Laut China Selatan. Namun pernyataan Sekretaris Pers Gedung Putih, Sean Spicer, pekan ini mengisyaratkan perubahan drastis dari posisi sebelumnya.
“AS akan memastikan bahwa kita melindungi kepentingan kita di sana,” tegas Spicer dalam konferensi pers di Gedung Putih, seperti dilansir Reuters, Selasa (24/1/2017).
Baca juga: Menlu AS Pilihan Trump: China Dilarang Dekati Laut China Selatan
Pernyataan itu disampaikan Spicer saat ditanya apakah Trump sepakat dengan komentar calon Menteri Luar Negeri Rex Tillerson pada 11 Januari lalu, soal China tidak seharusnya mendapat akses ke pulau-pulau buatan di Laut China Selatan.
“Pertanyaannya ialah jika pulau-pulau buatan itu faktanya ada di perairan internasional dan bukan bagian China yang sebenarnya, maka iya, kita akan memastikan bahwa kita mempertahankan wilayah internasional agar tidak dikuasai oleh satu negara,” imbuh Spicer.
Dalam sidang konfirmasi atau fit and proper test di Senat AS, dua pekan lalu, pernyataan Tillerson memicu kemarahan media nasional China yang, menyatakan AS harus mengobarkan perang untuk melarang China mengakses pulau-pulau buatan di Laut China Selatan. Saat itu Tillerson ditanya apakah dirinya mendukung langkah lebih agresif terhadap China, terkait Laut China Selatan.
Baca juga: China Ancam Balik AS Soal Pelarangan Dekati Laut China Selatan
“Kita akan memberikan sinyal jelas kepada China bahwa, pertama, pembangunan pulau harus berhenti dan, kedua, Anda tidak diperbolehkan mengakses pulau-pulau itu,” tegas Tillerson saat itu. Mantan CEO Exxon Mobil ini, tidak menjelaskan lebih lanjut soal langkah konkret yang akan ditempuhnya untuk memutus akses China ke pulau-pulau buatan itu.
Namun para pengamat menilai komentar Tillerson dan Spicer tersebut mengarah pada kemungkinan aksi militer AS, atau semacam blokade laut, yang berisiko memicu konfrontasi bersenjata dengan China.
Spicer sendiri menolak menjelaskan saat ditanya bagaimana AS akan menerapkan langkah keras terhadap China. Dia hanya berkata: “Saya pikir, seiring perkembangan yang terjadi, kita akan mendapat lebih banyak informasi soal itu.” (RIF)
Washington DC,khatulistiwaonline.com –
Gedung Putih bersumpah akan melawan dengan sekuat tenaga, setiap media yang dianggap melontarkan serangan tidak adil terhadap Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Hal ini terkait dengan perbandingan jumlah massa pelantikan Trump dengan Barack Obama tahun 2009.
Pada hari pertama menjabat Presiden AS, Trump menyatakan ‘berperang’ dengan media dan menuding jurnalis menaksir terlalu rendah jumlah orang yang hadir dalam pelantikannya pada Jumat (20/1). Gedung Putih memperkuat pernyataan Trump dengan menuding media sengaja memanipulasi foto suasana di National Mall, Washington DC, untuk menunjukkan jumlah massa pada Jumat (20/1) jauh lebih sedikit dari yang sesungguhnya.
“Poinnya bukan jumlah massa. Poinnya adalah serangan dan upaya mendelegitimasi presiden ini, suatu hari. Dan kami tidak akan duduk terdiam dan menerimanya,” tegas Kepala Staf Kepresidenan Trump, Reince Priebus, dalam wawancara dengan ‘Fox News Sunday’ seperti dilansir Reuters, Senin (23/1/2017).
Itu merupakan pertama kalinya Priebus, yang sebelumnya menjabat Ketua Komisi Nasional Partai Republik (RNC), tampil sebagai Kepala Staf Kepresidenan dalam talk show hari Minggu di Fox News. Priebus menegaskan, pemerintahan akan terus melawan serangan agresif media terhadap Trump.
“Kami akan melawan dengan sekuat tenaga, setiap hari,” tegas Priebus.
Sementara itu, salah satu penasihat senior Trump, Kellyanne Conway, menyebut pemerintahan Trump telah menyodorkan ‘fakta alternatif’ untuk melawan pemberitaan media soal Trump. Conway mengomentari berbagai kecaman yang menghujani Sekretaris Pers Gedung Putih, Sean Spicer, yang menuding media memanipulasi foto massa di National pada Jumat (20/1) lalu.
Dalam konferensi pers pertamanya di Gedung Putih pada Sabtu (21/1), Spicer, tanpa menyebut jumlah, mengklaim massa yang hadir dalam pelantikan Trump sebagai yang terbanyak. Klaim itu langsung dimentahkan berbagai fakta yang diungkapkan media-media AS.
Data otoritas kereta bawah tanah Washington DC mencatat ada 193 ribu penumpang pada Jumat (20/1) pukul 11.00 waktu setempat, saat Trump dilantik. Jumlah itu dibandingkan data pada momen yang sama saat pelantikan Obama tahun 2009, yang mencatat ada 513 ribu penumpang di DC.
Conway membela Spicer saat ditanya NBC News, soal mengapa seorang Sekretaris Pers menyampaikan pernyataan yang terbukti salah dalam konferensi pers di Gedung Putih. Conway juga ditanya alasan mengapa pemerintahan Trump lebih fokus mengurusi jumlah massa daripada kebijakan dalam negeri dan luar negeri. “Kami merasa perlu untuk berbicara dan memperjelas situasi dan memberikan fakta alternatif kepada publik,” jawabnya. (RIF)
NEW YORK,khatulistiwaonline.com
Menjelang pelantikan Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump, ribuan demonstran menggelar aksi demo di jalan-jalan New, York. Mereka yang berdemo memprotes pemerintahan Trump termasuk para selebritis kelas atas.
Seperti dilansir kantor berita AFP, Jumat (20/1/2017), di antara mereka termasuk aktor-aktor Hollywood, Robert de Niro dan Alec Baldwin, sutradara peraih Oscar, Michael Moore dan penyanyi terkenal Cher. Bersama warga New York lainnya, mereka berdemo di dekat gedung Trump International Hotel yang berada di kawasan Central Park South.
“Lawan Trump setiap hari” dan “keadilan dan hak-hak sipil bagi semua”, demikian bunyi sebagian spanduk yang dibawa massa demonstran di kota asal Trump tersebut. Di New York, mayoritas warga memilih rival Trump, Hillary Clinton dalam pemilihan presiden pada November 2016 lalu.
“Dia tidak memimpin dengan mandat,” cetus Michael Moore dalam orasinya mengenai kemenangan Hillary dalam perolehan jumlah suara rakyat. “Kita adalah mayoritas. Jangan menyerah. Saya tidak akan menyerah,” tegas Moore di depan para demonstran pada Kamis (19/1) waktu setempat.
Moore mengatakan bahwa dimulainya pemerintahan Trump merupakan waktu yang sangat berbahaya di AS. Moore pun menyerukan adanya 100 hari protes terhadap Trump setelah pelantikannya nanti. “Dengan banyak kerja di pihak kita, kita akan menghentikan orang ini,” cetus Moore. “Dia tak akan bertahan empat tahun,” imbuhnya.
Adapun Walikota New York, Bill de Blasio menyerukan warga Amerika di seluruh negeri untuk bangkit dan menyuarakan penolakan mereka atas pemerintahan Trump.
“Donald Trump selalu senang mengatakan dirinya membangun sebuah gerakan, sekarang inilah waktu bagi kita untuk membangun gerakan kita dan itu dimulai malam ini dan ada di seluruh negeri, malam ini, besok, dan hari-hari mendatang,” kata de Blasio dalam orasinya.(RIF)
Kopenhagen,khatulistiwaonline.com –
Enam warga Iran ditangkap di Kopenhagen, Denmark setelah mereka menerobos masuk ke halaman kedutaan Iran untuk memprotes rezim Iran.
“Enam warga Iran memanjat pagar sekitar kedutaan di Kopenhagen pada Kamis (19/) pagi waktu setempat, lalu masuk ke taman dan meletakkan banner-banner dan poster yang memprotes rezim Iran,” kata Inspektur Kepolisian Kopenhagen, Henrik Stormer seperti dikutip kantor berita AFP, Jumat (20/1/2017).
“Mereka juga menarik kawat tiang bendera dan menurunkan bendera,” imbuhnya.
Empat dari enam warga Iran yang ditangkap tersebut merupakan pencari suaka di Swedia dan dua warga Iran lainnya memegang izin tinggal di Swedia. Keenam orang tersebut saat ini ditahan kepolisian atas tuduhan masuk tanpa izin.
Kantor berita pemerintah Iran, IRNA melaporkan bahwa Duta Besar Denmark di Teheran, Iran telah dipanggil ke Kementerian Luar Negeri Iran untuk membahas insiden ini. Dalam pertemuan itu, pemerintah Iran menyampaikan protes mengenai lemahnya pengamanan untuk kedutaan Iran di Denmark. (RIF)