Oleh: Andre Vincent Wenas
JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM
“My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins,” begitu kata Manuel L. Quezon, Presiden Filipina 1935-1944. Kabarnya ucapan senada pernah pula disampaikan Presiden AS (1961-1963) John F. Kennedy.
Loyalitas pada partaiku berakhir ketika loyalitas pada negaraku dimulai, begitulah berlaku bagi politisi partai politik yang kemudian dilantik jadi pejabat publik.
Di setiap brosur atau anggaran dasar/anggaran rumah tangga parpol selalu tercantum hal ihwal membela dan menjunjung tinggi kepentingan bangsa. Ideal sekali.
Tapi apakah demikian juga soalnya tatkala kepentingan primordial parpol atau keperluan taktisnya mengakibatkan perbenturan dengan kepentingan bangsa?
Kenegarawanan merupakan posisi yang menuntut suatu sikap kebijaksanaan dan keberanian (bahkan mungkin juga kenekadan). Tak semua orang punya nyali untuk menempuh suatu perjalanan kepemimpinan seperti ini.
Ketika mereka diperhadapkan pada suatu situasi yang telah dirancang (diskenariokan) sedemikian rupa oleh sementara pihak, beranikah seorang pejabat publik – yang diharapkan berkelas negarawan – tetap konsekuen dan konsisten dengan kata “my loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins”?
Ini jadi pertanyaan yang selalu harus digaungkan, supaya diingat terus dari satu situasi ke situasi lainnya, dari generasi yang awal ke generasi berikutnya.
Tak gampang memang, karena hanya mereka yang berkelas negarawan yang mampu melakukannya.
Manakala pejabat publik diperhadapkan dengan pilihan-pilihan yang harus mereka ambil – dengan segala konsekuensinya – disitulah kualitas kenegarawanan terlihat.
Jakarta, 28 Maret 2023
Andre Vincent Wenas,MM,MBA. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.
Catatan Hendry Ch Bangun, Rabu 22/2-2023.
JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM
Saya sebenarnya tidak ingin seperti berpolemik dengan Wina Armada Sukardi, pakar hukum pers yang dua periode menjadi anggota Dewan Pers dan pernah menjabat Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, terkait artikelnya “Tidak Ada Kewajiban Perusahaan Pers Mendaftar di Dewan Pers”.
Mengapa, karena ada dua alasan. Pertama, saya sudah selesai bertugas di Dewan Pers setelah menjadi anggota dua kali dan terakhir menjabat sebagai Wakil Ketua.
Kedua, pandangan seperti itu pun pernah disampaikan ahli Pers Kamsul Hasan yang juga lama menjadi pengurus PWI.
Apa yang disampaikan itu betul adanya, dasarnya Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers, yang kalau merujuk ke Pasal 15 ayat (g) mengatakan salah satu fungsi Dewan Pers adalah mendata perusahaan Pers.
Jadi yang ada adalah fungsi Dewan Pers. Tidak ada kewajiban perusahaan Pers untuk mendaftarkan diri. Sifatnya satu arah, bukan resiprokal.
Karena beberapa orang bertanya, tulisan itu dimuat di banyak media siber khususnya yang pimpinan atau pemiliknya dari PWI, saya perlu merasa menulis supaya tidak timbul salah faham karena seolah mempertentangkan PENDATAAN dan PENDAFTARAN yang memang berbeda.
UU 40/1999 yang dibuat saat terjadi euphoria reformasi memang dibuat sebebas mungkin akibat trauma dari era Orde Baru yang dengan berbagai upaya ingin membungkam Pers.
Oleh karena itu salah satu wujud dari betapa hebatnya UU 40/1999 ini adalah tidak ada turunannya entah itu berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Instruksi Presiden, dst.
Kalaupun akhirnya ada, maka aturan yang dibuat haruslah berupa swa regulasi yang dibuat Masyarakat Pers sendiri, difasilitasi Dewan Pers, sebagaimana disebut di Pasal 15 ayat (f) UU 40/1999.
Dengan prinsip dari, oleh, dan untuk Pers itu sendiri. Atur sendiri, ya ikuti dan taati, apabila sudah semua sepakat menjadikannya sebagai aturan.
Salah satu tonggak dari kekompakan Masyarakat Pers dalam mengatur dirinya sendiri itu, tertuang di Piagam Palembang 2010 yang ditandatangani pimpinan media arus utama Indonesia di Hari Pers Nasional 2010 di Sumatera Selatan.
Kala itu, media cetak masih berjaya sehingga kerelaan, keikhlasan untuk diatur oleh Dewan Pers, secara simbolis melambangkan sikap dari sebagian besar Masyarakat Pers Indonesia.
Ada dua poin penting dari Piagam Palembang yang historis ini, saya kutip agar kita ingat lagi:
- Kami menyetujui dan sepakat, bersedia melaksanakan sepenuhnya Kode Etik Jurnalistik, Standar Perusahaan Pers, Standar Perlindungan Wartawan, Standar Kompetensi Wartawan, serta akan menerapkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ketentuan-ketentuan yang berlaku di perusahaan kami.
- Kami menyetujui dan sepakat, memberikan mandat kepada lembaga independen yang dibentuk Dewan Pers melakukan verifikasi kepada kami, para pendatatangan naskah ini, untuk menentukan penerapan terhadap kesepakatan ini. Kepada lembaga itu kami juga memberikan mandat penuh untuk membuat logo dan atau tanda khusus yang diberikan kepada Perusahaan Pers yang dinilai oleh lembaga tersebut telak melaksanakan kesepakatan ini.
Dasar dari kesediaan itu, sebagaimana disebut dalam alinea kedua preambule Piagam Palembang, “Dalam mewujudkan kemerdekaan Pers serta melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya, Pers mengakui adanya kepentingan umum, keberagaman masyarakat, hak asasi manusia, dan norma-norma agama yang tidak dapat diabaikan.
Agar pelaksanaan kemerdekaan Pers secara operasional dapat berlangsung sesuai dengan makna dan asas kemerdekaan Pers yang sesungguhnya, maka dibutuhkan Pers yang profesional, tunduk kepada undang-undang tentang Pers, taat terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ), dan didukung oleh perusahaan pers yang sehat serta serta dapat diawasi dan diakses secara proporsional olehmasyarakat luas.
Kebersediaan diatur, tentu karena asumsi, keyakinan bahwa Dewan Pers sudah independen sejak UU No.40/1999 berlaku, yang anggotanya tidak lagi ditunjuk pemerintah seperti sebelumnya, tetapi dipilih Masyarakat Pers sendiri, dari kalangan wartawan, perusahaan Pers, dan masyarakat.
Dengan kata lain, menyerahkan diri diatur Dewan Pers artinya sama dengan mengatur diri sendiri alias swaregulasi. Mengatur sesuai dengan kehendak kalangan pers sendiri.
Adanya Piagam Palembang ini berkonsekuensi banyak. Apabila wartawan di media “besar” sebelumnya malas dan merasa tidak perlu untuk ikut uji kompetensi, perlahan tapi pasti mulai bersedia.
Wajar karena perusahaannya sudah menyatakan bersedia sepenuhnya mengikuti Standar Kompetensi Wartawan, yang antara lain menetapkan Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab harus bersertifikat Wartawan Utama.
Tidak ikut berarti, secara struktural karier si wartawan tidak akan sampai di puncak.
Perusahaan Pers dengan kesediaan itu, mewajibkan dirinya memberi gaji minimal setara dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) 13 kali setahun (termasuk Tunjangan Hari Raya), karena itu menjadi peraturan perusahaan, mengikuti peraturan Menteri Tenaga Kerja yang diadopsi di Peraturan Dewan Pers No.5 tahun 2008 tentang Standar Perusahaan Pers.
Perusahaan Pers besar juga bersedia diverifikasi oleh Dewan Pers. Dalam artikel Wina Armada ditulis, tidak perlu anggota Dewan Pers yang repot-repot turun untuk verifikasi faktual karena banyak urusan lain yang lebih penting untuk dikerjakan.
Tetapi sering kehadiran anggota ini penting, khususnya untuk memberi persepsi kepercayaan terhadap lembaga.
Misalnya saja ketika mengecek akte notaris suatu media, yang di dalamnya ada jumlah modal, pemegang saham, dll, yang bagi perusahaan adalah rahasia.
Kalau staf sekretariat yang datang, saya tidak yakin pimpinan media yang diverifikasi mau memberikan datanya, takut bocor atau apapun namanya.
Terkait dengan pengaturan perusahaan Pers ini, memang Standar Perusahaan Pers No. 3 tahun 2019 terasa lebih progresif untuk mengantisipasi beberapa hal yang tidak tercakup di Peraturan No.5/2008, hanya saja menimbulkan konsekuensi berat bagi manajemen perusahaan.
Apalagi dikaitkan dengan kondisi ekonomi perusahaan Pers, besar apalagi menengah dan kecil, yang kian merosot akibat turunnya pendapatan sementara biaya operasional meningkat.
Misalnya saja, kewajiban untuk memberikan asuransi kesehatan dan asuransi ketenagakerjaan kepada wartawan dan karyawan, di Pasal 20 Peraturan Dewan Pers No.3/2019. Di aturan lama, itu diatur secara umum, di Pasal Pasal 9 yang berbunyi “Perusahaan pers memberi kesejahteraan lain kepada wartawan dan karyawannya seperti peningkatan gaji, bonus, asuransi, bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih, yang diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama.”
Ini agaknya penjabaran lebih dekat dari Pasal 10 UU No.40/1999 tentang Pers yang berbunyi, “Perusahaan Pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan Pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.
Persoalan yang kini menghangat umumnya adalah terkait verifikasi ini. Sifatnya sukarela tetapi menjadi seperti wajib bagi media, karena selain sebagai wujud profesionalisme media, juga ada kaitan ekonomis, sejumlah lembaga di pusat dan daerah, mensyaratkan status terverifikasi untuk dapat menjadi mitra kerja terkait pencitraan lembaga.
Bahasa kasarnya, untuk bisa memperoleh jatah iklan.
Ada empat pemerintah provinsi yang mewajibkan status terverifikasi ini yakni Sumbar, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Riau, tetapi hanya Sumbar dan Kepri menjalankan dengan konsisten.
Babel masih menunda karena banyaknya protes dari kalangan media, Riau meski sudah didukung penuh organisasi perusahaan Pers konsituen Dewan Pers, informasi terakhir belum menjalankan 100%. Di kabupaten dan kota pun sudah banyak yang menerapkan, ada menjalankan dengan ketat, dan masih ada yang longgar karena berbagai alasan, seperti untuk keadilan bagi media yang sudah menjalankan sebagian peraturan Dewan Pers.
Soal verikasi ini ramai diangkat media saat berlangsung Hari Pers Nasional 2020 di Banjarmasin. Ketua Dewan Pers Mohammad NUH menegaskan, Dewan Pers tidak pernah meminta pemerintah daerah untuk mensyaratkan status terverifikasi untuk menjalin kemitraan.
Saya sendiri dalam berbagai kesempatan juga menyatakan hal yang sama. Bagi saya, cukup bahwa perusahaan Pers itu berbadan hukum Indonesia sebagaimana ditetapkan Dewan Pers, memiliki Pemred dan Penanggungjawab bersertifikat Wartawan Utama sebagaimana diatur Peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan, dan mencantumkan dengan jelas alamat redaksi sebagai bentuk akuntabilitas kepada masyarakat.
Begitu pula kalau ada kasus hukum atau masih di tingkat pengaduan kepolisian atas sebuah produk jurnalistik, Dewan Pers selalu menjadikan tiga hal di atas sebagai dasar untuk pembelaan terhadap media.
Bukan harus terverifikasi baru dibela dan dilindungi eksistensinya. Hal ini juga disebabkan kesadaran dari sisi Dewan Pers bahwa proses verifikasi media secara administratif apalagi faktual, memerlukan proses yang lama.
Ada ratusan perusahaan Pers yang antre, untuk diproses karena persyaratan yang belasan jumlahnya, banyak berkas yang harus diperiksa dan dicek atau konfirmasi, sementara sumber daya manusia yang mengurusnya terbatas untuk tidak mengatakan sedikit.
Dulu staf sering saya minta agar mereka lembur untuk mempercepat proses, tetapi tetap saja kekuatan fisik dan psikis staf ada batasnya.
Keluarnya Peraturan Dewan Pers No.1 tahun 2023 yang ditetapkan 6 Januari 2023, membuat verifikasi administrasi semakin membebani media, sampai saya mengatakan ini sudah mirip dengan “Deppenisasi” yang berpotensi mematikan kemerdekaan Pers, karena “membunuh” kehidupan media kelas UMKM.
Kewajiban memiliki minimal 10 wartawan plus karyawan, kewajiban membayar BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan untuk seluruh wartawan dan karyawan, kewajiban membayar upah minimal setara UMP yang ditandai dengan bukti transfer perusahaan ke karyawan, dll membuat media dengan modal sedang atau kecil, mati berdiri.
Seharusnya Dewan Pers memberi keringanan karena kondisi ekonomi perusahaan Pers yang terpuruk saat ini, tidak hanya karena perubahan perilaku konsumsi informasi masyarakat dan makin tersedotnya iklan ke media sosial, tetapi juga akibat pandemi selama dua tahun.
Bukan malah membebani lagi. Apakah anggota dan staf Dewan Pers tidak pernah turun ke lapangan untuk mengetahui kehidupan ekonomi media yang seharusnya didorong untuk maju dan kini terkesan malah dipersulit?
Kembali ke awal cerita, Dewan Pers tidak pernah mewajibkan perusahaan Pers untuk mendaftar karena itu bertentangan dan tidak diatur di Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers.
Sebaliknya media berlomba-lomba ingin diverifikasi karena inilah jalan keluar dari pendapatan yang semakin sulit, antara lain akibat pertumbuhan media siber yang abnormal.
Dan fakta bahwa pemerintah daerah dan lembaga menjadikan status terverifikasi sebagai saringan untuk memudahkan pilihan, mana yang diajak kerjasama, efisiensi, pertanggungjawaban anggaran yang akuntabel, serta keterbatasan anggaran.
Media massa profesional masih dibutuhkan negeri ini untuk mengimbangi kebisingan dan banjir informasi lancung dari media sosial sehingga semua pihak khususnya Dewan Pers amat berkepentingan memberikan ekosistem yang baik.
Jangan biarkan mereka hidup segan mati tak mau di lahan gersang, khususnya media produk wartawan profesional, wartawan idealis, yang ingin menjalankan peran sebagai alat menyalurkan aspirasi masyarakat, mengedukasi masyarakat , melakukan fungsi kontrol, menjadi ajang diskusi atas masalah-masalah kebangsaan dan negara, dst.
Sebaliknya Dewan Pers harus memunculkan gagasan, melakukan diskusi-diskusi itensif, bagaimana agar Pers ini mendapat nafas lebih banyak, memiliki ruang hidup yang lebih luas, dan memilah-milah mana yang lebih penting dari 7 fungsi Dewan Pers yang disebutkan di Pasal 15 UU No.40/1999 agar mendukung dan bukan malah menghalangi pelaksanaan peran Pers nasional seperti dinyatakan Pasal 6 UU No.40/1999:
- Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
- Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan
- Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar
- Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum
- Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Itulah cita-cita perancang UU No.40/1999 dan sungguh berdosa apabila kita lupa dan malah cenderung mengabaikannya karena asyik dengan hal remeh-temeh yang mestinya diurus belakangan. Seperti kata pujangga Jawa Ronggowarsito dalam salah satu bait di Serat Kalatida:
..//Dilalah kersa Allah/ begja-begjaning kang lali/luwih begja kang eling lan waspada// yang artinya..//Sudah kehendak Allah/betapapun bahagianya orang yang lupa/lebih berbahagia mereka yang sadar dan waspada//.
Wallahu a’lam bishawab. (AMS)
Oleh: Pdt Gomar Gultom, Ketua Umum PGI
Atas nama gereja-gereja di Indonesia, saya sangat mengapresiasi pernyataan pers Presiden Joko Widodo (Jokowi) hari ini Rabu 11/1-2023 terkait pelanggaran HAM berat masa lampau. Ini sebuah langkah maju, bahkan lompatan besar pada proses penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia, yang selama puluhan tahun beberapa hal cenderung ditutupi bahkan disangkal adanya.
Saya menghargai setulusnya pengakuan dan penyesalan Presiden. Meski tidak disertai permohonan maaf, hal ini menurut saya sudah sangat maju. Sesungguhnya dengan penyesalan itu, implisit di dalamnya sudah terkandung permohonan maaf.
Saya juga mengapresiasi penegasan Presiden bahwa penyelesaian non judisial ini tidak menegaskan penyelesaian secara hukum. Malah menurut saya, pengakuan ini bisa menjadi pintu masuk untuk proses hukum selanjutnya.
Kini menjadi tugas seluruh elemen bangsa yang berkehendak baik untuk mengawal proses ini dengan lebih sungguh-sungguh.
Pada kesempatan ini saya juga menyampaikan penghargaan kepadaTim PPHAM bentukan Presiden yang bekerja cepat dalam perumusan masalah yang cukup pelik ini, sehingga Presiden bisa tiba pada pengakuan di atas pada waktunya.
Sebagai tindak lanjut pernyataan ini, saya mengusulkan dua hal: pertama, perlunya penghapusab segera berbagai bentuk memorial maupun materi sejarah yang ada selama ini, yang bisa dinilai sebagai pembelokan sejarah dan pengaburan fakta pelanggaran HAM yang terjadi. Kedua, perlunya Memorialisasi atas pelanggaran HAM berat tersebut dalam bentuk statuta, sebagai peringatan kepada generasi berikut agar tidak terulang.
JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM
Bertepatan dengan Hari Guru Nasional (HGN) dan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Internasional yang jatuh pada Jumat (25/11/2022), sekelompok anak rantau putra/putri Batak di Jakarta menggelar diskusi Percepatan Realisasi Provinsi Tapanuli (Protap) di Kampus Mpu Tantular.
Diskusi yang diinisiasi dan dimoderatori Ketua Panitia Percepatan Provinsi Tapanuli (PPPT) JS. Simatupang, SH dan Drs.Binton Nadapdap itu menghadirkan sejumlah narasumber utama.
Narasumber tersebut, mantan Wakasad Letjen TNI (Purn) Cornel Simbolon, MSc, DR. Sabar Martin Sirait, DR. Parlindungan Purba, SH, MM dan Arist Merdeka Sirait, seorang aktivis Indonesia yang juga Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak.
Dihadapan sejumlah awak media TV dan online, saat memberi kata sambutan, JS. Simatupang yang juga pengacara dan praktisi hukum tersebut mengajak para peserta untuk ikut memberikan support dan masukan demi terwujudnya Protap.
Sementara Letjen TNI (Purn) Cornel Simbolon dan Parlindungan Purba yang sebelumnya mendengar penjelasan dari sudut pandang para tokoh serta kalangan aktivis, mengajak untuk menghentikan polemik mengenai dimana nantinya Ibu Kota Protap, apakah di Tele atau di Sipinsur.
“Apakah nantinya Ibu Kota Protap di daerah Tele atau Sipinsur, boleh-boleh saja, yang terpenting mari terus kita gulirkan dan sosialisasikan bahwa Protap adalah kebutuhan bangsa Indonesia, bukan hanya kebutuhan dan kepentingan orang Batak atau orang Tapanuli,” kata Letjen (Purn) Cornel Simbolon dan diaminkan oleh Parlindungan Purba.
“Ayo kita lakukan dengan silent action atau aksi sejuk dan menjauhkan diri dari konflik kewilayaan dan identitas atau kemargaan.
Ayo kita ayunkan langkah dengan kebersamaan,” ajaknya.
Letjen TNI (Purn) Cornel Simbolon berjanji mengajak dan minta dukungan dari para veteran pensiunan Tentara serta tokoh-tokoh masyarakat Batak untuk bersama-sama baik diluar Jakarta asal dari Tapanuli Tengah, termasuk pemikiran dari para Jenderal Purnawirawan di lingkungan TNI.
“Iya, saya menghimbau kepada semua saudara kita, ayo bersama dengan kompak membahasnya, karena Protap kelak bukan hanya untuk kepentingan Batak tetapi justru mendukung kebutuhan negara ini’, tandasnya.
Pesan moral yang sama juga disampaikan DR. Parlindungan Purba mantan anggota senator DPD dari Dapil Sumateta Utara 2.
“Banyak sahabat saya di Senayan dan diberbagai tempat yang mendukung terbentuk Protap ini, semua berpandangan positif termasuk anggota DPR di Komisi 2 dan komisi lainnya, kata Parlindungan Purba.
Kalau ada perbedaan pendapat itu adalah hal yang wajar, karena pada prinsipnya perbedaan sifatnya membangun adalah merupakan salah satu proses demokrasi yang baik.
Perbedaan perbedaan atas proses terbentuknya Protap ini, ada mekanisme penyelesaian dengan pendekatan Tonggo Raja,” ucapnya.
“Kita harus kompak dan mari mengedukasi mengambil kebijakan karena bagaimanapun cepat atau lambat Protap harus jadi,” imbuhnya.
Sementara Arist Merdeka Sirait yang juga dikenal sebagai Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak dan aktivis Hak Asasi Manusia (Human Right Defender), mengatakan, anak adalah generasi penerus, keluarga, masyarakat Tapanuli dan bangsa Indonesia.
Untuk itu, dia mengajak semua pihak untuk merealisasikan Protap demi perubahan menuju kebaikan pada generasi Batak.
Menurutnya, untuk percepatan realisasi Protap perlu dilakukan langkah-langkah strategis seperti sosialisasi ke masyarakat.
“Teruslah mengajak kebaikan termasuk mengajak kaum perempuan Tapanuli. Ayo kita kumpulkan dan ajak perempuan Batak mendukung Protap, bila perlu dengan aksi-aksi damai menari budaya Batak di depan Istana Negara dengan membawa budaya tari-tarian diiringi musik.
Kita buat demo damai dan indah lewat budaya tanpa kekerasan, tambahnya.
Apalagi, kata Arist Merdeka Sirait di wilayah Tapanuli dalam tiga tahun terakhir selama negeri ini diperangi Covid-19, banyak fakta anak-anak menderita dan mengalami ketidakadilan.
Seperti kasus kekerasan seksual di Tapanuli sudah masuk dalam zona merah pelanggaran hak anak.
“Paling nenyedihkan, justru pelaku pelanggaran hak anak ada yang dilakukan orang terdekat sudah dalam situasi “TIHAS BOLON NASO TARPABUNI” di Tapanuli,” kata Arist Merdeka Sirait.
Oleh sebab itu lanjutnya, mari kita perjuangkan dan mewujudkan Protap, kita libatkan partisipasi kaum perempuan Batak bersatu untuk Protap.
Pada sesi terakhir DR.Sabar Martin Sirait, aktivis penggagas Protap, juga mengatakan, dengan adanya pertemuan diskusi Percepatan Realisasi Protap tidak lupa menyampaikan, ada filosofi, demi Protap “berjuta kawan kurang, satu lawan terlalu banyak. Dan anda sudah mendukung apabila diam tidak menghambat” tegasnya diakhir pembicaraannya.(AMS)
JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM
Dalam beberapa bulan terakhir, desakan kepada pemerintah pusat dalam hal ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mencabut MORATORIUM Provinsi Tapanuli (Protap) kembali digaungkan.
Dari sekian banyak tokoh putra Batak yang dengan gigihnya memperjuangkan serta pemrakarsa terbentuknya Protap adalah DR. Sabar Martin Sirait.
Bagi DR. Sabar Martin Sirait yang namanya sudah dikenal sejak peristiwa Malari tahun 1974 dan bergabung mendirikan Partai Damai Sejahtera (PDS) juga pernah bekerja di Kedutaan Besar (Kedubes) Amerika Serikat, pembentukan Protap demi kemajuan serta kesejahteraan masyarakat Tapanuli pada khususnya.
Melalui pesan WhatsApp (WA) yang diterima Khatulistiwa online, Selasa (22/11/2022, DR .Sabar Martin Sirait mengawali pembicaraan dengan perkataan Shalom dan salam sehat.
“Covid-19 telah kita kalahkan. Saya sampai hari ini bersama Tuhan Yesus menang melawan Covid-19 dan segala turunannya. Ke depan, saya juga yakin bersama Roh Kudus akan menang melawan Covid-19,” demikian pengakuan iman tokoh putra Batak tersebut.
Disebutkan, sangat menarik mencoba memahami dan menganalisa berfikir dan berkomunikasi yang cukup ramai di beberapa Grup WA terkait Perjuangan Pembentukan Provinsi Tapanuli tentang hal hal yang bersifat Kronologis dan Logis, dalam upaya agar Provinsi Tapanuli sedini mungkin dapat berdiri.
Menurutnya, apa yang terjadi di masa lalu, terkait perjuangan Protap sudah menjadi fakta nyata, bahwa sampai saat ini di era serba digital bahwa orang sangat bebas memberi tafsir dan menilai terhadap aneka fakta yang sudah berlalu, khususnya terkait dokumen-dokumen yang sesungguhnya sudah menjadi arsip di berbagai Institusi terkait.
|
“Sejak tahun 2.000 an pada era millenium, saya merasa bersifat MERDEKA dan TIDAK karena disuruh siapapun, menuliskan dan mengerjakan hal-hal terkait PROTAP sehingga lengkap. Jujur, saya sama sekali tidak memiliki keberanian untuk berbohong kepada siapapun terutama kepada publik tentang aneka proses yang telah terjadi, termasuk biaya materi pribadi yang habis. Dan sebagai manusia yang percaya kepada kuasa Tuhan, saya hanya berusaha serta berupaya berperilaku sesopan dan sesantun mungkin dalam mengutarakan aneka fakta terkait yang terdokumentasi atau yang tidak terdokumentasi,” katanya.
Sebagai orang suku Batak yang terdidik dalam budaya Adat Batak, masih menurut DR. Sabar Martin Sirait, dirinya sangat menghargai siapapun yang sangat pasif mendukung percepatan berdirinya Provinsi Tapanuli, apalagi yang proaktif.
“Oleh karena itu, sejak tahun 2000 an, saya mengutak-atik mesin ketik hingga berubah ke komputer, berbagai tulisan tentang karya saya selalu tak lupa menulis ada 2 motto atau Slogan dalam perjuangan, yaitu :Pertama, Anda sudah mendukung apabila tidak menghambat, bawalah dalam doa.
Kedua, Agar Provinsi Tapanuli segera berdiri, berjuta kawan kurang, satu lawan terlalu banyak.
Dijelaskannya, dua hal ini bagi dirinya adalah perilaku mutlak. “Saya sangat beruntung ketika saya tidak sakit hati dan benci kepada siapapun manusia ciptaan Tuhan, apalagi yang sudah mengenal Tuhan Jesua. Saya mohon maaf kepada siapa saja yang merasa terganggu, apalagi merasa rugi telah berpapasan dengan saya secara langsung atau tidak langsung, lantaran saya sangat rugi menyimpan sakit hati apalagi kebencian,” tandasnya.
Lebih jauh disampaikan, “Saya tidak mau sakit Liver, Jantung, Paru-paru, Otak dan lainnya. Sebagai Pengikut Jesus Kristus saya ingin selalu Sehat Jasmani, Jiwani dan Rohani, walaupun saya sangat banyak kekurangan termasuk sangat terbatasnya ilmu pengetahuan dibandingkan orang-orang yang sudah berilmu pengetahuan hebat,” tutur pria yang cukup dikenal karena berbagai peran dan perjuangannya di negeri ini.
“Sebagai manusia biasa saya mengakui masih terus belajar dan belajar, berlatih dan berlatih agar saya, sabar, sabar dan sabar; sesuai nama saya Sabar Martin Sirait. Dalam hati jujur, jujur dan jujur serta bagaimana agar 24 jam sehari menjadi Garam dan Terang lantaran sudah tua beginipun belum lulus, belum tamat,” ungkapnya.
Pegiat Lingkungan dan Pemerhati Pembangunan Tapanuli, DR. Sabar Martin Sirait, yang juga adalah Sekjen Yayasan Putera-Puteri Tapanuli itu menyebutkan, secara pribadi sangat berterima kasih kepada pimpinan Inti, dan semua aktivis Forum Percepatan Provinsi Tapanuli (FPPT) maupun para rekan wartawan, khususnya Ketua Umum dan Unsur Ketua serta Sekjen dan unsur kesekjenan.
“Melalui kesempatan yang baik ini, dengan hati yang tulus, sekali lagi saya mohon maaf sekiranya ada expektasi yang tidak mampu saya penuhi, atau perilaku yang tidak tepat.Saya tetap yakin dan berupaya berpartisipasi tanpa diminta atau tidak, namun dalam pemikiran saya bagaimana agar PROVINSI TAPANULI SEDINI MUNGKIN BERDIRI, bukan untuk membangun KEKUASAAN BIROKRASI yang BERSIFAT KKN, apalagi suku Batak telah terdidik oleh Adat budaya sama tinggi dan sama- sama ada dalam waktu rendah, tercermin dalam “Dalihan Na Tolu”, tapi membangun Institusi Negara dan Pemerintahan yang sangat Produktif melayani Rakyat yg Berdaulat dalam Lingkungan Hidup yang sangat bersih dan sangat lestari.
“Jujur, saya juga pernah sekolah dan berpendidikan hingga doktor hanya untuk mengerti makna kehidupan mampu Merumuskan dan Merancang GOAL, OUTCOMES, OUTPUTS & INPUTS dengan INDIKATOR KUATITATIF DAN KUALITATIF bersama Tim Ahli yang sungguh-sungguh Terampil, Jujur, Jujur dan Jujur di bidangnya,” katanya.
“Selain itu, mengutamakan keyakinan dan ber-Iman dan selama hidup selalu akan berjuang, agar Provinsi Tapanuli kita harapkan menjadi garam dan terang untuk masyarakat Batak, terutama terang untuk Indonesia.
Kita harapkan kelak di Provinsi Tapanuli nantinya, NO NARKOBA, NO PELACURAN, NO PERJUDIAN, NO PENCURIAN, NO PELANGGARAN HUKUM PIDANA-PERDATA, NO PERCERAIAN DAN MOTTO BUDAYA “DALIHAN NA TOLU SECARA REALITA, SANGAT PRODUKTIF, SECARA SOSIO KULTURAL DAN SOSIO EKONOMI.
Diakhir bicaranya, DR. Sabar Martin Sirait mengingatkan, karena itu, sebagai manusia ber adat yang berbeda dengan yang di hutan belantara, mari kita tunjukkan sebagai manusia punya etika moral. Bersama-sama berjuang, karena dengan kebersamaan pasti kita maju dan jaya. HIDUP PROVINSI TAPANULI ! tandasnya. (AMS)
Penulis: Maruli Siahaan
Tuntutan pembentukan Provinsi Tapanuli (Protap) yang terpisah dari Provinsi Sumatera Utara (Sumut) sejak lama digaungkan. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, sejumlah tokoh Batak di antaranya pemrakarsa pembentukan Protap mendeklarasikan Panitia Pembentukan Percepatan Provinsi Tapanuli (PPT) di Gedung Serbaguna Tarutung, Tapanuli Utara, Sumatera Utara pada Sabtu (29/10/2022) lalu.
Dengan tema ” Melalui rapat perdana panitia Provinsi Tapanuli untuk Tuhan dan Indonesia (Pro Deo et Patria, for God and Indonesia Country)”. Mereka mendesak pemerintah untuk mencabut moratorium pemekaran daerah yang dilakukan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Namun, di tengah semangat sejumlah tokoh Batak untuk mewujudkan terbentuknya Protap muncul kekhawatiran dan rasa apatis bahwa hal itu sepertinya sulit direalisasikan.
Dalam proses niat perjuangan pembentukan Protap, ada tiga hal yang menjadikannya terkendala, pertama tidak adanya niat bersatu, kedua egoisme kelompok yang merasa paling berjasa dan ketiga kurang mendalami tujuan kebersamaan.
Agar perjuangan pembentukan Protap tidak sia-sia dan hanya sekadar impian, solusi mencapai Protap yang harus diterapkan adalah Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu.Sebab, Protap bertujuan menciptakan kebersamaan demi menyongsong generasi penerus bangsa Batak di masa mendatang.
Tentu tidaklah merugi bagi para orang tua saat ini untuk bersatu dalam kebersamaan dan mau terikat di Budaya Dalihan Na Tolu demi Protap. Satu hati saling berbagi perasaan dan pemikiran untuk memperjuangkan tercapainya Protap.
Dalihan Na Tolu merupakan simbol semangat abadi yang tak ternilai harganya bagi bangsa Batak.Artinya, semboyan ; “Manat mardongan tubu, elek mar boru, somba mar hula-hula”, sudah kita pikul sejak dibuatkan opung (Leluhur) kita.
Jika kita betul-betul mau mengakui manfaat kebersamaan dan ada niat bersatu, bersemangatkan “Dalihan Na Tolu” sebagai simbol kerukunan yang demokratis, maka tentulah kita mampu untuk menyatukan hati dan pikiran kita bersama demi kesuksesan Protap.
Tidaklah keliru bila kita mau belajar dari Proklamator Ir. Soekarno yang memiliki tekad perjuangan kuat demi menyatukan ragam masyarakat Nusantara dan membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia bersamaan dengan kesepakatan UUD ’45 sebagai sumber kehidupan bernegara di NKRI ini.
Adanya musyawarah yang menyatukan perbedaan yang terdapat pada dua golongan generasi, orang tua dan pemuda, nyatanya mampu untuk menyepakati pembentukan negara Indonesia yang tetap bertahan hingga sekarang.
Maka, dalam rangka pembentukan Protap yang kokoh dan bersatu, marilah kita berjuang bersama segera bentuk kantor SEKRETARIAT NASIONAL BATAK Di JAKARTA, guna menjadikan tercapainya Protap demi menyejahterakan rakyat dan mencegah “absolutisme” pemerintah yang sampai sekarang mempertahankan moratorium tetap dipasung. Semangat juang bagi bangso Batak, semangat juang kebersamaan bagi Protap.
Mari undang tokoh-tokoh yang merasa perjuangannya paling benar, adakan pertemuan khusus dengan mereka tanpa menghilangkan perjuangannya melainkan, sepakat membuat susunan pejuang KEBERSAMAAN DALIHAN NA TOLU PROTAP. HORAS.Jakarta, 12 November 2022
Oleh : Daud Rotama Siahaan
Berbagai pendapat akan bermunculan jika penulis menyebut adanya hubungan kesakralan Ulos budaya suku Batak dengan terungkapnya tabir kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, apalagi seumpama ada upaya suku Batak yang mengajukan atau mengusulkan Ulos Batak ke UNESCO sebagai salah satu warisan dunia.
Ulos sendiri adalah elemen wajib di dalam budaya Batak sehingga logis jika Ulos dijadikan sebagai suatu benda yang sakral oleh sebab pemahamannya terhadap ilmu pengetahuan dunia sungguh merupakan misteri yang perlu dipelajari serta dilestarikan sebagai perbuatan bijaksana dan baik, terlebih jika upaya itu benar-benar dilakukan dengan tulus ikhlas untuk melestarikan Ulos sebagai kekayaan adat suku Batak yang sudah diyakini sejak dulu hingga sekarang.
Keberadaan Ulos bagi suku Batak sungguh layak dipertahankan kesakralannya.
Bahkan, tanpa disadari Ulos ternyata mampu menjadi pengusung keadilan untuk kepentingan suku Batak pada saat tertentu.
Hal demikian nyata adanya, misalnya, pada kasus terbunuhnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Akibat Ulos Saput yang bernilai wajib dari pihak pamannya yang juga merupakan pengacara, Kamaruddin Hendra Simanjuntak, S.H., beserta timnya sehingga mampu memberi peran bagi Ulos tersebut guna membongkar kasus kematian Brigadir J. Hal ini didasari sejak saat pemberian “Ulos Saput” (ulos kepada orang meninggal ) keponakannya (bere), almarhum Brigadir J, sehingga kebenaran akhirnya dapat diungkapkan kepada publik.
Generasi muda suku Batak mungkin belum banyak yang menyadari pentingnya Ulos. Ulos bukan semata-mata mengejar nilai ekonomi belaka, namun keberadaannya justru mampu menjadi sebuah alat pengungkap ketidakadilan.
Oleh sebab itu, alangkah baiknya bilamana ada organisasi nirlaba seperti MURI yang berkenan untuk mengukuhkan “ULOS BATAK” kepada seorang pengacara tangguh seperti Kamaruddin Hendra Simanjuntak, S.H. dan timnya, sehingga keberadaan MURI terbukti memberi contoh pendidikan nilai positif kepada generasi penerus bangsa, terutama para muda mudi suku Batak, agar tetap tangguh memperjuangkan keadilan di negeri kita.
Inilah saatnya bagi MURI untuk turut serta menghimbau suku Batak agar menyadari perlunya identifikasi dan inventarisasi jenis dan ragam macam Ulos dalam suatu penelitian mendalam dan detail.
Penelitian tersebut penting guna mengidentifikasi makna Ulos dan potensi-potensi penggunaanya; antara mengejar nilai ekonomi melalui komersialisasi dan inovasi begitu juga nilai adat yang sakral bagi seluruh masyarakat suku Batak.
Penulis berpikir semua hal ini sangat diperlukan dan layak dilaksanakan, apalagi bagi seorang Kamaruddin Hendra Simanjuntak, S.H. yang layak mendapat rekor MURI dalam mempertahankan keadilan hukum yang terinspirasi oleh keberadaan Ulos Batak dan nilai sakralnya.
Sangat penting untuk dipertimbangkan formula apa yang tepat dan akurat untuk mengenal Ulos mana yang dapat dijadikan pakaian, aksesoris dan souvenir, dan jenis mana yang harus tetap menjadi sakral dalam hal peradatan suku Batak.
JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM
Akibat banyaknya lahan milik masyarakat yang tidak tercatat pada peta resmi pemerintah, sehingga tidak dapat teridentifikasi jadi peluang bagi mafia tanah menyusup ke kantong oknum pejabat yang berwewenang, seperti di lingkaran ATR/BPN dan KLHK di perkuat Kepala Desa/Lurah dengan setumpuk uang.
Oleh karena itu, meski banyak masyarakat yang berusaha membuat peta lahan milik mereka sendiri dengan menggunakan Global Positioning Systems (GPS) dan beberapa alat pengukuran lain, tetap di abaikan pemerintah.
Peta-peta demikian ini memberikan gambaran yang berbeda dengan gambaran yang nyata diberikan oleh pemerintah lebih memihak pada pemberi uang sehingga para pengembang dengan leluasa nenguasai lahan milik masyarakat.
Konflik-konflik seperti ini sudah banyak, menjadi pertikaian antara masyarakat dengan petugas keamanan suruhan pengembang, masyarakat diancaman dan bisa terjadi pembunuhan, juga tidak sedikit aktivis masyarakat jadi korban.
Petugas berpihak pada pemberi uang dengan atributnya mudah melakukan penggusuran paksa terhadap masyarakat.
Jadi, stratgi yang bisa melawan mafia tanah tidak ada rakyat yang kuat, kecuali ramai-ramai datangi rumah pelaku yang berwewenang dengan jabatannya, perlu di tanya :
“Pejabat yang berpihak pada pengembang….! Kenapa otakmu dan hatimu berpihak pada pemilik uang tanpa engkau perduli hak hidup kami atas tanah milik kami, Jawab..! Atau hak hidupmu harus di cabut ?
Penulis : MMHSHersit
Fiat Justitia Ruat Coelum. Semboyan itu melekat pada lambang/logo OA Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN-1964),.Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN-1985).
Jika diartikan dalam bahasa Yunani/Latin ” Sekalipun langit runtuh keadilan harus ditegakkan”. Dengan membaca ini pasti teringat dengan ” Dewi Keadilan ” memegang timbangan dengan menutup kedua matanya dengan kain seroban serta dua pedang yang panjang dan tajam pertanda dengan tegasnya memotong dan memperjuangkan kebenaran dan keadilan dengan pedang nya.
Perlukah lambang/ logo timbangan tersebut relevan dicantumkan pada papan merek kantor dan kop surat serta stempel Advokat ?Untuk menjawab itu kami turunkan pendapat Advokat senior yang tidak asing lagi, yakni MMHSHersit, Putra Kelahiran Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumut, 23 Pebruari 1963 yang tinggal di Jakarta sejak 1978 dan hijrah ke Kabupaten Tangerang sejak 1995 sampai sekarang dengan No.Hp. 0821 5877 1110.
Dengan gaya blak- blakan, MMHSHersit menyatakan, dirinya tidak setuju apabila lambang atau logo timbangan tersebut tercantum pada lembaga tersebut.
Menurutnya, ada dua alasan mengapa dia tidak setuju, pertama melihat perkembangan Lawyer dewasa ini.
“Coba lihat Lawyer di Eropa sana tidak ada mencantumkan lambang/ logo timbangan pada law firm dan kop surat, stempel serta kartu namanya.
Yang ada misalnya ; Law Firm MMMHS & Partner. Mungkin anggapan mereka kenapa timbangan itu harus dicantumkan, dengan jujur bicara yang punya timbangan bersalah tidaknya seseorang adalah hakim bukan Advokat, Polisi, Jaksa apalagi Advokat dengan luas wilayah kerja kasus- kasus yang ditangani, dengan jam terbangnya tidak menutup kemungkinan menangani kasus bisnis, bertindak sebagai kurator, mediator terkesan fee cukup besar dan kasus komersil yang ditangani Advokat.
Ini membuktikan Advokat masuk semua link kasus atau perkara, itu salah satu alasannya, namun demikian Advokat tetap bertindak secara profesional menjalanksn tugasnya dilandasi oleh hukum dan perundang- undangan yang berlaku serta kode etik melekat pada dirinya,” ujarnya.
Alasan kedua, keharusan dengan lambang timbangan itu sejak dahulu kala jaman cicero di Kota Atena,Yunani melihat lambang/ logo ” Dewi Keadilan ” seorang wanita berdiri memegang timbangan dengan satu tangannya serta memegang pisau panjang dan tajam untuk menegakan hukum dan keadilan itulah semboyan ” Fiat Justitia Ruat Coelum ” dengan arti ” Sekalipun Langit Runtuh Keadilan harus ditegakkan.
Kesimpulannya, dua alasan itu tetap ada pada hati jiwa seorang Advokat tergantung dari sudut mana kita melihat suatu kebenaran hukum.
Tapi secara pribadi Advokat senior ini cenderung pada yang pertama tidak perlu lambang/ logo timbangan dibuat pada papan merek, kop surat dan kartu nama cukup singkatan nama, mungkin itu tetao dipertahankan lembaga-lembaga ysng bergerak pada LBH dan Pobakum dan pejuang-pejuang hukum berjiwa sosial, tetap semangat untuk menegakkan hukum dan keadilan.
“Pandangan saya meskipun Advokat tidak mencantumkan lambang/ logo timbangan tersebut tetap semangat menegakkan hukum dan keadilan. Khusus anggota PERADI di seluruh Indonesia diwajibkan untuk menangani kasus-kasus prodeo dan tidak boleh menolak.
Urusan yang satu ini tetap melayani masyarakat meskipun tidak di bayar khusus kasus-kasus masyarakat yang tertindas dan di zholimi, harus bermental Advokat pejuang tidak kalah semangat apapun kasus yang ditangani bersikap dan bertindak berjiwa satria.
Jujur sesuai dengan kepribadian Advokat itu sendiri,” jelas MMMHS/HERSIT yang juga salah satu Wakil Sekretaris Jenderal DPN PERADI, Wakil Sekretaris DPP IKADIN sekaligus Sekretaris Jenderal DPP PROJAMIN.
SERANG, KHATULISTIWAONLINE.COM –
Program vaksinasi yang dilakukan oleh Polres Serang Kota di Alun-alun Serang sempat terjadi kericuhan. Pasalnya, ada oknum warga yang sengaja mengambil kesempatan dengan menjual formulir registrasi.
Selain Polres Serang Kota, pelaksanaan vaksin di alun-alun itu bekerja sama dengan Polda Banten, Dinas Kesehatan dan TNI, dan PT Wilmar pada hari ini Sabtu (18/9/2021). Ada target 2.000 orang yang bisa divaksinasi.
Kapolres Serang Kota AKBP Maruli Ahiles Hutapea mengatakan, warga sudah datang ke lokasi vaksin bahkan sejak sebelum pukul 06.00 WIB.
Saat itu ada oknum warga yang memanfaatkan berkumpulnya warga. Mereka menjual formulir registrasi dengan harga Rp 2 ribu per lembar.
“Warga datang pagi-pagi sekali, petugas juga belum ada. Tiga orang yang kita amankan yang jual kertas registrasi,” kata AKBP Hutape dimintai konfirmasi.(DAB)