Baghdad –
Menteri Pertahanan Amerika Serikat, James Mattis, menegaskan bahwa AS tidak akan menyita minyak Irak, sekaligus ‘memberikan klarifikasi’ atas pernyataan Presiden Donald Trump.
Jenderal Mattis mengatakan bahwa AS tetap akan membayar minyak yang didapat dari Irak dan kebijakan ini akan tetap dipertahankan. “Kami berada di Irak tidak untuk menyita minyak,” kata Mattis kepada para wartawan yang menyertai kunjungan mendadak ke Irak, hari Senin (20/02).
Bagi Mattis ini adalah kunjungan pertamanya ke Irak sejak diangkat menjadi menteri pertahanan oleh Presiden Trump.
Presiden Trump dalam beberapa kali kesempatan mengatakan AS mestinya menyita minyak Irak setelah menggulingkan Presiden Saddam Hussein dari kekuasaan.
Dalam pertemuan dengan staf badan intelijen CIA bulan Januari, Trump mengatakan, “Kita mestinya menyita minyak (Irak). Tak masalah (sekarang). Tapi mungkin kita punya kesempatan di masa mendatang.”
Pernyataan Menhan Mattis ini, dipandang sejumlah pihak sebagai contoh terbaru perbedaan kebijakan antara menteri dan presiden AS.
Sebelumnya, Trump mengakui bahwa Mattis tak setuju dengan pemakaian metode penyiksaan sebagai taktik dalam interogasi. Belakangan Trump mengatakan untuk masalah ini, Menhan Mattis yang akan menjatuhkan keputusan, yang dianggap sebagai perubahan sikap presiden atas masukan atau pengaruh menteri pertahanan.
Berbeda soal Putin
Soal pemimpin Rusia, Vladimir Putin, Mattis juga lebih kritis dibandingkan Trump sendiri. Sementara terkait media, Mattis menegaskan tak ada masalah, di sisi lain Presiden Trump menggambarkan media ‘sebagai musuh rakyat Amerika’.
Mattis adalah purnawirawan marinir yang pernah memimpin pasukan saat AS melakukan invasi militer di Irak.
Ia berusaha mengajukan pengecualian bagi warga Irak yang pernah bekerja untuk militer AS, termasuk penerjemah, bisa masuk ke AS dan tak terkena kebijakan pembatasan imigrasi Presiden Trump.
“Kami akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar mereka yang bertempur bersama kami diizinkan masuk ke AS,” kata Mattis.
Presiden Trump mengeluarkan perintah eksekutif, yang antara lain melarang masuknya warga dari tujuh negara berpenduduk mayoritas Muslim, termasuk Irak. Kebijakan ini dikecam masyarakat internasional.
Hakim di AS sudah mengeluarkan keputusan yang intinya menyebutkan bahwa ‘kebijakan yang diskriminatif ini’ tak bisa diterapkan.
Presiden Trump berjanji akan mengeluarkan kebijakan imigrasi yang baru.(RIF)