SERANG, BANTEN
Supremasi hukum yang kerap digembor-gemborkan oleh elit politik dan para pakar hukum disambut baik masyarakat di negeri ini. Namun, dalam perjalanannya dan realitanya supremasi hukum tersebut tak jarang hanya sebatas pembahasan dan bahan diskusi semata.
Harus diakui, hasil Reformasi Total tahun 1998, Indonesia menjadi negara yang baik dalam menjalankan konstitusi. Bahkan perimbangan keuanganpun diatur sedemikian rupa untuk menjaga keseimbangan pembangunan, termasuk keseimbangan politik antara daerah dengan pusat serta antar instansi. Pemerintah mengucurkan dana untuk membangun gedung-gedung pemerintah untuk tempat para pejabat dan staf Pegawai Negeri Sipil (PNS) bekerja untuk melayani kepentingan rakyat. Termasuk Gedung Kantor Pengadilan Negeri (PN) Serang, Banten dibangun dan diberi fasilitas yang memadai untuk tempat Hakim, Panitera, Jaksa Penuntut Umum (JPU) serta masyarakat yang berkepentingan, Penasehat Hukum (PH) dalam menjalankan tugas sesuai profesi masing-masing, termasuk para terdakwa.
Gedung PN Serang dibangun untuk tempat peradilan yang adil berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Gedung tersebut dibangun bukan untuk tempat transaksi hukum dengan cara melawan hukum. Hal tersebut diungkapkan Melky Prawiro, Sekjen Lembaga Pemberantas Korupsi dan Penyelamat Indonesia (LPKPI) di kantornya di Komplek Zeni Jl. Zeni AD V No. 22 Kalibata, Jakarta Selatan baru baru ini.
Menurut Melky Prawiro, khusus untuk Kantor Pengadilan Negeri Serang,harus disiapkan alat pengintai untuk menjaga agar gedung itu tidak digunakan oleh oknum jaksa ber-transaksi hukuman. Karena belum lama ini, diduga kuat gedung PN Serang dimanfaatkan oleh oknum jaksa mengembalikan uang kepada keluarga terdakwa sebesar Rp 15 juta.
Pengembalian uang tersebut berawal sekitar akhir tahun 2015, di mana seorang terdakwa yang diduga melakukan kesalahan yaitu menggunakan narkoba jenis shabu. Usai pembacaan dakwaan, oknum JPU menghampiri keluarga terdakwa, lalu menawarkan jasa akan menuntut ringan dan akan mengatur hakim majelis agar terdakwa dijatuhkan vonis di bawah 1 tahun penjara. Karena tidak paham maksud dan tujuan oknum JPU itu, keluarga terdakwa hanya mengucapkan terimakasih. Minggu berikutnya masih dalam proses pemeriksaan, sebelum persidangan dimulai, oknum JPU tersebut memanggil keluarga terdakwa untuk melanjutkan tawarannya, tapi suasana sudah berubah. Yang pertama menawarkan jasa dan kedua mengancam akan menutut terdakwa di atas 10 tahun. Mendengar ancaman itu, keluarga terdakwa memohon-mohon agar terdakwa dituntut seringan-ringannya. Lalu oknum JPU meminta sejumlah uang sekitar Rp 150 juta. Keluarga terdakwa spontan tersentak mendengar nilai tersebut, dan menyanggupi hanya Rp. 100 juta dengan uang muka sebesar Rp. 50 juta.
Pada tanggal 11 Januari 2016 lalu, keluarga terdakwa menemui oknum JPU di Gedung Kantor PN Serang guna meminta uang senilai Rp.50 juta sebagai uang muka hukuman ringan pengguna narkoba, namun yang dikembalikan hanya sebesar Rp.15 juta dari Rp.50 juta uang muka vonis ringan.
Selain menyoroti tindakan tindakan tidak terpuji oknum JPU itu, Melky Prawiro juga meminta kepada Kepala Kejaksaan Agung RI untuk melakukan kerjasama dengan Mabes Polri membentuk tim khusus secara rahasia melakukan tes urine kepada seluruh JPU yang ada di Provinsi Banten. “Kita sangat khawatir terhadap prilaku oknum jaksa yang melanggar kode etik profesi jaksa. Tidak tertutup kemungkinan belanja rutin pribadi oknum pengguna narkoba sangat besar, lalu dari mana mendapatkan uang untuk mengimbangi pengeluaran rutin pribadi yang sangat besar itu? Yah jelaslah dengan jabatan yang melekat padanyalah dimanfaatkan. Sekali lagi kami minta kepada Kepala Kejaksaan Agung RI agar melakukan test urine rutin per dua hari kepada setiap jaksa di seluruh Indonesia, khususnya di wilayah Provinsi Banten guna menjamin keselamatan pelaksanaan penegakan hukum berjalan sesuai harapan kita bersama,” kata Sekjen LPKPI itu.
Melky Prawiro sangat marah saat mendengar dugaan kuat bahwa gedung Kantor PN Serang dimanfaatkan oknum JPU sebagai tempat transaksi hukuman denga keluarga terdakwa. “Gedung Kantor Pengadilan Negeri Serang itu kan tempat yang Mulia Hakim untk memeriksa perkara, dan menjatuhkan vonis kepada terdakwa, dan bukan untuk tempat transaksi jual beli hukum. Apakah di gedung milik pemerintah itu tidak dilengkapi dengan CCTV, dan tidak ada petugas keamanan. Kenapa oknum JPU bisa transaksi hukuman disana ? Apakah para hakim tidak ikut menjaga perlakuan yang tidak terpuji itu? Permasalahan ini harus menjadi perhatian serius bagi kita semua,” tegas sarjana hukum lulusan UNTAR Jakarta itu seraya mengutuk onum-oknum jaksa yang melakukan transaksi hukuman dengan keluarga terdakwa. ( )