Hong Kong –
Ratusan orang kembali turun ke jalanan Hong Kong pada Jumat (21/6) pagi waktu setempat. Para demonstran kembali menuntut pengunduran diri pemimpin Hong Kong, Carrie Lam, yang pro-China terkait rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi yang memicu krisis politik terbesar di negara tersebut.
Seperti dilansir Reuters dan AFP, Jumat (21/6/2019), demonstran yang kebanyakan siswa sekolah dan mahasiswa yang berpakaian serba hitam ini, berkumpul secara damai di luar gedung parlemen atau Gedung Dewan Legislatif Hong Kong pada Jumat (21/6) pagi waktu setempat.
Dalam aksi terbaru, demonstran meluapkan kemarahan dan frustrasi pada Lam, yang mengajukan lalu menunda pembahasan RUU ekstradisi usai unjuk rasa besar-besaran. Tuntutan resmi demonstran adalah pencabutan sepenuhnya RUU ekstradisi dan Lam mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Chief Executive Hong Kong.
RUU kontroversial itu nantinya akan mengizinkan setiap tersangka kriminal untuk diekstradisi ke China daratan untuk menghadapi persidangan di pengadilan yang dikendalikan Partai Komunis China tersebut.
“Kami ingin berjuang untuk kebebasan kami,” ucap salah satu demonstran bernama Chan Pak-lam (17) yang masih duduk di bangku sekolah menengah. Ratusan demonstran berkumpul di tengah suhu udara 30 derajat Celsius di luar Gedung Dewan Legislatif Hong Kong, yang libur sementara demi mengantisipasi unjuk rasa.
“Kami ingin RUU itu dicabut, tidak hanya ditunda. Saya akan tetap ada di sini hingga malam ini, pukul 22.00 mungkin. Jika pemerintah tidak merespons, kami akan datang lagi,” tegas Chan.
Sebagai tuntutan tambahan, para demonstran juga meminta agar rekan-rekan mereka yang ditangkap dalam bentrokan sebelumnya untuk dibebaskan. Demonstran juga menyerukan dilakukannya penyelidikan terhadap dugaan kebrutalan polisi Hong Kong terhadap demonstran dalam unjuk rasa sebelum-sebelumnya.
“Pemerintah masih belum merespons tuntutan kami. Setelah berhari-hari… mereka hanya bicara soal sampah dan saling melemparkan kesalahan,” sebut demonstran lainnya yang bernama Poyee Chan (28) kepada AFP.
“Jadi saya merasa kita perlu untuk keluar dan memberitahu mereka (pemerintah-red): kami warganya tidak menerima respons palsu seperti itu,” imbuhnya.
Sejak dikembalikan ke China tahun 1997, Hong Kong menganut otonomi ‘satu negara, dua sistem’ yang menjamin kebebasan bagi warganya — hal yang tidak dirasakan warga China daratan. Kebanyakan warga Hong Kong khawatir RUU ekstradisi akan memperkuat pengaruh China atas wilayah mereka dan mengikis kebebasan sipil.
Akhir pekan lalu, Lam menunda pembahasan RUU ekstradisi hingga waktu yang tidak ditentukan. Namun kekhawatiran masih muncul karena RUU ini tidak dicabut sepenuhnya. Unjuk rasa pun terus digelar, yang pekan lalu memicu bentrokan sengit dengan polisi terpaksa menembakkan peluru karet dan gas air mata.
Lam telah meminta maaf terhadap seluruh warga Hong Kong atas krisis politik yang terjadi di wilayah tersebut. Namun dia mengabaikan seruan agar dirinya mundur. Awal pekan ini, seorang pejabat senior Hong Kong yang dekat dengan Lam menyebut pemerintah China tidak akan membiarkan Lam mengundurkan diri jika memang dia berniat mundur di tengah desakan publik.(ADI)