JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan percepatan putusan dalam vonis permohonan uji materil UU terhadap UUD 1945. Bahkan vonis perkara Nomor 30/PUU-XV/2017 hanya memakan waktu 2 bulan.
Sebagaimana dikutip dari website MK, Kamis (27/7/2017), perkara itu diajukan oleh warga Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Zain Amru Ritonga. Ia mengajukan materi Pasal 193 ayat 2 huruf a KUHAP terhadap UUD 1945.
Perkara itu didaftarkan ke MK pada 23 Mei 2017 dan diregister di kepaniteraan MK tertanggal 7 Juni 2017. Setelah itu, MK langsung menggeber sidang pertama dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perkara yang dilakukan pada 3 Juli 2017.
Setelah itu, MK langsung memeriksa perkara itu dan menggelar rapat permusyawaratan hakim. Hasilnya, MK menjatuhkan vonis tidak menerima perkara tersebut pada Rabu (26/7) kemarin.
“Memutus permohonan tidak tidak dapat diterima dan pemohon tidak memiliki legal standing,” kata Ketua MK Arief Hidayat.
MK menyatakan Zain Amru sesungguhnya tidak mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya norma pasal yang dimohonkan pengujian. Selain itu, perihal tidak adanya kerugian hak konstitusional Pemohon juga tampak jelas dari penalaran bahwa jika pun dianggap terdapat kerugian hak konstitusional Pemohon, quod non, sehingga pasal yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon dikabulkan, tidak ada pengaruhnya sama sekali terhadap hak konstitusional Pemohon.
“Bahkan yang akan terjadi justru ketidakpastian hukum terutama terhadap seseorang yang telah dijatuhi pidana yang tidak mempunyai itikad baik. Sebab yang bersangkutan dapat menggunakan kesempatan itu untuk menghindari pelaksanaan putusan, merusak atau menghilangkan barang bukti, melarikan diri, atau bahkan mengulangi perbuatannya,” ucap Arief dalam pertimbangannya.
Sebagaimana diketahui, kritikan terhadap MK beberapa waktu terakhir yaitu soal cepat lambatnya sebuah perkara diputus. Usai terpilih kembali menjadi Ketua MK awal bulan ini, Arief menyatakan optimis dapat melakukan percepatan vonis di MK, baik yang masuk sejak awal tahun 2017 maupun tunggakan di tahun 2016.
“Sudah 76 perkara dari awal 2017 dan baru 15 yang sudah bisa kita selesaikan. Kalau tahun lalu masih tersisa 20, tapi mungkin nanti bisa kita selesaikan hingga bulan Agustus-September, sehingga tidak punya tunggakan perkara lagi,” kata Arief.
Ia juga menyebut hakim konstitusi Saldi Isra sebagai tenaga muda untuk segera menyelesaikan perkara. Sehari-hari, Saldi merupakan guru besar Universitas Andalas, Padang.
“Karena Pak Saldi hakim konstitusi yang terakhir diangkat, jadi dia yang paling bersemangat untuk menyelesaikan perkara. Bahkan, kalau kita hitung waktu penyelesaian di tahun 2016, setiap pengujian UU itu 7 bulan, sekarang di 2017 ini kira-kira jadi 5 bulan. Jadi kita sudah maju dengan adanya tenaga muda di hakim konstitusi,” tutur Arief yang juga guru besar Universitas Diponegoro (Undip) Semarang itu.
Saat ini, 9 hakim konstitusi mayoritas diduduki para begawan hukum dari berbagai kampus di Indonesia. Mereka adalah:
1. Prof Dr Arief Hidayat yang juga guru besar Universitas Diponegoro, Semarang.
2. Prof Dr Saldi Isra yang juga guru besar Universitas Andalas, Padang.
3. Prof Dr Aswanto, yang juga guru besar Universitas Hasanuddin, Makassar.
4. Prof Dr Maria Farida Indarti, yang juga guru besar Universitas Indonesia, Depok.
5. Prof Dr I Dewa Gede Palguna, yang juga guru besar Universitas Udayana, Denpasar.
Sedangkan 4 lainnya yaitu 3 hakim karier Mahkamah Agung dan Waiduddin Adams adalah mantan PNS di Kemenkum HAM yang pernah menjadi Dirjen Peraturan Perundangan. (DON)