Oleh ; A.Marulitua Siahaan
Hak rakyat jelata di pedesaan dirampas meski awam dalam kekuasaan tidak pernah mengeluh lantaran tidak mengenyam pendidikan, tetapi serasa ikut merasa senang dan bangga mendengar berita, ketika UUD 1945 disahkan sebagai konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 18 Augustus 1945 usai 1 hari ditetapkan Indonesia Merdeka dari penjajahan Hindia belanda.
Maka, Undang-Undang Dasar 1945 tersebut menjadi dasar negara Republik Indonesia dan ditetapkan sebagai hukum tertinggi, yang memuat Pancasila dalam pembukaan sebagai pandangan hidup bangsa dan menjadi sumber dari segala sumber hukum Indonesia, juga menjadi sumber pokok-pokok haluan negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Dalam pembukaan juga dinyatakan, bahwa pergerakan kemerdekaan Indonesia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, adalah untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Frasa tersebut dimaknai sebagai konsep dasar negara yang akan memajukan dan mensejahterakan rakyatnya, yang kemudian dijabarkan dalam prinsip-prinsip yang termuat dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 itu.
Diantara prinsip tersebut salah satu yang sangat penting yang menjadi dasar, adalah bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, dengan peran negara yang amat mendasar melalui penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Penguasaan negara yang lebih mendasar lagi adalah prinsip bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Ternyata, masih terjadi persoalan terbesar yang dihadapi tentang hak ulayat ini adalah, apa yang sekarang dihadapi secara nasional, diantaranya menyangkut kontestasi otoritas penyelenggara pemerintahan pusat dan daerah dengan otoritas Masyarakat Hukum Adat, yang sesungguhnya tergambar dalam hak menguasai negara yang disebut dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Norma konstitusi tersebut menjadi prinsip dasar hukum agraria dalam UUPA, sebagaimana bunyi pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 1 UUPA “bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.
Sebagaimana nanti terlihat bahwa secara eksplisit hak ulayat kemudian diakui dan dilindungi dalam UUD 1945 perubahan, pasal 18 B maka hak ulayat juga pada dasarnya adalah merupakan hak menguasai atas tanah yang dimiliki oleh Masyarakat Hukum Adat.
Timbul pertanyaan, apakah setelah pernyataan kemerdekaan yang membentuk negara Kesatuan Republik Indonesia, hak menguasai atas sumber daya alam (SDA) tersebut terbagi antara negara sebagai otoritas pada tingkatan tertinggi dari organisasi kekuasaan seluruh rakyat dengan Masyarakat Hukum Adat yang memiliki hak ulayat tersebut, ? atau dikonstruksikan hanya sebagai delegasi dari negara kepada Masyarakat Hukum Adat ?
Masalah lain yang timbul karena di satu pihak ada keinginan untuk mengesampingkan saja hak Masyarakat Hukum Adat dengan hak-hak tradisionalnya yang diakui oleh UUD 1945, tetapi tidak mampu diberi perlindungan yang efektif karena perkembangan kehidupan sosial, ekonomi, politik dan perpindahan penduduk secara besar-besaran dengan urbanisasi, telah mengubah secara mendasar struktur masyarakat adat, nilai-nilai yang dianut dan menguatnya konsep pemilikan individual.
Hal tersebut juga menyebabkan terjadinya perubahan kesadaran hukum masyarakat adat tersebut tentang hak milik dan sifat hukum waris atas tanah adat.
Aspek lain di bidang ekonomi dengan perkembangan usaha yang memanfaatkan tanah dalam skala besar telah menyebabkan banyak pihak yang melihat sumber daya alam yang ingin dieksploitasi seiring dengan penetrasi modal besar domestik maupun asing, justru menjadi kepentingan yang lebih utama dibanding dengan masyarakat lokal (hukum adat).
Sikap yang tampaknya melihat, bahwa hak-hak tradisional Masyarakat Hukum Adat sesungguhnya kabur dan tidak memiliki kepastian hukum, bahkan dalam kenyataan sesungguhnya telah semakin lemah dengan perkembangan sosial, ekonomi dan politik secara cepat, justru dianggap menjadi hambatan dalam pengembangan dan pemanfaatan sumber daya ekonomi dan potensi daerah, antara lain hutan dan tanah yang luas, yang justru menjadi ruang untuk hidup bagi Masyarakat Hukum Adat yang mengelolanya secara tradisional.***