Oleh: Saiful Huda Ems.
JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM
Tidak penting Prabowo dan Jokowi akur atau tidak. Fokus kami hanya melawan penguasa yang melanggar Konstitusi dan “mengencingi” hasil perjuangan para pendiri bangsa, serta anak-anak bangsa yang berjuang mati-matian sampai terwujudnya Reformasi ’98.
Mau akur atau tidak antara Jokowi dan Prabowo itu soal mereka berdua, bukan soal kami sebagai rakyat yang terus berjuang untuk meloloskan diri dari kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan serta penindasan.
Penindasan seorang presiden bernama Jokowi, yang memeras kami (rakyat) dengan berbagai dalih kewajiban membayar pajak. Yang menipu kami dengan berbagai statement politiknya yang selalu bertolak belakang dengan kenyataan. Yang meludahi hasil perjuangan kami dengan berusaha menggiring kembali POLRI dan TNI ke ranah politik praktis melalui RUU TNI dan POLRI.
Benar atau tidaknya akun Fufufafa itu miliknya Gibran ataukah tidak, bagi kami juga sangat tidak penting, karena tanpa akun Fufufafa kami juga sudah melihat prilaku politik Gibran yang sangat manipulatif.
Hanya orang yang bodoh atau pura-pura bodohlah yang tidak mau mengakui ini semua, sebab Keputusan MK No.90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran untuk menjadi Cawapres 2024 merupakan bukti yang sangat terang benderang, hingga Sang Paman dicopot dari kedudukannya sebagai Ketua MK.
Persoalan ekonomi, politik, hukum dan sosial di Indonesia bukanlah persoalan yang remeh temeh. Ini persoalan yang sangat besar dan memerlukan perhatian serius dari semua kalangan. Celakanya, Jokowi sebagai presiden malah menjadi trigger dari semua persoalan kebangsaan dan kenegaraan ini.
Lingkungan hidup yang rusak oleh ulah para penambang rakus yang disupport oleh Pemerintahan Jokowi, benturan antar warga bangsa dan pemeluk agama yang tiada henti, eksploitasi alam yang hanya membuat kenyang dan kaya para lintah darat oligarki yang menghisap perekonomian rakyat dan lain sebagainya, merupakan bukti nyata betapa Jokowi tak lain dan tak bukan hanyalah sumber masalah kebangsaan dan kenegaraan kita.
Melalui teleponnya ke saya Jumat siang, Mas Ganjar Pranowo mengingatkan ke saya, bahwa kita tidak boleh lupa akan kejam dan parahnya kepemimpinan ORBA Soeharto, hingga Mas Ganjar seolah ingin menolak hipotesa saya yang menyatakan Jokowi lebih parah dari Soeharto.
Saya sebetulnya ingin mengatakan hal yang sama dengan apa yang dikatakan Mas Ganjar Pranowo pada saya tersebut, namun saya tiba-tiba tersadarkan, bahwa jika Soeharto dahulu memulai kepemimpinannya disaat Indonesia belum lama merdeka, disaat bangsa ini masih tengah belajar bagaimana menata negara ini dengan baik, sehingga ketika Soeharto menguasai negara melalui jalannya, yakni Kudeta Merangkak, Soeharto yang diktator itu memimpin dengan Tangan Besi untuk mewujudkan visinya sebagai Presiden.
Soeharto ketika itu hanya mewarisi visi nasionalisme kerakyatannya Presiden Soekarno dan para tokoh pendiri bangsa lainnya, namun Soeharto tidak pernah mendapatkan modal lainnya apapun lagi, selain modal kemerdekaan bangsa dan negara itu sendiri.
Soeharto tidak pernah mengerti bagaimana konsep negara demokrasi itu diwujudkan, hingga Soeharto tidak pernah tau bagaimana misalnya Pemilihan Presiden itu sebaiknya dilakukan, bagaimana DPR/MPR sebaiknya difungsikan.
Soeharto ketika itu juga belum tau bagaimana otonomi daerah itu sebaiknya dilaksanakan, bagaimana ABRI (TNI dan POLRI) itu sebaiknya diperankan, bagaimana Lembaga Yudisial itu dijalankan dengan benar, dan bagaimana Partai-Partai Politik itu melakukan tugas dan fungsinya dengan baik.
Pendek kata, karena Indonesia saat itu masih minim pengalaman manajemen kenegaraan, Soeharto ketika itupun hanya dapat memimpin dengan modal pengetahuannya yang minim dan menjaga semua kebijakan pemerintahannya hanya dengan modal bedil (senjata), maka hasilnya Rakyat hanya digiring Soeharto seperti bebek dan harus menerima kenyataan hidup apa adanya.
Ini berbeda jauh dengan Presiden Jokowi, yang memulai jabatannya sebagai presiden dengan banyak modal yang dihasilkan dari banyak pencapaian yang dilakukan oleh generasi-generasi pejuang dari tahun 1945 hingga 1998 dan sesudahnya.
Konstitusi sudah diperbaharui, berbagai produk perundang-undangan sebagai hasil reformasi politik, hukum dan ekonomi juga sudah diterbitkan, Presiden Jokowi sebenarnya tinggal melaksanakan semua konsepsi kenegaraan yang sudah ada dan sudah teruji, namun nyatanya Presiden Jokowi malah menutup mata dan telinganya, hingga Presiden Jokowi dengan angkuhnya gemar menabrak Konstitusi dan tidak pernah mau mendengar suara kebatinan rakyatnya.
Jokowi sepertinya tuli dari rintihan rakyat yang terhimpit persoalan mahalnya biaya pendidikan, terhimpit persoalan mahal dan langkanya pupuk oleh kaum petani, persoalan rendahnya daya beli masyarakat yang terjadi pada kaum pedagang dan nelayan serta rendahnya upah para buruh di segala sektor !.
Jokowi seperti masa bodoh dengan banyaknya korban penipuan online, pinjaman online, perjudian online, pembunuhan, pemerkosaan, bunuh diri karena terhimpit masalah ekonomi dan lain sebagainya yang korbannya mayoritas rakyat kecil !.
Kalau sudah seperti ini, apa peduli kami soal rukun tidaknya Jokowi dengan Prabowo?! Apa pedulinya kami dengan gemetar tidaknya Gibran dengan kepemilikan akun Fufufafa atau tidaknya?! Masa bodoh, karena kami rakyat hanya ingin Indonesia maju dan rakyatnya sejahtera, serta terbebas dari penjarahan kekayaan alam yang penjarahnya dilindungi penguasanya !…(SHE).
15 September 2024.
Saiful Huda Ems (SHE). Lawyer dan Pemerhati Politik.