BERLIN –
Sebuah paket berisi bahan peledak telah ditemukan di kantor Menteri Keuangan Jerman. Paket tersebut ternyata dikirimkan dari Yunani.
Kepolisian Jerman menemukan paket tersebut di gedung kantor Menteri Keuangan Wolfgang Schaeuble di Berlin pada Rabu (15/3) waktu setempat, sehari sebelum dia akan menggelar pertemuan dengan Menteri Keuangan Amerika Serikat Steven Mnuchin.
“Paket tersebut berisi campuran bahan peledak,” demikian pernyataan kepolisian Berlin seperti dilansir kantor berita AFP, Kamis (16/3/2017). Diimbuhkan bahwa bahan tersebut kerap digunakan untuk memproduksi kembang api.
“Itu dirancang untuk menyebabkan luka-luka parah ketika paket dibuka,” imbuh kepolisian.
Tak ada yang terluka dalam insiden ini. Paket tersebut diamankan saat berada di ruang surat-surat kantor.
Kementerian Dalam Negeri Yunani mengatakan, otoritas kedua negara sedang bekerja sama untuk menyelidi kasus ini. Sumber kepolisian Yunani mengatakan, ada perangko Yunani pada paket tersebut. Nama “pengirim” paket tersebut adalah nama seorang anggota penting partai oposisi New Democracy, lengkap dengan alamat sebenarnya.
Otoritas Yunani saat ini tengah menyelidiki bagaimana paket berisi bahan peledak tersebut bisa keluar dari negeri itu. (RIF)
ANKARA –
Ketegangan diplomatik Turki-Belanda terus memanas setelah menteri-menteri Turki dilarang ikut aksi mendukung Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di negara tersebut. Erdogan menyebut Belanda berperilaku seperti fasis, sedangkan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte enggan meminta maaf pada Turki.
Seperti dilansir AFP, Senin (13/3/2017), ketegangan diplomatik ini berawal saat Belanda mengusir Menteri Urusan Keluarga Turki, Fatma Betul Sayan Kaya, yang hendak berpidato dalam acara pro-Erdogan di Rotterdam, Belanda, pekan lalu.
Tidak hanya itu, pesawat yang ditumpangi Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu, juga dilarang mendarat di Den Haag menjelang acara pro-Edogan di wilayah tersebut. Acara pro-Edogan yang dimaksud adalah semacam kampanye untuk referendum 16 April mendatang. Dalam referendum itu, warga Turki akan memvoting untuk amandemen konstitusi yang lebih memperkuat kekuasaan Presiden Turki.
“Hei Belanda! Jika Anda mengorbankan hubungan Turki-Belanda demi pemilu pada Rabu (15/3), Anda akan membayar harganya,” ucap Erdogan dengan nada marah dalam sebuah upacara di Istanbul. Dia merujuk pada pemilu 15 Maret yang akan digelar Belanda.
“Mereka akan belajar apa itu diplomasi yang sebenarnya,” imbuhnya, sembari menyatakan ‘pengusiran’ menteri Turki di Belanda tidak bisa dibiarkan begitu saja. Lebih lanjut, Erdogan menyebut sikap Belanda terhadap menteri-menteri Turki itu mirip dengan ‘Nazi dan fasisme’.
Menanggapi seruan dan kemarahan Erdogan itu, PM Belanda Rutte enggan meminta maaf, meskipun dia ingin agar ketegangan diplomatik kedua negara segera mereda. “Tentu tidak perlu ada permintaan maaf, mereka yang seharusnya meminta maaf atas apa yang mereka lakukan kemarin,” ucapnya.
“Negara ini, seperti yang ditekankan Wali Kota Rotterdam kemarin, dibom selama Perang Dunia II oleh Nazi. Sungguh tidak bisa diterima untuk berbicara seperti itu,” tegas Rutte mengomentari pernyataan Erdogan.
Terdapat sedikitnya 400 ribu warga asal Turki di Belanda saat ini. Otoritas Turki bersikeras untuk berkampanye di depan warganya yang ada di kawasan Eropa menjelang referendum mendatang.
Unjuk rasa digelar oleh warga Turki di Rotterdam pada Minggu (12/3) pagi, usai insiden pengusiran menteri ini. Dalam unjuk rasa itu, kepolisian setempat menggunakan meriam air, anjing pelacak dan polisi penunggang kuda untuk membubarkan massa. Media-media lokal Belanda melaporkan, sedikitnya 12 orang ditangkap dan satu polisi mengalami luka-luka dalam insiden itu. (RIF)
RAMALLAH –
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengundang Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk segera berkunjung ke Gedung Putih. Undangan ini dimaksudkan untuk membahas isu Palestina-Israel.
Dilaporkan kantor berita resmi Palestina, Wafa, seperti dilansir AFP, Sabtu (11/3/2017), bahwa Trump dan Abbas telah berbicara via telepon untuk pertama kalinya sejak Trump dilantik pada 20 Januari lalu. Dalam percakapan telepon itu, Trump mengundang Abbas ke Gedung Putih.
“Diundang untuk berkunjung ke Gedung Putih, segera, untuk membahas cara-cara memulihkan kembali proses politik (Palestina-Israel),” demikian dituturkan juru bicara Abbas, Nabil Abu Rudeina, seperti dikutip kantor berita Wafa.
Lebih lanjut, sebut Rudeina, Trump menekankan komitmennya pada proses perdamaian Timur Tengah. “Komitmennya pada proses perdamaian yang akan membawa pada perdamaian sesungguhnya antara Palestina dan Israel,” tuturnya.
Dalam percakapan telepon itu, Abbas mengatakan kepada Trump bahwa perdamaian merupakan ‘pilihan strategis’ untuk rakyat Palestina. “Mengarah pada pembentukan negara Palestina yang berdampingan dengan Israel,” terang Rudeina seperti dikutip Wafa.
Perundingan damai antara Palestina dan Israel mencapai kebuntuan sejak April 2014 lalu, setelah perundingan tidak langsung yang dimediasi oleh Menteri Luar Negeri Amerika John Kerry, pada era Presiden Barack Obama, kolaps.
Setempat Trump menjabat Presiden AS, otoritas Palestina semakin menyadari kurangnya akses pada tokoh senior di Gedung Putih. Terlebih Trump secara terang-terangan berjanji akan menjadikan pemerintahannya yang paling pro-Israel dalam sejarah AS.
Pekan ini, Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley untuk pertama kalinya bertemu dan berbicara dengan utusan Palestina untuk PBB, Riyad Mansour. Usai pembicaraan digelar, Haley menyatakan Palestina harus bertemu dengan Israel dalam perundingan langsung daripada hanya mengandalkan mediasi PBB.
Sejak lama, Israel memang mendukung dilakukannya perundingan langsung dengan Palestina. Namun Palestina bersikeras pihaknya membutuhkan komunitas internasional untuk memastikan Israel mematuhi janjinya.
Trump sendiri telah menerima kunjungan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih pada pertengahan Februari lalu. Dalam pertemuan itu, Trump mendobrak kebijakan AS selama beberapa dekade terakhir dengan menyatakan dirinya tidak terikat pada solusi dua negara untuk mengakhiri konflik Palestina-Israel. (RIF)
Seoul –
Mahkamah Konstitusional Korea Selatan (Korsel) menyatakan Presiden Park Geun-Hye telah melanggar Konstitusi dan hukum. Presiden Park disebut sengaja membiarkan teman dekatnya, Choi Soon-Sil, mencampuri urusan negara.
Dalam sidang pembacaan putusan yang digelar Jumat (10/3) pagi waktu setempat, seperti dilansir AFP, Jumat (10/3/2017), Mahkamah Konstitusi Korsel memutuskan untuk memperkuat pemakzulan Presiden Park, yang telah divoting di parlemen pada 9 Desember 2016 lalu.
Dilaporkan kantor berita resmi Korut, Yonhap, delapan hakim konstitusi secara bulat memutuskan mendukung pemakzulan Presiden Park. Meskipun di bawah undang-undang Korsel, hanya dibutuhkan enam suara atau setidaknya dua pertiga suara dari total hakim untuk memutuskan hal tersebut. Saat ini, ada 8 hakim konstitusional yang aktif menjabat di Korsel.
Dalam putusannya, ketua hakim konstitusi Korsel, Lee Jung-Mi menyatakan Presiden Park telah melanggar hukum dengan membiarkan teman dekatnya, Choi Soon-Sil mencampuri urusan negara. Presiden Park juga melanggar aturan hukum soal aktivitas pegawai pemerintahan.
“Presiden seharusnya menggunakan kekuasaannya sesuai Konstitusi dan hukum, dan harus menunjukkan rincian hasil kinerjanya secara transparan, agar rakyat bisa mengevaluasi kinerjanya,” ucap hakim Lee.
“Tapi Park sepenuhnya menutupi campur tangan Choi dalam urusan negara dan menyangkalnya setiap kali kecurigaan atas praktik itu muncul dan bahkan mengkritik mereka-mereka yang mengangkat kecurigaan ini,” imbuhnya.
Dari lima tudingan utama yang menjadi dasar pemakzulan Presiden Park, dilaporkan Yonhap, tidak semuanya diakui oleh Mahkamah Konstitusional. Salah satu yang diakui adalah tindakan Park membiarkan teman dekatnya, Choi Soon-Sil, mencampuri urusan negara dan memberinya akses pada rahasia negara. Tindakan itu disebut melanggar Konstitusi dan hukum oleh Mahkamah.
“Kami mencopot Park Geun-Hye dari jabatannya,” tegas hakim Lee, seperti dilansir Reuters.
“Tindakannya telah mengkhianati kepercayaan rakyat. Tindakannya itu merupakan pelanggaran hukum yang sangat parah yang tidak bisa ditoleransi,” tandas hakim Lee. (RIF)
Pyongyang –
Otoritas Korea Utara (Korut) balas mengusir Duta Besar (Dubes) Malaysia setelah Dubesnya, Kang Chol, diusir dari Negeri Jiran itu. Pengusiran kedua Dubes ini dipicu ketegangan diplomatik Malaysia-Korut selama penyelidikan kasus pembunuhan Kim Jong-Nam, kakak tiri pemimpin Korut Kim Jong-Un.
“Kementerian Luar Negeri DPRK (Korut) memberitahukan bahwa Duta Besar Malaysia untuk DPRK dinyatakan sebagai persona non grata sesuai pasal terkait dalam Konvensi Wina untuk Hubungan Diplomatik,” tegas otoritas Korut melalui kantor berita resminya, Korean Central News Agency (KCNA), seperti dilansir AFP, Selasa (7/3/2017).
“Dan meminta agar Duta Besar itu meninggalkan DPRK dalam waktu 48 jam dari tanggal 5 Maret 2017, pukul 10.00 waktu setempat,” imbuh keterangan itu.
Laporan KCNA ini muncul sesaat setelah Dubes Korut untuk Malaysia, Kang Chol, terbang pulang ke Pyongyang via Beijing, China pada Senin (6/3) petang waktu setempat. Dubes Kang diusir karena tidak muncul saat dipanggil Kementerian Luar Negeri Malaysia dan tidak kunjung meminta maaf atas tudingan kasarnya terhadap Malaysia, terkait penyelidikan kasus Jong-Nam.
Sedangkan soal Dubes Malaysia Mohamad Nizan Mohamad, meskipun diusir Korut, faktanya saat ini dia sudah tidak berada di Pyongyang. Dubes Mohamad telah dipanggil pulang ke Kuala Lumpur sejak 22 Februari lalu. Dia dipanggil untuk keperluan konsultasi terkait kasus Jong-Nam yang saat itu telah mulai memicu ketegangan antara Malaysia dan Korut.
Secara terpisah, Kementerian Luar Negeri Malaysia mengkonfirmasi bahwa Duta Besarnya di Pyongyang telah secara resmi dinyatakan persona non grata. “Aksi balasan semacam ini tergolong wajar dalam diplomasi,” terang Direktur Jenderal Kementerian Luar Negeri Malaysia, Raja Nurshirwan.
Jong-Nam (46) tewas usai diserang racun VX di tengah keramaian Bandara Internasional Kuala Lumpur (KLIA) pada 13 Februari lalu. Dua terdakwa wanita, yakni Siti Aisyah (25) dan Doan Thi Huong (28), telah dijerat dakwaan pembunuhan dengan ancaman hukuman mati. Sekitar delapan warga Korut lainnya masih diburu kepolisian Malaysia, dengan empat orang di antaranya diketahui telah kabur dan kini kembali ke Pyongyang.
Korut selama ini enggan mengakui warganya yang tewas di Malaysia sebagai Jong-Nam. Mereka menyebutnya sebagai Kim Chol yang memegang paspor diplomatik dan bersikeras bahwa dia tewas akibat serangan jantung.(RIF)
Tokyo –
Tiga dari empat rudal balistik yang diluncurkan militer Korea Utara (Korut) jatuh di perairan Jepang, bahkan salah satunya hanya berjarak 300 kilometer dari garis pantai negara tersebut. Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menyebut aksi Korut ini sebagai ancaman babak baru.
“Korea Utara hari ini menembakkan empat rudal balistik nyaris serentak dan rudal-rudal itu mengudara sejauh 1.000 kilometer. Tiga rudal di antaranya mendarat di dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara kita,” sebut PM Abe di hadapan parlemen Jepang, seperti dilansir AFP, Senin (6/3/2017).
“Ini jelas menunjukkan bahwa Korea Utara telah memasuki babak baru untuk ancaman mereka,” imbuhnya.
Lebih lanjut, PM Abe menyatakan akan segera menggelar rapat Dewan Keamanan Nasional (NSC) membahas rudal Korut ini. “Peluncuran ini jelas merupakan pelanggaran terhadap resolusi Dewan Keamanan (PBB). Ini merupakan aksi yang luar biasa berbahaya,” tegas PM Abe.
Secara terpisah, seperti dilansir Reuters, Menteri Pertahanan Jepang Tomomi Inada menyebut tiga rudal Korut itu jatuh di wilayah perairan yang berjarak hanya 300 kilometer dari pantai barat laut Jepang, atau tepatnya dari Semenanjung Oga di Prefektur Akita.
Insiden ini merupakan kedua kalinya rudal Korut mendarat di dalam ZEE Jepang. ZEE merupakan zona berjarak 200 mil laut atau 370 kilometer dari setiap garis pantai yang memberikan hak kepada negara yang bersangkutan, untuk mengeksploitasi sumber daya alam di perairan tersebut. Pada Agustus 2016, sebuah rudal balistik ditembak langsung ke ZEE Jepang, yang memicu kecaman komunitas internasional.
“Peluncuran berulang kali oleh Korea Utara merupakan aksi provokasi yang serius bagi keamanan dan jelas melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB. Kita tak pernah bisa menoleransi hal ini,” tegas PM Abe.
Patroli Laut Jepang langsung melakukan pemeriksaan di perairan yang menjadi lokasi jatuhnya rudal Korut. Untuk sementara, dilaporkan tidak ada kerusakan terhadap kapal-kapal yang berlayar di sekitar lokasi jatuhnya rudal. (RIF)
TOKYO
Seorang pria Jepang ditemukan tewas di bawah tumpukan majalah porno yang menjadi koleksinya. Diduga, pria Jepang berusia 50 tahun ini tewas setelah tertimpa tumpukan majalah porno seberat 6 ton yang disimpan di apartemennya.
Seperti dilansir media Inggris, The Sun dan Mirror.co.uk, Sabtu (4/3/2017), pria Jepang bernama Joji ini ditemukan sudah tak bernyawa ketika sang pemilik apartemen yang disewanya, datang untuk memeriksa mengapa uang sewa belum juga dibayarkan.
Temuan ini terjadi selang 6 bulan setelah kematian Joji. Salah satu petugas bersih-bersih yang ditugaskan untuk membersihkan apartemen itu dari tumpukan majalah porno, tak sengaja menemukan jenazah Joji.
Sang petugas mengaku diminta membersihkan apartemen itu secara diam-diam agar tetangga apartemen Joji tidak menyadari keberadaan sejumlah besar majalah porno yang bisa mempermalukannya.
Setiap sudut apartemen yang ditinggali Joji penuh dengan tumpukan majalah dan konten porno, termasuk di bagian dapur. Petugas bersih-bersih juga menemukan sejumlah buku kliping berisi konten-konten erotis yang sepertinya sengaja dikumpulkan Joji.
Pria yang tewas hanya diidentifikasi sebagai Joji dan diketahui pernah berprofesi sebagai perakit mobil. Petugas bersih-bersih itu menyatakan, jenazah Joji terkubur di bawah tumpukan majalah porno.
Tidak diketahui pasti apakah Joji terkena serangan jantung terlebih dahulu baru kemudian tertimpa tumpukan majalah itu, atau dia tewas karena tertimpa tumpukan majalah porno itu.
Perusahaan yang membersihkan apartemen Joji menyatakan, total seluruh koleksi majalah porno milik pria itu diketahui berbobot 6 ton setelah ditimbang. (NOV)
ANKARA
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menuding Jerman membantu dan menaungi teror. Tudingan ini disampaikan setelah otoritas Jerman membatalkan dua pertemuan antara menteri-menteri Turki dengan warganya di Jerman.
Hubungan diplomatik Turki dan Jerman kembali memanas beberapa waktu terakhir. Awal pekan ini, seorang jurnalis Jerman yang bekerja untuk surat kabar Die Welt ditahan di Turki. Erdogan menyebut jurnalis Jerman itu sebagai mata-mata. Jerman menyebut balik tudingan Erdogan itu tidak masuk akal.
“Mereka perlu disidang karena membantu dan menaungi teror,” tuding Erdogan, merujuk pada Jerman yang mengizinkan pemimpin-pemimpin Kurdi untuk berbicara di Jerman, namun melarang para menteri Turki berbicara kepada warganya sendiri.
Larangan itu merujuk pada dibatalkannya dua acara pertemuan antara dua menteri Turki dengan warga Turki pendukung Erdogan di Jerman. Aktivitas ini merupakan bagian upaya meraup dukungan bagi referendum untuk memperkuat kekuasaan Presiden Turki yang akan digelar 16 April mendatang.
Dua pertemuan itu dijadwalkan digelar di kota Gaggenau dan Cologne, pekan ini. Menanggapi pembatalan oleh otoritas Jerman itu, Kementerian Luar Negeri Turki memanggil Duta Besar Jerman untuk meminta penjelasan.
Erdogan sendiri pernah mengalami peristiwa serupa, pada Juli 2016, saat dirinya gagal memberikan pidato via video kepada warga Turki di Cologne, Jerman. “Mereka mengizinkan Cemil Bayik untuk berbicara dari (pegunungan) Kandil (di Irak),” ucapnya merujuk pada pemimpin Kurdistan Workers’ Party yang dikategorikan sebagai organisasi teroris oleh Turki.
Dalam pernyataan terpisah, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu juga menuding otoritas Jerman tidak menjunjung tinggi demokrasi dan membiarkan ‘teroris’ berbicara namun menolak pejabat Turki.
Menanggapi kemarahan Turki ini, Kanselir Jerman Angela Merkel menegaskan bahwa keputusan pembatalan itu diambil oleh otoritas daerah, bukan pemerintah Jerman secara federal. “Putusan diambil oleh otoritas kota setempat, dan sesuai prinsip, kami memberlakukan kebebasan berekspresi di Jerman,” tegasnya. (RIF)
Pyongyang –
Otoritas Korea Utara (Korut) kembali mengeksekusi mati para pejabatnya. Sedikitnya lima pejabat keamanan Korut dieksekusi mati dengan senjata antipesawat.
Informasi itu diungkapkan oleh dua anggota parlemen Korea Selatan (Korsel) yang telah mendapat briefing dari Badan Intelijen Nasional Korsel (NIS), seperti dilansir CNN, Rabu (1/3/2017). Tidak disebut lebih lanjut kapan eksekusi mati itu dilakukan. Dituturkan salah satu anggota parlemen Korsel Kim Byung-Kee kepada wartawan, para pejabat itu dieksekusi mati karena ketahuan memberikan laporan palsu kepada pemimpin Korut, Kim Jong-Un.
Identitas para pejabat yang dieksekusi mati tidak diketahui pasti. Namun Kim Byung-Kee menyebut, para pejabat itu berada di posisi setingkat wakil menteri dan pernah bekerja di bawah Kepala Kementerian Keamanan Negara Kim Won-Hong yang baru saja dipecat.
“Kim Won-Hong yang menjabat kepala keamanan negara, berstatus tahanan rumah setelah penyelidikan dilakukan dan lebih dari lima pejabat setingkat wakil menteri yang bekerja di bawahnya, telah dieksekusi mati dengan senjata antipesawat,” tutur Kim Byung-Kee.
“Eksekusi mati para pejabat lainnya masih bisa terjadi, seiring penyelidikan masih terus berlanjut,” imbuhnya.
Kementerian Keamanan Negara Korut secara efektif merupakan dinas intelijen negara komunis itu. Kementerian itu juga mengoperasikan kamp kerja paksa dan melakukan pengintaian domestik terhadap para pekerja dan warga Korut.
“Kementerian itu mengawasi dan memantau publik dan para pejabat partai (komunis). Terdeteksi bahwa laporan palsu diberikan kepada Kim Jong-Un. Kim Jong-Un marah atas temuan ini dan menempatkan Kim Won-Hong dalam status tahanan rumah dan memerintahkan eksekusi mati lima orang,” terang anggota parlemen Korsel lainnya, Lee Cheol-Woo.
Tidak hanya itu, Kim Jong-Un juga memerintahkan pemindahan patung mendiang ayahnya, Kim Jong-Il, dari kompleks kementerian sebagai hukuman. “Kim Jong-Un memerintahkan pemindahkan patung Kim Jong-Il dari Kementerian Keamanan Negara karena mereka tidak pantas memiliki patung itu,”
sebut Lee Cheol-Woo.
Otoritas Korut selama ini membantah keberadaan kamp kerja paksa. Namun Kementerian Keuangan Amerika Serikat (AS) menyatakan Kim Won-Hong mengarahkan dan mengatur setiap aktivitas di kamp kerja paksa itu, termasuk pemukulan, pemaksaan kelaparan, kekerasan seksual, aborsi paksa dan membunuh bayi yang baru lahir. Kementerian Keamanan Negara melapor langsung kepada Kim Jong-Un. (RIF)
KUALA LUMPUR,khatulistiwaonline.com
Racun VX digunakan untuk membunuh kakak tiri pemimpin Korea Utara Kim Jong-Un, yakni Kim Jong-Nam. Ternyata zat itu mengakhiri hidup Jong-Nam dalam waktu belasan menit saja usai dioleskan ke mukanya.
Dilansir dari BBC, Senin (27/2/2017) Menteri Kesehatan Malaysia Subramaniam Sathasivam menjelaskan Jong-Nam diberi racun VX dosis tinggi dan meninggal dunia melewati rasa sakit selama 15 menit hingga 20 menit.
Kata Subramaniam, tak ada zat penawar yang mampu menangkal racun itu. Terlepas dari keterangan Subramaniam, VX digolongkan sebagai senjata pemusnah massal oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Setetes VX di kulit bisa membunuh dalam beberapa menit saja.
Siti Aisyah (25) warga negara Indonesia dan Doan Thi Huong warga negara Vietnam adalah dua perempuan yang disangkakan membunuh Jong-Nam menggunakan racun itu.
Aisyah dalam keterangannya ke Wakil Duta Besar RI untuk Malaysia Andreano Erwin menyebut dia hanya mengikuti reality show untuk mengisengi orang. Dia dibayar 400 ringgit Malaysia atau setara kurang lebih 1,2 juta rupiah. Doan juga mengaku dirinya disuruh untuk acara mengisengi orang sebagaimana yang biasa disiarkan televisi.
Polisi Malaysia mengatakan dua perempuan itu diajari untuk segera mencuci tangannya setelah mereka melakukan aksinya ke Jong-Nam. Sejumlah ahli menengarai dua orang perempuan itu dilumuri dengan cairan yang berbeda satu sama lain. Cairan itu tidak akan mematikan bila tidak disatukan, namun begitu tercampur maka dua cairan itu menjadi VX yang membunuh. (RIF)