Meksiko – Korban yang tewas akibat gempa bumi yang terjadi di Meksiko bertambah. Korban tewas menjadi 7 orang.
“Belasungkawa saya saat ini, ada tujuh kematian di negara bagian Oaxaca,” kata Gubernur Oaxaca, Alejandro Murat dalam wawancara dengan salah satu stasiun tv seperti dilansir AFP, Kamis (25/6/2020).
Murat menambahkan, 2000 rumah rusak akibat gempa bermagnitudo 7,4 itu. Koordinator perlindungan sipil Meksiko, David Leon, mengatakan 23 orang terluka.
Usai gempa, sejumlah warga memberesan puing-puing dari jalan raya. Beberapa kawasan kilang minyak ditutup untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Sebelumnya diberitakan, empat orang dinyatakan tewas pada gempa itu. Gempa juga memutus akses jalan akibat tertimbun reruntuhan batu di pegunungan dekat ibu kota negara bagian Oaxaca. Klinik dan bangunan lain juga rusak parah.(MAD)
Brasilia – Seorang hakim federal di Brasil memerintahkan Presiden Jair Bolsonaro untuk memakai masker di depan publik. Perintah ini diterbitkan setelah Bolsonaro berulang kali melanggar aturan wajib pakai masker yang diberlakukan di ibu kota Brasilia untuk membatasi penyebaran virus Corona (COVID-19).
Seperti dilansir AFP, Rabu (24/6/2020), hakim Renato Borelli memerintahkan Bolsonaro untuk berhenti mengabaikan dekrit wajib memakai masker yang berlaku di Brasilia. Jika Bolsonaro terus melanggar dekrit itu, maka dia harus menghadapi hukuman denda 2 ribu Real (Rp 5,4 juta).
“Presiden memiliki kewajiban konstitusional untuk mematuhi aturan hukum yang berlaku di negara ini, juga untuk memajukan kesejahteraan rakyat secara umum, yang berarti mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi hak-hak warga negara atas kesehatan,” tegas hakim Borelli dalam putusannya.
Putusan yang dijatuhkan pada Senin (22/6) waktu setempat ini juga berlaku untuk anggota kabinet dan staf pemerintahan Bolsonaro.
Putusan ini merupakan kelanjutan dari gugatan hukum seorang pengacara setempat yang menyebut Bolsonaro harus ditindak tegas atas ‘perilakunya yang tidak bertanggung jawab’.
Diketahui bahwa pemakaian masker diwajibkan untuk semua orang di Brasilia sejak bulan April lalu, demi membatasi penyebaran virus Corona. Bolsonaro kerap melanggar aturan social distancing yang berlaku di Brasilia. Dia menjabat tangan dan memeluk para pendukungnya saat mengunjungi kantong-kantong pendukungnya. Dia menggelar pesta barbecue, mendatangi tempat latihan tembak dan pergi keluar untuk makan hotdog tanpa memakai masker.
Mantan Menteri Pendidikan Brasil, Abraham Weintraub, dihukum denda 2 ribu Real, pekan lalu, karena menghadiri kampanye pro-Bolsonaro di Brasilia tanpa memakai masker.
Brasil sejauh ini melaporkan lebih dari 1,1 juta kasus virus Corona dengan lebih dari 51 ribu kematian. Dengan angka ini, Brasil tercatat sebagai negara kedua dengan total kasus dan total kematian tertinggi di dunia, setelah Amerika Serikat (AS).(MAD)
JAKARTA,KHATULISTIWAONLINE.COM – Sejumlah politisi dan pengamat kebijakan militer masih merasa kaget dan tidak percaya hingga beberapa hari setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan penarikan sekitar sepertiga pasukan AS yang ditempatkan di Jerman. Para politisi di berbagai tingkat pemerintahan sibuk bergulat dengan konsekuensi penarikan pasukan itu.
Walikota di daerah-daerah yang lemah secara ekonomi pun khawatir daerahnya akan kehilangan pendapatan jika para tentara AS angkat kaki. Menteri Luar Negeri Jerman waswas akan kemungkinan memburuknya hubungan dengan AS, sementara perencana kebijakan militer di Brussel, Belgia, kini tengah mempertimbangkan implikasi penarikan pasukan AS terhadap rancangan arsitektur keamanan di Eropa.
Jerman memang telah menjadi komponen kunci dari strategi pertahanan AS di Eropa selama beberapa dekade. Di sinilah AS menempatkan senjata nuklirnya yang siap diluncurkan oleh jet tempur Jerman di saat krisis. Namun rencana pemulangan sekitar 9.500 tentara AS akan secara radikal mengubah hubungan militer di benua itu.”Sama sekali tidak jelas ke mana arah semua kebijakan ini dan risiko keamanan apa yang menanti,” ujar Thomas Kleine-Brockhoff, Wakil Presiden German Marshall Fund organisasi wadah pemikir trans-Atlantik nonpartisan yang bermarkas di Berlin.
Kleine-Brockhoff mengatakan belum bisa melihat pihak yang diuntungkan dengan langkah ini. Dia mengatakan kepada DW bahwa melemahnya hubungan antara Jerman dan Amerika Serikat telah merusak keseluruhan Eropa, dan negara-negara Eropa Tengah dan Timur turut memperhatikan kejadian ini.
Rancangan keamanan Eropa tanpa bantuan AS
“Eropa harus memegang tanggung jawab yang lebih besar,” kata Roderich Kiesewetter, mantan perwira militer yang sekarang menjadi pakar kebijakan luar negeri parlementer untuk partai Kanselir Merkel, CDU.
Pernyataan itu kembali menegaskan tuntutan yang sering dibuat oleh kepala departemen terkait dan oleh kanselir sendiri. Namun, tampaknya para pembuat kebijakan di Jerman lebih suka membiarkan semua opsi terkait hal ini tetap terbuka.
Apakah ini berarti Jerman dan Eropa akan mengambil alih beban wilayah krisis yang kini menjadi tanggung jawab AS dan memungkinkan AS untuk berfokus kepada Asia dan Cina? Atau akankah pemerintah Jerman menyerah pada tekanan bertahun-tahun dari AS dan NATO untuk meningkatkan anggaran pertahanannya?
Pakar kebijakan luar negeri Kleine-Brockhoff rupanya mendukung langkah peningkatan anggaran. “Selama krisis pengungsi dan wabah corona, pemerintah Jerman telah menunjukkan pihaknya bersedia mengalokasikan sejumlah besar uang,” kata Kleine-Brockhoff.
Persiapkan payung nuklir selain dari NATO
Jika opsi tersebut diam-diam ternyata lebih disukai oleh para politisi Jerman, tidak diragukan lagi kekuatan besar politik dan militer Uni Eropa akan menunjukkan sikapnya. Namun bagaimana juga, Jerman tetap menganggap senjata nuklir sebagai pilihan terakhir.
Selama beberapa dekade Jerman telah berada di bawah perlindungan payung nuklir NATO dan AS. Jika Eropa berniat mengamankan wilayahnya sendiri, Eropa harus membuat payung nuklir pengganti. Dan saat ini Prancis menjadi satu-satunya pilihan dalam melakukan tugas tersebut.
Prancis tidak ragu membelanjakan anggarannya untuk meningkatkan pencegahan nuklir dalam program Force de frappe. Tetapi para pemimpin Prancis juga telah berhati-hati dan menjaga jarak dengan NATO dan AS serta tidak pernah mengintegrasikan rudal mereka ke dalam perencanaan pertahanan NATO.
Di masa lalu Prancis telah menjelaskan keinginan mereka untuk bekerja sama dengan Jerman terkait masalah ini. Pada 1990-an, Presiden Jacques Chirac bahkan mempertimbangkan konsep tanggung jawab bersama. Dan selama masa jabatannya, Nicolas Sarkozy dikatakan telah menawarkan saham keuangan dalam program tersebut kepada Kanselir Merkel. Pada saat itu, Jerman berterima kasih kepada Prancis atas tawaran itu tetapi menolak, dan lebih memilih tawaran payung nuklir dari AS.
Proposal Presiden Macron untuk Eropa
Awal tahun ini, Presiden Prancis Emmanuel Macron membuat proposal baru, mengundang mitranya di Eropa untuk ambil bagian dalam “dialog strategis” terkait persenjataan nuklir Prancis. Meskipun tidak jelas tentang tawaran proposal itu, Kementerian Pertahanan Jerman menerima undangan tersebut selama pertemuan di Paris, dengan menekankan pentingnya payung AS dalam hal ini. Namun empat bulan telah berlalu, publik masih belum juga melihat hasil nyata pertemuan itu.
Tidak adanya pengumuman kepada publik terkait hal ini bisa dipastikan karena berkaitan dengan sensitivitas masalah pencegahan nuklir. “Ketika payung AS dan kebijakan nuklirnya di Eropa dan tempat-tempat lain dipertanyakan,” kata Kleine-Brockhoff, “banyak negara kecil dan menengah akan merasa perlu untuk memiliki tenaga nuklir sendiri.” Ketidakpastian seperti ini dapat memicu reaksi berantai di antara mitra dan saingan.
“Saya menyarankan pemerintah untuk mengambil pendekatan dua arah,” kata Christian Mlling, pakar keamanan di Dewan Jerman untuk Hubungan Luar Negeri, sebuah wadah pemikir yang berbasis di Berlin. Dia mengatakan pemerintah harus “membiarkan opsi yang terbuka untuk berpindah ke sistem Prancis,” tetapi ia menambahkan bahwa perubahan besar seperti itu akan memakan waktu puluhan tahun.
Proyek persenjataan jangka panjang
Future Air Combat Air System (FCAS), sebuah proyek Perancis-Jerman untuk mengembangkan sistem pertahanan kompleks berbasis udara pada tahun 2040 – yang akan memainkan peran kunci dalam strategi pertahanan Prancis.
Proyek ini juga dapat membuktikan peluang yang bagus untuk memperdalam kepercayaan. “Dua puluh tahun untuk membangun kepercayaan dan perspektif bersama – itu bukanlah waktu yang lama. Setidaknya bukan untuk melakukan perubahan mendasar dalam arah kebijakan,” kata Mlling.
Di luar tantangan teknis yang jelas, pandangan kedua mitra juga menggambarkan bagaimana pola pikir yang berbeda dapat terjadi dalam kerja sama ini: Pencegahan nuklir adalah jantung arsitektur keamanan Prancis, sementara di Jerman beberapa politisi menyerukan penarikan semua senjata nuklir AS.
Namun, konflik yang tampaknya tidak terselesaikan adalah pertanyaan tentang siapa yang akan memutuskan untuk menggunakan senjata nuklir ketika suatu saat nanti Eropa perlu memutuskan dengan sangat cepat. Di Prancis, keputusan itu ada di tangan presiden, yang selalu diikuti oleh seorang perwira yang membawa kode nuklir negara ke mana pun ia pergi.
Tidak ada jawaban mudah. Namun pada tahun-tahun mendatang Jerman sepertinya harus mulai membiasakan diri dengan pola pikir nuklir Prancis. Membangun keamanan Eropa yang independen memang akan memerlukan waktu bertahun-tahun. Tetapi tidak pernah terlalu dini untuk mulai memikirkannya.(NOV)
JAKARTA,KHATULISTIWAONLINE – Tidak ada kasus baru Corona (COVID-19) yang dilaporkan di Vietnam selama akhir pekan. Terhitung sudah 66 hari berturut-turut, tak ada kasus penularan lokal Corona di negara itu.
Seperti dilansir The Star, Selasa (23/6/2020) hal ini disampaikan oleh Komite Pengarah Nasional untuk Pencegahan dan Kontrol COVID-19 Vietnam.
Jumlah total kasus Corona yang dikonfirmasi di negara ini tetap pada 349 kasus, setelah tujuh kasus terakhir yang melibatkan warga yang kembali dari Swedia dan Polandia, dilaporkan pada hari Jumat (19/6). Dari total 349 kasus yang dikonfirmasi, 209 kasus di antaranya merupakan kasus impor dan dikarantina setelah kedatangan mereka.
Hingga hari Minggu (21/6), sebanyak 327 pasien COVID-19 di Vietnam, atau mencakup 93,7% dari total kasus, telah dinyatakan sembuh dari infeksi Corona.
Dari 22 kasus aktif, dua pasien telah dites negatif untuk virus Corona sebanyak satu kali dan empat pasien lain dites negatif setidaknya dua kali. Sebanyak 5.724 orang saat ini sedang dikarantina di seluruh negeri, dengan 95 orang dikarantina di rumah sakit, 5.347 orang di fasilitas-fasilitas yang ditunjuk dan 282 orang di akomodasi mereka.Menurut Departemen Perawatan di Komite Pengarah Nasional untuk Pencegahan dan Kontrol COVID-19, seorang pilot Inggris, Pasien 91, yang merupakan pasien COVID-19 paling serius di Vietnam, telah dapat bernapas sendiri tanpa alat bantu pada hari Minggu (21/6) pagi.
Dia mungkin akan segera dipindahkan dari unit perawatan intensif ke unit rehabilitasi. Ginjal, jantung, hati, dan pankreas pasien juga membaik.
Namun, menurut dokter di Rumah Sakit Cho Ray di Kota Ho Chi Minh, yang telah merawat pasien itu sejak 22 Mei, dia membutuhkan lebih banyak waktu untuk sembuh total, terutama dalam hal fungsi motoriknya.(MAD)
Moskow – Ribuan tentara Rusia akan menggelar parade militer Perang Dunia II di Moskow, Rusia pada hari Rabu (24/6/2020). Presiden Rusia Vladimir Putin akan tampil untuk membuka acara ini.
Seperti dilansir AFP, Senin (22/6/2020) pertunjukan militer di Lapangan Merah digelar untuk memperingati 75 tahun kemenangan Uni Soviet dalam Perang Dunia II. Acara ini telah dijadwalkan pada 9 Mei, tetapi Rusia menundanya dengan mengutip permintaan para veteran, ketika kasus-kasus virus Corona meningkat.
Putin menjadwal ulang acara itu segera setelah melonggarkan lockdown Corona. Dengan lebih dari 8.000 kematian yang tercatat dan sekitar 580.000 kasus COVID-19 yang dikonfirmasi, Rusia memiliki beban kasus Corona tertinggi ketiga di dunia, setelah Amerika Serikat dan Brasil.
\
Parade ini bertepatan dengan peringatan parade pertama pasca-perang di Lapangan Merah, yang melihat pasukan Soviet menurunkan standar Nazi di depan mausoleum Lenin pada 24 Juni 1945.
Itu terjadi hanya satu minggu menjelang pemungutan suara nasional tentang amandemen konstitusi yang akan memungkinkan Putin, yang berkuasa sejak tahun 2000, untuk mengatur ulang batas waktunya dan tetap menduduki jabatan Presiden Rusia hingga 2036.
Parade ini akan menjadi penampilan utama dan pertama Putin di depan publik sejak pandemi Corona, setelah ia menghadiri upacara pengibaran bendera di tempat terbuka pada 12 Juni.Pria berusia 67 tahun itu akan mengecek tampilan militer modern yang mungkin melibatkan lebih dari 13.000 tentara, dengan lebih dari 20 item perangkat keras dipamerkan untuk pertama kalinya, termasuk pelontar api Tosochka, tank T-90M dan rudal Buk-M3.
Kendaraan vintage seperti T-34 tank juga akan dipajang dan beberapa pasukan akan mengenakan seragam Perang Dunia II.Sementara Putin telah mendorong acara pawai, beberapa pihak telah menyuarakan kekhawatiran akan risiko infeksi Corona, dengan acara publik massal masih secara resmi dilarang di Moskow.
Wali Kota Moskow Sergei Sobyanin dan juru bicara Kremlin Dmitry Peskov telah menyarankan warga untuk menonton acara ini dari televisi daripada menghadiri secara langsung.(MAD)
New Delhi – Insiden berdarah di lembah Galwan menempatkan pemerintah India dalam posisi tak sedap. Setelah menyatakan bakal membantu meredakan ketegangan di perbatasan, Perdana Menteri Narendra Modi kini didesak partai oposisi untuk mengambil langkah tegas.
Langgam nasionalisme kini semakin lantang disuarakan terhadap pemerintah di New Delhi. Perdana Menteri Negara Bagian Punjab, Amarinder Singh, menuntut India menunjukkan reaksi yang lebih tegas terhadap “provokasi China”.
Menurutnya serdadu India selayaknya “diajarkan agar mengetahui jika mereka membunuh salah seorang di antara kita, kita harus membunuh tiga orang dari mereka,” katanya seperti dilansir Indian Express.
Desakan senada juga dilayangkan bekas Presiden Kongres Nasional India, Rahul Gandhi. Dia meyakini insiden di lembah Galwan “sudah direncanakan” oleh China dan pemerintah India “tertidur” dan “menyangkal” masalah di perbatasan, tulisnya via Twitter.
Sebanyak 20 serdadu India tewas dalam baku hantam antara kedua pasukan, tanpa ada satupun peluru yang meletus. Berdasarkan foto yang beredar, tentara China antara lain menggunakan tongkat yang dipasangi paku ketika bentrok dengan serdadu India.
Pasca insiden, para serdadu yang tewas dimakamkan dengan prosesi militer dan dielu-elukan sebagai “martir” oleh sejumlah politisi dan pejabat pemerintah.
Ketegangan teranyar diyakini antara lain dipicu oleh derasnya proyek pembangunan infrastruktur perbatasan oleh India.
China: Tanggung Jawab pada India
China sejauh ini membisu ihwal jumlah korban di pihaknya. Militer India sebelumnya mengklaim korban jatuh di kedua belah pihak, dan bahwa China menyandera sejumlah serdadunya.
Klaim tersebut dibantah Kementerian Luar Negeri di Beijing “China tidak menahan personal militer India,” kata juru bicara Kemenlu, Zhao Lijian, mengomentari laporan media-media India yang mengutip seorang sumber di pemerintah perihal pemulangan 10 orang serdadu oleh China.
Zhao sebaliknya menilai “siapa yang benar dan salah sudah jelas, tanggung jawabnya kini berada sepenuhnya di tangan India.” Dia menambahkan kedua negara kini menggiatkan kanal diplomatik untuk menyelesaikan masalah di perbatasan.
“Saya harap India bisa bekerja sama dengan China merawat perkembangan jangka panjang hubungan bilateral kedua negara,” pungkasnya.
Bibit konflik di perbatasan
Baku hantam di lembah Galwan adalah insiden paling mematikan dalam lima dekade terakhir, sejak kedua negara menyepakati Garis Kontrol Aktual (LAC) di antara Kashmir dan Aksai Chin, September 1962.
LAC lahir sebagai warisan Perang Sino-India yang pecah antara lain sebagai buntut pendudukan Tibet oleh China. India saat itu banyak menampung pengungsi asal Tibet, termasuk Dalai Lama. Ketegangan memuncak ketika PM Jawaharlal Nehru menggiatkan militer di perbatasan.
Agresi militer China saat itu memaksa India menarik mundur pasukan di Aksai Chin hingga ke wilayah yang kini disepakati sebagai Garis Kontrol Aktual. Setelah mendeklarasikan gencatan senjata sepihak, China menguasai wilayah seluas 39.000 km persegi itu secara de facto.
Ironisnya, serupa dengan insiden di tahun 2020, Perang Sino-India di masa lalu juga antara lain diawali oleh insiden baku hantam antara kedua anggota pasukan.
China hingga kini masih mempertahankan klaim teritorial atas wilayah seluas 90.000 km persegi di negara bagian Arunachal Pradesh di India. Oleh China, kawasan itu dinamakan “Tibet Selatan”.
Sydney – Pemerintah Australia sedang mempertimbangkan agar biaya karantina wajib bagi mereka yang masuk ke Australia di tengah pandemi virus Corona ditanggung sendiri, tidak lagi dibayarkan Pemerintah seperti saat ini.
Puluhan ribu orang dari luar negeri kembali ke Australia dalam tiga bulan terakhir dan sudah menjalani karantina, sesuai aturan perjalanan di masa pandemi virus Corona.
Dengan menempatkan puluhan ribu orang di akomodasi mewah, seperti hotel memerlukan biaya besar bagi Pemerintah Australia sedikitnya AU$ 118,5 juta, atau lebih dari Rp 1 triliun.Penerbangan internasional ke Australia paling banyak mendarat di kota Sydney, New South Wales.
Karenanya Pemerintah NSW harus menanggung biaya terbesar untuk penginapan di hotel.
Menurut Australian Border Force, atau Pasukan Perbatasan Australia, sejak kebijakan diberlakukan dua setengah bulan lalu, 81 ribu orang sudah memasuki Australia.
63 ribu diantaranya harus menjalani karantina di hotel, sementara yang lainnya seperti awak pesawat, pengusaha internasional atau anggota militer ditangani dengan cara berbeda.
Pemerintah Australia menerapkan karantina hotel bagi semua yang datang dari luar negeri di akhir bulan Maret guna mencegah masuknya kasus Corona dari luar negeri.
Sampai sejauh ini 62 persen kasus COVID-19 yang ada di Australia berasal dari luar negeri.
Mereka yang tiba di Sydney tidaklah disambut oleh sanak keluarga masing-masing, melainkan anggota militer berseragam yang membawa mereka ke hotel-hotel mewah.
Bagi warga yang baru datang, seperti Edward Ratanasen, pemandangan seperti itu terasa aneh, apalagi ia baru mendarat setelah perjalanan selama 37 jam dari Kanada.
“Ada rasa takut, semua orang terlihat cemas, ada sedikit perasaan panik. Mereka tidak memberi tahu kita akan dibawa ke mana, hanya disuruh naik ke bus,” katanya.
Namun dia mengatakan merasa lega atas bantuan yang didapatkan.
“Mereka membawa tas, mereka memasukkan ke dalam bus, mereka membawanya sampai ke kamar,” lanjutnya.
JenewaLLLL – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan pandemi virus Corona (COVID-19) global kini ada dalam ‘fase baru dan berbahaya’. WHO menyebut virus Corona menyebar semakin cepat saat orang-orang mulai lelah dengan lockdown dan pembatasan sosial.
Seperti dilansir AFP, Sabtu (20/6/2020), Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mendorong negara-negara dan warganya untuk tetap waspada tinggi, karena jumlah kasus yang dilaporkan ke Badan Kesehatan PBB ini mencapai puncak baru.
“Pandemi semakin cepat. Lebih dari 150 ribu kasus baru COVID-19 dilaporkan ke WHO kemarin — jumlah paling banyak dalam satu hari sejauh ini,” sebut Tedros dalam konferensi pers virtual pada Jumat (19/6) waktu setempat.
Disebutkan Tedros bahwa nyaris separuh dari kasus baru yang dilaporkan ke WHO itu berasal dari kawasan Amerika, dengan sejumlah besar juga dilaporkan dari Asia Selatan dan Timur Tengah.
“Dunia ada dalam fase baru dan berbahaya. Banyak orang dipahami sudah bosan dengan berada di dalam rumah. Negara-negara dipahami sangat bersemangat untuk membuka masyarakat dan perekonomian,” ujar Tedros.
“Tapi virus masih menyebar cepat, masih mematikan dan kebanyakan orang masih rentan,” imbuhnya, sembari menyebut bahwa kalangan yang paling rentan akan paling menderita.Sejauh ini, menurut data John Hopkins University, total kasus virus Corona secara global melebihi 8,6 juta kasus. Total kematian akibat virus Corona di berbagai negara kini melebihi 459 ribu orang.
Secara terpisah, Direktur Urusan Darurat WHO, Mike Ryan, memperingatkan bahwa negara-negara perlu mewaspadai gelombang kedua penularan dan puncak kedua dalam gelombang pertama yang belum kunjung usai. “Anda mungkin mendapati puncak kedua dalam gelombang pertama, dan kemudian Anda mungkin mengalami gelombang kedua: itu harus salah satu,” tegasnya.Sementara peningkatan jumlah kasus bisa disebabkan oleh peningkatan kemampuan tes, Ryan menyebut bahwa peningkatan tak terduga dari jumlah pasien rawat inap dan jumlah kematian menjadi indikator lebih baik untuk potensi kemunculan kembali virus Corona.
“Keluar lockdown harus dilakukan secara hati-hati. Jika Anda tidak tahu di mana virusnya berada, kemungkinan besar virus itu akan mengejutkan Anda,” tandasnya.
Seoul – Korea Selatan (Korsel) menyatakan belum mendeteksi aktivitas mencurigakan dari Korea Utara (Korut), setelah rezim komunis itu mengancam akan mengerahkan lebih banyak tentara di perbatasan kedua negara. Ancaman itu dilontarkan usai terjadi pelanggaran kesepakatan tahun 2018 untuk meredakan ketegangan.
Seperti dilansir Associated Press, Kamis (18/6/2020), Korut sebelumnya menyatakan akan mengerahkan tentara ke kawasan kerja sama kedua Korea, membangun kembali pos keamanan dan memulai kembali latihan militer di sisi utara perbatasan dengan Korsel.
Langkah itu jelas melanggar kesepakatan tahun 2018 yang melarang kedua Korea untuk melakukan tindakan bermusuhan satu sama lain.Juru bicara Kantor Kepala Staf Gabungan Korsel, Kim Jun-Rak, menuturkan kepada wartawan bahwa tidak ada tanda-tanda yang mengindikasikan Korut mulai mengeksekusi ancaman-ancamannya. Dia menyebut Korsel akan mempertahankan kesiapan militer untuk menghadapi situasi apapun.
Pada Rabu (17/6) waktu setempat, militer Korsel memperingatkan bahwa Korut akan menghadapi konsekuensinya jika melanggar kesepakatan itu.
Hubungan Korsel dan Korut semakin tegang dalam beberapa hari terakhir, dengan Korut memberikan retorika berapi-api atas selebaran propaganda yang dikirimkan para aktivis Korsel ke wilayah Korut dengan balon udara.
Pada Senin (15/5) waktu setempat, Korut meledakkan kantor penghubung antar-Korea yang kosong. Kantor penghubung itu dibangun dengan dana dari Korsel di wilayah Korut.
Para pengamat menilai Korut tengah meningkatkan tekanan terhadap Korsel dan Amerika Serikat (AS) karena situasi perekonomiannya yang bermasalah, makin memburuk akibat sanksi AS dan pandemi virus Corona (COVID-19). Terlebih lagi, diplomasi nuklir antara Korut dan AS hanya mengalami sedikit kemajuan selama setahun lebih.(MAD)
Washington – Selasa (16/06), Presiden AS Donald Trump menandatangani perintah eksekutif yang bertujuan memperbaiki kinerja kepolisian di Amerika Serikat menyusul unjuk rasa nasional selama berminggu-minggu menuntut diakhirinya profil rasial dan kebrutalan polisi. Tuntutan reformasi ini dipicu oleh kematian George Floyd, seorang pria kulit hitam yang meninggal di tangan mantan polisi Minneapolis, Derek Chauvin, pada 25 Mei lalu.
Selama sesi penandatanganan di Gedung Putih, Trump yang dapit oleh sejumlah petugas polisi yang berseragam lengkap, menyatakan secara singkat simpatinya untuk orang-orang yang tewas karena kekerasan polisi, tetapi dengan cepat ia kembali membela para penegak hukum. Trump mengatakan bahwa polisi yang menggunakan kekuatan berlebih hanyalah sejumlah “kecil” di antara para petugas yang “dapat dipercaya”.
Apa isi perintah eksekutif tersebut?
Perintah eksekutif tersebut memungkinkan Departemen Kehakiman (DoJ) untuk memantau dan mengajukan pelatihan dan taktik deeskalasi pasukan polisi setempat dan membuat basis data untuk melacak petugas yang memiliki catatan kekerasan.
Ini akan menyediakan insentif keuangan, mengikat pendanaan federal dari departemen lokal untuk mengadopsi standar praktik terbaik, salah satunya larangan menekan leher kecuali petugas tersebut dalam bahaya.
Perintah tersebut juga mengusulkan dana bantuan untuk program-program yang melibatkan kerjasama antara polisi dan pekerja sosial dalam merespon panggilan tanpa kekerasan, seperti kasus kesehatan mental, kecanduan narkoba, dan tunawisma.
Tidak cukup
Menanggapi ini, aktivis hak-hak sipil maupun kubu Partai Demokrat mengatakan bahwa perintah itu tidak cukup kuat, dan menganjurkan reformasi total kepolisian, termasuk seruan untuk memangkas anggaran departemen kepolisian ke program sosial.
Nancy Pelosi, politisi Partai Demokrat yang merupakan Ketua DPR AS, menyebutnya dengan “perintah eksekutif yang lemah”, gagal, dan “tidak sesuai dengan apa yang diperlukan untuk memerangi epidemi ketidakadilan rasial dan kebrutalan polisi yanlg membunuh ratusan warga kulit hitam Amerika.”
“Kita harus menuntut perubahan yang berani, bukan dengan patuh menyerah seminimal mungkin,” kata Pelosi.
Kongres AS saat ini sedang menyusun rancangan undang-undang reformasi kepolisian, dan kubu Demokrat sedang mengupayakan restrukturisasi yang lebih luas daripada kubu Republik. Salah satu contohnya, mengusulkan agar korban kebrutalan polisi dan keluarga mereka dapat menuntut departemen penegakan hukum. Namun, kubu Republik menganggap ini terlalu berlebihan. Sebagai gantinya mereka merekomendasikan proses “desertifikasi” untuk petugas yang terlibat dalam pelanggaran.