Penulis : MMHSHersit
Fiat Justitia Ruat Coelum. Semboyan itu melekat pada lambang/logo OA Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN-1964),.Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN-1985).
Jika diartikan dalam bahasa Yunani/Latin ” Sekalipun langit runtuh keadilan harus ditegakkan”. Dengan membaca ini pasti teringat dengan ” Dewi Keadilan ” memegang timbangan dengan menutup kedua matanya dengan kain seroban serta dua pedang yang panjang dan tajam pertanda dengan tegasnya memotong dan memperjuangkan kebenaran dan keadilan dengan pedang nya.
Perlukah lambang/ logo timbangan tersebut relevan dicantumkan pada papan merek kantor dan kop surat serta stempel Advokat ?Untuk menjawab itu kami turunkan pendapat Advokat senior yang tidak asing lagi, yakni MMHSHersit, Putra Kelahiran Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumut, 23 Pebruari 1963 yang tinggal di Jakarta sejak 1978 dan hijrah ke Kabupaten Tangerang sejak 1995 sampai sekarang dengan No.Hp. 0821 5877 1110.
Dengan gaya blak- blakan, MMHSHersit menyatakan, dirinya tidak setuju apabila lambang atau logo timbangan tersebut tercantum pada lembaga tersebut.
Menurutnya, ada dua alasan mengapa dia tidak setuju, pertama melihat perkembangan Lawyer dewasa ini.
“Coba lihat Lawyer di Eropa sana tidak ada mencantumkan lambang/ logo timbangan pada law firm dan kop surat, stempel serta kartu namanya.
Yang ada misalnya ; Law Firm MMMHS & Partner. Mungkin anggapan mereka kenapa timbangan itu harus dicantumkan, dengan jujur bicara yang punya timbangan bersalah tidaknya seseorang adalah hakim bukan Advokat, Polisi, Jaksa apalagi Advokat dengan luas wilayah kerja kasus- kasus yang ditangani, dengan jam terbangnya tidak menutup kemungkinan menangani kasus bisnis, bertindak sebagai kurator, mediator terkesan fee cukup besar dan kasus komersil yang ditangani Advokat.
Ini membuktikan Advokat masuk semua link kasus atau perkara, itu salah satu alasannya, namun demikian Advokat tetap bertindak secara profesional menjalanksn tugasnya dilandasi oleh hukum dan perundang- undangan yang berlaku serta kode etik melekat pada dirinya,” ujarnya.
Alasan kedua, keharusan dengan lambang timbangan itu sejak dahulu kala jaman cicero di Kota Atena,Yunani melihat lambang/ logo ” Dewi Keadilan ” seorang wanita berdiri memegang timbangan dengan satu tangannya serta memegang pisau panjang dan tajam untuk menegakan hukum dan keadilan itulah semboyan ” Fiat Justitia Ruat Coelum ” dengan arti ” Sekalipun Langit Runtuh Keadilan harus ditegakkan.
Kesimpulannya, dua alasan itu tetap ada pada hati jiwa seorang Advokat tergantung dari sudut mana kita melihat suatu kebenaran hukum.
Tapi secara pribadi Advokat senior ini cenderung pada yang pertama tidak perlu lambang/ logo timbangan dibuat pada papan merek, kop surat dan kartu nama cukup singkatan nama, mungkin itu tetao dipertahankan lembaga-lembaga ysng bergerak pada LBH dan Pobakum dan pejuang-pejuang hukum berjiwa sosial, tetap semangat untuk menegakkan hukum dan keadilan.
“Pandangan saya meskipun Advokat tidak mencantumkan lambang/ logo timbangan tersebut tetap semangat menegakkan hukum dan keadilan. Khusus anggota PERADI di seluruh Indonesia diwajibkan untuk menangani kasus-kasus prodeo dan tidak boleh menolak.
Urusan yang satu ini tetap melayani masyarakat meskipun tidak di bayar khusus kasus-kasus masyarakat yang tertindas dan di zholimi, harus bermental Advokat pejuang tidak kalah semangat apapun kasus yang ditangani bersikap dan bertindak berjiwa satria.
Jujur sesuai dengan kepribadian Advokat itu sendiri,” jelas MMMHS/HERSIT yang juga salah satu Wakil Sekretaris Jenderal DPN PERADI, Wakil Sekretaris DPP IKADIN sekaligus Sekretaris Jenderal DPP PROJAMIN.
SERANG, KHATULISTIWAONLINE.COM –
Program vaksinasi yang dilakukan oleh Polres Serang Kota di Alun-alun Serang sempat terjadi kericuhan. Pasalnya, ada oknum warga yang sengaja mengambil kesempatan dengan menjual formulir registrasi.
Selain Polres Serang Kota, pelaksanaan vaksin di alun-alun itu bekerja sama dengan Polda Banten, Dinas Kesehatan dan TNI, dan PT Wilmar pada hari ini Sabtu (18/9/2021). Ada target 2.000 orang yang bisa divaksinasi.
Kapolres Serang Kota AKBP Maruli Ahiles Hutapea mengatakan, warga sudah datang ke lokasi vaksin bahkan sejak sebelum pukul 06.00 WIB.
Saat itu ada oknum warga yang memanfaatkan berkumpulnya warga. Mereka menjual formulir registrasi dengan harga Rp 2 ribu per lembar.
“Warga datang pagi-pagi sekali, petugas juga belum ada. Tiga orang yang kita amankan yang jual kertas registrasi,” kata AKBP Hutape dimintai konfirmasi.(DAB)
Oleh ; A.Marulitua Siahaan
Hak rakyat jelata di pedesaan dirampas meski awam dalam kekuasaan tidak pernah mengeluh lantaran tidak mengenyam pendidikan, tetapi serasa ikut merasa senang dan bangga mendengar berita, ketika UUD 1945 disahkan sebagai konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 18 Augustus 1945 usai 1 hari ditetapkan Indonesia Merdeka dari penjajahan Hindia belanda.
Maka, Undang-Undang Dasar 1945 tersebut menjadi dasar negara Republik Indonesia dan ditetapkan sebagai hukum tertinggi, yang memuat Pancasila dalam pembukaan sebagai pandangan hidup bangsa dan menjadi sumber dari segala sumber hukum Indonesia, juga menjadi sumber pokok-pokok haluan negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Dalam pembukaan juga dinyatakan, bahwa pergerakan kemerdekaan Indonesia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, adalah untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Frasa tersebut dimaknai sebagai konsep dasar negara yang akan memajukan dan mensejahterakan rakyatnya, yang kemudian dijabarkan dalam prinsip-prinsip yang termuat dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 itu.
Diantara prinsip tersebut salah satu yang sangat penting yang menjadi dasar, adalah bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, dengan peran negara yang amat mendasar melalui penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Penguasaan negara yang lebih mendasar lagi adalah prinsip bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Ternyata, masih terjadi persoalan terbesar yang dihadapi tentang hak ulayat ini adalah, apa yang sekarang dihadapi secara nasional, diantaranya menyangkut kontestasi otoritas penyelenggara pemerintahan pusat dan daerah dengan otoritas Masyarakat Hukum Adat, yang sesungguhnya tergambar dalam hak menguasai negara yang disebut dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Norma konstitusi tersebut menjadi prinsip dasar hukum agraria dalam UUPA, sebagaimana bunyi pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 1 UUPA “bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.
Sebagaimana nanti terlihat bahwa secara eksplisit hak ulayat kemudian diakui dan dilindungi dalam UUD 1945 perubahan, pasal 18 B maka hak ulayat juga pada dasarnya adalah merupakan hak menguasai atas tanah yang dimiliki oleh Masyarakat Hukum Adat.
Timbul pertanyaan, apakah setelah pernyataan kemerdekaan yang membentuk negara Kesatuan Republik Indonesia, hak menguasai atas sumber daya alam (SDA) tersebut terbagi antara negara sebagai otoritas pada tingkatan tertinggi dari organisasi kekuasaan seluruh rakyat dengan Masyarakat Hukum Adat yang memiliki hak ulayat tersebut, ? atau dikonstruksikan hanya sebagai delegasi dari negara kepada Masyarakat Hukum Adat ?
Masalah lain yang timbul karena di satu pihak ada keinginan untuk mengesampingkan saja hak Masyarakat Hukum Adat dengan hak-hak tradisionalnya yang diakui oleh UUD 1945, tetapi tidak mampu diberi perlindungan yang efektif karena perkembangan kehidupan sosial, ekonomi, politik dan perpindahan penduduk secara besar-besaran dengan urbanisasi, telah mengubah secara mendasar struktur masyarakat adat, nilai-nilai yang dianut dan menguatnya konsep pemilikan individual.
Hal tersebut juga menyebabkan terjadinya perubahan kesadaran hukum masyarakat adat tersebut tentang hak milik dan sifat hukum waris atas tanah adat.
Aspek lain di bidang ekonomi dengan perkembangan usaha yang memanfaatkan tanah dalam skala besar telah menyebabkan banyak pihak yang melihat sumber daya alam yang ingin dieksploitasi seiring dengan penetrasi modal besar domestik maupun asing, justru menjadi kepentingan yang lebih utama dibanding dengan masyarakat lokal (hukum adat).
Sikap yang tampaknya melihat, bahwa hak-hak tradisional Masyarakat Hukum Adat sesungguhnya kabur dan tidak memiliki kepastian hukum, bahkan dalam kenyataan sesungguhnya telah semakin lemah dengan perkembangan sosial, ekonomi dan politik secara cepat, justru dianggap menjadi hambatan dalam pengembangan dan pemanfaatan sumber daya ekonomi dan potensi daerah, antara lain hutan dan tanah yang luas, yang justru menjadi ruang untuk hidup bagi Masyarakat Hukum Adat yang mengelolanya secara tradisional.***
Negara Telah Melampaui Kewenangannya Dalam Melaksanakan Hak Menguasai Lahan
Oleh. A.Marulitua Siahaan
JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM
Mungkin, tidak dapat dipungkiri adanya makna “Dalihan Na Tolu” yang dikenal sebagai bentuk 3 tungku yang berkaki tiga dan saling membutuhkan satu sama lain untuk menjaga keseimbangan yang mutlak.
Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan.
“Dalihan Na Tolu” telah disepakati menjadi lambang kesatuan dalam adat Batak (dalam istilahkan Batak dikatakan “Manat mardongan tubu, elek marboru dan somba mar hula-hula” ), yang artinya ” semua warga suku Batak telah sepakat bertutur baik terhadap satu marga, berperilaku kasih kepada tutur perempuan, dan wajib hormat pada tutur paman”, selama hidup di Republik ini yang tetap mengidamkan keadilan dalam menjalani hidup demi terwujudnya kedamaian dan kesejahteraan.
Oleh karena itu, filosopi “Dalihan Na Tolu” menjadi sebuah landasan yang kokoh dikalangan orang Batak, meski lambang tersebut didirikan sesuai hukum budaya adat Batak, rakyat bernegara selalu menghormati dan tunduk pada keputusan yang adil dalam berdemokrasi.
Kita tahu, sebelum istilah masyarakat Hukum Adat dimuat dalam Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, misalnya, telah dituangkan pada Pasal 18 B, menjadi salah satu peraturan perundang-undangan telah lebih dahulu menyebutkannya, juga putusan No.35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi secara jelas menegaskan bahwa, Hutan Adat adalah hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara.
Masyarakat adat di seluruh Indonesia menyambut gembira Putusan MK tersebut dengan melakukan pemasangan plang di wilayah adat masing-masing secara serentak.
Adanya kondisionalitas terhadap status yuridis dan hak masyarakat hukum adat, menyebabkan keberadaan masyarakat hukum adat itu menjadi bergantung pada kemauan politik pemerintah.
Hal tersebut terjadi karena hadirnya atau adanya klausul yang ditentukan undang-undang dalam batasan tentang masyarakat hukum adat. Klausul tersebut menempatkan masyarakat hukum adat pada posisi sulit karena disyaratkan dengan beberapa ketentuan, diantaranya :Sepanjang masyarakat hukum adat itu masih ada,sesuai dengan perkembangan zaman.Sesuai dengan prinsif Negara Kesatuan Republik Indonesia,diatur dengan Undang-Undang. Rangkaian persyaratan ini tentu menyebabkan, belum terdapatnya kejelasan tentang masyarakat hukum adat lebih lanjut.
Akibatnya, apabila terjadi pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat hukum adat, lantaran belum ada landasan hukum yang dapat digunakan untuk menyusun dan melaksanakan upaya advokasi khusus bagi kelompok ini dalam rangka melindungi hak-haknya. Adapun hak yang dimaksud yang sah secara hukum adat misalnya seperti : Hak perseorangan sebagai warga negara, warga masyarakat hukum adat mempunyai hak asasi yang sama dengan warga Negara lainnya.Hak kolektif sebagai masyarakat hukum adat, sebagai suatu komunitas antropologis, masyarakat hukum adat mempunyai hak kolektif, yang diperlukannya baik untuk membangun dan mengambangkan potensi kemanusiaan warganya untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih tinggi, terutama hak atas tanah ulayat.
Hak atas pembangunan, hak atas pembangunan merupakan bagian dari hak atas pembangunan, yang nemurut Deklarasi PBB tentang Hak atas pembangunan, 1986 dan Konvensi ILO 1989 tentang kelompok minoritas dan masyarakat hukum adat di negara-negara merdeka.
Ada catatan disebuah buku pada tanggal 9 Agustus diperingati sebagai International Day of The World’s Indigenous Peoples, atau kalau dalam bahasa Indonesia, berarti Hari Masyarakat Adat Internasional, yang menurut catatannya sependek yang diketahuinya, bahwa Konvensi PBB pada tahun 1994 ini belum diratifikasi pemerintah Indonesia menjadi undang-undang.
Pada sidang Majelis Umum PBB Desember 1994 itu, sejumlah negara, di antaranya Amerika dan Australia, menolak disahkannya Konvensi tersebut.Padahal, tujuannya jelas untuk kemaslahatan masyarakat banyak, khususnya masyarakat adat. Tahun 2016 dilaporkan sekitar 2.680 bahasa masyarakat di dunia dalam bahaya dan terancam punah. Konvensi PBB itu dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran dan bentuk pengakuan atas sumbangsih masyarakat adat dunia dalam perlindungan lingkungan.
Segera terlihat kontradiksi yang tajam dalam hal ini. Masyarakat adat itu berusaha sekuat tenaga dengan segala kemampuannya menjaga, melindungi dan melestarikan tanah milik adat warisan dari leluhur mereka. Masyarakat Aborigin misalnya, di Australia adalah contoh yang menakjubkan dalam hal ini. Mereka begitu mencintai tanah adat mereka. Bagi mereka “bumi adalah ibu”. Karena itu proteksi terhadap “ibu” mereka selalu dilakukan sampai titik darah penghabisan.
Namun ketika di Barat Australia pada tahun 1851 ditemukan tambang emas, suasana berubah. Pemerintah kolonial Inggris, yang waktu itu mengklaim Australia sebagai miliknya, melakukan penambangan. Para pendatang makin banyak berdatangan. Ironisnya pemerintah kolonial ini mengkapling-kapling tanah, termasuk bagian dari tanah adat masyarakat Aborigin, untuk para pendatang. Konflik berdarah berkepanjangan terjadi. Ribuan warga Aborigin tewas. Tetapi itu tidak membuat nyali mereka menjadi ciut. Mereka berusaha terus melakukan perlawanan.
Semua perjuangan berkaitan hak-hak tersebut tentu tidak dapat dilaksanakan karena status masyarakat hukum adat dalam tata hukum seperti di Indonesia masih berkaitan dengan status yaitu “pengakuan”. Pengakuan ini mempunyai makna yuridis.
Menurut Pasal 51 (b) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Masyarakat Hukum Adat dapat menjadi Pemohon dalam dalam suatu perkara konstitusional. Konsekuensi dari pasal ini, suatu Masyarakat Hukum Adat yang tidak atau belum mempunyai legalitas berupa pengakuan dari Negara, akan menghadapi kendala dalam membela hak-haknya.
Hal tersebut akan menambah catatan panjang kegagalan Negara memberi perlindungan kepada warga Masyarakat Hukum Adat, yang hak-hak dimana pelaggaran tersebut memang sudah sering terjadi akibat tindakan aparatur Negara maupun pihak ketiga lainnya.
Dari uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa hal yaitu : (1).Masyarakat Adat dapat saja dinamakan sebagai Masyarakat Tradisional. Akan tetapi suatu Masyarakat Tradisional tidak dapat begitu saja (otomatis) disebut sebagai Masyarakat Adat. Jika pengertian tradisional itu tidak menyangkut tentang nilai-nilai (hukum adat) maka suatu Masyarakat Tradisional itu jelas tidak dapat disebut sebagai Masyarakat Adat.
Sebaliknya, jika tradisional itu diartikan sebagai konsep tradisi seperti tujuan dari “Dalihan Na Tolu” yang turun temurun oleh sebab keyakinan atas nilai-nilai/hukum adat, maka dapat saja Masyarakat Tradisional itu disebut Masyarakat Adat. Jadi kata kuncinya terletak pada pemaknaan antara tradisi (mencakup nilai-nilai yang diwariskan secara turun temurun) dan tradisional.(2).Tentu tidak ada yang melarang bahwa Masyarakat Adat dapat disebut dengan nama lain yakni Masyarakat Hukum Adat, tetapi suatu Masyarakat Hukum Adat belum tentu dapat disebut sebagai Kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Apabila pengertian adat itu menyangkut nilai nilai hukum adat, maka masyarakat adat dapat disebut pula Masyarakat Hukum Adat.
Apabila Masyarakat Hukum Adat diartikan sebagai masyarakat dengan penekanan pada hukum yang dianut, maka ia tidak dapat disebut sebagai kesatuan dalam perspektif sosiologis. Sebaliknya, jika masyarakat hukum itu ditekankan pada aspek institusi, ia dekat dengan pengertian dalam kesatuan-kesatuan masyarakat Hukum Adat. Maksud dari kata ‘dekat’ di sini adalah, substansinya berkisar pada persoalan institusi dan tidak berkisar semata-mata pada aspek karakteristik atau sifat tertentunya saja.
(3).Konsisten dengan pengertian masyarakat dalam pendekatan sosiologis dimana masyarakat hukum itu sudah dengan sendirinya memiliki makna Kesatuan (lihat kembali pendapat Soerjono Soekanto), maka akan menarik bilamana perubahan Pasal 18 B Ayat 2 itu menggunakan peristilahan yang lengkap yakni Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat.
Pencegahan terhadap terjadinya tumpang tindih dalam menarik batas antara Masyarakat Adat, Masyarakat Hukum Adat, dan kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat dapat dilakukan melalui cara sebagai berikut :
Pertama, melalui penafsiran atas kata “kesatuan-kesatuan”. Penggunaan kata ‘kesatuan-kesatuan’ jelas mengandung arti beragamnya Masyarakat Hukum Adat itu, artinya adanya konsekuensinya adalah pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat harus dilakukan satu persatu menurut kebutuhan Masyarakat Hukum yang bersangkutan.
Kedua, dengan merujuk pada penempatan kesatuan-kesatuan tersebut di dalam Bab VI UUD NRI 1945 dimana Bab itu dimaksud yang berkaitan dengan berjudul Pemerintahan Daerah atau Otonomi Daerah.
Penempatan pengaturan ini sejalan dengan pengakuan yang diberikan kepada kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang diatur pada Pasal 2 (4) undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Ketiga, dengan memperhatikan bahwa hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan tersebut diatur juga pada Pasal 67 UU No.14 th. 1999 tentang Kehutanan, selengkapnya ditentukan sebagai berikut :
(1).Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak : a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari Masyarakat Adat yang bersangkutan. b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum. Misalnya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, secara khusus pada Pasal (4) yang mengatur bahwa “Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah”. Kemudian juga pada Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 4 Ayat (3) dimana diatur bahwa “Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”
Akan tetapi, kedua Undang-Undang yang disebutkan di atas tidak menjelaskan secara terinci mengenai konsep ‘masyarakat hukum adat’ tersebut.
Dalam UU No. 41 Tahun 1999 bahkan disebutkan bahwa “masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada diakui keberadannya.”
Hal tersebut tentu menyebabkan potensi multi tafsir dan menjadi lahan subur terjadinya konflik norma dalam praktek kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia, terutama dalam konteks hubungan antara kekuasaan, pengakuan, dan penghormatan. Keadaan tersebut menyebabkan pengakuan dan penghormatan yang dihajatkan terhadap Masyarakat Hukum Adat tidak dapat dilaksanakan.
Potensi multi tafsir misalnya dapat dilihat dari aspek ‘siapa yang termasuk dalam Masyarakat Hukum Adat’ tersebut. Hal tersebut menimbulkan perdebatan tentang identitas personal individu yang berada dalam kelompok Masyarakat Hukum Adat, berkaitan dengan pengakuan menyangkut hubungan kelompok (Masyarakat Hukum Adat) dengan perorangan sebagai anggota dalam satu kesatuan Masyarakat Hukum Adat.
Lebih dari itu kesimpang siuran penggunaan istilah juga menambah ketidak jelasan apa yang dimaksud dengan ‘masyarakat hukum adat’. Pasal 18B Ayat (2) UUD RI Tahun 1945 menggunakan istilah Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Berbagai peraturan lain dalam bidang hukum sumber daya alam menggunakan istilah yang berbeda-beda, seperti: Masyarakat Adat, Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Tradisional.
Persoalannya, keberagaman tersebut tidak hanya menyangkut istilah, tetapi juga berdampak pada keragaman pemaknaan pula atas batasan kelembagaan dari Masyarakat Hukum Adat itu. Dalam ranah aplikatif ketentuan normatif diperlukan terjemahan yang tegas, baik tentang pengertian, jenis dan bentuk Masyarakat Hukum Adat, sehingga dengan demikian pengakuan dan perlindungan tersebut dapat dilaksanakan oleh Negara.
Pengakuan dan perlindungan yang dilaksanakan oleh Negara terhadap Masyarakat Hukum Adat, dapat terwujud apabila ada landasan hukumnya dalam bentuk aturan perundang-undangan, yaitu Undang-undang tentang Masyarakat Hukum Adat. Pengertian pengakuan dan perlindungan tersebut sebetulnya juga sudah diatur pada pada Pasal 4 (1) Undang-Undang RI. No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam Pasal tersebut, terlihat bahwa semua hutantermasuk kekayaan di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
Yang perlu dijaga pemaknaannya agar menjadi jelas adalah pernyataan yang menyangkut “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kata rakyat yang dicantumkan dalam pernyataan tersebut seyogyanya dalam bagian penjelasan diberi batasan supaya terang yang dimaksud rakyat dalam segmen yang mana, oleh kekuasaan dalam tingkatan apa ? 3 Hal tersebut masih belum jelas dalam UU ini.
Akan tetapi yang sudah pasti adalah harus ada pemahaman di mana sumber daya alam itu harus dimanfaatkan, harus dijaga, dipelihara, dan para stakeholder (masyarakat dan Negara) yang terlibat dalam pemanfaatan, pengelolaan, dan pemeliharaannya harus memiliki sikap saling respek dalam wujud perbuatan. Hal-hal itulah yang akan menjadi isi dari Undang-Undang untuk dapat menuju “sebesar-besar kemakmuran rakyat” dimaksud.
Tentang istilah menghormati, dalam teori ketatanegaraan sama dengan mengakui kedaulatan. Sehingga, ada 3 artinya secara analogi sama kedudukannya dengan “mengakui dan menghormati daerah istimewa dan daerah khusus.”
Dalam hal ini, Pan Mohamad Faiz memberi makna sebagai : Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat.
Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.
Ketiga kewajiban di atas menjelaskan jaminan bagi tujuan “menghormati” yang diberikan oleh negara kepada Masyarakat Hukum Adat atas sumber daya alam sekaligus memberikan pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu, negara hanya melakukan pengurusan (bestuursdaad) dan pengelolaan (beheersdaad), tidak bertindak selaku pemilik (eigensdaad).
Jika dicermati lebih lanjut ketentuan pada Pasal 5 UU RI No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, istilah Masyarakat Hukum Adat belum juga mendapatkan pengertian yang jelas. Lebih jauh dari itu pada beberapa aturan perundangan-undangan dalam rangka menjelaskan apa yang dimaksud sebagai Masyarakat Hukum Adat, mencantumkan kembali ketentuan Pasal 18 B Undang-Undang Dasar Negara RI, seperti redaksi aslinya.
Akibatnya, tidak terdapat suatu peraturan perundangan pun yang memuat penjelasan memadai tentang apa itu Masyarakat Hukum Adat. Dengan demikian ketentuan normatif tentang apa yang dimaksud dengan Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat itu belum jelas, apalagi yang menyangkut persyaratan pengakuannya untuk dapat memenuhi ketentuan persyaratan, “sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara keastuan Republik Indonesia yang diatur dengan undang-undang Atas dasar uraian tersebut diatas menjadi dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut ;(1). Apakah batasan suatu kelompok Masyarakat Hukum Adat itu dinyatakan masih ada ?(2). Lembaga negara dalam tingkatan apa yang dapat menyatakan Masyarakat Hukum Adat itu masih ada atau bahkan menyatakannya menjadi tidak ada ? (3). Bagaimana bentuk-bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada masyarakat hukum adat dalam merealisasikan haknya sebagai suatu kelompok terutama dalam isu akses SDA ?
Tujuan utama dari artikel ini adalah sejauh mana batasan tentang Masyarakat Hukum Adat. Kemudian untuk mengetahui juga keberadaan kelembagaan Negara yang dapat memberikan perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat, sekaligus guna memahami bentuk pengakuan dan penghormatan Negara terhadap hak Masyarakat Hukum Adat.
Sehingga diperoleh manfaat yang dapat menjadi pengetahuan dikalangan Masyarakat Adat, sebab dengan diketahuinya batasan tentang Masyarakat Hukum Adat yang masih hidup dan sesuai dengan aturan perundang-undangan, batasan tersebut dapat digunakan sebagai pedoman untuk menentukan pengakuan, perlindungan dan penghormatan terhadap Masyarakat Hukum Adat.
Pengetahuan, merupakan sebuah pedoman menambah wawasan, juga untuk memberi sumbangan tentang pemikiran yang berkenaan dengan asas dan konsep tentang Masyarakat Hukum Adat.
Tentu keberadaan adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang adalah salah satu pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana penjelasan diatas adalah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud tersebut, bahwa setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan aturan tersebut, telah jelas ditentukan bahwa pengakuan keberadaan Masyarakat Hukum Adat itu telah ditetapkan menjadi kewenangan Pemerintah Daerah dengan menggunakan perangkat hukum Peraturan Daerah. Peraturan Daerah dimaksud sebagaimana ditentukan pada Pasal 2 adalah Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Th. 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah hak Ulayat masyarakat Hukum Adat.
Sekalipun ketentuan tersebut masih kental memperlihatkan adanya kewenangan sentralisme, namun terdapat perkembangan pengaturan yang mengarah pada pengakuan atas realitas keberadaan Masyarakat Hukum Adat.
Sifat kecurigaan pemerintah pusat telah dikurangi. Hal ini sejalan dengan pendapat Soetandyo Wignjosoebroto dalam uraiannya menyangkut hubungan pemerintah dengan rakyat. Menurut Wignjosoebroto, kalaupun semangat nasionalisme dan sentralisme seakan terus mencurigai segala gerakan yang mendesakkan pengakuan kembali komunitas-komunitas lokal sebagai satuan-satuan otonom, perkembangan politik dan hukum dalam pergaulan antar bangsa justru mendorong diakuinya kembali eksistensi komunitas-komunitas subnasional itu sebagai satuan-satuan otonom yang dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya akan terakui pula hak-haknya untuk menentukan nasib sendiri.
Dalam kehidupan Negara Kesatuan, sifat saling curiga sulit dihilangkan, karena realitasnya memang terdapat silang selisih dan ragam kepentingan yang berpotensi konflik, yang sebetulnya dapat dikelola sebagai sarana kompromi.
Hal ini akan terus berlangsung dan memerlukan pengelolaan konflik yang baik, sampai ditemukan fokus dalam wawasan kebangsaan. Dengan demikian, pengakuan dan penghormatan Negara atas Masyarakat Adat menjadi sangat penting artinya.Terutama berkaitan dengan perlindungan atas hak Masyarakat Adat unuk mengakses sumber daya alam.
Hal tersebut terlihat antara lain dalam TAP MPR No. IX Tahun 2001 yang dimaksudkan untuk menata ulang peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sumber agraria dan Sumber Daya Alam. TAP tersebut telah menggariskan bahwa salah satu prinsip dalam pengelolaan Sumber Daya Alam adalah pengakuan, penghargaan dan perlindungan dari negara terhadap hak-hak Masyarakat Hukum Adat dalam pengelolaan Sumber Daya Alam.
Sebaliknya, UU No. 41 Th. 1999 tentang Kehutanan, yang secara hierarki hukum berada di bawah konstitusi dan TAP MPR, justru tidak mengakui dan tidak menghargai hak-hak Masyarakat Adat atas penguasaan maupun pemilikan atas hutan adat, yaitu kawasan hutan yang berada dalam wilayah adatnya.
Pasal-pasal yang mengangkut hak-hak Masyarakat Adat yang diatur dalam UU ini bertentangan dengan acuan hukum di atasnya, yaitu: UUD 1945 dan TAP MPR No. IX Th. 2001. Pengakuan yang ada dalam UU ini atas hak-hak masyarakat adat atas hutan adatnya masih bersifat terbatas dan reduktif, yaitu hanya pemberian hak pengelolaan.
Hak kepemilikan tetap ada pada Negara.Oleh karena itu, patut diduga bahwa Negara ini sudah melampaui kewenangannya dalam melaksanakan hak menguasai. Hendaknya TAP MPR No. IX Tahun. 2002 dapat menularkan prinsipnya kepada UU No. 41 Tahun. 1999 tentang Kehutanan.
Dengan kata lain UU tersebut yang lahir sebelum TAP ditetapkan, seharusnya dapat direvisi supaya sesuai dengan prinsip TAP MPR No IX Tahun 2002.
Pengakuan dan penghormatan Negara atas Masyarakat Adat menjadi sangat penting artinya. Terutama berkaitan dengan perlindungan atas hak Masyarakat Adat untuk mengakses Sumber Daya Alam.
Hal tersebut terlihat antara lain dalam TAP MPR No. IX Tahun 2001 yang dimaksudkan untuk menata ulang peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sumber agraria dan Sumber Daya Alam. TAP tersebut telah menggariskan bahwa salah satu prinsip dalam pengelolaan Sumber Daya Alam adalah pengakuan, penghargaan dan perlindungan dari negara terhadap hak-hak Masyarakat Hukum Adat dalam pengelolaan Sumber Daya Alam.
Sebaliknya, UU No. 41 Th. 1999 tentang Kehutanan, yang secara hierarki hukum berada di bawah konstitusi dan TAP MPR, justru tidak mengakui dan tidak menghargai hak-hak masyarakat adat atas penguasaan maupun pemilikan atas hutan adat, yaitu kawasan hutan yang berada dalam wilayah adatnya. Pasal-pasal yang mengangkut hak-hak Masyarakat Adat yang diatur dalam UU ini bertentangan dengan acuan hukum di atasnya, yaitu: UUD 1945 dan TAP MPR No. IX Th. 2001.
Pengakuan yang ada dalam UU ini atas hak-hak Masyarakat Adat atas hutan adatnya masih bersifat terbatas dan reduktif, yaitu hanya pemberian hak pengelolaan. Hak kepemilikan tetap ada pada Negara. Dengan demikian, Negara sudah melampaui kewenangannya dalam melaksanakan hak menguasai. Hendaknya TAP MPR No. IX Tahun 2002 dapat menularkan prinsipnya kepada UU No. 41 Tahun. 1999 tentang Kehutanan. Dengan kata lain UU tersebut yang lahir sebelum TAP ditetapkan, dapat direvisi supaya sesuai dengan prinsip TAP MPR No IX Tahun 2002.
Dalam ayat (2) ditetapkan bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya Masyarakat Hukum Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Terlihat bahwa aspek pengakuan Negara masih dominan dalam pengaturan UU ini tentang keberadaan Masyarakat Hukum Adat. Sekalipun demikian, pada bagian penjelasan disebutkan bahwa Peraturan Daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.
Pengertian Masyarakat Adat berdasarkan hasil Kongres Masyarakat Adat Nasional yang Pertama pada tahun 2004, adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri.
Berdasarkan batasan ini, jelaslah penentuan tentang eksistensi Masyarakat Hukum Adat telah dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan kesatuan-kesatuan masyarakat Hukum Adat.
Hal tersebut sesuai dengan isi Pasal 2 (4) UU No.5 Th.1960 tentang Peraturan dasar Pokok Agraria, selengkapnya sebagai berikut : Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan pasal ini memperlihatkan bahwa: (1). Kedudukan Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat untuk melaksanakan kuasa atas hak menguasai Negara sama dengan kedudukan Daerah-Daerah Swatanra (Daerah Tingkat II).(2).Sebagai kuasa dari hak menguasai Negara dapat diberikan secara langsung oleh Negara, dalam hal ini tentu oleh Presiden, tetapi hal ini memerlukan peraturan tersendiri untuk melaksanakannya. (3). Mekanisme untuk menetapkan pengakuan tersebut ditetapkan dengan Undang-Undang. (4).Berbagai ketentuan perundang-undangan telah mengakui keberadaan Kesatuan-Kesatuan masyarakat Hukum Adat, tetapi mekanisme untuk melaksanakan proses pengakuan secara nyata diatur dengan proses yang sangat sulit, oleh karena itu terhadap perlindungannya juga belum dapat dilaksanakan.
Keadaan ini juga sejalan dengan pendapat Soetandyo Wignjosoebroto, sebagai berikut : Tak pelak lagi pengakuan yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan itu, baik ipso jure maupun ipso facto akan gampang tertafsirkan sebagai pengakuan yang harus dimohon, dengan beban pembuktian akan masih eksisnya masyarakat hukum adat itu oleh masyarakat hukum adat itu sendiri, dengan kebijakan untuk mengakui atau tak mengakui secara sepihak berada ditangan kekuasaan pemerintah pusat
Atas uraian tersebut telah jelas memperlihatkan, bahwa kewenangan untuk mengakui atau tidak mengakui keberadaan suatu Masyarakat Hukum Adat berada di tangan pemerintah pusat dan telah dikuasakan kepada Masyakat Hukum Adat sesuai ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Di mana dalam Pasal 2 tersebut diatur bahwa : Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Kesimpulannya dalam artikel ini, bahwa kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang diatur pada Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam perspektif budaya yang merupakan kesatuan masyarakat Indonesia asli Indonesia.
2) Istilah kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat adalah istilah yuridis yang ditentukan dalam Pasal 18 B (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan merupakan satu-satunya istilah yuridis. Penentuan pengakuan terhadap Kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat masih bengantung pada kekuasaan Negara. Pengakuan dan perlindungan itu dapat ditempuh melalui mekanisme pengujian materi UU yang merugikan masyarakat hukum adat, dan mekanisme penyusunan Peraturan Daerah pada lingkup wilayah daerah tempat Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan memerlukan pengakuan dan perlindungan.
3) Diperlukan satu kesatuan pengertian yuridis untuk memberikan definisi terhadap pengertian kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang ditentukan dalam Pasal 18 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4) Pengakuan terhadap Kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat itu harus dilakukan satu persatu atau kasus per kasus sesuai pengertian yang diberikan secara yuridis terhadap apa yang dimaknai sebagai “kesatuan-kesatuan” Masyarakat Hukum Adat.
Saran penulis,Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia sangat penting untuk diatur dalam aturan perundang-undangan. Hal ini untuk menghindari kehidupan Masyarakat Adat yang semakin termarjinalkan. Akan tetapi hendaknya pengaturan itu berkesesuaian dengan hukum nasional, hukum internasional, dan prinsip-prinsip Universal Hak Asasi Manusia.Perlu adanya pembaharuan peraturan perundang-undangan tentang Sumber Daya Alam untuk disesuaikan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen, untuk menjamin adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia. Semoga….
Oleh : A.Marulitua Siahaan
Menelisik kejamnya ulah perusahaan Oligarki seperti yang ada di Tapanuli Raya, mungkin perilakunya lebih tepat disebut, ibarat kata orang Melayu, berbahagia di atas penderitaan orang lain atau keberadaannya ibarat “Api dalam Sekam.”
Posisinya, meski selalu mengeluarkan asap dan bau busuk, dia bersikukuh bertahan dalam bayang-bayang.
Bahkan, sudah rahasia umum dia bersenang-senang diatas penderitaan rakyat selama 34 tahun kejahatannya menimpa Bangso Batak di Tapanuli Raya, serasa kebal hukum.
Modus yang sering dilakukannya untuk mematahkan perlawanan masyarakat adat yakni dengan memakai strategi seperti memprovokasi sesama warga masyarakat, menciptakan adu domba bahkan rela berkorban memelihara para pihak yang buta hati, sampai masyarakat melakukan tindakan hal yang justru dibuat menjerat masyarakat itu sendiri.
Misalnya, ada rakyat melakukan tindakan kekerasan terhadap pihak perusahaan dan atau karyawan perusahaan atau merusak fasilitas perusahaan, justru hal semacam itu yang diinginkannya hingga berurusan dengan aparat polisi.
Dapat dibayangkan, jika sebuah perusahaan besar sebagai pelapor, tentu aparat akan lebih sigap atau laporannya jadi skala prioritas untuk diproses dan menahan warga-warga yang dianggap penghalang.
Ditengarai hal demikian jika mengutip isi buku Van Vallenhoven asal Belanda, dalam bukunya yang berjudul Penemuan Hukum Adat (1987 : 153 & 199), dia memaparkan sejarah penerapan hukum adat di bidang hukum agraria terkait Tanah Hak Ulayat.
“Dalam tahun 1872 sampai 1874 dengan pengaturan umum mengenai pemerintahan (maksudnya penerbitan domein verklaring yakni pernyataan hak penguasaan tertinggi pemerintah atas semua tanah khususnya tanah ulayat yang bukan tanah hak eigendom).
Pemerintah kembali pada ketentuan keputusan dalam Agraria dimulai dari tahun 1870 adalah sah yang melindungi asas-asas hukum adat dengan istilah adatrech (hukum adat).
Hal itu kali pertama dipakai dalam naskah-naskah pemerintahan dimulai pada 1904 sejak Staatblad Belanda tahun 1920, 1921 dan 1924 sehingga istilah-istilah itu mendapatkan cap resmi secara sah yang harus dilaksanakan.
Kemudian, pada 1926, Pemerintah memutuskan menunjuk seorang kontrolir (J.C Vergowen) untuk mempelajari jalannya peradilan (maksudnya peradilan pribumi itu) di Tapanuli Raya.”
Uraian dari Van Vallenhoven tersebut telah menjelaskan bahwa dalam sejarah bangsa Indonesia, pemerintah Belanda seperti juga pemerintah RI telah menerapkan asas hukum adat dalam penanganan setiap sengketa hingga terakhir oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan No. 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Hutan Adat adalah hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara, yang menghormati sesuai amanat 18B Ayat (2) UUD RI Tahun 1945 menggunakan istilah Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Pengakuan dan perlindungan yang dilaksanakan oleh Negara terhadap Masyarakat Hukum Adat, dapat terwujud apabila ada landasan hukumnya dalam bentuk aturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat.
Sayangnya, terjadi pergeseran nilai terhadap peranan ajaran adat budaya sejak zaman Hindia Belanda hingga era globalisasi yang sedang berlangsung.
Para tokoh masyarakat adat khususnya para praktisi hukum sepertinya kurang antusias, padahal posisi hukum adat adalah awal adanya Hukum Agraria bentuknya sangat perlu guna meningkatkan peranan lembaga-lembaga marga dan lembaga adat Dalihan Na Tolu, guna membina tata hidup habatahon yang bersifat family atmosphere.
Oleh pemerintah sadar hingga akhirnya mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah atau UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, sengaja dibuat untuk memberi peluang bagi lembaga adat di Tapanuli Raya bahkan untuk kepentingan seluruh suku nusantara guna melestarikan nilai sosial budaya masyarakat setempat.
Dari uraian tentang posisi Hukum Adat/Adat Istiadat sebagaimana dalam uraian tersebut adalah di atas, prinsip-prinsip moral yang menjadi kaidah moral dalam adat istiadat tersebut akan dapat dijadikan landasan atau sebuah konseptual dalam kegiatan penegakan hukum.
Sebab, etika adanya budaya suku-suku di Indonesia adalah mengandung prinsip-prinsip moral sosiatif dan toleransi didasari dengan etika moral keadilan.
Etika keadilan dapat diterapkan melalui tiga aspek, yaitu: etika agama, etika budaya, dan etika Pancasila.
Landasan Etika dalam Aspek Agama
Landasan Agama adalah menduduki posisi sentral dalam proses penegakan dan pembangunan hukum.
Apalagi, bahwa keberadaan agama sangat mengandung dua aspek peranannya dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu :
1. Peranan sebagai tuntunan kehidupan spiritual yang biasa disebut sebagai dogma agama.
Dogma agama adalah merupakan wahyu dari Ilahi (TUHAN) yang memiliki kadar nilai kekekalan yang tidak mungkin dinilai dari aspek logika insani.
2. Peranan sebagai tatanan kehidupan spiritual yang biasa disebut Gereja, Masjid, dll.
Sebagai tatanan kehidupan spiritual dapat didekati untuk pengembangannya melalui etika agama.
Etika agama berperan sebagai pembimbing tingkah laku manusia agar mampu mencapai kebahagiaan dalam aspek insani dan aspek Ilahi melalui prinsip moral takut akan Allah.
Frans Magnis Suseno seperti diangkat E. Sumaryono (1995: 255) menyatakan, ada empat alasan untuk melakukan pendekatan etika, yaitu:
1. etika dapat membantu dalam menggali rasionalitas dan moralitas agama;
2.etika membantu dalam menginterpretasikan ajaran agama yang saling bertentangan;
3. etika dapat membantu penerapan ajaran moral agama terhadap masalah-masalah baru dalam kehidupan manusia, seperti soal bayi tabung dan euthanasia.
4. etika dapat membantu mengadakan dialog antar agama karena etika mendasarkan pada argumentasi rasional belaka bukan pada wahyu.
Keempat pendekatan etika agama tersebut sangat relevan untuk dijadikan landasan perilaku para profesional, sehingga kapasitas profesional para penegak hukum dapat berkembang sejalan dengan realitas sosial yang dihadapi mereka dalam proses penegakan hukum.
Dengan melibatkan ajaran – ajaran agama tentu sungguh mengandung prinsip moral utama yaitu roh takut akan Tuhan.
Isi janji/sumpah jabatan profesi hukum selamanya didasarkan pada prinsip moral utama tersebut.
Para insan profesional akan semakin mampu menjalankan peranan pengabdian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara jika mampu menerapkan Golden Wisdom yaitu : perilaku yang mendasarkan diri dalam etika agamanya dengan dukungan etika budaya suku dan etika Pancasila.
Penerapan etika agama akan dapat berjalan optimal jika didukung penerapan etika budaya suku-suku dan etika Pancasila.
Penanganan konflik kultural dalam era globalisasi perlu ditingkatkan melalui kegiatan lembaga sosial agama dan lembaga sosial budaya.
Masyarakat suku adat Minangkabau misalnya, sangat berhasil menerapkan etika agama dan etika budayaNya.
Minangkabau mengatasi berbagai konflik kultural di lingkungan masyarakat Minangkabau di manapun mereka berada.
Lembaga sosial budaya dan agama di Minangkabau telah sejak lama menerapkan prinsip etika adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabulloh.
Kegiatan Kerapatan Adat Nagari (KAN) di Minangkabau dalam kegiatan menjalankan peradilan adat, selalu dibina Kerapatan Adat Alam Minangkabau (KAAM) dan lembaga sosial agama setempat.
Semoga…! **
Oleh Jhon Eilbert Sitinjak.
Jakarta 5 Agustus 2021
Dalam pengembangan suatu daerah tidak lepas dari peran Pemerintah, baik Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat.
Seperti halnya Kawasan Danau Toba yang terdiri dari 7 Daerah Tingkat II Kabupaten, antara lain:
1.Kabupaten Simalungun, Ibukotanya Pematang Raya.
2.Kabupaten Tanah Karo , ibukotanya, Kabanjahe.
3.Kabupaten Dairi, ibukotanya Sidikalang.
4.Kabupaten Tapanuli Utara, ibukotanya Tarutung.
5.Kabupaten Toba, Ibukotanya Balige.
6.Kabupaten Samosir, Ibukotanya, Pangururan.
7.Kabupaten Humbang Hasundutan(humbahas) ibukotanya Dolok Sanggul.
Ketujuh Daerah penyanggah Kawasan Danau Toba ini diharapkan sama-sama menjaga kelestarian Danau Toba.
Dihimpun dari berbagai informasi, Bukti dari Pemerintah Pusat memberikan perhatian besar terhadap Danau Toba, negara sudah menetapkan Kawasan Danau Toba(KDT) sebagai Kawasan Strategis Nasional merupakan Destinasi Pariwisata yang bertaraf internasional.
Dengan begitu seriusnya Pemerintah Pusat untuk mengembangkan Kawasan Danau Toba, menganggarkan dana sampai 4 Triliunan rupiah dari APBN, sebagai mana yang pernah turun dalam pemberitaan media massa.
Mengharapkan pembangunan Kawasan Danau Toba cepat selesai Presiden Jokowi pernah mengatakan, pembangunan Kawasan Strategis Nasional Danau Toba paling lambat selesai tahun 2022.
Ada pernyataan dari Presiden begitu juga para menterinya, akan menindak tegas perusahaan-perusahaan yang merusak ekosistim Kawasan Danau Toba.
Sejarah berdirnya PT.Toba Pulp Lestari, didirikan dalam rangka Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri No 6 Tahun 1968 Jo Undang-Undang No 12 Tahun 1970 berdasarkan Akta No 329 tanggal 26 April 1983 dari kantor Misahardi Wilamarta,SH di Jakarta.
Akte pendirian tersebut sudah mendapatkan persetujuan dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam surat keputusan No.C2-5130.HT01-01 tanggal 26 Juli 1983 serta diumumkan dalam berita negara No 97 tanggal 4 desember 1984, tambahan No 1176.
Anggaran dasar perusahaan telah mengalami beberapa kali perubahan dan yang terahir dengan Akta No 06 tanggal 19 Januari 2019 dari Notaris Gunawati SH di Kabupaten Deli Serdang dan telah mendapat persetujuan dari Menteri Hukum dan HAM dalam surat keputusannya No AHU.0032845 AH 01.02 tanggal 25 Januari tahun 2019.
Seiring dengan perjalanan waktu PT.TPL ingin memperluas penanaman pohon eucalyptus tanpa menghiraukan siapa pemilik lahan tersebut.
Permasalahan inilah yang memicu masyarakat marah karena tanah adat terkesan diserobot oleh TPL seperti Natumingka, ditanami oleh pihak PT.TPL dan masyarakat menggalang perlawanan dengan membuat portal untuk menghalangi jalan masuk pihak PT.Toba Pulp Lestari.
Pihak keamanan PT.TPL memberi aba-aba kepada karyawan agar membekali diri dengan memegang kayu dan batu untuk menerobos blokade barisan warga dengan melempari kayu dan batu kepada masyarakat.
Dengan hadirnya TPL yang membuat kegaduhan hampir sama dengan politik pecah belah, apakah kita membiarkan hal ini terjadi? tentunya tidak, karena itulah berbagai elemen menyuarakan “Tutup TPL”
agar Pemerintah mengambil tindakan untuk menutup PT.TPL tersebut.
Ada pihak pihak yang sengaja bersuara untuk membela TPL dengan membuat narasi bahwa TPL sudah banyak memberikan bantuan pada masyarakat.
Masyarakat yang senang memuja keberhasilan TPL dapat digolongkan menjadi Terompet TPL yang hanya memikirkan kehidupan ratusan orang tanpa bisa menggunakan akal sehat jauh lebih banyak dampak negatif yang ditimbulkan dengan hadirnya TPL, membuat kekeringan karena sudah tidak ada lagi pohon- pohon yang besar semuanya habis ditebangi oleh TPL dan ditanami bibit eucalyptus sebagai bahan paku untuk bubur kertas, sehingga hutan pun gundul dan tidak bisa menyimpan air.
Kekerdilan pemahaman masyarakat hanya dari segi bantuan yang dilakukan oleh TPL perlu dirubah, ibaratnya suatu usaha katakanlah pabrik ” NARKOBA” pastilah memberikan upeti pada masyarakat sekitar dan para petinggi di tempat tersebut, sehingga semuanya mengatakan bahwa si Anu itu baik.
Seiring waktu berjalan dan usaha yang dilakukan sedikit demi sedikit terungkap, ahirnya juga ditutup.
Aksi tutup TPL datang dari TIM sebelas dengan melakukan aksi jalan kaki dari Toba-Istana sebagai mana salah satu anggota TIM 11 menuliskannya berikut ini:
* SURAT BUAT PRESIDEN JOKO WIDODO*
Bapak Presiden Jokowi Yang Baik..
Kami 11 orang rakyat Bapak yang menamakan diri TIM 11.
Mengadakan Aksi Jalan Kaki dari Makam Sisingamagaraja ke XII Soposurung Balige menuju Istana Negara di Jakarta.
Yang dimulai dari tanggal 14 Juni 2021, dan tiba di Jakarta tanggal 27Juli 2021.
Tujuan kami adalah ingin bertemu langsung dengan Bapak Jokowi, untuk mengadukan langsung keresahan kami dan masyarakat seputaran Danau Toba.
Bukan hanya persoalan keadaan Danau Toba yang saat ini sudah tercemar tidak seindah dulu lagi. Suhu yang memanas, air Danau yang menyurut hutan yang rusak sehingga di Parapat bisa terjadi banjir bandang.
Tetapi ada banyak persoalan dan konflik yang terjadi di masyarakat dengan pihak perusahaan Toba Pulp Lestari . Soal perampasan Tanah Adat, perlakuan tindakan semena-mena.
Kejadian sudah berlangsung lama serta sudah banyak yang korban/mati bahkan mencapai 31 orang.
Peristiwa Natumingka 18 Mei 2021 , yang membuat kegeraman dan kemarahan banyak orang. Termasuk Togu Simorangkir , yang mencetuskan ide Aksi Jalan Kaki TUTUP TPL.
Dengan waktu yang singkat kami akhirnya “terkumpul” menjadi 11 orang.
Saya berumur 54 tahun adalah seorang ibu rumah tangga , Opung/nenek dari 2 cucu, dan biasa di panggil ONI singkatan dari Opung NIta.
Oni sama sekali TIDAK MENGENAL anggota TIM 11 kecuali Togu Simorangkir dan anaknya Bumi yang berusia 8 tahun.
Kami TIM 11 saling mengenal satu sama lain saat H-1, sehari sebelum Aksi..
Kami bukan aktifis, kami bukan orang partai, kami bukan orang yang terlibat Ormas apapun. Kami bergerak tanpa disponsori siapapun.
Kami dari berbagai daerah.
Ada yang dari Serapuh, Muara, Parapat, Ajibata, Pandumaan, Perdagangan, Binjai, Tongging.
TIM 11 hanya dipersatukan oleh visi misi yang sama, untuk Danau Toba dan alam sekitarnya lestari .
Kami tidak dibayar oleh siapapun, kami tidak mengumpulkan dana dengan membuka rekening ke publik.
Kami hanya menerima bantuan/sumbangan dari keluarga dan orang-orang yang mengenal siapa kami dan paham bahwa kami ini TIM.
Tulus Ikhlas dan Militan (TIM)
TIM 11 semua punya keluaga .
Kami rela meninggalkan keluarga, dan keluarga merelakan kami.
Banyak sekali pengalaman yang ingin Oni ceritakan pada Bapak Jokowi, bagaimana banyaknya orang baik di sepanjang perjalanan kami yang dengan tulus ikhlas memberi kami makanan, minuman, uang.
Kami makan apa saja yang ada, dan kami tidur dimana saja kami bisa merebahkan badan.
Pernah kami tidur di sebuah gereja, pernah tidur di warung pinggir jalan, Oni pernah tidur di mushola.
Pernah tidur di penginapan yang semalam cuma 100 ribu.
Tapi banyak juga orang baik membuka rumahnya untuk TIM 11 sekedar beristirahat. Ada banyak yang menyediakan rumahnya untuk menginap. Ada yang menginapkan kami di hotel . Dan semua orang baik itu kebanyakan TIDAK KAMI KENAL. Tapi mereka mengikuti perjalanan kami dari medsos.
Terakhir ada Mak Ifani Ifani orang baik yang menyediakan apartemen buat TIM 11 menginap selama di Jakarta.
Bapak Presiden Joko Widodo yang baik.
Kami TIM 11 sudah sampai di Jakarta di hari ke 44 berjalan kaki.
Tepatnya tanggal 27 Juli 2021
Tapi langkah kaki kami terhenti di Jln Sisingamangara XII sekitar 8 Km lagi ke Istana Presiden.
Entah apa salah kami, kami tidak mengerti . Kami dihadang oleh banyak sekali polisi. Ada puluhan polisi berseragam lengkap bersenjata.
Kami di serukan dengan toa yang memekakkan telinga untuk berhenti dan melakukan swab antigen saat itu juga.
Dan TIM 11 yang di swab, semua negatif hanya Togu Simorangkir yang reaktif.
Lalu dengan toa kembali diteriakkan bahwa kami semua harus segera naik mobil keranjang untuk dikirim ke Wisma Atlit untuk di karantina selama 14 hari.
Bapak Jokowi yang baik..
Togu Simorangkir yang konon katanya reaktif disatukan dengan kami yang semua negatif, berjejalan di mobil keranjang, yang lebih tepat disebut mobil tahanan karena di kerangkeng.
Kami di kawal oleh petugas berpakaian APD lengkap. Dengan sirine meraung-raung dari segala penjuru.
Sesampainya di Wisma Atlit kami menunggu di mobil kerangkeng. Tidak diperkenankan turun.
Setelah sekian lama kemudian mobil berbalik arah, keluar dari Wisma Atlit . Kembali kami dibawa lagi putar-putar ntah kemana.
Akhirnya TIM 11 sampai ke Rusun Pasar Rumput.
Disana kami TIM 11 di suruh turun, kemudian di kumpulkan di sebuah tenda.
Diminta kumpulkan KTP, kami di data, kemudian kami dibiarkan begitu saja.
Hanya Togu Simorangkir yang dipanggil masuk ke gedung, karena cuma dia yang reaktif.
Entah bagaimana si Togu kami tidak tau lagi. Kami berpisah.
@Karena setelah lama menunggu di tenda kami dibawa lagi (dengan mobil kerangkeng lagi) ke Polres Metro Jaya Jakarta Pusat.
Sebelumnya ketua TIM 11 Jevri Manik sudah berdebat alot dengan oknum polisi.
Apa dasar membawa TIM 11 ke kantor polisi?
Kami tidak melanggar aturan, kami tidak melanggar PPKM .
Kami tidak berkerumun.
Kami tidak berdemontrasi
Kami tidak berorasi
Kami HANYA BERJALAN KAKI di jalan raya menuju Istana Negara.
Saya yang sudah kelelahan lahir bathin meminta pada Ketua TIM 11 untuk menurut saja dibawa ke Polres Metro Jaya.
Karena katanya setelah didata disana kami dilepas.
Selama 2 jam di Polres Metro Jaya kami tidak dipersilahkan masuk ke ruangan apapun.
Kami dikumpulkan di halaman kantor polisi. Tanpa ada basa basi kami disodori nasi kotak dan air mineral, kami disuruh makan.
Tentu saja kami tolak. Kami tidak butuh makan.
Kami butuh dibebaskan!
Saat itu banyak teman² yang bersimpati pada TIM 11 ikut mendatangi kami di Polres tersebut. Diantaranya adalah Abdon Nababan sebagai saksi mata atas “penghadangan” Polisi di Jln Sisingamangaja XII itu.
Karena beliau yang menemani Oni berjalan kaki.
Dan kembali lagi perdebatan terjadi dengan pihak kepolisian.
Singkat cerita akhirnya kami dibebaskan, sebenarnya sih bukan dibebaskan, seolah-olah kami di “beri” polisi kebebasan.
Tepatnya kami pulang, karena memang TIDAK ADA 1 pasal pun pelanggaran yang TIM 11 lakukan.
Sehingga polisi tak punya dasar untuk menahan kami.
Bapak Presiden Jokowi yang baik.
Sejak peristiwa itu, kami TIM 11 “tertahan” di apartemen Brawijaya.
Sudah hari ke 50 tepat di hari ini 02 Agustus 2021
Kami tidak tau mau mengadu kesiapa untuk segera dipertemukan dengan Bapak Jokowi.
Keluarga kami dikampung sudah khawatir akan sampai kapan kami di Jakarta ini.
Pertanyaan “Kapan TIM 11 ketemu Bapak Jokowi” masih belum bisa kami jawab Pak
Seperti yang saya nyatakan diatas tadi, kami hanya rakyat biasa Pak.
1. Togu Simorangkir 45 thn Petani
2. Anita Martha Hutagalung 54 thn sorang Opung.
3. Bang Rait Irwandi 40 thn disabilitas yg penjahit
4. Christian Gultom 41 thn seorang petani
5. Jevri Manik 43 Perawat
6. Yman Munthe 32 thn petugas Kaur Kec Tongging
7. Agustina Pandiangan 29 guru honorer
8. Ferry J Sihombing 40 bekerja di bengkel bubut.
9. Ewin Rico Hutabarat 32 seorang supir
10. Lambok Siregar 28 bekerja di warung makan.
11. Bumi Simorangkir 8 tahun, kelas 3 SD.
Kami TIM 11 masih akan setia menunggu kesediaan Bapak Jokowi untuk menerima kedatangan kami sebentar aja pun jadi Pak.
Kami akan menyerahkan segala bukti-bukti yang berkenaan dengan TPL.
Sebelumnya kami TIM 11 akan menyelesaikan Aksi Jalan Kaki sampai finish ke Istana Negara Jakarta.
Ada sekitar 8 Km lagi yang harus kami selesaikan.
Karena saat kami diberangkatkan dengan doa, tujuan kami adalah berakhir di Istana Negara Jakarta.
Bukan di Jln Sisingamangaraja Jakarta.
Panjang Umur Perjuangan.
Tutup Perusak Lingkungan.
Akhir kata saya mewakili TIM 11 mengucapakan banyak terimakasih atas perhatian Bapak Jokowi.
Tuhan memberkati.
#TutupTPL
Oleh : A.Marulitua Siahaan
Jakarta 3 Agustus 2021
Danau Toba itu terbentuk sejak terjadinya letusan Gunung Gajah (gunung Toba 75.000 tahun yang silam.
Konon peristiwa ini tercatat sebagai salah satu ledakan gunung vulkanik terbesar di dunia dan potensi bahayanya lebih dahsyat daripada ledakan Gunung Yellowstone di Amerika Serikat.
Hal ini dikarenakan Gunung Gajah (Gunung Toba), merupakan suatu kaldera gunung berapi yang sangat super tingginya juga dikenal sebagai gunung Gajah di Alam semesta.
Semua, ahli tentu tahu di era tahun 1990-an, seperti mereka ahli vulkanologi Eropa Barat termasuk Inggris konon masih menemukan endapan abu besar dari Toba di sedimen laut yang tersebar di Samudra Hindia.
Abunya, mengandung tanda kimia yang dapat ditelusuri kembali dan diteliti ternyata berasal dari 75.000 tahun yang silam.
Studi lain juga menemukan abu serupa, seperti di Laut Cina Selatan, Laut Arab dan bahkan di Danau Malawi, sekitar 7.000 km ternyata berasal dari Toba.
Bahkan, menurut ahli vulkanologi Clive Oppenheimer dari Cambridge University menyebutkan dalam penelitiannya di Asia Tenggara pada tahun 2002, bahwa “Letusan Toba sejujurnya terbesar dalam puluhan juta tahun terakhir.”
Pernyataan ini memang realistis, hal ini didasari dengan fakta-fakta bahwa Danau Toba sebelumnya ialah suatu Gunung Berapi raksasa bernama Gunung Toba dan atau zaman dahulu disebut gunung “Gajah” dengan lavanya yang dalam bahasa Inggris disebut Toba Magma.
Karena, wilayah sekitaran danau Toba jelas merupakan salah satu pusaran bumi yang memiliki erat keterkaitan-Nya dengan jalur Sirkum Mediterrania yang perlu disadari manusia (Sirkum ini merupakan salah satu jalur keberadaan gunung berapi yang masih aktif sampai sekarang bersamaan dengan Sirkum Pasifik di lautan Pasifik), dan itu fakta.
Adanya fenomena alam yang nyata ini tentu bisa saja keberadaannya akan mengakibatkan Danau Toba, dapat menjadi ancaman bagi beberapa wilayah di dunia, terutama untuk 2 benua sekaligus. Dikenal, yaitu benua Asia dan Afrika.
Dan, wilayah yang paling berdampak tersebut jika diurutkan dari Afrika maka akan meliputi :
1.Madagaskar,
2 Kenya,
3. Djibouti,
4. Ethiopia,
5. Saudi
6. Arabia,
7. Irak,Iran,
8. India (Pulau Andaman dan Nikobar serta Tamil Nadu),
9. Srilanka,
10. Bangladesh,
11. Burma,
12. Thailand,
13. Kamboja,
14. Semenanjung Malaya,
15. Pulau Sumatera/Sumatera Island (dahulu kian bernama Andalas),
16. Jawa dan pesisirnya,
17. Sunda Kecil,
18. Sulawesi,
19. Papua,
20. Filipina (Mindanao) hingga terhubung ke Pasifik.
Tentu semuanya ini merupakan jangkauan mendalam dari rentetan gunung vulkanik aktif.
Jika Gunung Toba aktif kembali seperti 75.000 tahun lalu, akibat kurangnya keseimbangan Alam hutan tanah Batak yang mana Air habis disedot oleh Eucalyptus PT.TPL, tentu akan berdampak pula ke daerah terdekatnya, seperti Gunung Sinabung di Karo yang akan mengalami dampaknya juga.
Jika ia meletus maka getarannya akan sampai bagian bumi Asia dan Afrika serta Samudera Hindia.
Ancaman bahaya kurangnya debit Air Danau Toba inilah yang sampai sekarang masih kembali ditinjau oleh para ahli vulkanologi dari AS dan Eropa Barat ke wilayah Nusantara, menelisik jejak tano toba disebalik tabir, yakni Indonesia di abad ke-21 untuk dimasukkan dalam referensi “The Most Dangerous of Super Volcano Erruption in the World.” *
JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM
Di tengah pro-kontra vaksin berbayar beberapa waktu yang lalu, saat ini kita perlu memberikan apresiasi yang tinggi terhadap kontribusi Prof. Dame Sarah Gilbert, sang penemu vaksin Oxford/AstraZeneca yang enggan mengambil hak paten atas vaksinnya yang sebenarnya bisa membuatnya menjadi seorang yang kaya raya.
Melalui pelepasan royalti atas penemuan ilmiah tersebut, maka jutaan manusia di dunia akan mendapatkan vaksin AstraZeneca dengan harga yang jauh lebih terjangkau. Sebuah kontribusi kemanusiaan yang luar biasa di tengah banyak kekhawatiran negara akibat pandemi, khususnya negara berpendapatan rendah (low-income countries).
Pada hari pertama perhelatan tenis bergengsi di Wimbledon dibuka (18/7), Gilbert yang saat itu tengah menonton mendapatkan standing ovation dari publik Inggris atas peran kemanusiaannya.
Gilbert adalah profesor dalam bidang vaksinologi di Universitas Oxford. Ia bersama timnya, yakni Marco Polo Peralta, Rebecca Makinson, dan Indra Rudiansyah (mahasiswa Ph.D asal Indonesia) dengan proses riset yang cukup panjang dan begitu melelahkan di laboratorium vaksin Jenner Institute. Akhirnya mereka berhasil menemukan dan menguji vaksin AstraZeneca hanya dalam kurun waktu 11 bulan saja. Salah satu rekor penemuan vaksin tercepat di dunia.
Namun meskipun masuk dalam rekor penemuan tercepat vaksin, menurut pengakuan Gilbert dalam NewScientist (10/7), “…I spent a huge amount of time during those increasingly strange weeks attempting to secure funding. We decided we just had to get on with it, spending money we did not yet have…” Menurutnya pengujian riset vaksin AstraZeneca bisa dilakukan lebih cepat lagi, jika seandainya Gilbert tidak terhambat persoalan funding riset.
Polemik Vaksin
Dulu, saat vaksin AstraZeneca mulai digunakan di Indonesia sempat terjadi perdebatan teologis di kalangan agamawan. Hal ini ditandai dengan adanya perbedaan fatwa antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dengan MUI Jawa Timur tentang kehalalannya. MUI Pusat meragukan kehalalan vaksin AstraZeneca. MUI Pusat menyatakan status hukum haram terhadap vaksin AstraZeneca karena bahannya mengandung tripsin babi.
Sedangkan MUI Jawa Timur memfatwakan AstraZeneca sebagai vaksin yang halal dengan analogi bahwa vaksin AstraZeneca ibarat seperti tanaman yang diberi pupuk dari kotoran hewan najis. Kemudian, buah yang dihasilkan tanaman tersebut hukumnya suci untuk dimakan.
Meskipun mengharamkan, MUI Pusat juga memberikan fatwa mubah (kebolehan) penggunaan vaksin AstraZeneca dalam kondisi darurat. Berdasarkan fatwa Nomor 14 Tahun 2021 tentang penggunaan vaksin AstraZeneca harus memenuhi setidaknya lima syarat. Pertama, ada kondisi kebutuhan yang mendesak (hajah syari’iyyah) yang menduduki kondisi darurat syar’iy (dlarurah syar’iyyah).
Kedua, ada keterangan dari ahli kompeten dan tepercaya tentang adanya bahaya (risiko fatal) jika tidak segera dilakukan vaksinasi Covid-19. Ketiga, ketersediaan vaksin Covid-19 yang halal dan suci tidak mencukupi untuk pelaksanaan vaksinasi Covid-19 guna ikhtiar mewujudkan kekebalan kelompok (herd immunity). Keempat, ada jaminan keamanan penggunaannya oleh pemerintah. Kelima, pemerintah tidak memiliki keleluasaan memilih jenis vaksin Covid-19 mengingat keterbatasan vaksin yang tersedia.
Riset dan Kemanusiaan
Di saat sebagian orang banyak yang mengambil kesempatan dalam kondisi kesempitan ini, ternyata ada sosok Gilbert yang dengan sukarela memberikan hasil finansial hak paten risetnya secara cuma-cuma untuk kerja kemanusiaan. Produk riset Gilbert ke depan akan sangat membantu umat manusia melawan virus Corona.
Dalam konteks riset, umumnya dana riset yang digelontorkan oleh suatu lembaga/negara sangatlah mahal, mengingat kualitas riset suatu negara berbanding lurus dengan kemajuan negara tersebut. Tak ayal berbagai negara berlomba-lomba untuk menggelontorkan dana riset yang besar-besaran. Namun kuatnya budaya kapitalisme global meniscayakan akan adanya harga yang harus dibayar untuk harga suatu karya riset.
Sempat terjadi polemik seputar vaksin berbayar melalui Kimia Farma beberapa waktu yang lalu, namun akhirnya dibatalkan dan dicabut oleh Presiden Jokowi, (16/07). Terkait vaksin berbayar termuat dalam Permenkes nomor 19 tahun 2021, bahwa vaksinasi berbayar yang pendanaannya dibebankan pada badan hukum atau badan usaha diperuntukkan terhadap pekerja, keluarga atau individu lain dalam keluarga. Selain itu, vaksinasi kepada individu biayanya dibebankan kepada diri yang bersangkutan.
Padahal harga pembelian vaksin dalam program tersebut dipatok sebesar Rp 321.660 per dosis. Peserta vaksinasi juga akan dikenakan tarif pelayanan vaksinasi sebesar Rp 117.910 per dosis. Jika dikalkulasikan, setiap satu dosis penyuntikan vaksin, peserta harus mengeluarkan Rp 439.570. Karena dibutuhkan dua dosis vaksin, maka total biaya vaksinasi per individu sebesar Rp 879.140. Harga yang cukup fantastis di tengah paceklik ekonomi seperti saat ini.
Di sisi lain, pemerintah sampai saat ini yang sedang memperpanjang penerapan PPKM darurat yang pada gilirannya membuat sebagian kalangan masyarakat mengalami defisit penghasilan. Oleh karenanya, vaksin seharusnya digratiskan dan tetaplah menjadi tanggungan pemerintah mengingat vaksin telah menjadi kebutuhan pokok sebagai penguatan imun (herd immunity) bagi masyarakat.(RIF)