JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM
Bertepatan dengan Hari Guru Nasional (HGN) dan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Internasional yang jatuh pada Jumat (25/11/2022), sekelompok anak rantau putra/putri Batak di Jakarta menggelar diskusi Percepatan Realisasi Provinsi Tapanuli (Protap) di Kampus Mpu Tantular.
Diskusi yang diinisiasi dan dimoderatori Ketua Panitia Percepatan Provinsi Tapanuli (PPPT) JS. Simatupang, SH dan Drs.Binton Nadapdap itu menghadirkan sejumlah narasumber utama.
Narasumber tersebut, mantan Wakasad Letjen TNI (Purn) Cornel Simbolon, MSc, DR. Sabar Martin Sirait, DR. Parlindungan Purba, SH, MM dan Arist Merdeka Sirait, seorang aktivis Indonesia yang juga Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak.
Dihadapan sejumlah awak media TV dan online, saat memberi kata sambutan, JS. Simatupang yang juga pengacara dan praktisi hukum tersebut mengajak para peserta untuk ikut memberikan support dan masukan demi terwujudnya Protap.
Sementara Letjen TNI (Purn) Cornel Simbolon dan Parlindungan Purba yang sebelumnya mendengar penjelasan dari sudut pandang para tokoh serta kalangan aktivis, mengajak untuk menghentikan polemik mengenai dimana nantinya Ibu Kota Protap, apakah di Tele atau di Sipinsur.
“Apakah nantinya Ibu Kota Protap di daerah Tele atau Sipinsur, boleh-boleh saja, yang terpenting mari terus kita gulirkan dan sosialisasikan bahwa Protap adalah kebutuhan bangsa Indonesia, bukan hanya kebutuhan dan kepentingan orang Batak atau orang Tapanuli,” kata Letjen (Purn) Cornel Simbolon dan diaminkan oleh Parlindungan Purba.
“Ayo kita lakukan dengan silent action atau aksi sejuk dan menjauhkan diri dari konflik kewilayaan dan identitas atau kemargaan.
Ayo kita ayunkan langkah dengan kebersamaan,” ajaknya.
Letjen TNI (Purn) Cornel Simbolon berjanji mengajak dan minta dukungan dari para veteran pensiunan Tentara serta tokoh-tokoh masyarakat Batak untuk bersama-sama baik diluar Jakarta asal dari Tapanuli Tengah, termasuk pemikiran dari para Jenderal Purnawirawan di lingkungan TNI.
“Iya, saya menghimbau kepada semua saudara kita, ayo bersama dengan kompak membahasnya, karena Protap kelak bukan hanya untuk kepentingan Batak tetapi justru mendukung kebutuhan negara ini’, tandasnya.
Pesan moral yang sama juga disampaikan DR. Parlindungan Purba mantan anggota senator DPD dari Dapil Sumateta Utara 2.
“Banyak sahabat saya di Senayan dan diberbagai tempat yang mendukung terbentuk Protap ini, semua berpandangan positif termasuk anggota DPR di Komisi 2 dan komisi lainnya, kata Parlindungan Purba.
Kalau ada perbedaan pendapat itu adalah hal yang wajar, karena pada prinsipnya perbedaan sifatnya membangun adalah merupakan salah satu proses demokrasi yang baik.
Perbedaan perbedaan atas proses terbentuknya Protap ini, ada mekanisme penyelesaian dengan pendekatan Tonggo Raja,” ucapnya.
“Kita harus kompak dan mari mengedukasi mengambil kebijakan karena bagaimanapun cepat atau lambat Protap harus jadi,” imbuhnya.
Sementara Arist Merdeka Sirait yang juga dikenal sebagai Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak dan aktivis Hak Asasi Manusia (Human Right Defender), mengatakan, anak adalah generasi penerus, keluarga, masyarakat Tapanuli dan bangsa Indonesia.
Untuk itu, dia mengajak semua pihak untuk merealisasikan Protap demi perubahan menuju kebaikan pada generasi Batak.
Menurutnya, untuk percepatan realisasi Protap perlu dilakukan langkah-langkah strategis seperti sosialisasi ke masyarakat.
“Teruslah mengajak kebaikan termasuk mengajak kaum perempuan Tapanuli. Ayo kita kumpulkan dan ajak perempuan Batak mendukung Protap, bila perlu dengan aksi-aksi damai menari budaya Batak di depan Istana Negara dengan membawa budaya tari-tarian diiringi musik.
Kita buat demo damai dan indah lewat budaya tanpa kekerasan, tambahnya.
Apalagi, kata Arist Merdeka Sirait di wilayah Tapanuli dalam tiga tahun terakhir selama negeri ini diperangi Covid-19, banyak fakta anak-anak menderita dan mengalami ketidakadilan.
Seperti kasus kekerasan seksual di Tapanuli sudah masuk dalam zona merah pelanggaran hak anak.
“Paling nenyedihkan, justru pelaku pelanggaran hak anak ada yang dilakukan orang terdekat sudah dalam situasi “TIHAS BOLON NASO TARPABUNI” di Tapanuli,” kata Arist Merdeka Sirait.
Oleh sebab itu lanjutnya, mari kita perjuangkan dan mewujudkan Protap, kita libatkan partisipasi kaum perempuan Batak bersatu untuk Protap.
Pada sesi terakhir DR.Sabar Martin Sirait, aktivis penggagas Protap, juga mengatakan, dengan adanya pertemuan diskusi Percepatan Realisasi Protap tidak lupa menyampaikan, ada filosofi, demi Protap “berjuta kawan kurang, satu lawan terlalu banyak. Dan anda sudah mendukung apabila diam tidak menghambat” tegasnya diakhir pembicaraannya.(AMS)
JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM
Dalam beberapa bulan terakhir, desakan kepada pemerintah pusat dalam hal ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mencabut MORATORIUM Provinsi Tapanuli (Protap) kembali digaungkan.
Dari sekian banyak tokoh putra Batak yang dengan gigihnya memperjuangkan serta pemrakarsa terbentuknya Protap adalah DR. Sabar Martin Sirait.
Bagi DR. Sabar Martin Sirait yang namanya sudah dikenal sejak peristiwa Malari tahun 1974 dan bergabung mendirikan Partai Damai Sejahtera (PDS) juga pernah bekerja di Kedutaan Besar (Kedubes) Amerika Serikat, pembentukan Protap demi kemajuan serta kesejahteraan masyarakat Tapanuli pada khususnya.
Melalui pesan WhatsApp (WA) yang diterima Khatulistiwa online, Selasa (22/11/2022, DR .Sabar Martin Sirait mengawali pembicaraan dengan perkataan Shalom dan salam sehat.
“Covid-19 telah kita kalahkan. Saya sampai hari ini bersama Tuhan Yesus menang melawan Covid-19 dan segala turunannya. Ke depan, saya juga yakin bersama Roh Kudus akan menang melawan Covid-19,” demikian pengakuan iman tokoh putra Batak tersebut.
Disebutkan, sangat menarik mencoba memahami dan menganalisa berfikir dan berkomunikasi yang cukup ramai di beberapa Grup WA terkait Perjuangan Pembentukan Provinsi Tapanuli tentang hal hal yang bersifat Kronologis dan Logis, dalam upaya agar Provinsi Tapanuli sedini mungkin dapat berdiri.
Menurutnya, apa yang terjadi di masa lalu, terkait perjuangan Protap sudah menjadi fakta nyata, bahwa sampai saat ini di era serba digital bahwa orang sangat bebas memberi tafsir dan menilai terhadap aneka fakta yang sudah berlalu, khususnya terkait dokumen-dokumen yang sesungguhnya sudah menjadi arsip di berbagai Institusi terkait.
|
“Sejak tahun 2.000 an pada era millenium, saya merasa bersifat MERDEKA dan TIDAK karena disuruh siapapun, menuliskan dan mengerjakan hal-hal terkait PROTAP sehingga lengkap. Jujur, saya sama sekali tidak memiliki keberanian untuk berbohong kepada siapapun terutama kepada publik tentang aneka proses yang telah terjadi, termasuk biaya materi pribadi yang habis. Dan sebagai manusia yang percaya kepada kuasa Tuhan, saya hanya berusaha serta berupaya berperilaku sesopan dan sesantun mungkin dalam mengutarakan aneka fakta terkait yang terdokumentasi atau yang tidak terdokumentasi,” katanya.
Sebagai orang suku Batak yang terdidik dalam budaya Adat Batak, masih menurut DR. Sabar Martin Sirait, dirinya sangat menghargai siapapun yang sangat pasif mendukung percepatan berdirinya Provinsi Tapanuli, apalagi yang proaktif.
“Oleh karena itu, sejak tahun 2000 an, saya mengutak-atik mesin ketik hingga berubah ke komputer, berbagai tulisan tentang karya saya selalu tak lupa menulis ada 2 motto atau Slogan dalam perjuangan, yaitu :Pertama, Anda sudah mendukung apabila tidak menghambat, bawalah dalam doa.
Kedua, Agar Provinsi Tapanuli segera berdiri, berjuta kawan kurang, satu lawan terlalu banyak.
Dijelaskannya, dua hal ini bagi dirinya adalah perilaku mutlak. “Saya sangat beruntung ketika saya tidak sakit hati dan benci kepada siapapun manusia ciptaan Tuhan, apalagi yang sudah mengenal Tuhan Jesua. Saya mohon maaf kepada siapa saja yang merasa terganggu, apalagi merasa rugi telah berpapasan dengan saya secara langsung atau tidak langsung, lantaran saya sangat rugi menyimpan sakit hati apalagi kebencian,” tandasnya.
Lebih jauh disampaikan, “Saya tidak mau sakit Liver, Jantung, Paru-paru, Otak dan lainnya. Sebagai Pengikut Jesus Kristus saya ingin selalu Sehat Jasmani, Jiwani dan Rohani, walaupun saya sangat banyak kekurangan termasuk sangat terbatasnya ilmu pengetahuan dibandingkan orang-orang yang sudah berilmu pengetahuan hebat,” tutur pria yang cukup dikenal karena berbagai peran dan perjuangannya di negeri ini.
“Sebagai manusia biasa saya mengakui masih terus belajar dan belajar, berlatih dan berlatih agar saya, sabar, sabar dan sabar; sesuai nama saya Sabar Martin Sirait. Dalam hati jujur, jujur dan jujur serta bagaimana agar 24 jam sehari menjadi Garam dan Terang lantaran sudah tua beginipun belum lulus, belum tamat,” ungkapnya.
Pegiat Lingkungan dan Pemerhati Pembangunan Tapanuli, DR. Sabar Martin Sirait, yang juga adalah Sekjen Yayasan Putera-Puteri Tapanuli itu menyebutkan, secara pribadi sangat berterima kasih kepada pimpinan Inti, dan semua aktivis Forum Percepatan Provinsi Tapanuli (FPPT) maupun para rekan wartawan, khususnya Ketua Umum dan Unsur Ketua serta Sekjen dan unsur kesekjenan.
“Melalui kesempatan yang baik ini, dengan hati yang tulus, sekali lagi saya mohon maaf sekiranya ada expektasi yang tidak mampu saya penuhi, atau perilaku yang tidak tepat.Saya tetap yakin dan berupaya berpartisipasi tanpa diminta atau tidak, namun dalam pemikiran saya bagaimana agar PROVINSI TAPANULI SEDINI MUNGKIN BERDIRI, bukan untuk membangun KEKUASAAN BIROKRASI yang BERSIFAT KKN, apalagi suku Batak telah terdidik oleh Adat budaya sama tinggi dan sama- sama ada dalam waktu rendah, tercermin dalam “Dalihan Na Tolu”, tapi membangun Institusi Negara dan Pemerintahan yang sangat Produktif melayani Rakyat yg Berdaulat dalam Lingkungan Hidup yang sangat bersih dan sangat lestari.
“Jujur, saya juga pernah sekolah dan berpendidikan hingga doktor hanya untuk mengerti makna kehidupan mampu Merumuskan dan Merancang GOAL, OUTCOMES, OUTPUTS & INPUTS dengan INDIKATOR KUATITATIF DAN KUALITATIF bersama Tim Ahli yang sungguh-sungguh Terampil, Jujur, Jujur dan Jujur di bidangnya,” katanya.
“Selain itu, mengutamakan keyakinan dan ber-Iman dan selama hidup selalu akan berjuang, agar Provinsi Tapanuli kita harapkan menjadi garam dan terang untuk masyarakat Batak, terutama terang untuk Indonesia.
Kita harapkan kelak di Provinsi Tapanuli nantinya, NO NARKOBA, NO PELACURAN, NO PERJUDIAN, NO PENCURIAN, NO PELANGGARAN HUKUM PIDANA-PERDATA, NO PERCERAIAN DAN MOTTO BUDAYA “DALIHAN NA TOLU SECARA REALITA, SANGAT PRODUKTIF, SECARA SOSIO KULTURAL DAN SOSIO EKONOMI.
Diakhir bicaranya, DR. Sabar Martin Sirait mengingatkan, karena itu, sebagai manusia ber adat yang berbeda dengan yang di hutan belantara, mari kita tunjukkan sebagai manusia punya etika moral. Bersama-sama berjuang, karena dengan kebersamaan pasti kita maju dan jaya. HIDUP PROVINSI TAPANULI ! tandasnya. (AMS)
Penulis: Maruli Siahaan
Tuntutan pembentukan Provinsi Tapanuli (Protap) yang terpisah dari Provinsi Sumatera Utara (Sumut) sejak lama digaungkan. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, sejumlah tokoh Batak di antaranya pemrakarsa pembentukan Protap mendeklarasikan Panitia Pembentukan Percepatan Provinsi Tapanuli (PPT) di Gedung Serbaguna Tarutung, Tapanuli Utara, Sumatera Utara pada Sabtu (29/10/2022) lalu.
Dengan tema ” Melalui rapat perdana panitia Provinsi Tapanuli untuk Tuhan dan Indonesia (Pro Deo et Patria, for God and Indonesia Country)”. Mereka mendesak pemerintah untuk mencabut moratorium pemekaran daerah yang dilakukan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Namun, di tengah semangat sejumlah tokoh Batak untuk mewujudkan terbentuknya Protap muncul kekhawatiran dan rasa apatis bahwa hal itu sepertinya sulit direalisasikan.
Dalam proses niat perjuangan pembentukan Protap, ada tiga hal yang menjadikannya terkendala, pertama tidak adanya niat bersatu, kedua egoisme kelompok yang merasa paling berjasa dan ketiga kurang mendalami tujuan kebersamaan.
Agar perjuangan pembentukan Protap tidak sia-sia dan hanya sekadar impian, solusi mencapai Protap yang harus diterapkan adalah Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu.Sebab, Protap bertujuan menciptakan kebersamaan demi menyongsong generasi penerus bangsa Batak di masa mendatang.
Tentu tidaklah merugi bagi para orang tua saat ini untuk bersatu dalam kebersamaan dan mau terikat di Budaya Dalihan Na Tolu demi Protap. Satu hati saling berbagi perasaan dan pemikiran untuk memperjuangkan tercapainya Protap.
Dalihan Na Tolu merupakan simbol semangat abadi yang tak ternilai harganya bagi bangsa Batak.Artinya, semboyan ; “Manat mardongan tubu, elek mar boru, somba mar hula-hula”, sudah kita pikul sejak dibuatkan opung (Leluhur) kita.
Jika kita betul-betul mau mengakui manfaat kebersamaan dan ada niat bersatu, bersemangatkan “Dalihan Na Tolu” sebagai simbol kerukunan yang demokratis, maka tentulah kita mampu untuk menyatukan hati dan pikiran kita bersama demi kesuksesan Protap.
Tidaklah keliru bila kita mau belajar dari Proklamator Ir. Soekarno yang memiliki tekad perjuangan kuat demi menyatukan ragam masyarakat Nusantara dan membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia bersamaan dengan kesepakatan UUD ’45 sebagai sumber kehidupan bernegara di NKRI ini.
Adanya musyawarah yang menyatukan perbedaan yang terdapat pada dua golongan generasi, orang tua dan pemuda, nyatanya mampu untuk menyepakati pembentukan negara Indonesia yang tetap bertahan hingga sekarang.
Maka, dalam rangka pembentukan Protap yang kokoh dan bersatu, marilah kita berjuang bersama segera bentuk kantor SEKRETARIAT NASIONAL BATAK Di JAKARTA, guna menjadikan tercapainya Protap demi menyejahterakan rakyat dan mencegah “absolutisme” pemerintah yang sampai sekarang mempertahankan moratorium tetap dipasung. Semangat juang bagi bangso Batak, semangat juang kebersamaan bagi Protap.
Mari undang tokoh-tokoh yang merasa perjuangannya paling benar, adakan pertemuan khusus dengan mereka tanpa menghilangkan perjuangannya melainkan, sepakat membuat susunan pejuang KEBERSAMAAN DALIHAN NA TOLU PROTAP. HORAS.Jakarta, 12 November 2022
Oleh : Daud Rotama Siahaan
Berbagai pendapat akan bermunculan jika penulis menyebut adanya hubungan kesakralan Ulos budaya suku Batak dengan terungkapnya tabir kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, apalagi seumpama ada upaya suku Batak yang mengajukan atau mengusulkan Ulos Batak ke UNESCO sebagai salah satu warisan dunia.
Ulos sendiri adalah elemen wajib di dalam budaya Batak sehingga logis jika Ulos dijadikan sebagai suatu benda yang sakral oleh sebab pemahamannya terhadap ilmu pengetahuan dunia sungguh merupakan misteri yang perlu dipelajari serta dilestarikan sebagai perbuatan bijaksana dan baik, terlebih jika upaya itu benar-benar dilakukan dengan tulus ikhlas untuk melestarikan Ulos sebagai kekayaan adat suku Batak yang sudah diyakini sejak dulu hingga sekarang.
Keberadaan Ulos bagi suku Batak sungguh layak dipertahankan kesakralannya.
Bahkan, tanpa disadari Ulos ternyata mampu menjadi pengusung keadilan untuk kepentingan suku Batak pada saat tertentu.
Hal demikian nyata adanya, misalnya, pada kasus terbunuhnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Akibat Ulos Saput yang bernilai wajib dari pihak pamannya yang juga merupakan pengacara, Kamaruddin Hendra Simanjuntak, S.H., beserta timnya sehingga mampu memberi peran bagi Ulos tersebut guna membongkar kasus kematian Brigadir J. Hal ini didasari sejak saat pemberian “Ulos Saput” (ulos kepada orang meninggal ) keponakannya (bere), almarhum Brigadir J, sehingga kebenaran akhirnya dapat diungkapkan kepada publik.
Generasi muda suku Batak mungkin belum banyak yang menyadari pentingnya Ulos. Ulos bukan semata-mata mengejar nilai ekonomi belaka, namun keberadaannya justru mampu menjadi sebuah alat pengungkap ketidakadilan.
Oleh sebab itu, alangkah baiknya bilamana ada organisasi nirlaba seperti MURI yang berkenan untuk mengukuhkan “ULOS BATAK” kepada seorang pengacara tangguh seperti Kamaruddin Hendra Simanjuntak, S.H. dan timnya, sehingga keberadaan MURI terbukti memberi contoh pendidikan nilai positif kepada generasi penerus bangsa, terutama para muda mudi suku Batak, agar tetap tangguh memperjuangkan keadilan di negeri kita.
Inilah saatnya bagi MURI untuk turut serta menghimbau suku Batak agar menyadari perlunya identifikasi dan inventarisasi jenis dan ragam macam Ulos dalam suatu penelitian mendalam dan detail.
Penelitian tersebut penting guna mengidentifikasi makna Ulos dan potensi-potensi penggunaanya; antara mengejar nilai ekonomi melalui komersialisasi dan inovasi begitu juga nilai adat yang sakral bagi seluruh masyarakat suku Batak.
Penulis berpikir semua hal ini sangat diperlukan dan layak dilaksanakan, apalagi bagi seorang Kamaruddin Hendra Simanjuntak, S.H. yang layak mendapat rekor MURI dalam mempertahankan keadilan hukum yang terinspirasi oleh keberadaan Ulos Batak dan nilai sakralnya.
Sangat penting untuk dipertimbangkan formula apa yang tepat dan akurat untuk mengenal Ulos mana yang dapat dijadikan pakaian, aksesoris dan souvenir, dan jenis mana yang harus tetap menjadi sakral dalam hal peradatan suku Batak.
JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM
Akibat banyaknya lahan milik masyarakat yang tidak tercatat pada peta resmi pemerintah, sehingga tidak dapat teridentifikasi jadi peluang bagi mafia tanah menyusup ke kantong oknum pejabat yang berwewenang, seperti di lingkaran ATR/BPN dan KLHK di perkuat Kepala Desa/Lurah dengan setumpuk uang.
Oleh karena itu, meski banyak masyarakat yang berusaha membuat peta lahan milik mereka sendiri dengan menggunakan Global Positioning Systems (GPS) dan beberapa alat pengukuran lain, tetap di abaikan pemerintah.
Peta-peta demikian ini memberikan gambaran yang berbeda dengan gambaran yang nyata diberikan oleh pemerintah lebih memihak pada pemberi uang sehingga para pengembang dengan leluasa nenguasai lahan milik masyarakat.
Konflik-konflik seperti ini sudah banyak, menjadi pertikaian antara masyarakat dengan petugas keamanan suruhan pengembang, masyarakat diancaman dan bisa terjadi pembunuhan, juga tidak sedikit aktivis masyarakat jadi korban.
Petugas berpihak pada pemberi uang dengan atributnya mudah melakukan penggusuran paksa terhadap masyarakat.
Jadi, stratgi yang bisa melawan mafia tanah tidak ada rakyat yang kuat, kecuali ramai-ramai datangi rumah pelaku yang berwewenang dengan jabatannya, perlu di tanya :
“Pejabat yang berpihak pada pengembang….! Kenapa otakmu dan hatimu berpihak pada pemilik uang tanpa engkau perduli hak hidup kami atas tanah milik kami, Jawab..! Atau hak hidupmu harus di cabut ?
Penulis : MMHSHersit
Fiat Justitia Ruat Coelum. Semboyan itu melekat pada lambang/logo OA Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN-1964),.Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN-1985).
Jika diartikan dalam bahasa Yunani/Latin ” Sekalipun langit runtuh keadilan harus ditegakkan”. Dengan membaca ini pasti teringat dengan ” Dewi Keadilan ” memegang timbangan dengan menutup kedua matanya dengan kain seroban serta dua pedang yang panjang dan tajam pertanda dengan tegasnya memotong dan memperjuangkan kebenaran dan keadilan dengan pedang nya.
Perlukah lambang/ logo timbangan tersebut relevan dicantumkan pada papan merek kantor dan kop surat serta stempel Advokat ?Untuk menjawab itu kami turunkan pendapat Advokat senior yang tidak asing lagi, yakni MMHSHersit, Putra Kelahiran Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumut, 23 Pebruari 1963 yang tinggal di Jakarta sejak 1978 dan hijrah ke Kabupaten Tangerang sejak 1995 sampai sekarang dengan No.Hp. 0821 5877 1110.
Dengan gaya blak- blakan, MMHSHersit menyatakan, dirinya tidak setuju apabila lambang atau logo timbangan tersebut tercantum pada lembaga tersebut.
Menurutnya, ada dua alasan mengapa dia tidak setuju, pertama melihat perkembangan Lawyer dewasa ini.
“Coba lihat Lawyer di Eropa sana tidak ada mencantumkan lambang/ logo timbangan pada law firm dan kop surat, stempel serta kartu namanya.
Yang ada misalnya ; Law Firm MMMHS & Partner. Mungkin anggapan mereka kenapa timbangan itu harus dicantumkan, dengan jujur bicara yang punya timbangan bersalah tidaknya seseorang adalah hakim bukan Advokat, Polisi, Jaksa apalagi Advokat dengan luas wilayah kerja kasus- kasus yang ditangani, dengan jam terbangnya tidak menutup kemungkinan menangani kasus bisnis, bertindak sebagai kurator, mediator terkesan fee cukup besar dan kasus komersil yang ditangani Advokat.
Ini membuktikan Advokat masuk semua link kasus atau perkara, itu salah satu alasannya, namun demikian Advokat tetap bertindak secara profesional menjalanksn tugasnya dilandasi oleh hukum dan perundang- undangan yang berlaku serta kode etik melekat pada dirinya,” ujarnya.
Alasan kedua, keharusan dengan lambang timbangan itu sejak dahulu kala jaman cicero di Kota Atena,Yunani melihat lambang/ logo ” Dewi Keadilan ” seorang wanita berdiri memegang timbangan dengan satu tangannya serta memegang pisau panjang dan tajam untuk menegakan hukum dan keadilan itulah semboyan ” Fiat Justitia Ruat Coelum ” dengan arti ” Sekalipun Langit Runtuh Keadilan harus ditegakkan.
Kesimpulannya, dua alasan itu tetap ada pada hati jiwa seorang Advokat tergantung dari sudut mana kita melihat suatu kebenaran hukum.
Tapi secara pribadi Advokat senior ini cenderung pada yang pertama tidak perlu lambang/ logo timbangan dibuat pada papan merek, kop surat dan kartu nama cukup singkatan nama, mungkin itu tetao dipertahankan lembaga-lembaga ysng bergerak pada LBH dan Pobakum dan pejuang-pejuang hukum berjiwa sosial, tetap semangat untuk menegakkan hukum dan keadilan.
“Pandangan saya meskipun Advokat tidak mencantumkan lambang/ logo timbangan tersebut tetap semangat menegakkan hukum dan keadilan. Khusus anggota PERADI di seluruh Indonesia diwajibkan untuk menangani kasus-kasus prodeo dan tidak boleh menolak.
Urusan yang satu ini tetap melayani masyarakat meskipun tidak di bayar khusus kasus-kasus masyarakat yang tertindas dan di zholimi, harus bermental Advokat pejuang tidak kalah semangat apapun kasus yang ditangani bersikap dan bertindak berjiwa satria.
Jujur sesuai dengan kepribadian Advokat itu sendiri,” jelas MMMHS/HERSIT yang juga salah satu Wakil Sekretaris Jenderal DPN PERADI, Wakil Sekretaris DPP IKADIN sekaligus Sekretaris Jenderal DPP PROJAMIN.
SERANG, KHATULISTIWAONLINE.COM –
Program vaksinasi yang dilakukan oleh Polres Serang Kota di Alun-alun Serang sempat terjadi kericuhan. Pasalnya, ada oknum warga yang sengaja mengambil kesempatan dengan menjual formulir registrasi.
Selain Polres Serang Kota, pelaksanaan vaksin di alun-alun itu bekerja sama dengan Polda Banten, Dinas Kesehatan dan TNI, dan PT Wilmar pada hari ini Sabtu (18/9/2021). Ada target 2.000 orang yang bisa divaksinasi.
Kapolres Serang Kota AKBP Maruli Ahiles Hutapea mengatakan, warga sudah datang ke lokasi vaksin bahkan sejak sebelum pukul 06.00 WIB.
Saat itu ada oknum warga yang memanfaatkan berkumpulnya warga. Mereka menjual formulir registrasi dengan harga Rp 2 ribu per lembar.
“Warga datang pagi-pagi sekali, petugas juga belum ada. Tiga orang yang kita amankan yang jual kertas registrasi,” kata AKBP Hutape dimintai konfirmasi.(DAB)
Oleh ; A.Marulitua Siahaan
Hak rakyat jelata di pedesaan dirampas meski awam dalam kekuasaan tidak pernah mengeluh lantaran tidak mengenyam pendidikan, tetapi serasa ikut merasa senang dan bangga mendengar berita, ketika UUD 1945 disahkan sebagai konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 18 Augustus 1945 usai 1 hari ditetapkan Indonesia Merdeka dari penjajahan Hindia belanda.
Maka, Undang-Undang Dasar 1945 tersebut menjadi dasar negara Republik Indonesia dan ditetapkan sebagai hukum tertinggi, yang memuat Pancasila dalam pembukaan sebagai pandangan hidup bangsa dan menjadi sumber dari segala sumber hukum Indonesia, juga menjadi sumber pokok-pokok haluan negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Dalam pembukaan juga dinyatakan, bahwa pergerakan kemerdekaan Indonesia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, adalah untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Frasa tersebut dimaknai sebagai konsep dasar negara yang akan memajukan dan mensejahterakan rakyatnya, yang kemudian dijabarkan dalam prinsip-prinsip yang termuat dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 itu.
Diantara prinsip tersebut salah satu yang sangat penting yang menjadi dasar, adalah bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, dengan peran negara yang amat mendasar melalui penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Penguasaan negara yang lebih mendasar lagi adalah prinsip bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Ternyata, masih terjadi persoalan terbesar yang dihadapi tentang hak ulayat ini adalah, apa yang sekarang dihadapi secara nasional, diantaranya menyangkut kontestasi otoritas penyelenggara pemerintahan pusat dan daerah dengan otoritas Masyarakat Hukum Adat, yang sesungguhnya tergambar dalam hak menguasai negara yang disebut dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Norma konstitusi tersebut menjadi prinsip dasar hukum agraria dalam UUPA, sebagaimana bunyi pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 1 UUPA “bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.
Sebagaimana nanti terlihat bahwa secara eksplisit hak ulayat kemudian diakui dan dilindungi dalam UUD 1945 perubahan, pasal 18 B maka hak ulayat juga pada dasarnya adalah merupakan hak menguasai atas tanah yang dimiliki oleh Masyarakat Hukum Adat.
Timbul pertanyaan, apakah setelah pernyataan kemerdekaan yang membentuk negara Kesatuan Republik Indonesia, hak menguasai atas sumber daya alam (SDA) tersebut terbagi antara negara sebagai otoritas pada tingkatan tertinggi dari organisasi kekuasaan seluruh rakyat dengan Masyarakat Hukum Adat yang memiliki hak ulayat tersebut, ? atau dikonstruksikan hanya sebagai delegasi dari negara kepada Masyarakat Hukum Adat ?
Masalah lain yang timbul karena di satu pihak ada keinginan untuk mengesampingkan saja hak Masyarakat Hukum Adat dengan hak-hak tradisionalnya yang diakui oleh UUD 1945, tetapi tidak mampu diberi perlindungan yang efektif karena perkembangan kehidupan sosial, ekonomi, politik dan perpindahan penduduk secara besar-besaran dengan urbanisasi, telah mengubah secara mendasar struktur masyarakat adat, nilai-nilai yang dianut dan menguatnya konsep pemilikan individual.
Hal tersebut juga menyebabkan terjadinya perubahan kesadaran hukum masyarakat adat tersebut tentang hak milik dan sifat hukum waris atas tanah adat.
Aspek lain di bidang ekonomi dengan perkembangan usaha yang memanfaatkan tanah dalam skala besar telah menyebabkan banyak pihak yang melihat sumber daya alam yang ingin dieksploitasi seiring dengan penetrasi modal besar domestik maupun asing, justru menjadi kepentingan yang lebih utama dibanding dengan masyarakat lokal (hukum adat).
Sikap yang tampaknya melihat, bahwa hak-hak tradisional Masyarakat Hukum Adat sesungguhnya kabur dan tidak memiliki kepastian hukum, bahkan dalam kenyataan sesungguhnya telah semakin lemah dengan perkembangan sosial, ekonomi dan politik secara cepat, justru dianggap menjadi hambatan dalam pengembangan dan pemanfaatan sumber daya ekonomi dan potensi daerah, antara lain hutan dan tanah yang luas, yang justru menjadi ruang untuk hidup bagi Masyarakat Hukum Adat yang mengelolanya secara tradisional.***
Negara Telah Melampaui Kewenangannya Dalam Melaksanakan Hak Menguasai Lahan
Oleh. A.Marulitua Siahaan
JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM
Mungkin, tidak dapat dipungkiri adanya makna “Dalihan Na Tolu” yang dikenal sebagai bentuk 3 tungku yang berkaki tiga dan saling membutuhkan satu sama lain untuk menjaga keseimbangan yang mutlak.
Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan.
“Dalihan Na Tolu” telah disepakati menjadi lambang kesatuan dalam adat Batak (dalam istilahkan Batak dikatakan “Manat mardongan tubu, elek marboru dan somba mar hula-hula” ), yang artinya ” semua warga suku Batak telah sepakat bertutur baik terhadap satu marga, berperilaku kasih kepada tutur perempuan, dan wajib hormat pada tutur paman”, selama hidup di Republik ini yang tetap mengidamkan keadilan dalam menjalani hidup demi terwujudnya kedamaian dan kesejahteraan.
Oleh karena itu, filosopi “Dalihan Na Tolu” menjadi sebuah landasan yang kokoh dikalangan orang Batak, meski lambang tersebut didirikan sesuai hukum budaya adat Batak, rakyat bernegara selalu menghormati dan tunduk pada keputusan yang adil dalam berdemokrasi.
Kita tahu, sebelum istilah masyarakat Hukum Adat dimuat dalam Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, misalnya, telah dituangkan pada Pasal 18 B, menjadi salah satu peraturan perundang-undangan telah lebih dahulu menyebutkannya, juga putusan No.35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi secara jelas menegaskan bahwa, Hutan Adat adalah hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara.
Masyarakat adat di seluruh Indonesia menyambut gembira Putusan MK tersebut dengan melakukan pemasangan plang di wilayah adat masing-masing secara serentak.
Adanya kondisionalitas terhadap status yuridis dan hak masyarakat hukum adat, menyebabkan keberadaan masyarakat hukum adat itu menjadi bergantung pada kemauan politik pemerintah.
Hal tersebut terjadi karena hadirnya atau adanya klausul yang ditentukan undang-undang dalam batasan tentang masyarakat hukum adat. Klausul tersebut menempatkan masyarakat hukum adat pada posisi sulit karena disyaratkan dengan beberapa ketentuan, diantaranya :Sepanjang masyarakat hukum adat itu masih ada,sesuai dengan perkembangan zaman.Sesuai dengan prinsif Negara Kesatuan Republik Indonesia,diatur dengan Undang-Undang. Rangkaian persyaratan ini tentu menyebabkan, belum terdapatnya kejelasan tentang masyarakat hukum adat lebih lanjut.
Akibatnya, apabila terjadi pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat hukum adat, lantaran belum ada landasan hukum yang dapat digunakan untuk menyusun dan melaksanakan upaya advokasi khusus bagi kelompok ini dalam rangka melindungi hak-haknya. Adapun hak yang dimaksud yang sah secara hukum adat misalnya seperti : Hak perseorangan sebagai warga negara, warga masyarakat hukum adat mempunyai hak asasi yang sama dengan warga Negara lainnya.Hak kolektif sebagai masyarakat hukum adat, sebagai suatu komunitas antropologis, masyarakat hukum adat mempunyai hak kolektif, yang diperlukannya baik untuk membangun dan mengambangkan potensi kemanusiaan warganya untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih tinggi, terutama hak atas tanah ulayat.
Hak atas pembangunan, hak atas pembangunan merupakan bagian dari hak atas pembangunan, yang nemurut Deklarasi PBB tentang Hak atas pembangunan, 1986 dan Konvensi ILO 1989 tentang kelompok minoritas dan masyarakat hukum adat di negara-negara merdeka.
Ada catatan disebuah buku pada tanggal 9 Agustus diperingati sebagai International Day of The World’s Indigenous Peoples, atau kalau dalam bahasa Indonesia, berarti Hari Masyarakat Adat Internasional, yang menurut catatannya sependek yang diketahuinya, bahwa Konvensi PBB pada tahun 1994 ini belum diratifikasi pemerintah Indonesia menjadi undang-undang.
Pada sidang Majelis Umum PBB Desember 1994 itu, sejumlah negara, di antaranya Amerika dan Australia, menolak disahkannya Konvensi tersebut.Padahal, tujuannya jelas untuk kemaslahatan masyarakat banyak, khususnya masyarakat adat. Tahun 2016 dilaporkan sekitar 2.680 bahasa masyarakat di dunia dalam bahaya dan terancam punah. Konvensi PBB itu dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran dan bentuk pengakuan atas sumbangsih masyarakat adat dunia dalam perlindungan lingkungan.
Segera terlihat kontradiksi yang tajam dalam hal ini. Masyarakat adat itu berusaha sekuat tenaga dengan segala kemampuannya menjaga, melindungi dan melestarikan tanah milik adat warisan dari leluhur mereka. Masyarakat Aborigin misalnya, di Australia adalah contoh yang menakjubkan dalam hal ini. Mereka begitu mencintai tanah adat mereka. Bagi mereka “bumi adalah ibu”. Karena itu proteksi terhadap “ibu” mereka selalu dilakukan sampai titik darah penghabisan.
Namun ketika di Barat Australia pada tahun 1851 ditemukan tambang emas, suasana berubah. Pemerintah kolonial Inggris, yang waktu itu mengklaim Australia sebagai miliknya, melakukan penambangan. Para pendatang makin banyak berdatangan. Ironisnya pemerintah kolonial ini mengkapling-kapling tanah, termasuk bagian dari tanah adat masyarakat Aborigin, untuk para pendatang. Konflik berdarah berkepanjangan terjadi. Ribuan warga Aborigin tewas. Tetapi itu tidak membuat nyali mereka menjadi ciut. Mereka berusaha terus melakukan perlawanan.
Semua perjuangan berkaitan hak-hak tersebut tentu tidak dapat dilaksanakan karena status masyarakat hukum adat dalam tata hukum seperti di Indonesia masih berkaitan dengan status yaitu “pengakuan”. Pengakuan ini mempunyai makna yuridis.
Menurut Pasal 51 (b) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Masyarakat Hukum Adat dapat menjadi Pemohon dalam dalam suatu perkara konstitusional. Konsekuensi dari pasal ini, suatu Masyarakat Hukum Adat yang tidak atau belum mempunyai legalitas berupa pengakuan dari Negara, akan menghadapi kendala dalam membela hak-haknya.
Hal tersebut akan menambah catatan panjang kegagalan Negara memberi perlindungan kepada warga Masyarakat Hukum Adat, yang hak-hak dimana pelaggaran tersebut memang sudah sering terjadi akibat tindakan aparatur Negara maupun pihak ketiga lainnya.
Dari uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa hal yaitu : (1).Masyarakat Adat dapat saja dinamakan sebagai Masyarakat Tradisional. Akan tetapi suatu Masyarakat Tradisional tidak dapat begitu saja (otomatis) disebut sebagai Masyarakat Adat. Jika pengertian tradisional itu tidak menyangkut tentang nilai-nilai (hukum adat) maka suatu Masyarakat Tradisional itu jelas tidak dapat disebut sebagai Masyarakat Adat.
Sebaliknya, jika tradisional itu diartikan sebagai konsep tradisi seperti tujuan dari “Dalihan Na Tolu” yang turun temurun oleh sebab keyakinan atas nilai-nilai/hukum adat, maka dapat saja Masyarakat Tradisional itu disebut Masyarakat Adat. Jadi kata kuncinya terletak pada pemaknaan antara tradisi (mencakup nilai-nilai yang diwariskan secara turun temurun) dan tradisional.(2).Tentu tidak ada yang melarang bahwa Masyarakat Adat dapat disebut dengan nama lain yakni Masyarakat Hukum Adat, tetapi suatu Masyarakat Hukum Adat belum tentu dapat disebut sebagai Kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Apabila pengertian adat itu menyangkut nilai nilai hukum adat, maka masyarakat adat dapat disebut pula Masyarakat Hukum Adat.
Apabila Masyarakat Hukum Adat diartikan sebagai masyarakat dengan penekanan pada hukum yang dianut, maka ia tidak dapat disebut sebagai kesatuan dalam perspektif sosiologis. Sebaliknya, jika masyarakat hukum itu ditekankan pada aspek institusi, ia dekat dengan pengertian dalam kesatuan-kesatuan masyarakat Hukum Adat. Maksud dari kata ‘dekat’ di sini adalah, substansinya berkisar pada persoalan institusi dan tidak berkisar semata-mata pada aspek karakteristik atau sifat tertentunya saja.
(3).Konsisten dengan pengertian masyarakat dalam pendekatan sosiologis dimana masyarakat hukum itu sudah dengan sendirinya memiliki makna Kesatuan (lihat kembali pendapat Soerjono Soekanto), maka akan menarik bilamana perubahan Pasal 18 B Ayat 2 itu menggunakan peristilahan yang lengkap yakni Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat.
Pencegahan terhadap terjadinya tumpang tindih dalam menarik batas antara Masyarakat Adat, Masyarakat Hukum Adat, dan kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat dapat dilakukan melalui cara sebagai berikut :
Pertama, melalui penafsiran atas kata “kesatuan-kesatuan”. Penggunaan kata ‘kesatuan-kesatuan’ jelas mengandung arti beragamnya Masyarakat Hukum Adat itu, artinya adanya konsekuensinya adalah pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat harus dilakukan satu persatu menurut kebutuhan Masyarakat Hukum yang bersangkutan.
Kedua, dengan merujuk pada penempatan kesatuan-kesatuan tersebut di dalam Bab VI UUD NRI 1945 dimana Bab itu dimaksud yang berkaitan dengan berjudul Pemerintahan Daerah atau Otonomi Daerah.
Penempatan pengaturan ini sejalan dengan pengakuan yang diberikan kepada kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang diatur pada Pasal 2 (4) undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Ketiga, dengan memperhatikan bahwa hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan tersebut diatur juga pada Pasal 67 UU No.14 th. 1999 tentang Kehutanan, selengkapnya ditentukan sebagai berikut :
(1).Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak : a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari Masyarakat Adat yang bersangkutan. b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum. Misalnya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, secara khusus pada Pasal (4) yang mengatur bahwa “Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah”. Kemudian juga pada Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 4 Ayat (3) dimana diatur bahwa “Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”
Akan tetapi, kedua Undang-Undang yang disebutkan di atas tidak menjelaskan secara terinci mengenai konsep ‘masyarakat hukum adat’ tersebut.
Dalam UU No. 41 Tahun 1999 bahkan disebutkan bahwa “masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada diakui keberadannya.”
Hal tersebut tentu menyebabkan potensi multi tafsir dan menjadi lahan subur terjadinya konflik norma dalam praktek kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia, terutama dalam konteks hubungan antara kekuasaan, pengakuan, dan penghormatan. Keadaan tersebut menyebabkan pengakuan dan penghormatan yang dihajatkan terhadap Masyarakat Hukum Adat tidak dapat dilaksanakan.
Potensi multi tafsir misalnya dapat dilihat dari aspek ‘siapa yang termasuk dalam Masyarakat Hukum Adat’ tersebut. Hal tersebut menimbulkan perdebatan tentang identitas personal individu yang berada dalam kelompok Masyarakat Hukum Adat, berkaitan dengan pengakuan menyangkut hubungan kelompok (Masyarakat Hukum Adat) dengan perorangan sebagai anggota dalam satu kesatuan Masyarakat Hukum Adat.
Lebih dari itu kesimpang siuran penggunaan istilah juga menambah ketidak jelasan apa yang dimaksud dengan ‘masyarakat hukum adat’. Pasal 18B Ayat (2) UUD RI Tahun 1945 menggunakan istilah Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Berbagai peraturan lain dalam bidang hukum sumber daya alam menggunakan istilah yang berbeda-beda, seperti: Masyarakat Adat, Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Tradisional.
Persoalannya, keberagaman tersebut tidak hanya menyangkut istilah, tetapi juga berdampak pada keragaman pemaknaan pula atas batasan kelembagaan dari Masyarakat Hukum Adat itu. Dalam ranah aplikatif ketentuan normatif diperlukan terjemahan yang tegas, baik tentang pengertian, jenis dan bentuk Masyarakat Hukum Adat, sehingga dengan demikian pengakuan dan perlindungan tersebut dapat dilaksanakan oleh Negara.
Pengakuan dan perlindungan yang dilaksanakan oleh Negara terhadap Masyarakat Hukum Adat, dapat terwujud apabila ada landasan hukumnya dalam bentuk aturan perundang-undangan, yaitu Undang-undang tentang Masyarakat Hukum Adat. Pengertian pengakuan dan perlindungan tersebut sebetulnya juga sudah diatur pada pada Pasal 4 (1) Undang-Undang RI. No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam Pasal tersebut, terlihat bahwa semua hutantermasuk kekayaan di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
Yang perlu dijaga pemaknaannya agar menjadi jelas adalah pernyataan yang menyangkut “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kata rakyat yang dicantumkan dalam pernyataan tersebut seyogyanya dalam bagian penjelasan diberi batasan supaya terang yang dimaksud rakyat dalam segmen yang mana, oleh kekuasaan dalam tingkatan apa ? 3 Hal tersebut masih belum jelas dalam UU ini.
Akan tetapi yang sudah pasti adalah harus ada pemahaman di mana sumber daya alam itu harus dimanfaatkan, harus dijaga, dipelihara, dan para stakeholder (masyarakat dan Negara) yang terlibat dalam pemanfaatan, pengelolaan, dan pemeliharaannya harus memiliki sikap saling respek dalam wujud perbuatan. Hal-hal itulah yang akan menjadi isi dari Undang-Undang untuk dapat menuju “sebesar-besar kemakmuran rakyat” dimaksud.
Tentang istilah menghormati, dalam teori ketatanegaraan sama dengan mengakui kedaulatan. Sehingga, ada 3 artinya secara analogi sama kedudukannya dengan “mengakui dan menghormati daerah istimewa dan daerah khusus.”
Dalam hal ini, Pan Mohamad Faiz memberi makna sebagai : Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat.
Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.
Ketiga kewajiban di atas menjelaskan jaminan bagi tujuan “menghormati” yang diberikan oleh negara kepada Masyarakat Hukum Adat atas sumber daya alam sekaligus memberikan pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu, negara hanya melakukan pengurusan (bestuursdaad) dan pengelolaan (beheersdaad), tidak bertindak selaku pemilik (eigensdaad).
Jika dicermati lebih lanjut ketentuan pada Pasal 5 UU RI No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, istilah Masyarakat Hukum Adat belum juga mendapatkan pengertian yang jelas. Lebih jauh dari itu pada beberapa aturan perundangan-undangan dalam rangka menjelaskan apa yang dimaksud sebagai Masyarakat Hukum Adat, mencantumkan kembali ketentuan Pasal 18 B Undang-Undang Dasar Negara RI, seperti redaksi aslinya.
Akibatnya, tidak terdapat suatu peraturan perundangan pun yang memuat penjelasan memadai tentang apa itu Masyarakat Hukum Adat. Dengan demikian ketentuan normatif tentang apa yang dimaksud dengan Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat itu belum jelas, apalagi yang menyangkut persyaratan pengakuannya untuk dapat memenuhi ketentuan persyaratan, “sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara keastuan Republik Indonesia yang diatur dengan undang-undang Atas dasar uraian tersebut diatas menjadi dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut ;(1). Apakah batasan suatu kelompok Masyarakat Hukum Adat itu dinyatakan masih ada ?(2). Lembaga negara dalam tingkatan apa yang dapat menyatakan Masyarakat Hukum Adat itu masih ada atau bahkan menyatakannya menjadi tidak ada ? (3). Bagaimana bentuk-bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada masyarakat hukum adat dalam merealisasikan haknya sebagai suatu kelompok terutama dalam isu akses SDA ?
Tujuan utama dari artikel ini adalah sejauh mana batasan tentang Masyarakat Hukum Adat. Kemudian untuk mengetahui juga keberadaan kelembagaan Negara yang dapat memberikan perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat, sekaligus guna memahami bentuk pengakuan dan penghormatan Negara terhadap hak Masyarakat Hukum Adat.
Sehingga diperoleh manfaat yang dapat menjadi pengetahuan dikalangan Masyarakat Adat, sebab dengan diketahuinya batasan tentang Masyarakat Hukum Adat yang masih hidup dan sesuai dengan aturan perundang-undangan, batasan tersebut dapat digunakan sebagai pedoman untuk menentukan pengakuan, perlindungan dan penghormatan terhadap Masyarakat Hukum Adat.
Pengetahuan, merupakan sebuah pedoman menambah wawasan, juga untuk memberi sumbangan tentang pemikiran yang berkenaan dengan asas dan konsep tentang Masyarakat Hukum Adat.
Tentu keberadaan adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang adalah salah satu pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana penjelasan diatas adalah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud tersebut, bahwa setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan aturan tersebut, telah jelas ditentukan bahwa pengakuan keberadaan Masyarakat Hukum Adat itu telah ditetapkan menjadi kewenangan Pemerintah Daerah dengan menggunakan perangkat hukum Peraturan Daerah. Peraturan Daerah dimaksud sebagaimana ditentukan pada Pasal 2 adalah Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Th. 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah hak Ulayat masyarakat Hukum Adat.
Sekalipun ketentuan tersebut masih kental memperlihatkan adanya kewenangan sentralisme, namun terdapat perkembangan pengaturan yang mengarah pada pengakuan atas realitas keberadaan Masyarakat Hukum Adat.
Sifat kecurigaan pemerintah pusat telah dikurangi. Hal ini sejalan dengan pendapat Soetandyo Wignjosoebroto dalam uraiannya menyangkut hubungan pemerintah dengan rakyat. Menurut Wignjosoebroto, kalaupun semangat nasionalisme dan sentralisme seakan terus mencurigai segala gerakan yang mendesakkan pengakuan kembali komunitas-komunitas lokal sebagai satuan-satuan otonom, perkembangan politik dan hukum dalam pergaulan antar bangsa justru mendorong diakuinya kembali eksistensi komunitas-komunitas subnasional itu sebagai satuan-satuan otonom yang dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya akan terakui pula hak-haknya untuk menentukan nasib sendiri.
Dalam kehidupan Negara Kesatuan, sifat saling curiga sulit dihilangkan, karena realitasnya memang terdapat silang selisih dan ragam kepentingan yang berpotensi konflik, yang sebetulnya dapat dikelola sebagai sarana kompromi.
Hal ini akan terus berlangsung dan memerlukan pengelolaan konflik yang baik, sampai ditemukan fokus dalam wawasan kebangsaan. Dengan demikian, pengakuan dan penghormatan Negara atas Masyarakat Adat menjadi sangat penting artinya.Terutama berkaitan dengan perlindungan atas hak Masyarakat Adat unuk mengakses sumber daya alam.
Hal tersebut terlihat antara lain dalam TAP MPR No. IX Tahun 2001 yang dimaksudkan untuk menata ulang peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sumber agraria dan Sumber Daya Alam. TAP tersebut telah menggariskan bahwa salah satu prinsip dalam pengelolaan Sumber Daya Alam adalah pengakuan, penghargaan dan perlindungan dari negara terhadap hak-hak Masyarakat Hukum Adat dalam pengelolaan Sumber Daya Alam.
Sebaliknya, UU No. 41 Th. 1999 tentang Kehutanan, yang secara hierarki hukum berada di bawah konstitusi dan TAP MPR, justru tidak mengakui dan tidak menghargai hak-hak Masyarakat Adat atas penguasaan maupun pemilikan atas hutan adat, yaitu kawasan hutan yang berada dalam wilayah adatnya.
Pasal-pasal yang mengangkut hak-hak Masyarakat Adat yang diatur dalam UU ini bertentangan dengan acuan hukum di atasnya, yaitu: UUD 1945 dan TAP MPR No. IX Th. 2001. Pengakuan yang ada dalam UU ini atas hak-hak masyarakat adat atas hutan adatnya masih bersifat terbatas dan reduktif, yaitu hanya pemberian hak pengelolaan.
Hak kepemilikan tetap ada pada Negara.Oleh karena itu, patut diduga bahwa Negara ini sudah melampaui kewenangannya dalam melaksanakan hak menguasai. Hendaknya TAP MPR No. IX Tahun. 2002 dapat menularkan prinsipnya kepada UU No. 41 Tahun. 1999 tentang Kehutanan.
Dengan kata lain UU tersebut yang lahir sebelum TAP ditetapkan, seharusnya dapat direvisi supaya sesuai dengan prinsip TAP MPR No IX Tahun 2002.
Pengakuan dan penghormatan Negara atas Masyarakat Adat menjadi sangat penting artinya. Terutama berkaitan dengan perlindungan atas hak Masyarakat Adat untuk mengakses Sumber Daya Alam.
Hal tersebut terlihat antara lain dalam TAP MPR No. IX Tahun 2001 yang dimaksudkan untuk menata ulang peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sumber agraria dan Sumber Daya Alam. TAP tersebut telah menggariskan bahwa salah satu prinsip dalam pengelolaan Sumber Daya Alam adalah pengakuan, penghargaan dan perlindungan dari negara terhadap hak-hak Masyarakat Hukum Adat dalam pengelolaan Sumber Daya Alam.
Sebaliknya, UU No. 41 Th. 1999 tentang Kehutanan, yang secara hierarki hukum berada di bawah konstitusi dan TAP MPR, justru tidak mengakui dan tidak menghargai hak-hak masyarakat adat atas penguasaan maupun pemilikan atas hutan adat, yaitu kawasan hutan yang berada dalam wilayah adatnya. Pasal-pasal yang mengangkut hak-hak Masyarakat Adat yang diatur dalam UU ini bertentangan dengan acuan hukum di atasnya, yaitu: UUD 1945 dan TAP MPR No. IX Th. 2001.
Pengakuan yang ada dalam UU ini atas hak-hak Masyarakat Adat atas hutan adatnya masih bersifat terbatas dan reduktif, yaitu hanya pemberian hak pengelolaan. Hak kepemilikan tetap ada pada Negara. Dengan demikian, Negara sudah melampaui kewenangannya dalam melaksanakan hak menguasai. Hendaknya TAP MPR No. IX Tahun 2002 dapat menularkan prinsipnya kepada UU No. 41 Tahun. 1999 tentang Kehutanan. Dengan kata lain UU tersebut yang lahir sebelum TAP ditetapkan, dapat direvisi supaya sesuai dengan prinsip TAP MPR No IX Tahun 2002.
Dalam ayat (2) ditetapkan bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya Masyarakat Hukum Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Terlihat bahwa aspek pengakuan Negara masih dominan dalam pengaturan UU ini tentang keberadaan Masyarakat Hukum Adat. Sekalipun demikian, pada bagian penjelasan disebutkan bahwa Peraturan Daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.
Pengertian Masyarakat Adat berdasarkan hasil Kongres Masyarakat Adat Nasional yang Pertama pada tahun 2004, adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri.
Berdasarkan batasan ini, jelaslah penentuan tentang eksistensi Masyarakat Hukum Adat telah dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan kesatuan-kesatuan masyarakat Hukum Adat.
Hal tersebut sesuai dengan isi Pasal 2 (4) UU No.5 Th.1960 tentang Peraturan dasar Pokok Agraria, selengkapnya sebagai berikut : Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan pasal ini memperlihatkan bahwa: (1). Kedudukan Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat untuk melaksanakan kuasa atas hak menguasai Negara sama dengan kedudukan Daerah-Daerah Swatanra (Daerah Tingkat II).(2).Sebagai kuasa dari hak menguasai Negara dapat diberikan secara langsung oleh Negara, dalam hal ini tentu oleh Presiden, tetapi hal ini memerlukan peraturan tersendiri untuk melaksanakannya. (3). Mekanisme untuk menetapkan pengakuan tersebut ditetapkan dengan Undang-Undang. (4).Berbagai ketentuan perundang-undangan telah mengakui keberadaan Kesatuan-Kesatuan masyarakat Hukum Adat, tetapi mekanisme untuk melaksanakan proses pengakuan secara nyata diatur dengan proses yang sangat sulit, oleh karena itu terhadap perlindungannya juga belum dapat dilaksanakan.
Keadaan ini juga sejalan dengan pendapat Soetandyo Wignjosoebroto, sebagai berikut : Tak pelak lagi pengakuan yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan itu, baik ipso jure maupun ipso facto akan gampang tertafsirkan sebagai pengakuan yang harus dimohon, dengan beban pembuktian akan masih eksisnya masyarakat hukum adat itu oleh masyarakat hukum adat itu sendiri, dengan kebijakan untuk mengakui atau tak mengakui secara sepihak berada ditangan kekuasaan pemerintah pusat
Atas uraian tersebut telah jelas memperlihatkan, bahwa kewenangan untuk mengakui atau tidak mengakui keberadaan suatu Masyarakat Hukum Adat berada di tangan pemerintah pusat dan telah dikuasakan kepada Masyakat Hukum Adat sesuai ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Di mana dalam Pasal 2 tersebut diatur bahwa : Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Kesimpulannya dalam artikel ini, bahwa kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang diatur pada Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam perspektif budaya yang merupakan kesatuan masyarakat Indonesia asli Indonesia.
2) Istilah kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat adalah istilah yuridis yang ditentukan dalam Pasal 18 B (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan merupakan satu-satunya istilah yuridis. Penentuan pengakuan terhadap Kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat masih bengantung pada kekuasaan Negara. Pengakuan dan perlindungan itu dapat ditempuh melalui mekanisme pengujian materi UU yang merugikan masyarakat hukum adat, dan mekanisme penyusunan Peraturan Daerah pada lingkup wilayah daerah tempat Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan memerlukan pengakuan dan perlindungan.
3) Diperlukan satu kesatuan pengertian yuridis untuk memberikan definisi terhadap pengertian kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang ditentukan dalam Pasal 18 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4) Pengakuan terhadap Kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat itu harus dilakukan satu persatu atau kasus per kasus sesuai pengertian yang diberikan secara yuridis terhadap apa yang dimaknai sebagai “kesatuan-kesatuan” Masyarakat Hukum Adat.
Saran penulis,Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia sangat penting untuk diatur dalam aturan perundang-undangan. Hal ini untuk menghindari kehidupan Masyarakat Adat yang semakin termarjinalkan. Akan tetapi hendaknya pengaturan itu berkesesuaian dengan hukum nasional, hukum internasional, dan prinsip-prinsip Universal Hak Asasi Manusia.Perlu adanya pembaharuan peraturan perundang-undangan tentang Sumber Daya Alam untuk disesuaikan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen, untuk menjamin adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia. Semoga….
Oleh : A.Marulitua Siahaan
Menelisik kejamnya ulah perusahaan Oligarki seperti yang ada di Tapanuli Raya, mungkin perilakunya lebih tepat disebut, ibarat kata orang Melayu, berbahagia di atas penderitaan orang lain atau keberadaannya ibarat “Api dalam Sekam.”
Posisinya, meski selalu mengeluarkan asap dan bau busuk, dia bersikukuh bertahan dalam bayang-bayang.
Bahkan, sudah rahasia umum dia bersenang-senang diatas penderitaan rakyat selama 34 tahun kejahatannya menimpa Bangso Batak di Tapanuli Raya, serasa kebal hukum.
Modus yang sering dilakukannya untuk mematahkan perlawanan masyarakat adat yakni dengan memakai strategi seperti memprovokasi sesama warga masyarakat, menciptakan adu domba bahkan rela berkorban memelihara para pihak yang buta hati, sampai masyarakat melakukan tindakan hal yang justru dibuat menjerat masyarakat itu sendiri.
Misalnya, ada rakyat melakukan tindakan kekerasan terhadap pihak perusahaan dan atau karyawan perusahaan atau merusak fasilitas perusahaan, justru hal semacam itu yang diinginkannya hingga berurusan dengan aparat polisi.
Dapat dibayangkan, jika sebuah perusahaan besar sebagai pelapor, tentu aparat akan lebih sigap atau laporannya jadi skala prioritas untuk diproses dan menahan warga-warga yang dianggap penghalang.
Ditengarai hal demikian jika mengutip isi buku Van Vallenhoven asal Belanda, dalam bukunya yang berjudul Penemuan Hukum Adat (1987 : 153 & 199), dia memaparkan sejarah penerapan hukum adat di bidang hukum agraria terkait Tanah Hak Ulayat.
“Dalam tahun 1872 sampai 1874 dengan pengaturan umum mengenai pemerintahan (maksudnya penerbitan domein verklaring yakni pernyataan hak penguasaan tertinggi pemerintah atas semua tanah khususnya tanah ulayat yang bukan tanah hak eigendom).
Pemerintah kembali pada ketentuan keputusan dalam Agraria dimulai dari tahun 1870 adalah sah yang melindungi asas-asas hukum adat dengan istilah adatrech (hukum adat).
Hal itu kali pertama dipakai dalam naskah-naskah pemerintahan dimulai pada 1904 sejak Staatblad Belanda tahun 1920, 1921 dan 1924 sehingga istilah-istilah itu mendapatkan cap resmi secara sah yang harus dilaksanakan.
Kemudian, pada 1926, Pemerintah memutuskan menunjuk seorang kontrolir (J.C Vergowen) untuk mempelajari jalannya peradilan (maksudnya peradilan pribumi itu) di Tapanuli Raya.”
Uraian dari Van Vallenhoven tersebut telah menjelaskan bahwa dalam sejarah bangsa Indonesia, pemerintah Belanda seperti juga pemerintah RI telah menerapkan asas hukum adat dalam penanganan setiap sengketa hingga terakhir oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan No. 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Hutan Adat adalah hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara, yang menghormati sesuai amanat 18B Ayat (2) UUD RI Tahun 1945 menggunakan istilah Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Pengakuan dan perlindungan yang dilaksanakan oleh Negara terhadap Masyarakat Hukum Adat, dapat terwujud apabila ada landasan hukumnya dalam bentuk aturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat.
Sayangnya, terjadi pergeseran nilai terhadap peranan ajaran adat budaya sejak zaman Hindia Belanda hingga era globalisasi yang sedang berlangsung.
Para tokoh masyarakat adat khususnya para praktisi hukum sepertinya kurang antusias, padahal posisi hukum adat adalah awal adanya Hukum Agraria bentuknya sangat perlu guna meningkatkan peranan lembaga-lembaga marga dan lembaga adat Dalihan Na Tolu, guna membina tata hidup habatahon yang bersifat family atmosphere.
Oleh pemerintah sadar hingga akhirnya mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah atau UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, sengaja dibuat untuk memberi peluang bagi lembaga adat di Tapanuli Raya bahkan untuk kepentingan seluruh suku nusantara guna melestarikan nilai sosial budaya masyarakat setempat.
Dari uraian tentang posisi Hukum Adat/Adat Istiadat sebagaimana dalam uraian tersebut adalah di atas, prinsip-prinsip moral yang menjadi kaidah moral dalam adat istiadat tersebut akan dapat dijadikan landasan atau sebuah konseptual dalam kegiatan penegakan hukum.
Sebab, etika adanya budaya suku-suku di Indonesia adalah mengandung prinsip-prinsip moral sosiatif dan toleransi didasari dengan etika moral keadilan.
Etika keadilan dapat diterapkan melalui tiga aspek, yaitu: etika agama, etika budaya, dan etika Pancasila.
Landasan Etika dalam Aspek Agama
Landasan Agama adalah menduduki posisi sentral dalam proses penegakan dan pembangunan hukum.
Apalagi, bahwa keberadaan agama sangat mengandung dua aspek peranannya dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu :
1. Peranan sebagai tuntunan kehidupan spiritual yang biasa disebut sebagai dogma agama.
Dogma agama adalah merupakan wahyu dari Ilahi (TUHAN) yang memiliki kadar nilai kekekalan yang tidak mungkin dinilai dari aspek logika insani.
2. Peranan sebagai tatanan kehidupan spiritual yang biasa disebut Gereja, Masjid, dll.
Sebagai tatanan kehidupan spiritual dapat didekati untuk pengembangannya melalui etika agama.
Etika agama berperan sebagai pembimbing tingkah laku manusia agar mampu mencapai kebahagiaan dalam aspek insani dan aspek Ilahi melalui prinsip moral takut akan Allah.
Frans Magnis Suseno seperti diangkat E. Sumaryono (1995: 255) menyatakan, ada empat alasan untuk melakukan pendekatan etika, yaitu:
1. etika dapat membantu dalam menggali rasionalitas dan moralitas agama;
2.etika membantu dalam menginterpretasikan ajaran agama yang saling bertentangan;
3. etika dapat membantu penerapan ajaran moral agama terhadap masalah-masalah baru dalam kehidupan manusia, seperti soal bayi tabung dan euthanasia.
4. etika dapat membantu mengadakan dialog antar agama karena etika mendasarkan pada argumentasi rasional belaka bukan pada wahyu.
Keempat pendekatan etika agama tersebut sangat relevan untuk dijadikan landasan perilaku para profesional, sehingga kapasitas profesional para penegak hukum dapat berkembang sejalan dengan realitas sosial yang dihadapi mereka dalam proses penegakan hukum.
Dengan melibatkan ajaran – ajaran agama tentu sungguh mengandung prinsip moral utama yaitu roh takut akan Tuhan.
Isi janji/sumpah jabatan profesi hukum selamanya didasarkan pada prinsip moral utama tersebut.
Para insan profesional akan semakin mampu menjalankan peranan pengabdian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara jika mampu menerapkan Golden Wisdom yaitu : perilaku yang mendasarkan diri dalam etika agamanya dengan dukungan etika budaya suku dan etika Pancasila.
Penerapan etika agama akan dapat berjalan optimal jika didukung penerapan etika budaya suku-suku dan etika Pancasila.
Penanganan konflik kultural dalam era globalisasi perlu ditingkatkan melalui kegiatan lembaga sosial agama dan lembaga sosial budaya.
Masyarakat suku adat Minangkabau misalnya, sangat berhasil menerapkan etika agama dan etika budayaNya.
Minangkabau mengatasi berbagai konflik kultural di lingkungan masyarakat Minangkabau di manapun mereka berada.
Lembaga sosial budaya dan agama di Minangkabau telah sejak lama menerapkan prinsip etika adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabulloh.
Kegiatan Kerapatan Adat Nagari (KAN) di Minangkabau dalam kegiatan menjalankan peradilan adat, selalu dibina Kerapatan Adat Alam Minangkabau (KAAM) dan lembaga sosial agama setempat.
Semoga…! **