Oleh: Saiful Huda Ems.
JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM
Belum juga mau mengakhiri jabatannya, dan satunya lagi masih menunggu untuk dilantik, namun preman-preman dengan berbagai kemasan ormas dan seragamnya sudah bergentayangan dimana-mana, dan main ancam pemikir-pemikir kritis, yang terus berpikir dan menjelaskan pada masyarakat tentang persoalan negerinya, dan yang harus mendapatkan perhatian untuk dicari jalan keluarnya bersama. Sebetulnya mereka ini pemimpin rakyat atau pemimpin mafia sih?.
Sudah terbukti dalam berbagai sejarah, baik yang terjadi di negeri ini maupun di luar negeri, bahwa fasisme, otoriterianisme selalu akan memunculkan perlawanan dari rakyatnya sendiri, entah dari yang awalnya dari mereka yang mendukung atau apalagi dari mereka yang sejak awal mula kontra.
Entah dalam waktu singkat ataupun lama, yang jelas belum pernah rasanya ada seorang fasis atau diktator yang selamat, baik di usia muda maupun tua kepemimpinannya.
Negara yang modern dan ingin bergerak maju harusnya memberikan ruang kebebasan bagi rakyat kritisnya untuk terus berpikir dan bersuara, apapun arah kecenderungannya, mau pro ataupun kontra pemerintah, mau jernih maupun ada kepentingan pribadinya.
Sebab, sudah menjadi kodratnya, selain manusia itu daya pikirnya terbatas juga memiliki potensi kriminal yang olehnya harus terus saling ingat mengingatkan, dan bukan mengancam.
Saya pribadi pernah beberapakali diancam, namun bersyukur berkat luasnya jaringan persahabatan dari berbagai segmen dan profesi, saya relatif masih bisa mengatasinya.
Lalu bagaimana dengan orang-orang kritis namun tidak memiliki jaringan seperti itu, iya kalau mereka pemberani, namun mereka memiliki mental penakut, bagaimana? Bukankah akan rugi negeri ini jika menyia-nyiakan suara kritisnya?.
Sudahlah, jangan over acting menjadi manusia, biasa-biasa saja, tak perlu unjuk kekuatan jika mau melihat belakang kepalanya sendiri tanpa bantuan cermin tidak bisa.
Tak perlu pamer ormas-ormas semi militer dengan berbagai perangai bringas atau kegalakannya, jika untuk menghidupi organisasinya sendiri saja harus membuat proposal pendanaan ke pemerintah.
Tak perlu merasa sakti mandraguna, jika terpercik minyak goreng dari wajan yang panas sedikit saja meloncat-loncat. Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri, sadarilah.
Hidup berdampingan dan rukun jauh lebih baik, meski pikiran kadang beda dan saling berkecamuk, penuh huru hara wacana dan hati saling menancapkan keyakinannya masing-masing.
Mau mendukung ataupun kontra terhadap kebijakan pemerintah juga tak masalah, yang terpenting harus logis dan berani mempertanggung jawabkan pilihannya secara rasional, argumentatif.
Ingatlah sikap seseorang itu selalu dipengaruhi oleh latar belakang hidupnya, pendidikannya, agamanya, referensi bacaannya, gurunya, pertemanannya, kepentingannya, pengalaman hidupnya dll.
Karena itu manusia harus melandaikan hatinya dan memperluas cakrawala berpikirnya, itulah yang akan menjadikan manusia semakin berumur semakin bijaksana…(SHE).
1 Juni 2024.
Saiful Huda Ems (SHE). Lawyer dan Pemerhati Politik.
Oleh: Saiful Huda Ems.
JAKARTA,
KHATULISTIWAONLINE.COM
Bikin program makan siang gratis, begitu sadar tidak ada dananya pakai alasan, siang itu waktunya anak-anak sekolah pulang, jadi diganti makan makanan bergizi saja, dan akan diatur lagi waktu pelaksanaannya.
Rakyat ribut karena biaya masuk perguruan tinggi mahal, Prabowo langsung mengatakan, biaya kuliah harusnya murah bahkan kalau bisa gratis.
Nanti juga kalau sudah sadar dananya tidak ada karena hutang Pemerintah sudah bertumpuk-tumpuk dan tidak jelas bagaimana dan kapan melunasinya, pernyataan Prabowo itu akan direvisi lagi.
Orang yang sudah terbiasa hidup kaya raya dan didapat dari kedekatannya dengan penguasa, tidak akan memiliki empati penderitaan rakyat, tidak akan pernah bisa membuat program-program strategis yang rasional dan dapat diimplementasikan.
Apa yang dikatakannya hanya sebatas omon-omon untuk meredam protes atau amarah rakyat belaka.
Walaupun demikian halnya dengan Jokowi yang semakin lama semakin kehilangan orientasi, tak jelas keberpihakannya kemana, kepada siapa, pada rakyat atau pada investor-investor besar asing yang seringkali tidak memberi keuntungan apa-apa pada rakyat kecil. Bahkan yang ada harga diri bangsa kerap tergadaikan.
Banyak menteri yang bermasalah dibiarkan saja, bahkan orang seperti SYL dan JGP sudah bertahun-tahun saya minta untuk direshuffle dan dijebloskan ke penjara, eee…baru dua tahun kemudian direshuffle dan di KPK kan.
Tragisnya Jokowi sekarang malah memanjakan beberapa menterinya yang bermasalah, hanya karena mereka mau menjadi pendukung-pendukung setianya.
Saya nyaris tak melihat ada Ketua Umum Partai Politik yang berani dengan lantang menyuarakan suara kebatinan rakyat ini kecuali Ibu Megawati Soekarnoputri Ketua Umum PDIP. Beliau dengan berani dan lantang menyuarakan berbagai persoalan kenegaraan dan kebangsaan yang ada.
“Saya yang membangun KPK, MK dll. kok semuanya begitu mudah dirusak. Harus kita apakan dia?” Lalu dijawab oleh peserta Rakernas PDIP, “Lawan !”.
Ketika saya melihat dan mendengar pidato Bu Megawati yang seperti itu, saya lihat Mas Hasto Kristiyanto matanya berkaca-kaca, sama, sayapun demikian, tak terasa air mata mengalir.
Memang benar apa yang dikatakan oleh Ibu Megawati Ketua Umum PDIP itu, kita dahulu yang mati-matian membenahi keadaan negeri ini, mulai dari pembangungan mentalitas bangsanya hingga institusi-institusi kenegaraannya, semuanya seakan-akan ambruk gara-gara sikap arogan dan bar-bar Jokowi.
Ingat juga loh, perjuangan kami dahulu ketika Soeharto masih berkuasa–untuk memisahkan peran TNI dengan POLRI melalui agenda Pencabutan Dwi Fungsi ABRI/TNI itu juga luar biasa, berkeringat dan berdarah-darah, namun oleh Jokowi malah dirusak lagi, semuanya ditarik-tarik ke politik praktis lagi.
Celakanya kebanyakan juga ditujukan untuk kepentingan keluarganya saja !.
Orang-orang seperti saya pasti sangat sedih atau geramnya luar biasa, kalau ada orang-orang yang ngaku-ngaku sebagai Aktivis ’98 terus santai-santai saja melihat kondisi negeri seperti ini, berarti dulunya mereka turun ke jalan hanya untuk dijepret kamera Wartawan Media Cetak atau hanya ingin dishoot media-media TV. Pasti itu !…
Setelah memaksakan anak, adik iparnya dan menantu jadi Walikota, Ketua Umum Partai, dan menguasai MK serta menghasilkan keputusan-keputusan yang mengobrak abrik tatanan bernegara, di Medan menantu Jokowi (Bobby) malah memaksakan pamannya (Benny Sinomba) menjadi Pelaksana Harian (Plh) Sekda.
Negara ini milik siapa sih? Dipimpin berdasarkan aturan apa sih? Kok semuanya dibikin mengarah dan menguntungkan keluarga Jokowi saja?…(SHE).
25 Mei 2024.
Saiful Huda Ems (SHE). Aktivis ’98. Penantang Rezim Soharto di Berlin Jerman (1991-1995).
Oleh: Saiful Huda Ems.
JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM
Menjelang Reformasi ’98, hanya ada satu partai politik yang memikat hati saya karena keseriusannya dalam menegakkan keadilan dan membela nasib orang-orang pinggiran, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Namun karena di masa itu saya sudah bersepakat duluan bersama teman-teman seperjuangan yang tengah sibuk-sibuknya mendirikan partai baru, yakni Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) yang diketuai oleh Dr. Ir. Sri Bintang Pamungkas, maka keinginan besar saya untuk bergabung dengan PDIP saat itu saya urungkan.
Bagi saya ketika itu, jika saja PDIP kembali dihadang oleh kekuatan sisa-sisa pendukung Rezim Orde Baru untuk bisa menang di PEMILU 1999, paling tidak saya bersama teman-teman seperjuangan masih memiliki kekuatan tersendiri yang para anggota dan pengurusnya didominasi oleh kalangan aktivis pergerakan.
Akan tetapi takdir berkehendak lain, partai kami ketika itu (PUDI) kalah, dan PDIP malah meraih kemenangan total di PEMILU 1999, dan saat itu jelas, tidak ada Jokowi disana.
Ini artinya PDIP memang dari aslinya memang sudah kuat, luar biasa, dimana rakyat menjadi kekuatan penggeraknya yang utama.Tidak ada yang namanya Jokowi effect, yang ada itu Kesetiaan Pada Kebenaran dan Keadilan PDIP effect.
Tidak sia-sia rasanya, jika ketika PDIP masih bernama PDI terus diganggu, diteror oleh Rezim Orba, saya dkk. turut membela dan menjadi pendukung utamanya.
Bahkan sebelum Kantor DPP PDI diserbu oleh Pasukan Siluman Pendukung Rezim ORBA di tahun 1996, sayapun turut hadir di acara-acara mimbar bebas di sana, dan kemana-mana saat itu saya selalu menggunakan kaos bergambar Ibu Megawati Soekarnoputri, Sang Ketua Umum PDI/PDIP yang visioner, revolusioner.
Bahkan sampai ketika PDIP berhasil memenangkan PILPRES di tahun 2014 dan 2019 Ibu Megawati masih tetap visioner dan revolusioner. Maka tidak heran, Jokowi yang tidak mewarisi obor api perjuangan, tidak pernah sanggup untuk bisa berjuang bersama Ibu Megawati Soekarnoputri. Jokowi terlempar dengan sendirinya, seperti Air dan Minyak yang tak dapat menyatu.
Tak lama lagi PDIP akan menyelenggarakan Rakernas V di Ancol Jakarta, yakni pada tanggal 24 hingga 27 Mei 2024. Menurut penjelasan dari Sekjen PDIP, yakni Mas Hasto Kristiyanto, di Rakernas V PDIP ini akan disampaikan sikap politik PDIP yang berkaitan dengan tantangan-tantangan demokrasi yang akan datang.
Selain itu Rakernas juga akan menjadi momentum untuk mengevaluasi hasil Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif 2024.Melalui forum Rakernas ini PDIP pun akan melakukan konsolidasi menghadapi Pilkada 2024.
Tema Rakernas V PDIP adalah “Satyameva Jayate” yang berarti Kebenaran pasti Menang. Dan sub temanya adalah “Kekuatan persatuan rakyat dalam kebenaran”. Dahsyat dan menarik sekali bukan?
Apalagi dalam agenda utama di Pembukaan Rakernas V PDIP ini adalah menerima Obor Api Perjuangan Nan Tak Kunjung Padam, yang kemudian dilanjutkan dengan pidato politik dari Ketua Umum PDIP Ibu Megawati Soekarnoputri, yang biasanya ditunggu-tunggu oleh jutaan orang, khususnya oleh para politisi di negeri ini.
PDIP menjadi partai politik yang paling awet digandrungi oleh mayoritas rakyat, ini mungkin berkat usaha gigih dari Ketum, Sekjen dan para pengurus serta anggota PDIP sendiri mulai dari tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, hingga ke tingkat Ranting, yang selalu berusaha keras dan sungguh-sungguh –sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Sekjen PDIP Mas Hasto Kristiyanto–untuk membangun kesadaran kolektif ideologis, sehingga PDIP selalu bisa konsisten sebagai partai yang berwajah kerakyatan.
Sebagaimana Ibu Megawati yang selalu ingatkan, agar para calon kader utama itu tidak berpikir masuk partai untuk mencari uang. Partai politik adalah alat untuk melayani rakyat sesuai ideologi, bukan mencari kekayaan.
Berangkat dari niat tulus dan visi bagus itulah, tak heran PDIP dapat selalu berjaya di tengah berbagai terpaan badai yang ada. Ketika banyak partai-partai politik yang orientasinya kekuasaan dan fulus an sich, hingga orang baru dua hari jadi kader bisa langsung menjadi Ketum Partai agar partainya bisa lolos ke Senayan meskipun nyatanya tidak kesampaian, PDIP dari awal sudah berusaha sekuat tenaga untuk menjadi partai modern, profesional dan memiliki kualitas sumber daya kader yang teruji kepemimpinan dan kepekaannya terhadap rakyat sebagai penggerak partai.
Ya, berkat pendidikan dan pengkaderan yang dilakukan oleh PDIP lah, PDIP bisa melahirkan politisi-politisi berkelas seperti Mas Hasto Kristiyanto, Mas Ganjar Pranowo, Ibu Tri Rismaharini, Ko Ahok, Mas Djarot Saiful Hidayat, Mas Azwar Anas dll.
Selamat melaksanakan Rakernas V PDIP di Beach International Stadium Ancol Jakarta 24 sampai 27 Mei 2024. Semoga Rakernas V PDIP nanti, dapat menjadi obat dahaga jiwa Rakyat Indonesia, khususnya bagi para Akademisi Kampus yang saat ini resah karena kehancuran pencapaian Demokrasi yang telah lama rakyat perjuangkan, serta umumnya bagi Rakyat yang rindu datangnya keadilan, karena sudah teramat lama rakyat dibodohkan dan dimiskinkan.
Pembunuhan demi pembunuhan, serta pemerkosaan demi pemerkosaan yang terjadi di tengah kehidupan rakyat yang tak tertuntaskan proses hukumnya, harga-harga kebutuhan pokok rakyat yang terus meroket, penipuan-penipuan melalui medsos, judi online, biaya pendidikan perguruan tinggi yang kian sulit dijangkau oleh rakyat kecil lagi, maraknya aksi bunuh diri karena terhimpit persoalan ekonomi, banyaknya pengangguran, nasib kaum buruh yang tak diperhatikan, konflik antar umat beragama, Pilpres dan Pileg yang kacau balau, penuh aroma transaksional dan direkayasa oleh penguasa sesuka hatinya, serta brutalnya Rezim Jokowi mengacak-acak peraturan perundang-undangan yang hanya berpihak pada kelompoknya saja, semoga dapat dibahas dan ditemukan solusinya oleh para peserta Rakernas V PDIP.
Intinya, jangan sampai di Pilpres, Pileg dan Pilkada mendatang, para politisi tak lagi mau bertarung secara serius dan benar, karena menganggap tidak ada untungnya bertarung, berjuang dengan benar kalau pada akhirnya keputusan pemenangnya hanya mengikuti selera Sang Kaisar berhidung panjang, beromong besar, suka membual dan menghianati teman-teman seperjuangan, tidak peka pada penderitaan rakyat dan hanya mau mendengar Pak Menteri Segala Urusan dan Situasi alias MENSTRUASI.
Jayalah PDIP ! Selamat berjuang ! Kami tunggu Obor Api Perjuanganmu yang lebih berkobar lagi ! Rakyat pinggiran menunggu Hasil Rakernasmu dengan hati berdebar-debar ! Merdeka !…(SHE).
Rabu, 22 Mei 2024.
Saiful Huda Ems (SHE). Lawyer dan Pemerhati Politik.
Oleh: Saiful Huda Ems.
JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM
Karakter Prabowo Subianto (PS) yang gemar menebar ancaman rupanya masih belum hilang juga dari sejak PS menjadi Danjen Kopassus hingga di usia senjanya sekarang.
“Kita ingin berjuang bersama-sama, namun jika tidak mau diajak kerjasama, jangan mengganggu !”. Begitu cuplikan ucapan PS yang saya dengar. Kata-kata jangan mengganggu ini, diucapkannya dengan serius, seperti ia sedang mengancam seseorang atau kelompok tertentu yang menunjukkan ketegasan sikap politiknya yang tak ingin bergabung dengan pemerintahan PS kelak.
Setau saya sampai saat ini baru PDIP melalui Sekjennya, yakni Hasto Kristiyanto dan Capres yang diusungnya di PILPRES 2024, yakni Ganjar Pranowo yang terus menerus bersikap kritis pada PS, wabil khusus pada Presiden Jokowi.Apalagi di waktu yang hampir bersamaan dengan Rakornas PAN,
Ganjar Pranowo telah mendeklarasikan dirinya akan mengambil sikap Oposisi pada Pemerintahan Jokowi dan Prabowo. Mungkin karena hal ini, PS yang mewarisi karakter kepemimpinan
Soeharto di era Orde Baru (ORBA) yang anti kritik, PS sudah panik duluan, dan memberikan peringatan untuk tidak mengganggu apa yang akan dilakukannya nanti ketika PS sudah dilantik menjadi Presiden R.I ke 8. Padahal kritik itu sehat dan hanya orang-orang anti kritiklah yang menganggap kritik itu sebagai gangguan.
Selain itu, melalui bahasa isyaratnya, PS juga mengatakan, bahwa PS tidak memiliki tanggal merah, semuanya biru. Bagi orang-orang yang kurang peka intuisi politiknya, mungkin akan menerjemahkan biasa-biasa saja, yang maksudnya PS akan terus bekerja tanpa mengenal hari libur (tanggal merah).
Namun jika dicermati lebih jauh, ini juga bisa jadi merupakan bahasa isyarat PS, bahwa ia tidak akan bekerjasama dengan PDIP (biasa dikenal dengan istilah Partai Merah), sebab bagi PS PDIP selain tidak mendukungnya di Pilpres 2024,
PDIP juga memiliki sejarah panjang sebagai partai terdepan yang membela kaum pinggiran (Wong Cilik) dan yang paling tegas mengkritisi pemerintahan yang korup dan tak berempati pada penderitaan kaum marginal.
PS mungkin sadar bahwa pidatonya yang menyatakan akan memperjuangkan nasib rakyat kecil hanyalah omon-omon saja, sebab nyatanya PS dan adiknyalah yang selama ini banyak menguasai lahan-lahan milik negara, yang seharusnya diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat. PS mungkin juga sadar, bahwa ia terpilih sebagai Presiden R.I ke 8, juga berkat dukungan dari Presiden Jokowi yang telah terlebih dahulu mengacak-acak Mahkamah Konstitusi dan KPU.
Maka tidak heran, dalam pidatonya PS juga mengatakan telah didukung oleh Jokowi, SBY, Gus Dur, Soeharto dan Bung Karno tanpa menyebut sama sekali nama Bu Megawati Soekarnoputri.
Bahkan PS sempat menyindir Bung Karno milik semua orang dan tidak bisa diklaim sebagai milik satu partai tertentu. Inilah karakter asli PS yang lupa dengan jasa Ibu Megawati Soekarnoputri, yang memintanya pulang kembali ke Tanah air setelah PS diincar oleh rakyat Indonesia atas peristiwa Penculikan Aktivis ’98 dan Kerusuhan Nasional tahun 1998.Bu Megawati Soekarnoputrilah yang telah mengangkat kembali kehormatan PS sebagai pecatan TNI, dengan menjadikannya Cawapres di Pilpres 2009.
Kalau tidak karena jasa Ibu Megawati ini, PS mungkin masih akan terus menjadi warga negara yang tidak jelas identitasnya di Yordania. Namun PS rupanya seolah lupa dengan itu semua, dan lebih mengingat jasa Jokowi yang telah melahirkan anak haram konstitusi, dan memberikan jalan yang mulus bagi PS untuk menjadi Presiden R.I ke 8.Saya khawatir apa yang dikatakan PS dalam pidatonya, “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, akan menjadi kenyataan.
Bahwa Jokowi yang memulai mengobrak-abrik konstitusi dan lembaga-lembaga negara akan diikuti kemudian oleh PS juga. Bukankah PS selama ini telah terang-terangan, bahwa PS banyak belajar dari Jokowi?.
Namun karakter tetaplah karakter, jika dari mudanya saja sudah temperamental, selamanya akan tetap begitu juga. Begitu pula dengan politik, jika seorang politisi tidak terlatih hidup dari kecil dengan semangat pengabdian pada negara, melainkan semangat mencari penghidupan dari kekuasaan, maka selamanya sampai tua akan begitu juga. Ketika kekuasaan menjadi satu-satunya tujuan, maka seorang penguasa akan terusik ketika ada penguasa bayangan di sampingnya.
Inilah mengapa saya haqul yakin hingga hari ini, bahwa kerjasama PS dan Jokowi itu tidak akan bertahan lama, ketika Jokowi nantinya tak lagi menjadi Presiden, PS akan membuangnya. Terlebih ketika kedua-duanya sepertinya memiliki karakter yang sama, yakni mudah melupakan jasa orang-orang yang pernah membesarkannya, dan membuat keduanya menjadi terhormat di mata masyarakatnya.
Tak terasa puntung rokok di asbakku penuh dan kopi di gelasku tinggal ampasnya. Aku kemudian termenung mengingat teman-teman seperjuangan yang masih tak ku ketahui dimana keberadaan jasadnya, setelah peristiwa Penculikan Aktivis menjelang Reformasi ’98 yang sangat mengerikan itu.
Dan sekarang saya seolah dipaksa oleh suatu peristiwa, bahwa saya harus menerima kenyataan bangsa dan negeri ini akan segera dipimpin oleh orang yang dahulu menculiknya. Semoga Allah SWT menjaga dan melindungi bangsa ini. Aamiin…(SHE).
10 Mei 2024.
Saiful Huda Ems (SHE). Lawyer dan Analis Politik, serta mantan Aktivis ’98.
Oleh: Saiful Huda Ems.
JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM
Bukan Jokowi namanya kalau dia tak bisa bersiasat untuk menutupi keculasannya, termasuk bersiasat untuk mengatasi ancaman ketakutan akan kekalahannya di medan pertarungan politik maupun hukum.
Saat sekarang ketika semua mata politisi, akademisi, budayawan, kelompok-kelompok masyarakat sipil kritis hingga para purnawirawan jenderal TNI dan POLRI sedang melawan penyalah gunaan kekuasaannya melalui rentetan persidangan PHPU di MK, Jokowi kembali melakukan manuver Drama Politik yang kesekian kalinya.
Jokowi sangat panik dan mungkin pula gemetar di istana negara yang dikangkanginya, betapa tidak ini baru pertamakalinya dalam sejarah perpolitikan dan penegakan hukum di Indonesia, ribuan mahasiswa turun ke jalan memprotes Jokowi, dan 303 Guru Besar, Akademisi dan Masyarakat Sipil melayangkan Surat Amicus Curiae (AC) ke MK, sebagai bentuk perlawanan dahsyat Kaum Intelektual pada Presiden Jokowi dan para penyelenggara PILPRES 2024 yang sangat curang, penuh intrik, rekayasa dan atraksi penabrakan Konstitusi yang sangat berbahaya bagi tatanan hukum dan Demokrasi di Indonesia.
Tak hanya itu, saat ini telah terjadi momentum dahsyat terjadinya pertemuan termanis antara tokoh reformis nasionalis, penjaga konstitusi yang sangat tangguh dan pelopor perlawanan terhadap kediktatoran Rezim Orde Baru yang sangat legendaris, yakni Putri Proklamator Bung Karno, Ibu Megawati Soekarnoputri dengan tokoh kubu Islam Politik Garis Keras, yakni Habib Rizieq Shihab.
Dua tokoh nasional yang awalnya bagai air dan minyak yang susah sekali untuk dipertemukan itu, kini keduanya memiliki tekad yang sama untuk menghadapi Rezim Jokowi yang telah sangat terang benderang melakukan Abuse of Power, penyalah gunaan kekuasaan !.
Baik itu Ibu Megawati maupun Habib Rizieq Shihab telah sama-sama melayangkan Amicus Curiae ke MK.
Amicus Curiae jika disederhanakan maknanya, adalah konsep hukum yang memungkinkan pihak ketiga, atau yang tidak berperkara memberikan pendapat hukum yang berupa opini pada pengadilan yang dalam hal ini Mahkamah Konstitusi.
Jadi silahkan dibayangkan saja, seorang mantan Presiden, Ketua Umum Partai Politik terbesar dan Pemenang Pemilu 3 kali berturut-turut, telah ikut memberikan pendapat hukum di MK, bersamaan dengan para tokoh nasional dan para pemuka agama lainnya.
Selain itu, beberapa purnawirawan Jenderal TNI seperti mantan KSAD dan mantan Danjen Kopasus serta ratusan Guru Besar dan Mahasiswa dari berbagai Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari kampus-kampus besar dan ternama seperti UGM, UNPAD, UI, UNJ, UNAIR dll.
Begitu juga tokoh-tokoh jurnalis senior juga turut melayangkan Amicus Curiae ke MK, apa semua kenyataan ini tidak menjadikan Presiden Jokowi kebingungan? Ini baru pertamakalinya terjadi di sepanjang sejarah Indonesia loh.
Sedangkan dari kubu Capres-Cawapres Prabowo-Gibran saja hanya bisa mengklaim akan ada 10 ribu orang yang akan turut melayangkan Amicus Curiae ke MK namun kenyataannya hanya omon-omon saja alias ngedabrus tak ada buktinya !.
Fakta menarik dalam persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024 inilah, yang mau tidak mau, suka tidak suka telah mendekatkan pikiran para pengamat politik dan hukum pada prediksi dikabulkannya permohonan para pemohon dalam peradilan Sengketa Hasil Pilpres 2024 di MK.
Siapapun yang tajam analisanya, akan menyatakan bahwa mayoritas para Hakim Mahkamah Konstitusi akan mengabulkan gugatan para pemohon, kecuali jika Presiden dan Paman Usman memiliki ilmu ghaib yang bisa merasuki pikiran dan hati para Hakim MK untuk menolak gugatan para pemohon.
Jokowi sangat faham dengan kemungkinan kekalahan putra kesayangannya di persidangan PHPU di MK, karenanya istana mulai membuat drama sinetron ala Ram Punjabi untuk mengalihkan kasus itu dengan isue-isue keinginan berkunjung Presiden Jokowi ke Ibu Megawati yang ditolak dll nya.
Padahal pada kenyataannya, karakter dan perbuatan Jokowilah yang menghalangi pertemuan antara Jokowi dan Ibu Megawati.
Karakter Jokowi yang Smelekete kata Orang Jawa Tengah atau Mekitek ala Orang Jawa Timur, alias sok hebat Jokowi seperti ketika Jokowi dihadapan Andi Wijajanto yang mengatakan akan menurunkan perolehan suara PDIP, bahwa Pengurus PDIP hebat jika bisa mengalahkan dirinya dll nya itulah karakter asli Jokowi yang menghalanginya untuk bertemu dengan Ibu Megawati.
Jokowi itu bisa jadi orang hebat karena berpuluh tahun dibela oleh anggota-anggota dan simpatisan PDIP, mulai dari anak ranting, hingga DPP selama 23 tahun, masak Jokowi tega membakar rumah sendiri? Ini ilmu dari mana?.
Maka tidak berlebihan jika para pengurus di anak-anak ranting, dan seluruh kekuatan arus bawah PDIP tidak mau terima jika saja Ibu Megawati harus mau menerima permintaan Jokowi untuk bertemu.Mereka tentu sangat khawatir Ibu Megawati akan ditipu lagi untuk kesekian kalinya.
Karakter asli Jokowi juga nampak ketika Jokowi menggunakan Anwar Usman (adik iparnya) untuk meloloskan Gibran putranya sebagai Cawapres melalui Putusan MK No.90/2023.
Ini merupakan pelanggaran konstitusi, dan Ibu Megawati itu sangat dikenal setia menjaga Konstitusi, bagaimana pertemuan itu bisa mungkin terjadi?.
Kerusakan Demokrasi yang terjadi bekangan ini, juga tidak dapat dilepaskan dengan praktek Nepotisme yang dilakukan oleh Jokowi hingga melahirkan abuse of power.
Abuse of Power yang dilakukan oleh Jokowi ini berakibat kemudian pada rusaknya pula kultur dan budaya PEMILU yang demokratis.
Maka tak heran, Rezim Jokowi kini telah menghilangkan sejarah Partai Persatuan Pembangunan atau Partai Ka’bah dengan cara eksistensi di DPR RI nya menjadi terancam karena tidak memenuhi Parliamentary Treshold (PT).
Ini semua terjadi akibat adanya dugaan penggunaan sumber daya negara dan alat negara untuk menurunkan suara Ganjar Pranowo-Mahfud MD dan partai pendukungnya: PDIP, PPP, Perindo dan Hanura.
Persoalan sudah sangat panjang lebar saya uraikan, sekarang semuanya tergantung kita semua dan para hakim Mahkamah Konstitusi yang menentukan.
Mau mendengarkan siasat pengalihan issue ala Jokowi yang takut dan cemas karena perbuatan buruknya yang dikemas ala drama sinetron itu, ataukah mau mendengar pandangan orang-orang pinggiran seperti saya dan ribuan para Guru Besar, Akademisi, Budayawan, Advokat, Tokoh-tokoh Agama, Tokoh-tokoh Jurnalis, para Mahasiswa dan para Purnawirawan Jenderal? Yang jelas saya ingin menutup pernyataan saya ini dengan pernyataan Amicus Curiae Ibu Megawati yang disampaikannya melalui Mas Hasto Kristiyanto di MK. “Rakyat Indonesia yang tercinta, marilah kita berdoa, semoga Ketuk Palu MK bukan merupakan Palu Godam melainkan Palu Emas !” Aamiin…(SHE).
Sabtu, 20 April 2024.
Saiful Huda Ems (SHE). Lawyer dan Pemerhati Politik.
Oleh: Saiful Huda Ems.
JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM
MENSTRUASI yang jika dipanjangkan menjadi Menteri Segala Urusan dan Situasi. Presiden Jokowi ada dalam kendali satu menteri ini.
Jika Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) 22 April 2024 nantinya tidak dapat merubah keadaan, dimana PILPRES 2024 harusnya Dua Putaran dan Prabowo atau setidaknya Gibran harusnya didiskualifikasi, maka Prabowo Subianto akan menjadi Presiden di tengah hutan (IKN), dan Gibran Rakabuming Raka akan menjadi Wakil Presiden di Istana Kepresidenan di Jakarta yang lebih berkuasa dari Presiden Prabowo sendiri.
Usia Prabowo yang makin menua akan semakin melemah, sedangkan Partai Gerindranya sendiri sudah berhasil dilemahkan oleh Jokowi menjadi partai yang perolehan suaranya berada dibawah PDIP dan GOLKAR.
Prabowo yang sudah hafal benar bagaimana politisi-politisi pendukung utamanya memiliki banyak riwayat penghianatan, tidak akan bersedia mau bekerjasama secara serius dengan Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, Yusril Ihza Mahendra, Anies Matta/Fahri Hamzah.
Jika Prabowo bekerjasama dengan Airlangga itu nantinya sama halnya akan memperkuat kekuatan politik Jokowi yang sudah lama diprediksi banyak orang mengincar menjadi Ketua Umum GOLKAR, sedangkan jika bekerjasama secara serius dengan Zulkifli Hasan (PAN), Prabowo akan banyak dirugikan sebab Zulkifli Hasan sudah sangat terkenal sebagai Raja Lompat, yang partainya tidak seberapa besar tapi sangat lihai melobi dan memanfaatkan keadaan.
Dan bila Prabowo bekerjasama secara serius dengan Yusril (PBB) dan Anies Matta (Partai GELORA) itu tidak akan mendapatkan keuntungan apa-apa, sebab kedua-duanya partai gurem dan hanya besar di omongannya saja.
Untuk bekerjasama dengan PSI ya sangat tidak mungkin, soalnya Ketua Umumnya (Kaesang Pangarep) masih bocil dan masih terus berlatih pidato.
Apalagi setelah usaha penggelembungan suaranya sudah ketahuan hingga partainya tak lolos ke Senayan.
Sedangkan kalau bekerjasama dengan NASDEM, Prabowo tentu sudah sangat tau Surya Paloh itu siapa, kepentingannya apa, Prabowo pasti cemas.
Lalu kalau kerjasama dengan PKS, Prabowo juga tentu akan berpikir berulang-ulang, khawatir para pendukungnya akan kabur.
Prabowo akan nyaris sendirian dan merasa kesepian, karena itu tidak akan ada pilihan politik lain lagi bagi Prabowo kecuali harus mengingat siapa sosok negarawan yang pernah menganjurkannya balik pulang ke tanah air setelah pelariannya beberapa tahun di Yordania.
Prabowo pastinya akan mengingat siapa Putri Proklamator yang pernah memberinya Karpet Merah dan kembali hidup terhormat di tengah rakyat yang dahulunya melaknatnya.
Ya, dialah Ibu Megawati Soekarno Putri, pejuang perempuan tangguh dan bijaksana yang sering disalah fahami banyak orang.
Dengan merapatnya Prabowo Subianto pada Ibu Megawati, kekuatan Jokowi Perusak Demokrasi akan tersingkir, dan Prabowo akan leluasa menebus dosa-dosa politik dan kemanusiaan masa lalunya dengan menata kembali Indonesia yang sudah “cacat” di mata dunia.
Kerjasama GERINDRA dan PDIP akan dapat mengangkat kembali derajat dan martabat kaum marginal, yang semasa Pemerintahan Jokowi kerap dipermalukan dengan mengejar-ngejar Bansos dan Kaos yang dilempar-lemparkan presiden dari mobilnya hingga banyak yang berjatuhan.
Pertanyaannya kemudian, jika saja PDIP nantinya mau dirangkul GERINDRA, lantas siapa yang akan tampil menjadi kekuatan kelompok kritis di negeri ini? Siapa nanti partai yang mau pasang badan untuk memberikan kritikan-kritikan tajam pada kebijakan pemerintahan yang merugikan rakyatnya? Mungkin karena dilematisnya persoalan ini, kemudian Hasto Kristiyanto (Sekjen PDIP) sampai harus memberikan pernyataan, bahwa PDIP saat ini masih memilih untuk berangkulan dengan rakyat.
PDIP memang partai yang terkenal lebih mengedepankan visi juangnya, tidak seperti Pak Presiden dan Pak MENSTRUASI yang lebih mengedepankan keluarga dan gerombolannya.
Semoga PDIP segera menemukan solusi…(SHE).
19 April 2024.
Saiful Huda Ems (SHE).
Oleh: Saiful Huda Ems.
JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM
Sudahkah kalian lihat dan dengar pernyataan-pernyataan lugas dari analis militer yang paling top di Indonesia saat ini, yakni Dr. Connie Rahakundini Bakrie di berbagai podcast yang beredar di medsos?. Sangat menarik sekali apa-apa yang diterangkan soal dinamika politik nasional dan luar negeri.
Dr. Connie terlihat sangat cerdas dan lugas saat menghubungkan fenomena politik dalam negeri Indonesia dengan negara-negara luar bersama PBB nya.
Ini mengingatkan perjuangan saya bersama para senior politik saya di Jerman di pertengahan tahun 90 an, bahwa untuk “menghajar” Rezim Soeharto yang oteriter, kerap melanggar HAM dll, ketika itu, kita perlu dukungan politik dari luar negeri melalui organisasi PBB.
Sebab hanya dengan cara itu kita sebagai rakyat atau warga negara memiliki daya tawar tinggi terhadap penguasa (Rezim Soeharto) saat itu, hingga kita sebagai rakyat tidak akan diperlakukannya lagi secara sewenang-wenang.
Sedangkan untuk konteks politik dalam negeri saat ini, Rezim Jokowi haruslah lebih berhati-hati dalam memperlakukan rakyatnya, terlebih pada mereka yang kritis pada kebijakan Pemerintahan Jokowi.
Jika Rezim Jokowi sekali saja salah atau tergelincir ke dalam tindakan Abuse of Power atau penyalah gunaan kekuasaan, yang kemudian menjurus pada tindakan-tindakan seperti otoriterianisme, absolutisme dan militerisme, maka Rezim Jokowi akan dihajar bukan hanya oleh rakyatnya sendiri melalui gerakan people power, melainkan pula akan dihajar oleh PBB, dimana Indonesia sudah berpuluh-puluh tahun telah tergabung dalam salah satu negara anggotanya.
Pelarian modal (capital flight) atau pelarian investasi (investment flight), pengadilan rakyat jalanan (revolusi sosial) yang bisa saja berkembang menjadi Peradilan Mahkamah Internasional terhadap Rezim Jokowi yang melanggar HAM dan lain lainnya bisa sangat mungkin terjadi.
Olehnya, jika sudah bersepakat untuk memilih sebagai Negara Demokrasi, maka Pemerintah haruslah selalu berusaha mendengar dan mengapresiasi suara-suara kritis rakyatnya, agar Pemerintah dapat selalu terkontrol untuk tidak berbuat sewenang-wenang.
Connie Rahakundini Bakrie memang bukan hanya anggun orangnya, namun sangat anggun pula gagasan-gagasannya yang brilian. Harusnya bangsa Indonesia ini segera mendaulatnya sebagai Menteri Luar Negeri, hingga Indonesia lebih maju dan disegani dalam pergaulan internasionalnya.
Namun sayangnya kita semua sudah tau bukan, penguasa Indonesia saat ini bukanlah penguasa yang berpihak pada Kedaulatan Rakyat, melainkan lebih berpihak pada Kedaulatan Pemodal.
Suatu ketika saya pernah mendapatkan kabar dari salah seorang teman dekat saya yang ingin menjadi menteri, tiba-tiba beliau didatangi oleh beberapa orang yang mengaku sebagai anggota Tim Tujuh Istana. Ia meminta teman saya itu untuk menunjukkan saldo di rekeningnya, dan mau bersedia mengeluarkan uang berapa untuk menjadi calon menteri yang akan segera di acc oleh “Pak Lurah”. Gila bukan?…
Semoga orang-orang cerdas seperti Connie Rahakundini Bakrie yang sangat dibutuhkan oleh bangsa ini tidak mengalami nasib yang sama dengan teman saya itu, sebagai akibat dari krisis kepemimpinan ide, namun Connie kelak akan terangkat menjadi Menteri Luar Negeri dari pemimpin nasional yang baru yang jauh lebih dicintai oleh rakyatnya.
Siapakah dia pemimpin nasional yang dicintai oleh rakyatnya itu? Entahlah, yang jelas dia bukan Presiden Jokowi, juga bukan Prabowo.
Namun jikapun beliau adalah Pak Prabowo saya pikir seorang Connie Rahakundini Bakrie akan meminta Pak Prabowo persetujuan terlebih dahulu, untuk mengamankan dirinya dari Wapres Gibran Rakabuming Raka.
Wapres Gibran Rakabuming Raka yang sudah membuat PBB pun ikut menyorotinya, karena pelanggaran konstitusinya saat hendak menuju kursi Wapres melalui Palu Hakim Sang Paman di MK.
Ia telah melakukan tabrak lari konstitusi, hingga sebelum dilantikpun tabrak lari konstitusi ala Jokowi dan Gibran Rakabuming Raka sudah menjadi pergunjingan dunia internasional, dan membikin malu wajah terhormat Indonesia di pentas perpolitikan dunia…(SHE).
Senin 1 April 2024.
Saiful Huda Ems (SHE). Lawyer dan Sniper Politik Nasional.
Oleh: Andre Vincent Wenas
JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM
“My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins,” begitu kata Manuel L. Quezon, Presiden Filipina 1935-1944. Kabarnya ucapan senada pernah pula disampaikan Presiden AS (1961-1963) John F. Kennedy.
Loyalitas pada partaiku berakhir ketika loyalitas pada negaraku dimulai, begitulah berlaku bagi politisi partai politik yang kemudian dilantik jadi pejabat publik.
Di setiap brosur atau anggaran dasar/anggaran rumah tangga parpol selalu tercantum hal ihwal membela dan menjunjung tinggi kepentingan bangsa. Ideal sekali.
Tapi apakah demikian juga soalnya tatkala kepentingan primordial parpol atau keperluan taktisnya mengakibatkan perbenturan dengan kepentingan bangsa?
Kenegarawanan merupakan posisi yang menuntut suatu sikap kebijaksanaan dan keberanian (bahkan mungkin juga kenekadan). Tak semua orang punya nyali untuk menempuh suatu perjalanan kepemimpinan seperti ini.
Ketika mereka diperhadapkan pada suatu situasi yang telah dirancang (diskenariokan) sedemikian rupa oleh sementara pihak, beranikah seorang pejabat publik – yang diharapkan berkelas negarawan – tetap konsekuen dan konsisten dengan kata “my loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins”?
Ini jadi pertanyaan yang selalu harus digaungkan, supaya diingat terus dari satu situasi ke situasi lainnya, dari generasi yang awal ke generasi berikutnya.
Tak gampang memang, karena hanya mereka yang berkelas negarawan yang mampu melakukannya.
Manakala pejabat publik diperhadapkan dengan pilihan-pilihan yang harus mereka ambil – dengan segala konsekuensinya – disitulah kualitas kenegarawanan terlihat.
Jakarta, 28 Maret 2023
Andre Vincent Wenas,MM,MBA. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.
Catatan Hendry Ch Bangun, Rabu 22/2-2023.
JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM
Saya sebenarnya tidak ingin seperti berpolemik dengan Wina Armada Sukardi, pakar hukum pers yang dua periode menjadi anggota Dewan Pers dan pernah menjabat Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, terkait artikelnya “Tidak Ada Kewajiban Perusahaan Pers Mendaftar di Dewan Pers”.
Mengapa, karena ada dua alasan. Pertama, saya sudah selesai bertugas di Dewan Pers setelah menjadi anggota dua kali dan terakhir menjabat sebagai Wakil Ketua.
Kedua, pandangan seperti itu pun pernah disampaikan ahli Pers Kamsul Hasan yang juga lama menjadi pengurus PWI.
Apa yang disampaikan itu betul adanya, dasarnya Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers, yang kalau merujuk ke Pasal 15 ayat (g) mengatakan salah satu fungsi Dewan Pers adalah mendata perusahaan Pers.
Jadi yang ada adalah fungsi Dewan Pers. Tidak ada kewajiban perusahaan Pers untuk mendaftarkan diri. Sifatnya satu arah, bukan resiprokal.
Karena beberapa orang bertanya, tulisan itu dimuat di banyak media siber khususnya yang pimpinan atau pemiliknya dari PWI, saya perlu merasa menulis supaya tidak timbul salah faham karena seolah mempertentangkan PENDATAAN dan PENDAFTARAN yang memang berbeda.
UU 40/1999 yang dibuat saat terjadi euphoria reformasi memang dibuat sebebas mungkin akibat trauma dari era Orde Baru yang dengan berbagai upaya ingin membungkam Pers.
Oleh karena itu salah satu wujud dari betapa hebatnya UU 40/1999 ini adalah tidak ada turunannya entah itu berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Instruksi Presiden, dst.
Kalaupun akhirnya ada, maka aturan yang dibuat haruslah berupa swa regulasi yang dibuat Masyarakat Pers sendiri, difasilitasi Dewan Pers, sebagaimana disebut di Pasal 15 ayat (f) UU 40/1999.
Dengan prinsip dari, oleh, dan untuk Pers itu sendiri. Atur sendiri, ya ikuti dan taati, apabila sudah semua sepakat menjadikannya sebagai aturan.
Salah satu tonggak dari kekompakan Masyarakat Pers dalam mengatur dirinya sendiri itu, tertuang di Piagam Palembang 2010 yang ditandatangani pimpinan media arus utama Indonesia di Hari Pers Nasional 2010 di Sumatera Selatan.
Kala itu, media cetak masih berjaya sehingga kerelaan, keikhlasan untuk diatur oleh Dewan Pers, secara simbolis melambangkan sikap dari sebagian besar Masyarakat Pers Indonesia.
Ada dua poin penting dari Piagam Palembang yang historis ini, saya kutip agar kita ingat lagi:
- Kami menyetujui dan sepakat, bersedia melaksanakan sepenuhnya Kode Etik Jurnalistik, Standar Perusahaan Pers, Standar Perlindungan Wartawan, Standar Kompetensi Wartawan, serta akan menerapkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ketentuan-ketentuan yang berlaku di perusahaan kami.
- Kami menyetujui dan sepakat, memberikan mandat kepada lembaga independen yang dibentuk Dewan Pers melakukan verifikasi kepada kami, para pendatatangan naskah ini, untuk menentukan penerapan terhadap kesepakatan ini. Kepada lembaga itu kami juga memberikan mandat penuh untuk membuat logo dan atau tanda khusus yang diberikan kepada Perusahaan Pers yang dinilai oleh lembaga tersebut telak melaksanakan kesepakatan ini.
Dasar dari kesediaan itu, sebagaimana disebut dalam alinea kedua preambule Piagam Palembang, “Dalam mewujudkan kemerdekaan Pers serta melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya, Pers mengakui adanya kepentingan umum, keberagaman masyarakat, hak asasi manusia, dan norma-norma agama yang tidak dapat diabaikan.
Agar pelaksanaan kemerdekaan Pers secara operasional dapat berlangsung sesuai dengan makna dan asas kemerdekaan Pers yang sesungguhnya, maka dibutuhkan Pers yang profesional, tunduk kepada undang-undang tentang Pers, taat terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ), dan didukung oleh perusahaan pers yang sehat serta serta dapat diawasi dan diakses secara proporsional olehmasyarakat luas.
Kebersediaan diatur, tentu karena asumsi, keyakinan bahwa Dewan Pers sudah independen sejak UU No.40/1999 berlaku, yang anggotanya tidak lagi ditunjuk pemerintah seperti sebelumnya, tetapi dipilih Masyarakat Pers sendiri, dari kalangan wartawan, perusahaan Pers, dan masyarakat.
Dengan kata lain, menyerahkan diri diatur Dewan Pers artinya sama dengan mengatur diri sendiri alias swaregulasi. Mengatur sesuai dengan kehendak kalangan pers sendiri.
Adanya Piagam Palembang ini berkonsekuensi banyak. Apabila wartawan di media “besar” sebelumnya malas dan merasa tidak perlu untuk ikut uji kompetensi, perlahan tapi pasti mulai bersedia.
Wajar karena perusahaannya sudah menyatakan bersedia sepenuhnya mengikuti Standar Kompetensi Wartawan, yang antara lain menetapkan Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab harus bersertifikat Wartawan Utama.
Tidak ikut berarti, secara struktural karier si wartawan tidak akan sampai di puncak.
Perusahaan Pers dengan kesediaan itu, mewajibkan dirinya memberi gaji minimal setara dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) 13 kali setahun (termasuk Tunjangan Hari Raya), karena itu menjadi peraturan perusahaan, mengikuti peraturan Menteri Tenaga Kerja yang diadopsi di Peraturan Dewan Pers No.5 tahun 2008 tentang Standar Perusahaan Pers.
Perusahaan Pers besar juga bersedia diverifikasi oleh Dewan Pers. Dalam artikel Wina Armada ditulis, tidak perlu anggota Dewan Pers yang repot-repot turun untuk verifikasi faktual karena banyak urusan lain yang lebih penting untuk dikerjakan.
Tetapi sering kehadiran anggota ini penting, khususnya untuk memberi persepsi kepercayaan terhadap lembaga.
Misalnya saja ketika mengecek akte notaris suatu media, yang di dalamnya ada jumlah modal, pemegang saham, dll, yang bagi perusahaan adalah rahasia.
Kalau staf sekretariat yang datang, saya tidak yakin pimpinan media yang diverifikasi mau memberikan datanya, takut bocor atau apapun namanya.
Terkait dengan pengaturan perusahaan Pers ini, memang Standar Perusahaan Pers No. 3 tahun 2019 terasa lebih progresif untuk mengantisipasi beberapa hal yang tidak tercakup di Peraturan No.5/2008, hanya saja menimbulkan konsekuensi berat bagi manajemen perusahaan.
Apalagi dikaitkan dengan kondisi ekonomi perusahaan Pers, besar apalagi menengah dan kecil, yang kian merosot akibat turunnya pendapatan sementara biaya operasional meningkat.
Misalnya saja, kewajiban untuk memberikan asuransi kesehatan dan asuransi ketenagakerjaan kepada wartawan dan karyawan, di Pasal 20 Peraturan Dewan Pers No.3/2019. Di aturan lama, itu diatur secara umum, di Pasal Pasal 9 yang berbunyi “Perusahaan pers memberi kesejahteraan lain kepada wartawan dan karyawannya seperti peningkatan gaji, bonus, asuransi, bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih, yang diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama.”
Ini agaknya penjabaran lebih dekat dari Pasal 10 UU No.40/1999 tentang Pers yang berbunyi, “Perusahaan Pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan Pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.
Persoalan yang kini menghangat umumnya adalah terkait verifikasi ini. Sifatnya sukarela tetapi menjadi seperti wajib bagi media, karena selain sebagai wujud profesionalisme media, juga ada kaitan ekonomis, sejumlah lembaga di pusat dan daerah, mensyaratkan status terverifikasi untuk dapat menjadi mitra kerja terkait pencitraan lembaga.
Bahasa kasarnya, untuk bisa memperoleh jatah iklan.
Ada empat pemerintah provinsi yang mewajibkan status terverifikasi ini yakni Sumbar, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Riau, tetapi hanya Sumbar dan Kepri menjalankan dengan konsisten.
Babel masih menunda karena banyaknya protes dari kalangan media, Riau meski sudah didukung penuh organisasi perusahaan Pers konsituen Dewan Pers, informasi terakhir belum menjalankan 100%. Di kabupaten dan kota pun sudah banyak yang menerapkan, ada menjalankan dengan ketat, dan masih ada yang longgar karena berbagai alasan, seperti untuk keadilan bagi media yang sudah menjalankan sebagian peraturan Dewan Pers.
Soal verikasi ini ramai diangkat media saat berlangsung Hari Pers Nasional 2020 di Banjarmasin. Ketua Dewan Pers Mohammad NUH menegaskan, Dewan Pers tidak pernah meminta pemerintah daerah untuk mensyaratkan status terverifikasi untuk menjalin kemitraan.
Saya sendiri dalam berbagai kesempatan juga menyatakan hal yang sama. Bagi saya, cukup bahwa perusahaan Pers itu berbadan hukum Indonesia sebagaimana ditetapkan Dewan Pers, memiliki Pemred dan Penanggungjawab bersertifikat Wartawan Utama sebagaimana diatur Peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan, dan mencantumkan dengan jelas alamat redaksi sebagai bentuk akuntabilitas kepada masyarakat.
Begitu pula kalau ada kasus hukum atau masih di tingkat pengaduan kepolisian atas sebuah produk jurnalistik, Dewan Pers selalu menjadikan tiga hal di atas sebagai dasar untuk pembelaan terhadap media.
Bukan harus terverifikasi baru dibela dan dilindungi eksistensinya. Hal ini juga disebabkan kesadaran dari sisi Dewan Pers bahwa proses verifikasi media secara administratif apalagi faktual, memerlukan proses yang lama.
Ada ratusan perusahaan Pers yang antre, untuk diproses karena persyaratan yang belasan jumlahnya, banyak berkas yang harus diperiksa dan dicek atau konfirmasi, sementara sumber daya manusia yang mengurusnya terbatas untuk tidak mengatakan sedikit.
Dulu staf sering saya minta agar mereka lembur untuk mempercepat proses, tetapi tetap saja kekuatan fisik dan psikis staf ada batasnya.
Keluarnya Peraturan Dewan Pers No.1 tahun 2023 yang ditetapkan 6 Januari 2023, membuat verifikasi administrasi semakin membebani media, sampai saya mengatakan ini sudah mirip dengan “Deppenisasi” yang berpotensi mematikan kemerdekaan Pers, karena “membunuh” kehidupan media kelas UMKM.
Kewajiban memiliki minimal 10 wartawan plus karyawan, kewajiban membayar BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan untuk seluruh wartawan dan karyawan, kewajiban membayar upah minimal setara UMP yang ditandai dengan bukti transfer perusahaan ke karyawan, dll membuat media dengan modal sedang atau kecil, mati berdiri.
Seharusnya Dewan Pers memberi keringanan karena kondisi ekonomi perusahaan Pers yang terpuruk saat ini, tidak hanya karena perubahan perilaku konsumsi informasi masyarakat dan makin tersedotnya iklan ke media sosial, tetapi juga akibat pandemi selama dua tahun.
Bukan malah membebani lagi. Apakah anggota dan staf Dewan Pers tidak pernah turun ke lapangan untuk mengetahui kehidupan ekonomi media yang seharusnya didorong untuk maju dan kini terkesan malah dipersulit?
Kembali ke awal cerita, Dewan Pers tidak pernah mewajibkan perusahaan Pers untuk mendaftar karena itu bertentangan dan tidak diatur di Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers.
Sebaliknya media berlomba-lomba ingin diverifikasi karena inilah jalan keluar dari pendapatan yang semakin sulit, antara lain akibat pertumbuhan media siber yang abnormal.
Dan fakta bahwa pemerintah daerah dan lembaga menjadikan status terverifikasi sebagai saringan untuk memudahkan pilihan, mana yang diajak kerjasama, efisiensi, pertanggungjawaban anggaran yang akuntabel, serta keterbatasan anggaran.
Media massa profesional masih dibutuhkan negeri ini untuk mengimbangi kebisingan dan banjir informasi lancung dari media sosial sehingga semua pihak khususnya Dewan Pers amat berkepentingan memberikan ekosistem yang baik.
Jangan biarkan mereka hidup segan mati tak mau di lahan gersang, khususnya media produk wartawan profesional, wartawan idealis, yang ingin menjalankan peran sebagai alat menyalurkan aspirasi masyarakat, mengedukasi masyarakat , melakukan fungsi kontrol, menjadi ajang diskusi atas masalah-masalah kebangsaan dan negara, dst.
Sebaliknya Dewan Pers harus memunculkan gagasan, melakukan diskusi-diskusi itensif, bagaimana agar Pers ini mendapat nafas lebih banyak, memiliki ruang hidup yang lebih luas, dan memilah-milah mana yang lebih penting dari 7 fungsi Dewan Pers yang disebutkan di Pasal 15 UU No.40/1999 agar mendukung dan bukan malah menghalangi pelaksanaan peran Pers nasional seperti dinyatakan Pasal 6 UU No.40/1999:
- Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
- Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan
- Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar
- Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum
- Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Itulah cita-cita perancang UU No.40/1999 dan sungguh berdosa apabila kita lupa dan malah cenderung mengabaikannya karena asyik dengan hal remeh-temeh yang mestinya diurus belakangan. Seperti kata pujangga Jawa Ronggowarsito dalam salah satu bait di Serat Kalatida:
..//Dilalah kersa Allah/ begja-begjaning kang lali/luwih begja kang eling lan waspada// yang artinya..//Sudah kehendak Allah/betapapun bahagianya orang yang lupa/lebih berbahagia mereka yang sadar dan waspada//.
Wallahu a’lam bishawab. (AMS)
Oleh: Pdt Gomar Gultom, Ketua Umum PGI
Atas nama gereja-gereja di Indonesia, saya sangat mengapresiasi pernyataan pers Presiden Joko Widodo (Jokowi) hari ini Rabu 11/1-2023 terkait pelanggaran HAM berat masa lampau. Ini sebuah langkah maju, bahkan lompatan besar pada proses penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia, yang selama puluhan tahun beberapa hal cenderung ditutupi bahkan disangkal adanya.
Saya menghargai setulusnya pengakuan dan penyesalan Presiden. Meski tidak disertai permohonan maaf, hal ini menurut saya sudah sangat maju. Sesungguhnya dengan penyesalan itu, implisit di dalamnya sudah terkandung permohonan maaf.
Saya juga mengapresiasi penegasan Presiden bahwa penyelesaian non judisial ini tidak menegaskan penyelesaian secara hukum. Malah menurut saya, pengakuan ini bisa menjadi pintu masuk untuk proses hukum selanjutnya.
Kini menjadi tugas seluruh elemen bangsa yang berkehendak baik untuk mengawal proses ini dengan lebih sungguh-sungguh.
Pada kesempatan ini saya juga menyampaikan penghargaan kepadaTim PPHAM bentukan Presiden yang bekerja cepat dalam perumusan masalah yang cukup pelik ini, sehingga Presiden bisa tiba pada pengakuan di atas pada waktunya.
Sebagai tindak lanjut pernyataan ini, saya mengusulkan dua hal: pertama, perlunya penghapusab segera berbagai bentuk memorial maupun materi sejarah yang ada selama ini, yang bisa dinilai sebagai pembelokan sejarah dan pengaburan fakta pelanggaran HAM yang terjadi. Kedua, perlunya Memorialisasi atas pelanggaran HAM berat tersebut dalam bentuk statuta, sebagai peringatan kepada generasi berikut agar tidak terulang.