JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Pemerintah berencana akan menaikkan untuk dana parpol hampir 10 kali lipat. Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan setuju dengan usulan tersebut, namun harus diikuti oleh aturan yang jelas.
Zulkifli ingin bila dana untuk parpol dinaikkan, ada aturan supaya parpol tidak lagi mencari uang dari pihak lain. Contohnya adalah soal pemasangan iklan parpol dan saksi untuk pemilu.
“Ya tentu kita setuju walaupun nggak cukup. Artinya harus ada peraturan-peraturan yang mengikuti. Misalnya iklan, iklan itu harus yang disediakan oleh pemerintah, kalau nggak begitu parpol akan cari uang, DPR akan cari uang, itu nggak akan kelar-kelar,” ujar Zulkifli di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (4/7/2017).
“Harus diikuti aturan-aturan yang menunjang untuk itu, kalau nggak, kan sama saja. Saksi misalnya, kemarin kita perjuangkan saksi diurus pemerintah,” lanjutnya.
Ketua MPR itu juga menjelaskan di negara-negara berkembang lainnya bahkan dana untuk parpol lebih tinggi dibanding yang diusulkan oleh pemerintah, yaitu Rp 1000 per suara. Menurut Zulkifli, ada negara yang memberikan dana untuk parpol sebesar Rp 60 ribu per suara. Namun, aturan yang berlaku di negara tersebut melarang parpol mencari uang dari pihak lain.
Aturan tersebut antara lain, parpol tidak boleh lagi menerima sumbangan dari perusahaan swasta maupun BUMN. Lalu, DPR dilarang mengeluarkan biaya apapun kecuali untuk biaya transportasi. Selain itu, pemasangan iklan parpol pun dibatasi.
“Jadi nggak ada money politic. Jadi betul-betul orang menjadi DPR, maju kepala daerah untuk pengabdian bukan transaksional. Yang merusak kan yang transaksional,” tegasnya.
Karena itu, menurut Zukifli, pemerintah bisa mengambil contoh dari KPU dalam pemasangan iklan parpol selama masa kampanye Pilkada. Sebab, bila hal tersebut tidak dilakukan, dia tidak yakin akan ada perbaikan dalam sistem parpol di Indonesia.
“Kalau diatur, kenaikan (dana untuk parpol) itu baru berarti. Tapi kalau dikasih duit, nggak diatur (aturannya) sama saja tarung bebas,” tutupnya.
Sebelumnya diberitakan pemerintah merencanakan menaikan dana parpol 10 kalilipar dari Rp 108 per suara menjadi Rp 1000 persuara. Kemendagri sedang merancang revisi PP 5/2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik.
“Kami tahap pengusulan dan ini kan mau dibahas di RAPBNP tunggu nanti disahkan di anggaran,” ujar Mendagri Tjahjo Kumolo, Senin (3/7).
Rencana kenaikan dana parpol hingga 10 kali lipat ini mendapat ‘wanti-wanti’ dari KPK. Kabiro Humas KPK Febri Diansyah menyebut jika penambahan dana bagi partai politik disetujui, maka pengelolaannya harus transparan.
“Partai politik yang sehat tentu membutuhkan biaya, dan biaya tersebut jika ditanggung negara tentu harus akuntabel dan terbuka,” kata Febri, Senin (3/7). (ADI)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Presiden Joko Widodo mendapat penghargaan dari Indonesian Diaspora Network Global (IDNG) yang menghadiri Kongres Diaspora Indonesia ke-4. Penghargaan itu rencananya diserahkan ke Jokowi hari ini di Istana Negara.
Vice President IDN Middle East & Africa, Ali Musthofa mengatakan bahwa Award for Meritorious Leadership ini diberikan ke Jokowi sebagai apresiasi diaspora atas perhatian dan dedikasi Presiden Joko Widodo kepada diaspora Indonesia. Penghargaan ini rencananya akan diberikan oleh 9 Executive Board IDN Global dari berbagai negara.
“Award ini juga diberikan atas upaya Presiden Joko Wododo yang gigih untuk menciptakan sinergi antara diaspora dan tanah air Indonesia –yang merupakan tema besar Kongres tahun ini,” ujar tokoh diaspora dari Los Angeles Butce Lie.
Secretary General IDN Global Profesor Yenni Thamrin menilai Presiden Jokowi adalah sosok yang pro-diaspora. Dalam setiap kunjungannya ke luar negeri, Jokowi memberi perhatian khusus kepada diaspora.
“Beliau juga selalu mengimbau agar diaspora Indonesia dapat lebih berkontribusi untuk tanah air,” ungkap Yenni.
Ketua IDN Filipina Said Zaidansyah mengatakan award ini rencananya akan ditandatangani secara sukarela oleh para wakil chapter IDN yang menghadiri Kongres Diaspora Indonesia ke-4 di Jakarta.
Dino Patti Djalal, Ketua Board of Trustee IDN Global yang juga merupakan Ketua Panitia Kongres Diaspora Indonesia ke-4 menginformasikan acara Kongres yang dimulai dengan Konvensi publik menjadi perhelatan diaspora Indonesia yang terbesar dalam sejarah gerakan ini yang dimulai di Los Angeles tahun 2012. Tercatat, 9,000 orang peserta dari dalam dan luar negeri telah mendaftar di pembukaan 4th Congress of Indonesian
Diaspora (CID-4). Diaspora yang hadir berasal dari 134 kota di dunia, 52 negara dan 71 kota di Indonesia. (ADI)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti dan istrinya, Lily Martiani Maddari jadi tersangka kasus korupsi. Partai Golkar mengapresiasi langkah Ridwan Mukti mundur dari kursi Gubernur dan Ketua DPD Golkar Provinsi Bengkulu.
“Saya telah menyaksikan di Metro TV beliau menyampaikan permintaan maaf kepada segenap warga masyarakat atas kekhilafan yang telah dilakukannya sampai terjadi OTT istrinya Lily Martiani oleh KPK di rumahnya di Bengkulu. Sekaligus menyatakan pengunduran dirinya sebagai Gubernur Provinsi Bengkulu dan sekaligus mundur dari jabatan Ketua DPD Golkar Provinsi Bengkulu,” kata Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Agung Laksono dalam siaran pers, Rabu (21/6/2017).
Sebagai Ketua Dewan Pakar, Agung mengapresiasi pengunduran diri Ridwan Mukti. Namun ia juga merasa prihatin terhadap kasus yang menjerat koleganya di Golkar dan Kosgoro itu.
“Sebagai sesama kader Partai Golkar dan kader Kosgoro 1957 kita prihatin atas dugaan korupsi yang dilakukan beliau namun disisi lain saya sangat bangga dan terharu atas responnya sebagai bentuk pertanggung jawaban bung RH yang luar biasa kepada publik,” katanya.
Ia kemudian menyatakan mendukung proses hukum yang adil, objektif tanpa ada unsur politisasi dan intervensi pihak manapun.
“Kejadian ini sekaligus juga merupakan peringatan kepada kita semua terutama kaders Partai Golkar untuk segera menghentikan dan menghindarkan diri dari segala keterlibatan dalam praktik-praktik Korupsi. Semoga Allah swt senantiasa melindungi kita semua,” pungkasnya. (MAD)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menegaskan penolakan penjemputan paksa Miryam S Haryani didasari pada hukum acara pidana. Penjemputan paksa dalam konteks Pansus Angket KPK bukan kategori proses pidana.
“Yang ada surat perintah membawa proyustitia langkah proses pidana. Ini bukan proses pidana, ini politik legislatif, persoalannya itu,” ujar Tito kepada wartawan di gedung PTIK, Jalan Tirtayasa Raya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (20/6/2017).
Polri, ditegaskan Tito, bekerja dengan berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sedangkan aturan dalam UU MD3, yakni Pasal 204 dan Pasal 205, bukan konteks ranah pidana untuk peradilan.
“Selama ini di Polri adalah acara KUHAP. KUHAP itu upaya paksa penangkapan, apalagi penyanderaan. Penyanderaan sama saja dengan penahanan. Itu acaranya harus proyustitia, dalam artinya dalam rangka untuk peradilan. Ini ada polemik mengenai pendapat hukum ini,” ujar Tito.
“Karena itu, Polri berpendapat karena acara MD3 itu tidak jelas bentuknya, apakah surat perintah penangkapan atau apa. Apa surat perintah membawa paksa atau apa. Kalau penyanderaan, apakah ada surat perintah penyanderaan. Nah, ini yang belum jelas karena dalam bahasa hukum kami tidak ada,” papar Tito.
Sebelumnya, Wakil Ketua Pansus Angket KPK Risa Mariska menyebut Kapolri Jenderal Tito Karnavian bisa membantu Pansus untuk menjemput paksa Miryam S Haryani dari ruang tahanan KPK. Caranya, menurut Risa, Kapolri mengeluarkan peraturan internal di kepolisian/peraturan Kapolri.
“Hal ini bisa dilakukan dengan cara menerbitkan perkap atau surat edaran dari Kapolri agar pihak kepolisian dapat membantu Pansus Angket memanggil pihak-pihak yang dinilai perlu untuk dihadirkan,” kata Risa di gedung DPR, Selasa (20/6). (MAD)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Anggota Pansus Angket KPK Bambang Soesatyo menyesalkan pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian soal penjemputan paksa Miryam S Haryani. Tito menyebut aturan soal jemput paksa dalam UU MD3 yang dijadikan pijakan Pansus Angket belum jelas.
Bambang menyebut, pemanggilan paksa seseorang dalam kaitan hak angket merupakan permintaan kapolri terdahulu, yakni Sutarman. Pasal 204 dan 205 UU MD3 merupakan produk permintaan dari institusi Polri.
“Saya dan kawan-kawan seperti Benny Harman, Sudding, Aziz Syamsuddin, Ahmad Yani, Desmond, dan beberapa kawan lain masih ingat betul saat penyusunan UU MD3 tersebut. Dulu, rumusan pasal 204 dan 205 UU MD3 itu justru atas permintaan Kapolri Jenderal Sutarman,” kata Bambang dalam keterangannya, Selasa (20/6/2017).
Menurut Bambang, Sutarman saat itu mengatakan pasal di UU MD3 tersebut sudah cukup bagi Polri untuk melaksanakan perintah DPR soal jemput paksa. Seharusnya polisi menuruti permintaan DPR, khususnya Pansus Angket.
“Maka kemudian lahirlah UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MD3 yang mengatur secara tegas dan jelas tentang tata cara dan pelaksanaan pemanggilan paksa itu di dalam pasal 204 dan 205,” tegasnya.
Dalam Pasal 204 ayat 1-5 UU MD3 sambung Bambang, mengatur tegas dan jelas terkait pemanggilan paksa oleh Polri. Bahkan pada ayat ke-5, anggarannya pun diatur dan dibebankan ke DPR.
Sementara dalam Pasal 205 ayat 7 UU MD3, ditegaskan polisi punya hak dan kewenangan untuk melakukan penyanderaan paling lama 15 hari atas permintaan Pansus atau DPR.
“Kalau sekarang Polri tiba-tiba menolak, masa DPR harus minta bantuan Kopassus atau TNI sementara di UU-nya jelas, itu tugas Polri” ujar Bambang.
Penolakan menjemput paksa Miryam disampaikan kapolri di gedung KPK. Tito menyebut aturan soal jemput paksa dalam UU MD3 yang dijadikan pijakan pansus angket belum jelas.
“Kalau memang ada permintaan teman-teman dari DPR untuk menghadirkan paksa, kemungkinan besar tidak bisa kami laksanakan karena adanya hambatan hukum acara ini. Hukum acara yang tidak jelas,” ujar Tito.
Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto menjelaskan sikap kapolri yang menolak permintaan DPR memanggil paksa Miryam karena ketaatan pada pedoman kepolisian dalam menegakkan hukum yaitu Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dari kacamata Polri, Pasal 204 ayat 3 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 yang membahas panitia angket dapat meminta bantuan Polri untuk memanggil paksa seseorang, tidak ada sinkronisasinya dalam KUHAP.
“Undang-undang MD3 tidak ada mengatur hukum acara bagaimana membawa seseorang secara paksa. Kalau perintah membawa itu dalam kepolisian artinya sudah upaya paksa penangkapan dan itu harusnya pro justicia, harus maju sampai tingkat pengadilan,” jelas Setyo kepada khatulistiwaonline ketika dihubungi, Selasa (20/6).
Setyo menyebut Pasal 18 KUHAP yang mengatur prosedur jemput paksa seseorang oleh kepolisian. Di situ ditegaskan bahwa upaya jemput paksa harus disertai bukti permulaan atau dua alat bukti yang mumpuni untuk menunjukkan target jemput paksa melakukan kejahatan. (MAD)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Mendagri Tjahjo Kumolo berharap pengambilan keputusan isu krusial diambil secara musyawarah. Pemerintah menegaskan tak mengancam keluar dari pembahasan RUU Pemilu jika deadlock.
“Apa saya ada kata mengancam? Yang mengancam, mengancam siapa? Opsinya pemerintah ingin musyawarah karena Bapak Presiden sudah menyampaikan ingin meningkatkan kualitas demokrasi 20-25,” ujar Tjahjo di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Senin (19/6/2017).
Tjahjo menjamin tak akan ada pasangan tunggal di Pilpres 2019. Soal pengambilan keputusan isu krusial, Tjahjo mengatakan sudah ada 2 isu yang sepakat, namun ia tidak menyebutkan secara detail.
Sekarang tinggal 3, yang 2 sudah clear. Kalau nggak bisa, bawa ke paripurna. Yang penting per 1 Oktober tidak ganggu tahapan Pilpres. Ini kan disepakati, masih ada waktu sampai Juli meningkatkan lobi yang 3,” jelas Tjahjo.
Tjahjo menuturkan, pemerintah dan DPR sama-sama menjamin pembahasan RUU Pemilu tidak akan deadlock. Jika terjadi deadlock, Tjahjo mengusulkan dibawa ke forum paripurna.
“Jangan hanya pemerintah, DPR juga menjamin. Menjamin karena KPU sudah mempersiapkan PKPU. Menjamin itu pemerintah optimis bisa diselesaikan. Kalau deadlock ya voting di Paripurna,” terangnya.
Tjahjo tidak ingin berandai-andai apabila ada opsi kembali ke UU lama dan Perppu. “Ya nggak tahu. Prinsip pemerintah Perppu jangan diobral,” tutupnya. (DON)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Pengurus Gereja Katedral, Jakarta Pusat, mengubah jadwal misa Minggu pagi yang bertepatan dengan Hari Idul Fitri. Ini sebagai bentuk toleransi untuk umat muslim yang akan mengikuti Salat Id di Masjid Istiqlal yang berada di sebarang Gereja Katedral.
“Pengumuman itu betul. Biasanya halaman katedral dipakai parkir saudara-saudara yang salat di Istiqlal,” ungkap Uskup Agung Jakarta, Mgr Suharyo saat dikonfirmasi khatulistiwaonline, Minggu (18/6/2017) malam.
Pengumuman dari pengurus Gereja Katedral kemudian diposting di akun Facebook Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Biasanya di hari minggu pagi, Gereja Katedral menjadwalkan Perayaan Ekaristi pada pukul 06.00 WIB, 07.30 WIB, 09.00 WIB, dan 11.00 WIB.
Pada Minggu (25/6) saat hari raya Lebaran, jadwal misa minggu pagi diubah menjadi lebih siang dan hanya dua kali. Itu dilakukan untuk menghormati umat muslim. Demikian bunyi pengumuman yang diposting KAJ dan kemudian dibagikan oleh banyak netizen.
‘Sehubungan dengan Hari Raya Idul Fitri dan Sholat Ied, halaman Gereja Katedral dipakai untuk mendukung terlaksananya kegiatan saudara kita kaum muslim maka, jadwal misa Minggu, 25 Juni 2017 diubah menjadi : Pagi hari : Pkl.10.00 wib & 12.00 wib , Sore hari seperti biasa : Pkl. 17.00 wib & 19.00 wib.’
Mgr Suharyo menyebut pengumuman itu dibuat oleh Romo Kepala Paroki Gereja Katedral. Kebijakan tersebut diambil bersama Dewan Paroki Harian Paroki Katedral. KAJ mendukung kebijakan tersebut.
Melalui kebijakan itu, Gereja Ketedral ingin mewujudkan sikap bertetangga yang baik. Selain itu Katedral pun ingin menjunjung tinggi toleransi kepada saudara dan saudari umat Muslim yang merayakan Hari Idul Fitri.
Namun perubahan jadwal itu hanya untuk Gereja Katedral, tidak untuk seluruh gereja yang berada di bawah KAJ.
“Ini khusus Katedral saja yang berseberangan dengan Istiqlal,” tutup Mgr Suharyo. (MAD)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Pansus hak angket DPR memaksa KPK untuk menghadirkan Miryam S Haryani jika tidak menghadirkannya hingga tiga kali panggilan. Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Ginting menilai keputusan KPK menolak kehadiran Miryam di Pansus sudah tepat karena malah akan mengaburkan proses penegakan hukum.
“Sikap KPK untuk tidak mengizinkan Miryam S Haryani hadir di rapat Pansus Hak Angket sudah tepat. Kehadiran Miryam S Haryani di Pansus Hak Angket berpotensi mengaburkan pemeriksaan pro justitia yang sedang dilakukan oleh KPK,” kata Miko kepada wartawan, Sabtu (17/6/2017).
Miko menegaskan saat ini proses pemeriksaan terhadap Miryam sedang berlangsung dan tak lama lagi kasusnya menuju ke penuntutan di meja hijau. Dengan alasan itu, kata Miko, biarlah menggali keterangan dari Miryam dilakukan di muka sidang.
Apalagi saat ini status Miryam sebagai tahanan KPK. Miko kemudian menjelaskan KPK memiliki wewenang untuk menempatkan seseorang pada tempat tertentu dalam pengawasannya sepanjang untuk alasan penegakan hukum.
“Terlebih, status Miryam S Haryani yang sedang dikenakan penahanan oleh KPK. Sesuai dengan UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Artinya, KPK berwenang untuk menempatkan seseorang pada tempat tertentu dalam pengawasannya sepanjang untuk alasan pemeriksaan penegakan hukum,” bebernya.
“Pemeriksaan terhadap Miryam S Haryani telah dan sedang berlangsung. Begitu juga praperadilan yang bersangkutan telah ditolak oleh pengadilan. Patut diperkirakan tidak lama lagi, terhadap perkara ini akan dilakukan penuntutan di muka persidangan,” jelasnya.
“Oleh karena itu, biarlah pemeriksaan berjalan sesuai koridor penegakan hukum, yaitu di muka persidangan. Keterangan yang bersangkutan dapat digali secara mendalam di muka persidangan dalam koridor penegakan hukum. Upaya untuk menghadirkan Miryam S Haryani di Pansus Hak Angket merupakan proses politik yang dapat mengaburkan proses penegakan hukum,” urai Miko.
Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan pihaknya tidak akan memberi izin kepada Pansus Angket untuk menghadirkan Miryam S Haryani. Agus mengatakan izin tidak diberikan karena ada proses yang harus disetujui penyidik.
“Sesuai dengan peraturan, sesuai kebutuhan penyidik, itu tidak boleh, kemudian sebentar lagi dinaikkan ke persidangan. Jadi kalau mau mendengarkan ya dengarkan aja di persidangan,” kata Agus saat ditemui di gedung PPATK, Jalan Ir H Juanda No 35, Kebon Kelapa, Jakarta Pusat, Jumat (16/6). (DON)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan pemerintah akan mundur dari pembahasan jika fraksi-fraksi DPR belum mencapai kata sepakat lewat musyawarah soal RUU Pemilu. Pansus RUU Pemilu pun menyayangkan ancaman pemerintah tersebut.
Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu Yandri Susanto mengatakan pembahasan RUU Pemilu tersebut merupakan ‘hajatan’ partai politik. Karena itu, pemerintah harus menghormati proses tersebut.
“Kita minta kepada Pak Mendagri untuk menghormati tata cara pembuatan UU. Pembuatan UU itu memang dibahas bersama DPR dan pemerintah. Tapi ini khusus untuk UU Pemilu kan hajatan partai politik. Tolong hormati itu,” kata Yandri saat berbincang dengan khatulistiwaonline, Kamis (15/6/2017).
Yandri pun menegaskan, di dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa pengusungan capres dan cawapres dilakukan oleh partai politik. Untuk itu, sudah tepat jika pembahasan RUU Pemilu tersebut merupakan hajatan partai politik.
“Sebagaimana dalam UUD 1945, partai politik atau gabungan partai politik mengusung pasangan capres dan cawapres, bukan pemerintah. Makanya kalau Menteri Dalam Negeri menyampaikan ancaman mundur, itu sangat disayangkan. Padahal kita sedang berjibaku membahas ini,” katanya.
Dia menilai ancaman mundur tersebut tidak perlu dikeluarkan oleh pemerintah. Toh, pembahasan soal ambang batas pencalonan presiden itu memang masih dalam proses dan setiap fraksi berhak menyatakan pandangan.
“Kalau mayoritas nol persen, saya nggak ada masalah. Sepuluh persen atau 20 persen juga saya nggak ada masalah. Jadi ancaman itu tidak perlu dikeluarkan. Itu kurang elok dalam suasana pembahasan UU. Jadi ini seperti mendikte DPR,” katanya.
Yandri juga mengatakan, jika dulu pemerintah sudah menetapkan ‘harga mati’ ambang batas pencalonan presiden, sebaiknya tak perlu lagi mengusulkan pembahasan di DPR. Tinggal pemerintah mengeluarkan perpu.
“Kalau dulu pemerintah sampaikan sikapnya, kenapa sekarang diajukan UU ini? Kalau dulu harga mati, tak bisa digoyang sedikit pun 20-25 persen, itu lebih baik nggak usah dibahas lagi, lebih baik pemerintah mengeluarkan perpu. Jadi biarkan pakai UU lama kalau sikap terhadap UU itu sudah tegas dari awal. Karena ini waktu dan energi sudah banyak kita tuangkan untuk penyempurnaan UU ini,” katanya. (MAD)