JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Presiden Joko Widodo kembali melontarkan pernyataan soal kekuasaan. Jokowi menyebut tidak ada yang namanya kekuasaan absolut atau mutlak di negeri ini.
Jokowi mengunggah satu poster yang menyinggung soal kekuasaan absolut itu di akun Facebook resminya, @Jokowi, Sabtu (29/7/2017). Poster itu menampilkan Jokowi, didampingi Seskab Pramono Anung dan juru bicara presiden Johan Budi, yang sedang diwawancarai awak media dalam satu acara.
“Tidak ada yang namanya kekuasaan absolut. Kita ada pers, ada media, ada LSM, ada DPR. Rakyat juga bisa mengawasi langsung,” tulis Jokowi dalam poster itu.
Jokowi juga memberikan keterangan dalam unggahannya tersebut. Keterangan itu masih tentang cara mengawasi jalannya pemerintahan.
“Ada banyak pihak di luar pemerintahan yang turut mengawasi jalannya kekuasaan,” tegas Jokowi.
Sebelumnya, saat ditanya soal pertemuan SBY-Prabowo di Cikeas pada Kamis (27/7) malam, Jokowi menegaskan tak ada kekuasaan mutlak di Indonesia.
“Dan perlu saya sampaikan bahwa saat ini tidak ada kekuasaan absolut, kekuasaan mutlak. Kan ada pers, ada media, ada juga LSM, ada juga yang mengawasi di DPR. Pengawasannya kan dari mana-mana. Rakyat juga bisa mengawasi langsung,” kata Jokowi di kawasan Greenland International Industrial Center (GIIC), Deltamas, Kecamatan Cikarang Pusat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Jumat (28/7).
SBY melontarkan pesan politik penting untuk penguasa seusai pertemuan dengan Prabowo, Kamis (27/7) malam. SBY mengatakan dia dan Prabowo akan mengawal jalannya pemerintahan sehingga tidak ada penyalahgunaan kekuasaan.
“Power must not go unchecked. Artinya, kami harus memastikan bahwa penggunaan kekuasaan oleh para pemegang kekuasaan tidak melampaui batas, sehingga tidak masuk apa yang disebut abuse of power. Banyak pelajaran di negara ini, manakala penggunaan kekuasaan melampaui batasnya masuk wilayah abuse of power, maka rakyat menggunakan koreksinya sebagai bentuk koreksi kepada negara,” ucap SBY. (ADI)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
DPR akan menutup masa sidang pada paripurna hari ini. Sebanyak 253 dari 560 anggota DPR tak hadir dalam paripurna.
Rapat dimulai pukul 11.00 WIB di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (27/7/2017). Rapat dipimpin oleh wakil ketua DPR Agus Hermanto didampingi Fahri Hamzah, Taufik Kurniawan, dan Setya Novanto.
Selain itu, paripurna membahas RUU pertangungjawaban pelaksanaan APBN 2016-2017. Paripurna sekaligus mengesahkan Perppu Nomor 1/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan menjadi UU.
Paripurna juga mengagendakan pengambilan keputusan RUU perubahan APBN 2017 pengesahan perpanjangan waktu pembahasan RUU seperti:
a. RUU tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh;
b. RUU tentang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN);
c. RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
d. RUU tentang Perkoperasian;
e. RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol;
f. RUU tentang Kekarantinaan Kesehatan;
Selanjutnya, agenda paripurna yakni perpanjangan waktu kerja pansus angket Pelindo II dan akan diakhiri pidato ketua DPR Setya Novanto sekaligus menutup masa persidangan V tahun sidang 2016-2017.
PDIP : 60
Golkar : 40
Gerindra : 35
Demokrat : 22
PAN : 15
PKB : 20
PKS : 15
PPP : 16
NasDem : 20
Hanura : 10
Total: 307
Izin: 54
(ADI)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan percepatan putusan dalam vonis permohonan uji materil UU terhadap UUD 1945. Bahkan vonis perkara Nomor 30/PUU-XV/2017 hanya memakan waktu 2 bulan.
Sebagaimana dikutip dari website MK, Kamis (27/7/2017), perkara itu diajukan oleh warga Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Zain Amru Ritonga. Ia mengajukan materi Pasal 193 ayat 2 huruf a KUHAP terhadap UUD 1945.
Perkara itu didaftarkan ke MK pada 23 Mei 2017 dan diregister di kepaniteraan MK tertanggal 7 Juni 2017. Setelah itu, MK langsung menggeber sidang pertama dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perkara yang dilakukan pada 3 Juli 2017.
Setelah itu, MK langsung memeriksa perkara itu dan menggelar rapat permusyawaratan hakim. Hasilnya, MK menjatuhkan vonis tidak menerima perkara tersebut pada Rabu (26/7) kemarin.
“Memutus permohonan tidak tidak dapat diterima dan pemohon tidak memiliki legal standing,” kata Ketua MK Arief Hidayat.
MK menyatakan Zain Amru sesungguhnya tidak mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya norma pasal yang dimohonkan pengujian. Selain itu, perihal tidak adanya kerugian hak konstitusional Pemohon juga tampak jelas dari penalaran bahwa jika pun dianggap terdapat kerugian hak konstitusional Pemohon, quod non, sehingga pasal yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon dikabulkan, tidak ada pengaruhnya sama sekali terhadap hak konstitusional Pemohon.
“Bahkan yang akan terjadi justru ketidakpastian hukum terutama terhadap seseorang yang telah dijatuhi pidana yang tidak mempunyai itikad baik. Sebab yang bersangkutan dapat menggunakan kesempatan itu untuk menghindari pelaksanaan putusan, merusak atau menghilangkan barang bukti, melarikan diri, atau bahkan mengulangi perbuatannya,” ucap Arief dalam pertimbangannya.
Sebagaimana diketahui, kritikan terhadap MK beberapa waktu terakhir yaitu soal cepat lambatnya sebuah perkara diputus. Usai terpilih kembali menjadi Ketua MK awal bulan ini, Arief menyatakan optimis dapat melakukan percepatan vonis di MK, baik yang masuk sejak awal tahun 2017 maupun tunggakan di tahun 2016.
“Sudah 76 perkara dari awal 2017 dan baru 15 yang sudah bisa kita selesaikan. Kalau tahun lalu masih tersisa 20, tapi mungkin nanti bisa kita selesaikan hingga bulan Agustus-September, sehingga tidak punya tunggakan perkara lagi,” kata Arief.
Ia juga menyebut hakim konstitusi Saldi Isra sebagai tenaga muda untuk segera menyelesaikan perkara. Sehari-hari, Saldi merupakan guru besar Universitas Andalas, Padang.
“Karena Pak Saldi hakim konstitusi yang terakhir diangkat, jadi dia yang paling bersemangat untuk menyelesaikan perkara. Bahkan, kalau kita hitung waktu penyelesaian di tahun 2016, setiap pengujian UU itu 7 bulan, sekarang di 2017 ini kira-kira jadi 5 bulan. Jadi kita sudah maju dengan adanya tenaga muda di hakim konstitusi,” tutur Arief yang juga guru besar Universitas Diponegoro (Undip) Semarang itu.
Saat ini, 9 hakim konstitusi mayoritas diduduki para begawan hukum dari berbagai kampus di Indonesia. Mereka adalah:
1. Prof Dr Arief Hidayat yang juga guru besar Universitas Diponegoro, Semarang.
2. Prof Dr Saldi Isra yang juga guru besar Universitas Andalas, Padang.
3. Prof Dr Aswanto, yang juga guru besar Universitas Hasanuddin, Makassar.
4. Prof Dr Maria Farida Indarti, yang juga guru besar Universitas Indonesia, Depok.
5. Prof Dr I Dewa Gede Palguna, yang juga guru besar Universitas Udayana, Denpasar.
Sedangkan 4 lainnya yaitu 3 hakim karier Mahkamah Agung dan Waiduddin Adams adalah mantan PNS di Kemenkum HAM yang pernah menjadi Dirjen Peraturan Perundangan. (DON)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menyebut hubungan partainya dengan Presiden Joko Widodo masih baik. Termasuk dengan partai politik pendukung pemerintahan Jokowi-JK.
“Baik, baik, kamu jangan anu… baik, nggak ada dengan Presiden… baik, baik. Dengan partai baik, hubungan kita dengan pemerintah baik,” ujar Zulkifli di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (25/7/2017).
Zulkifli menegaskan dukungan PAN ke Jokowi tanpa syarat. Jikapun PAN tak punya kursi lagi di kabinet kerja Jokowi-JK, PAN tak ambil pusing.
“Kita mendukung pemerintah agar sukses melaksanakan programnya. Komitmen bukan soal menteri, bukan soal lain. Kita dukung presiden sukses membangun infrastruktur, sukses membangun ekonomi, sukses mengurangi kesenjangan,” tutur Zulkifli.
“Kita dukung semuanya agar rakyat kita lebih bagus, apalagi di zaman ekonomi lagi sulit. Kita dukung tanpa syarat,” tegas dia.
Dukungan PAN ke Jokowi pun dibeberkan Zulkifli. “Semalem penting kan, UU mengenai pajak agar orang asing pajaknya ditarik. Kita dukung, nggak ada masalah,” sebutnya.
Zulkifli tak ingin lagi hubungan PAN dipanas-panaskan pihak tertentu. Zulkifli lalu menitip pesan ke Jokowi soal sikap PAN.
“Dukung penuh bapak presiden. Ada (menteri) atau tidak bukan menjadi syarat bagi kita. Kita akan dukung penuh bapak presiden agar sukses memimpin melaksanakan progam-programnya. Itu tolong disiarkan,” pungkas dia. (DON)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Gerindra menarik diri dari Pansus Angket KPK. Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan pansus bisa tetap bekerja.
“Sekarang tergantung pansus sendiri untuk mencari bukti atau temuan dari hasil investigasi. Saya kira masih ada waktu untuk melihat itu,” kata Fadli di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (25/7/2017).
Meski fraksinya mundur, Fadli menyebut Gerindra tetap menghargai kerja Pansus. Namun, Fadli mengingatkan Pansus soal waktu kerja mereka yang hanya 60 hari.
“Kita hargai kerja pansus sambil kita lihat hasilnya seperti apa, apakah ada temuan signifikan atau hanya dugaan. Nah ini yang nanti dilaporkan pansus ke paripurna juga,” ujar Fadli.
Fadli bicara kemungkinan F-Gerindra kembali masuk ke Pansus. Namun, dia menyinggung bahwa Pansus saat ini memang diisi oleh parpol pendukung pemerintah.
“Sejauh ini kita lihat bahwa memang lebih banyak fraksi-fraksi yang ada, yang mungkin oleh masyarakat berada di dalam posisi pendukung pemerintah,” tegas Fadli.
Lebih lanjut, dia menyebut kerja Pansus yang diisi parpol pro-Jokowi terkesan melemahkan KPK. Namun sekali lagi, Fadli meminta masyarakat menghargai kerja Pansus.
“Kesan (melemahkan) itu memang ada tapi belum tentu juga tepat. Kita tetap melihat fungsi DPR untuk melakukan check and balances tetap melekat pada anggota DPR yang mengusulkan untuk terbentuknya pansus tersebut,” papar Fadli.
“Jadi ini tidak menghilangkan hak anggota DPR untuk menggunakan itu dan ini sudah berjalan, sudah ada lembaran negara. Jadi saya kira, kita persilakan melihat hasil tersebut dan dilaporkan ke paripurna,” pungkasnya.(MAD)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 memang masih akan berlangsung 2 tahun lagi. Namun peta koalisi sudah sedikit terbaca setelah UU tentang Pemilu disahkan DPR dan angka presidential threshold disepakati 20-25 persen.
Joko Widodo (Jokowi) dipastikan mengantongi dukungan dari Golkar, NasDem dan PPP. Gabungan perolehan kursi DPR ketiga partai itu sebesar 29,46% terdiri dari Golkar (16,25%), Nasdem (6,25% kursi) dan PPP (6,96%).
Jokowi masih berpeluang mendapatkan dukungan dari PDIP (19,46% kursi di DPR), Hanura (2,86%) dan PKB (8,39%). Partai-partai ini berada di koalisi pendukung pemerintahan Jokowi-JK.
Prabowo Subianto juga dipastikan akan mendapatkan dukungan dari Gerindra (13,04% kursi di DPR) dan PKS (7,14%). Total dukungan kursi di DPR untuk Prabowo 20,18%.
Sementara, Partai Demokrat yang memiliki 10,90% kursi di DPR belum terbaca arah koalisinya. Peneliti CSIS Arya Fernandes mengatakan sedikit peluang PD membentuk poros sendiri di Pilpres 2019.
Pasalnya jika PD berkoalisi dengan PAN yang memiliki 8,75% kursi DPR belum cukup untuk mengusung Capres.
“Partai Demokrat bisa membentuk poros sendiri jika ada salah satu partai pendukung Jokowi membelot. Tapi peluang itu kecil,” kata Arya saat berbincang dengan khatulistiwaonline, Minggu (23/7/2017).
Bisa saja, tambah Arya, PD dan PAN bergabung dengan koalisi pendukung Prabowo Subianto. Namun Waketum Gerindra Arief Puyuono pesimistis Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Ketum PD setuju pencapresan Prabowo dan bergabung dengan Gerindra-PKS.
“Belum tentu Pak SBY setuju juga untuk mengusung Pak Prabowo. Kalau Gerindra harga mati capresnya pak Prabowo,” kata Arief.
Menurut dia ada kebuntuan mengenai hubungan Prabowo dan SBY. Kedua tokoh besar ini sulit disatukan. Sebut saja saat Pilpres 2014 dan Pilkada DKI 2017 lalu.
“Belum tentu bisa nyatu, lihat saja Pilkada Jakarta kemarin nggak sama kan. Di putaran kedua, PAN dukung Anies. PKB dan PPP ke Ahok, Demokrat nggak pilih kan. Demokrat 2014 nggak mau ngusung Pak Prabowo juga lho,” urai Arief.
Akankah PD bersikap non blok seperti Pilpres 2014?
Arya Fernandes yakin PD tak akan non blok di Pilpres. Hal ini lantaran di Pilpres 2019 nanti sosok Capres yang diusung akan turut menentukan perolehan suara partai. (DON)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Pasca-pembubaran HTI, Polri menemukan ada indikasi ormas-ormas anti-Pancasila. Ormas itu sedang diawasi. Siapa mereka?
Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Martinus Sitompul mengatakan pihaknya telah melakukan pengawasan dan menemukan masih ada ormas anti-Pancasila. Martinus mengatakan ormas-ormas tersebut telah dilaporkan.
“Ada sekitar 2 atau 3 lagi ormas (yang dinilai anti-Pancasila dan sudah dilaporkan),” kata Martinus kepada khatulistiwaonline di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (20/7) lalu.
Namun Martinus tidak menyebutkan ormas yang dimaksud. Dia hanya memastikan pihak terkait selalu berkoordinasi.
“(Nama ormas-nya) itu rahasia. Nanti keputusannya di pemerintah,” ujar Martinus.
Menkum HAM Yasonna Laoly menyatakan pemerintah masih mengkaji mengenai ormas-ormas itu. Dia juga tak mau mengungkap ormas tersebut.
“Polri kan mengatakan masih ada, nanti kita lihat dan kaji lagi. Kan ada kajian,” ujar Yasonna dalam kesempatan terpisah.
Ormas mana yang dimaksud oleh Polri tersebut memang belum jelas benar. Yang jelas, dalam kurun tiga bulan masa berlaku Perppu Nomor 2 Tahun 2017, pemerintah dapat dengan cepat membubarkan ormas yang terbukti anti-Pancasila. Aturan dalam Perppu tersebut memudahkan pemerintah membubarkan ormas.
Namun, apabila Perppu tersebut ditolak DPR, kembali ke peraturan awal. Pemerintah harus mengikuti prosedur yang panjang dalam pembubaran ormas, terutama melalui jalur peradilan. (DON)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Partai pendukung Jokowi-JK yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) diprediksi akan pecah menjelang pemilihan umum presiden (Pilpres) tahun 2019. Situasi politik yang dinilai menguntungkan masing-masing partai diprediksi menjadi penyebabnya pecahnya KIH.
“Jadi ada beberapa faktor (yang membuat KIH pecah), yang pertama kalau koalisi itu bubar karena tergantung situasi politik. Ini akan menguntungkan siapa dan pihak yang mana,” ujar Pengamat politik dari Media Survei Nasional (Median) Rico Marbun saat dihubungi khatulistiwaonline, Jumat (21/7/2017).
Rico memandang wajar jika partai koalisi KIH hingga hari ini masih terlihat solid. Hal ini karena posisi Jokowi yang sedang menjabat dinilai memiliki sumber daya yang unggul.
“Makanya wajar saja dia merapat, tetapi situasi nanti menjelang 2019 tidak bisa ditebak. Kita sudah belajar banyak dari Pilgub Jakarta kemarin, bahwa orang yang unggul di awal ternyata di akhir-akhir kemarin bisa kedodoran dengan berbagai macam sebab,” sebutnya.
“Saya ambil contoh saja, kemungkinan besar koalisi ini bisa pecah kalau kita membayangkan kalau situasi perekonomian yang tidak begitu baik. Contohnya kita bisa melihat sekarang sekarang ini, banyak data yang itu bisa mengancam kekhawatiran dari banyak orang tentang daya beli masyarakat yang turun. Kayak kemarin pusat-pusat perbelanjaan yang sepi, konsumsi yang melemah, hutang yang meningkat. Itu kan faktor-faktor ekternal yang mungkin itu sekarang ini belum dihitung. Tetapi kalau misalnya itu membesar dan tidak bisa dikendalikan situasi itu mungkin saja berubah,” tambahnya.
Rico juga memandang wajar jika Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyatakan belum pasti mendukung Jokowi di Pilpres 2019. “Jadi kalau saya melihat, kalau high call nya sekarang ini benar kata PKB itu, belum pasti mendukung Jokowi,” ucapnya.
Sementara itu Pengamat politik LIPI, Syamsudin Haris menilai pernytaan PKB yang menyebut belum tentu mendukung Jokowi di Pilpres 2019 sebagai pernyataan individual. Faktanya PKB hingga hari ini masih setia mendukung kepemimpinan Jokowi-JK.
“Belum tentu mendukung Jokowi itu kan masih statement individual, bukan statement partai. Faktanya PKB menjadi bagian dari pendukung Jokowi, PAN juga sebetulnya masih menjadi bagian dari koalisi pendukung Jokowi walaupun nanti beberapa bulan ke depan kita nggak tau misalkan Jokowi melakukan reshufle kabinet, PAN ditendang misalkan, kita kan tidak tau,” sebut Syamsuddin saat dihubungi terpisah, Jumat (21/7).
Menurut Syamsuddin peta koalisi Pilpres 2019 belum begitu terlihat hingga saat ini. Pengelompokkan peta koalisi di Pilpres 2019 dapat dilihat saat pengesahan undang-undang Pemilu di DPR beberapa waktu lalu.
“Belum kelihatan, ini kan baru undang-undang Pemilu, kalau menurut saya ini masih belum banyak berubah sih. Polanya masih sama. Artiya blok partai poltik yang setuju dengan opsi A malam itu ya untuk saat ini blok pendukung Jokowi. Sedangkan 4 partai politik lainnya, mungkin punya pilihan lain,” ungkapnya. (MAD)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Ketua DPR sekaligus tersangka kasus korupsi e-KTP Setya Novanto menghadiri paripurna pengambilan keputusan RUU Pemilu. Bahkan, ia yang mengambil keputusan untuk mengesahkan RUU Pemilu menjadi UU.
Novanto baru pertama kali menghadiri sidang paripurna sejak ditetapkan menjadi tersangka. Awalnya, sidang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Bidang Korpolkam Fadli Zon. Namun, Novanto sempat memimpin sumpah jabatan anggota DPR.
Nah, ‘pergantian pemain’ antara Fadli dan Novanto baru terjadi di saat-saat akhir. Novanto memimpin sidang karena Fadli walk out dari pembahasan, mengikuti F-Gerindra. Otomatis, pimpinan sidang harus diambilalih ketua DPR.
Novanto saat itu ditemani Wakil Ketua DPR Bidang Kesra Fahri Hamzah. Ketum Golkar itu memuji langkah Fahri yang tidak ikutan walk out, meski tidak sepakat soal presidential threshold.
“Terima kasih saudara, Fahri saya memberi apresiasi besar kepada sahabat saya saudara Fahri,” kata Novanto ke Fahri saat paripurna di Gedung DPR, Senayan, Jakpus, Jumat (21/7/2017).
Novanto yang berasal dari F-Golkar langsung bertanya kepada peserta sidang soal kelanjutan rapat. Kemudian, Novanto langsung bertanya soal opsi A yang akan disahkan dalam paripurna. Peserta sidang menyepakati.
“Dengan ini diputuskan hasil RUU pemilu mengambil paket A minus 1. Apakah dapat disetujui?” tanya Novanto dari mimbar paripurna.
“Setuju….” jawab anggota di Paripurna.
Dengan demikian, pimpinan DPR yang menjadi ‘playmaker’ dalam pengesahan UU Pemilu adalah Novanto. Awalnya, diprediksi peran tersebut tetap dipegang Fadli. Kini, UU telah disahkan. Empat fraksi masih menolak UU tersebut dan akan menggugat ke MK. (DON)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
RUU Penyelenggaraan Pemilu telah disahkan menjadi UU lewat paripurna DPR yang diwarnai aksi walk out. Sedikitnya ada 5 isu krusial di UU Pemilu yang menjadi pijakan untuk Pemilu 2019 mendatang. Apa saja?
Lima isu krusial dalam RUU Pemilu adalah ambang batas presidential atau presidential threshold, ambang batas parlemen atau parliamentary threshold, alokasi kursi anggota DPR per daerah pemilihan (dapil), metode konversi suara pemilu legislatif, dan sistem pemilu.
Dalam paripurna yang berlangsung hingga lewat tengah malam pada Jumat (21/7/2017) tadi, UU Pemilu sudah disahkan dengan isu krusial dari opsi A. Berikut isinya:
1. Presidential Threshold: 20-25 Persen
Presidential threshold adalah ambang batas bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk pengajuan presiden atau wakil presiden. Presidential threshold 20-25% maksudnya adalah parpol atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen jumlah kursi di DPR dan/atau 25 persen suara sah nasional di Pemilu sebelumnya.
2. Parliamentary Threshold: 4 Persen
Parliamentary threshold adalah ambang batas perolehan suara partai politik untuk bisa masuk ke parlemen. Ini berarti parpol minimal harus mendapat 4 persen suara untuk kadernya bisa duduk sebagai anggota dewan.
3. Sistem Pemilu: Terbuka
Sistem proporsional terbuka berarti di kertas suara terpampang nama caleg selain nama partai. Pemilih juga bisa mencoblos langsung nama caleg yang diinginkan.
4. Dapil Magnitude: 3-10
Dapil magnitude atau alokasi kursi per dapil yakni rentang jumlah kursi anggota DPR di setiap daerah pemilihan. Berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UU Nomor 8/2012 disebutkan jumlah kursi di setiap dapil anggota DPR paling sedikit 3 kursi dan paling banyak 10 kursi. Hal ini yang disepakati.
5. Metode Konversi Suara: Sainte Lague Murni
Metode konversi suara mempengaruhi jumlah kursi setiap parpol yang lolos ke DPR. Metode sainte lague murni menerapkan bilangan pembagi suara berangka ganjil seperti, 1, 3, 5, 7, 9, dan seterusnya. Metode sainte lague ini dalam melakukan penghitungan suara bersifat proporsional yaitu tidak ada pembedaan dan tidak memihak apakah itu partai kecil ataupun partai besar. (ADI)