JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Mantan anggota Komisi II DPR, Miryam S Haryani, telah ditetapkan KPK sebagai tersangka dugaan memberi keterangan palsu. Ada cerita panjang yang mengiringi penetapan Miryam sebagai tersangka oleh KPK pada Rabu (5/4/2017) malam tadi.
Miryam, pada Kamis (23/3) lalu, bersidang dalam kasus korupsi e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor, Jl Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat. Kesaksian Miryam kala itu membuat heboh jalannya sidang. Politikus Hanura itu menangis saat bersidang dan mengaku ditekan oleh penyidik KPK saat proses penyidikan.
“Saya diancam sama penyidik, 3 orang, pakai kata-kata. Waktu saya dipanggil, ada 3 orang, satu Pak Novel, satu namanya Pak Damanik. Ini tahun 2010 itu mestinya saya sudah ditangkap, kata Pak Novel begitu. Saya ditekan terus. Saya tertekan sekali. Sampai dibilang ibu saya mau dipanggil, saya nggak mau Pak,” ucap Miryam waktu itu.
Tak berhenti di situ, Miryam kembali membuat heboh jalannya sidang. Dia mencabut isi berita acara pemeriksaan (BAP) di KPK dengan alasan isi BAP tersebut tak benar karena saat itu dia merasa tertekan oleh penyidik. “Saya minta saya cabut semua karena saya dalam posisi tertekan,” sebut Miryam yang kemudian membuat riuh suasana sidang.
Pencabutan keterangan Miryam di persidangan pun berbuntut panjang. Jaksa KPK, yang meyakini Miryam memberikan kesaksian palsu, meminta persetujuan hakim untuk menetapkan tersangka dengan mengajukan permohonan kepada untuk hakim menerapkan Pasal 174 KUHAP atas Miryam.
KPK pun bereaksi dengan mempertimbangkan pengenaan pasal lain untuk menjerat Miryam sebagai tersangka memberikan keterangan palsu dalam persidangan. Waktu itu, KPK akan menerapkan Pasal 21 atau 22 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Hakim masih ingin mendengar saksi lain sesuai di Pasal 174 KUHAP. Namun hakim juga mengatakan silakan KPK kalau ingin melakukan proses hukum yang lain sesuai yang berlaku. Apakah penerapan Pasal 21 atau Pasal 22 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Nah itu sedang kita bahas secara intensif saat ini,” ujar Kabiro Humas KPK Febri Diansyah pada Senin (3/4) lalu.
Rabu (5/4) kemarin, KPK resmi menyandangkan status tersangka dugaan memberi keterangan palsu dalam persidangan kepada Miryam. Miryam disangkakan dengan pasal 22 jo pasal 35 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“KPK menetapkan satu orang tersangka baru, yaitu MSH (Miryam S Haryani) mantan anggota DPR RI terkait dugaan tindak pidana korupsi pengadaan e-KTP. Tersangka diduga dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar pada sidang dengan terdakwa Irman dan Sugiharto,” kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (5/4).
KPK pun kini sudah punya 4 tersangka dalam kaitan kasus dugaan korupsi e-KTP. KPK masih akan terus mengusut kasus yang merugikan negara sebesar RP 2,3 triliun ini. KPK akan melanjutkan sidang e-KTP hari ini, Kamis (6/4/2017). Akan ada sembilan saksi yang dihadirkan jaksa KPK dalam sidang nanti, yaitu Setya Novanto, Anas Urbaningrum, Dudy Susanto, Ade Komarudin, Anang Sugiana, Suciati, Markus Nari, Evi Andi Noor Alam, Johares Richard Tanjaya, dan Yimmmy Iskandar Tedjasusila.
Namun KPK tidak sampai pada Miryam saja. KPK juga mengincar siapa pihak yang menekan Miryam sehingga dia bisa memberikan keterangan palsu di sidang e-KTP.
Lantas siapa pihak yang menekan Miryam? (DON)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Sekjen Forum Umat Islam (FUI) Gatot Saptono alias Muhammad Al-Khaththath dan empat orang pelaku lainnya ditangkap penyidik terkait pemufakatan makar. Kuasa hukum Al-Khaththath, Achmad Midan membantah kliennya merencanakan aksi makar di lima kota besar setelah Pilkada 19 April nanti.
“Nggak benar, jadi ada pernyataan uztaz Khaththath menginisiasi itu nggak benar. Kita nggak tahu,” kata Michdan saat dihubungi khatulistiwaonline, Rabu (5/4/2017).
Michdan menjelaskan kelima tersangka makar dikatikan dengan rapat Minggu (26/3) yang berlangsung di kediaman Khaththath di Kalibata, Jakarta Selatan. Dia menegaskan pertemuan di rumah Khaththath itu rapat terbatas untuk kegiatan pemantauan Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada Pilkada 19 April mendatang.
“Tersangka ada 5 kemudian yang diduga makar itu dikaitkan dengan rapat 26 Maret 2017. Itu membahas kaitannya dengan bukan rapat, itu khusus diselenggarakannya TOT untuk kegiatan Gubernur Muslim Jakarta (GMJ) yang intinya sebetulnya rapat terbatas untuk pemantauan TPS-TPS,” jelasnya.
Michdan mengatakan rapat itu sedianya digelar di Masjid Baiturrahman Saharjo, Menteng Atas, Jakarta Pusat. Menurut dia karena jumlah peserta hanya 10 orang maka kegiatan itu dipindahkan di firma milik Khaththath di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan.
“Nah yang saya tahu rapat itu nggak ada uztaz Khaththath itu menerima tamu di ruang tunggu, dia tuan rumah yang kegiatannya TOT, teknikal official untuk pemantauan pilkada di TPS-TPS. Kemudian selesainya pukul 20.00 WIB-22.00 WIB dan selesainya itu mereka ngobrol-ngobrol. Itu yang kemudian mereka berbincang di sana jadi bukan rapat,” beber Michdan.
Michdan menambahkan saat itu kliennya memang berada di rumah yang sama hanya berbeda ruangan. Namun, Khaththath tidak ikut berbincang karena masih ada tamu.
“Ustaz Khaththath masih terima tamu di rumah yang sama cuma berbeda ruangan. Yang mereka ketahui rapat TOT, ada tamu kemudian ngobrol nggak tahu apa yang dibicarakan itu sebatas ngobrol juga. Jadi tidak benar kalau ada pernyataan uztaz Khaththath melakukan perencanaan makar di lima kota. Itu sumir mengada-ada, tinggal dibuktikan ada undangannya atau tidak, yang benar itu tot untuk pemantauan pilkada itu tanggal 19 (April) nanti,” tegas dia.
“(Kegiatan) pengawasan dan pemantauan pilkada. Beliau bersimpati kepada gubernur muslim artinya bahwa itu keyakinannya bahwa pimpinan umat itu harus yang muslim, ada relawan-relawan si Irwan yang kalau nggak salah dia yang jadi relawan GMJ,” sambung Michdan.
Michdan juga menyebut jika kliennya sama sekali tidak melakukan perbuatan makar. Menurutnya aksi GNPF di Jakarta bisa saja tumbuh di daerah-daerah lain.
“Nggak ngerti saya, karena daerah punya kewenangan sendiri. Banyak GNPF itu di Jakarta timbul juga di daerah-daerah, bikin organisasi yang sama jadi nggak ada. Itu inisiatif mereka sendiri-sendiri intinya ingin mengontol pemerintahan lebih baik. Bagaimana penegakan hukum terhadap pelaku penodaan agama itu kontrol masyarakat yangg dibolehkan UU,” urai dia.
“Artinya uztaz Khaththath dan jamaah yang kepentingan demo itu mengakui adanya presiden. Jadi jangan rapat-rapat, yang jelas makar itu substansinya mengubah UU, kedua mengganti atau menggulingkan pemerintahan yang sah, itu kan nggak sederhana ada lembaga kepresidenan, DPR, TNI/Polri memang mudah,” ucap Michdan.
Sebelumnya Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengungkapkan pemufakatan makar itu tidak hanya akan dilakukan di Jakarta, tapi juga di empat kota besar lainnya. Pada pertemuan itu para tersangka membicarakan makar atau pemufaktan makar dan diduga mengagendakan menggulingkan pemerintahan yang sah dengan menduduki DPR/MPR.
“Untuk kegiatannya tidak hanya di Jakarta saja, tapi dilakukan secara serentak di lima kota. Yang pertama di Makassar, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, dan kelima di Jakarta itu bersamaan,” terang Argo kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (4/4/2017). (ADI)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Sidang dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) masih berlanjut dengan pemeriksaan barang bukti. Kali ini, di persidangan tengah diputar video Ahok yang tengah berpidato di kepulauan Seribu.
Sidang digelar di Kementerian Pertanian, Jl RM Harsono, Jakarta Selatan, Selasa (4/4/2017), dan dimulai sekitar pukul 09.00 WIB. Satu persatu barang bukti diperiksa. Sampai akhirnya jaksa memutarkan video pidato Ahok saat berkunjung ke Kepulauan Seribu.
Berdasarkan suara yang terdengar dari speaker di luar ruang sidang, video tersebut tak diputar penuh, hanya dari bagian tengah sampai akhir. Bahkan sampai bagian tanya jawab dan Ahok melakukan peninjauan lapangan.
Awalnya Ahok memberi paparan soal program budidaya ikan dan janji pemerintah daerah untuk memajukan perikanan atau peternakan ikan di Kepulauan Seribu. Sampai akhirnya masuk ke bagian di mana Ahok membahas surat Al-Maidah ayat 51.
“Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu enggak bisa pilih saya karena dibohongi pakai surat Al-Maidah ayat 51 macem-macem gitu lho,” ujar Ahok.
Selanjutnya warga diberi kesempatan untuk bertanya kepada Ahok. Ada sekitar 6 warga yang diberi kesempatan untuk menyampaikan pertanyaan.
Ahok didakwa melakukan penodaan agama karena menyebut dan mengaitkan surat Al Maidah 51 dengan Pilkada DKI. Penyebutan surat Al Maidah 51 ini disampaikan Ahok saat bertemu warga di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu pada 27 September 2016.
Dalam sambutan di depan warga, Ahok dianggap sengaja memasukkan kalimat terkait pemilihan gubernur. Saat itu Ahok sudah terdaftar sebagai cagub DKI.
Berikut cuplikan pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu yang disebut jaksa menodai kitab suci Alquran:
“Ini kan dimajuin, jadi kalau saya tidak terpilih pun, saya berhentinya Oktober 2017. Jadi, kalau program ini kita jalankan baik, saya yakin bapak ibu masih sempat panen sama saya sekalipun saya tidak terpilih jadi gubernur. Jadi cerita ini supaya bapak ibu semangat, jadi nggak usah pikiran, ‘Ah, nanti kalau nggak terpilih, pasti Ahok programnya bubar.’ Enggak, saya sampai Oktober 2017.
Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya ya kan? dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51, macam-macam itu. Itu hak bapak-ibu ya. Jadi kalau bapak-ibu perasaan enggak bisa kepilih nih, karena saya takut masuk neraka karena dibodohin gitu ya, enggak apa-apa.” (ADI)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Penyidik KPK memeriksa pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong. Andi kerap disebut dalam persidangan sebagai orang yang berperan meloloskan anggaran dan mengatur proses lelang hingga pengadaan.
“Pemeriksaan pertama dilakukan setelah penangkapan,” ujar Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (4/4/2017).
Pantauan khatulistiwaonline, Andi Narogong mendatangi gedung KPK sekitar pukul 09.30 WIB. Andi datang satu mobil bersama tersangka kasus dugaan suap impor daging eks hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar.
Sebelumnya, pada Jumat (31/3) penyidik KPK melakukan penggeledahan di sebuah rumah di Tebet Timur Raya, Jakara Selatan. Dalam penggeledahan itu, KPK menyita dua unit mobil mewah dan sejumlah dokumen.
“Sebelumnya, di hari Jumat dilakukan penggeledahan di sebuah rumah di Jl Tebet Timur Raya dan disita dokumen terkait aset-aset AA dan 2 unit mobil (Range Rover dan Vellfire),” terang Febri.
Nama Andi Narogong juga disebut-sebut oleh M Nazaruddin dalam sidang lanjutan perkara e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Andi Narogong dikenalkan di DPR sebagai pengusaha yang akan mengerjakan proyek e-KTP. Lewat Andi, proses ‘kawal’ anggaran di DPR dilakukan dengan komitmen bagi-bagi jatah imbalan (fee).
“Waktu itu Bu Mustokoweni bilang, untuk mengawal anggaran, ada pengusahanya, Andi Narogong. Besoknya Andi Narogong dibawa ke Fraksi Demokrat, dijelaskan semuanya, dia sudah lama jadi rekanan di Kemendagri, proyek apa saja dan dia meyakinkan Mas Anas bahwa dia sanggup untuk menjalankan e-KTP. Cuma semua itu bisa berjalan kalau ada anggaran,” ujar Nazaruddin dalam persidangan, Senin (3/4).
“Jadi untuk pengalokasian anggaran di DPR itu Yang Mulia, waktu itu Andi mengijon duluan Yang Mulia,” imbuhnya.
Setelah anggaran lolos di DPR, Andi Narogong menurut Nazaruddin menyiapkan konsorsium untuk mengikuti lelang proyek e-KTP. Konsorsium yang mendaftar dalam proyek e-KTP disebut Nazaruddin menyetorkan uang. (ADI)
PALEMBANG,khatulistiwaonline.com
Kapolda Sumatera Selatan menegaskan penangkapan anggotanya dan penyitaan uang oleh Tim Propam Mabes Polri bukan hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT). Menurutnya, kasus tersebut merupakan hasil pengembangan dan atas permintaan dirinya ke Mabes Polri supaya proses rekrutmen Polri di Sumsel berjalan bersih.
“Saya tegaskan bahwa itu bukan OTT, tapi hasil pemeriksaan tim dari Mabes Polri atas permintaan saya sebagai pimpinan di sini (Mapolda Sumsel, red),” tegas Kapolda Sumsel, Irjen Pol Agung Budi Maryoto kepada wartawan di halaman Mapolda Sumsel, Senin (03/04/2017).
Pemeriksaan berawal dari adanya komplain pihak keluarga pada saat penerimaan Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana (SIPSS) 2017 di Mabes Polri. Kemudian dirinya menyampaikan pada Tim Propam Mabes Polri untuk membantu melakukan pemeriksaan dan ditemukan penyimpangan pada saat rekrutmen beberapa tahun lalu. Sehingga untuk mewujudkan penerimaan Polri Clean and Clear ke depan.
Menurutnya, hingga saat ini, tim Propam Mabes Polri telah menyita total 6,7 Miliar dari pejabat Polda Sumsel. Termasuk dari rekening bank dan kendaraan dan masih terus didalami nominal suap yang diberikan pada oknum-oknum untuk memuluskan tahapan seleksi di Polda Sumsel.
“Sampai hari ini sudah ada 6,7 miliar uang tunai yang disita. Termasuk dari rekening dan kendaraan yang dibeli menggunakan uang diduga suap itu, ” imbuhnya.
Sebelumnya, Kapolri telah menegaskan larangan pungutan terhadap rekrutmen anggota Polri. Polri akan lebih mengedepankan prinsip dasar penerimaan anggota yang bersih, akuntabel, transparan dan humanis.
“Saat ini masih dilakukan pemeriksaan di Mabes Polri, apapun hasil keputusan sidang disiplin akan kita laksanakan. Termasuk sanksi pemberhentian kepada para palaku nantinya,” tutur mantan Kakorlantas Mabes Polri tersebut. (DON)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Mantan Bendum Demokrat Muhammad Nazaruddin membeberkan bagi-bagi duit di DPR untuk mengawal anggaran proyek e-KTP. Duit yang dibagi-bagikan ke anggota DPR disebut berasal dari pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong.
“Jadi untuk pengalokasian anggaran di DPR itu Yang Mulia, waktu itu Andi mengijon duluan Yang Mulia,” ujar Nazaruddin dalam sidang lanjutan perkara korupsi e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jl Bungur Besar, Jakarta Pusat, Senin (3/4/2017).
Setelah anggaran lolos di DPR, Andi Narogong menurut Nazaruddin menyiapkan konsorsium untuk mengikuti lelang proyek e-KTP. Konsorsium yang mendaftar dalam proyek e-KTP disebut Nazaruddin menyetorkan uang.
“Waktu itu setelah ada anggarannya baru bicara finalisasi spek, Andi buat konsorsium. Masing-masing konsorsium itu nyetor Rp 50 miliar di depan. Ijon untuk ke teman-teman di DPR, di Depdagri,” sebutnya.
Dalam persidangan, Nazaruddin menyebut ‘masuknya’ Andi Narogong ke DPR mulanya dikenalkan oleh anggota Komisi II DPR saat itu Mustokoweni. Andi menyokong dana untuk mengawal diloloskannya anggaran proyek e-KTP di DPR.
“Waktu itu Bu Mustokoweni bilang, untuk mengawal anggaran, ada pengusahanya, Andi Narogong. Besoknya Andi Narogong dibawa ke Fraksi Demokrat, dijelaskan semuanya dia sudah lama rekanan di Kemendagri proyek apa saja dan dia meyakinkan Mas Anas bahwa dia sanggup untuk menjalankan e-KTP. Cuma semua itu bisa berjalan kalau ada anggaran,” papar Nazar.
Pernyataan Mustokoweni soal Andi Narogong, menurut Nazaruddin, disampaikan saat bertemu dengan Anas Urbaningrum, yang saat itu menjabat Ketua Fraksi Demokrat. Dalam pertemuan dibahas juga soal kesepakatan untuk mendorong e-KTP agar lolos di DPR.
Kesepakatan itu ditindaklanjuti dengan komitmen pembagian duit ke DPR. Catatan soal rincian komitmen pemberian duit di DPR menurut Nazar disampaikan Mustokoweni.
“Di ruang Bu Mustokoweni ketemu lagi Pak Ignatius dan Pak andi membicarakan pemberian ke teman-teman di DPR. (Untuk) pimpinan banggar, anggota komisi 2. Komisi 2 itu dibagi 4, ada ketua, wakil ketua, ada anggota banggar, ada kapoksi, ada anggota komisi 2. Waktu itu disepakati untuk di DPR itu dialkokasikan 5 sampai 7…,” sebut Nazar tidak menyelesaikan kalimatnya.
“Anda lihat daftar, dari siapa itu?” tanya hakim.
“Yang memaparkan Bu Mustokoweni, dan (dana) dari Andi,” jawab Nazar.
Sedangkan dalam surat dakwaan eks pejabat Kemdagri Irman dan Sugiharto, Andi Narogong membuat kesepakatan dengan Setya Novanto, Anas Urbaningrum dan Nazaruddin tentang rencana penggunaan anggaran e-KTP senilai Rp 5,9 triliun setelah dipotong pajak sebesar 11,5% akan dipergunakan sebesar 51% atau sejumlah Rp 2.662.000.000.000 akan dipergunakan untuk belanja modal atau belanja riil pembiayaan proyek
Sisanya sebesar 49% atau sejumlah Rp2.558.000.000.000 akan dibagi-bagikan kepada pejabat Kemdagri, anggota komisi II, Setya Novanto dan Andi Narogong sebesar 11% atau sejumlah Rp574.200.000.000, termasuk alokasi untuk Anas Urbaningrum dan Nazaruddin sebesar 11% atau sejumlah Rp574.200.000.000. (ADI)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Saat diperiksa di KPK, anggota DPR dari Fraksi Hanura, Miryam Haryani menceritakan adanya tekanan dari pihak DPR soal kasus e-KTP. Ternyata Miryam juga mengaku ketakutan dengan koleganya di DPR soal pengembalian duit e-KTP.
“Dia (Miryam) bilang kalau saya kembalikan habis saya sama kawan-kawan saya di DPR. Ada kemungkinan penyidik ada menyita. Yang bersangkutan bilang saya tidak mau kembalikan, jadi saya tunggu DPR yang lain,” ujar Novel menceritakan pengakuan Miryam saat diperiksa KPK dalam sidang lanjutan korupsi e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jl Bungur Besar, Jakarta Pusat, Kamis (30/3/2017).
Miryam dalam berita acara pemeriksaan (BAP) di KPK menurut Novel mengaku menerima duit dari Sugiharto saat itu Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Ditjen Dukcapil Kemendagri. Selain itu Miryam mengaku berkomunikasi degngan Irman saat itu Dirjen Dukcapil Kemdagri.
“(Miryam mengaku mendapat duit dari) Sugiharto, dia juga komunikasi dengan Pak Irman melalui ketua komisi,” sebut Novel.
Dalam konfrontasi di persidangan Novel juga menyebut keterangan mantan anggota Komisi II DPR itu sangat rinci. “Bahkan rinciannya juga dia (Miryam) tuliskan,” sebut Novel.
BAP bagi-bagi duit Miryam dicabut pada persidangan Kamis (23/3). Alasannya Miryam mengaku dalam tekanan sehingga menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penyidik KPK sekenanya.
“Saya minta saya cabut semua karena saya dalam posisi tertekan,” sambung Miryam. (DON)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Gubernur DKI nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjalani persidangannya yang ke-16. Tim kuasa hukum menghadirkan 7 saksi ahli untuk meringankan Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama.
“Dengan ini kami menyampaikan ahli-ahli yang akan dihadirkan penasihat hukum dalam sidang ke-16. Ahli-ahli yang sudah di BAP: Prof. Dr. Bambang Kaswanti Purwo, ahli bahasa dari Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta; Dr. Risa Permana Deli, ahli psikologi Sosial. Ahli yang tidak di-BAP: Prof. Dr. Hamka Haq, ahli agama Islam(Wakil Ketua Mutasyar Persatuan Tarbiyah Islamiyah-Perti); KH Masdar Farid Mas’udi, ahli agama Islam (Rois Syuriah PBNU 2015-2020 dan Wakil Ketua Dewan Masjid Indonesia), Dr. Muhammad Hatta, ahli hukum pidana; Dr. I Gusti Ketut Ariawan, ahli hukum pidana dari Universitas Udayana; Dr. Sahiron Syamsudin ahli agama Islam dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,” ujar Pedri Kasman melalui keterangan tertulis yang diterima khatulistiwaonline, Rabu (29/3/2017).
Sidang tersebut akan segera dimulai. Jaksa Penuntut Umum (JPU) sudah memasuki ruang sidang.
Sebelumnya, penasihat hukum juga sempat mengajukan simulasi sidang hingga putusan nantinya. Yang ditawarkan adalah, sidang ke-17 pada Selasa (4/4/2017) dengan agenda pemeriksaan terdakwa dan pemeriksaan barang bukti.
Kemudian sidang ke-18 pada Selasa (11/4/2017) untuk tuntutan, sidang ke-19 pada Senin (17/4/2017) untuk pleidoi. Setelahnya, sidang ke-20 pada Selasa (25/4/2017) untuk replik dan dilanjutkan sidang ke-21 pada Selasa (2/5/2017) untuk duplik. Kemudian sidang ke-22 pada Selasa (9/5/2017) untuk pembacaan putusan (vonis).
Namun jaksa penuntut umum meminta hal itu tidak menjadi ketetapan hakim terlebih dahulu.
“Mohon ini jangan sebagai ketetapan yang kaku. Karena kalau ada perubahan nanti bisa diinformasikan jadwalnya,” ujar ketua JPU Ali Mukartono setelah mendengar permintaan tim penasihat hukum Ahok.
Ahok didakwa melakukan penodaan agama karena menyebut dan mengaitkan Surat Al-Maidah 51 dengan Pilkada DKI. Penyebutan Surat Al-Maidah 51 ini disampaikan Ahok saat bertemu dengan warga di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016. Ahok didakwa dengan Pasal 156 a huruf a dan/atau Pasal 156 KUHP. (DON)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Anggota DPR dari Fraksi Hanura Miryam S Haryani sakit jelang sidang perkara dugaan korupsi e-KTP. Sidang yang sedianya mengkonfrontir Miryam dengan tiga orang penyidik KPK diputuskan ditunda.
“Kami berpendapat persidangan tidak bisa dilanjutkan, ditangguhkan dann dilanjutkan pada hari Kamis (30/3). Supaya persidangan kita tidak terhalang, kita selingi dengan saksi lainnya dulu,” ujar hakim ketua Jhon Halasan Butar Butar dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jl Bungur Besar, Jakarta Pusat, Senin (27/3/2017).
Miryam tak hadir karena harus istirahat selama dua hari. Miryam menyertakan surat keterangan dari RS Fatmawati yang ditembuskan ke panitera.
“Hari ini harusnya saksi Miryam akan dikonfrontir dengan 3 penyidik. Dengan tidak hadirnya saksi Miryam S Haryani maka persidangan kali ini kehilangan esensinya,” ujar jaksa pada KPK.
Miryam seharusnya dikonfrontir dengan tiga penyidik yang dituding menebar ancaman lewat kata-kata. Ketiga penyidik KPK itu adalah Novel Baswedan, Ambarita Damanik, dan Irwan.
Ancaman yang disebut Miryam terjadi saat diperiksa KPK membuat dirinya mencabut berita acara pemeriksaan (BAP) pada Kamis (23/3). Miryam saat itu menyebut dirinya ‘mengarang’ menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penyidik KPK.
Tapi pencabutan BAP dianggap majelis hakim tidak logis hingga akhirnya majelis hakim meminta Miryam datang ke persidangan sebagai saksi pada hari ini. Namun Miryam tak datang, meski KPK sudah menyatakan siap menunjukkan rekaman video pemeriksaan Miryam.
Jaksa KPK menyanggupi untuk kembali menghadirkan Miryam pada persidangan Kamis (30/3) mendatang. Namun, akan dipanggil juga saksi-saksi selain Miryam.
“Seperti biasa kami akan panggil 6-7 orang. Kami akan mengusahakan, melihat kondisi yang bersangkutan. Kami akan mengusahakan hadir di Kamis. Kalau tidak bisa hadir, saksi lain sudah kami hadirkan,” tutur jaksa Irene Putri.
Dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto, Miryam saat menjadi anggota Komisi II disebut pernah meminta uang kepada eks Dirjen Dukcapil Kemdagri, Irman, sebesar USD 100 ribu untuk Chairuman Harahap. Duit yang diminta disebut untuk membiayai kunjungan kerja Komisi II DPR RI ke beberapa daerah.
Disebutkan juga dalam surat dakwaan, Miryam meminta uang Rp 5 miliar kepada Irman yang disebut untuk kepentingan operasional Komisi II. Uang tersebut disebut jaksa dibagi-bagikan secara bertahap dengan perincian salah satunya untuk 4 orang pimpinan Komisi II yakni Chairuman Harahap, Ganjar Pranowo, Teguh Juwarno dan Taufik Effendi masing-masing sejumlah USD 25.000. (DON)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Mantan Mendagri Gamawan Fauzi dan mantan Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap membantah menerima duit e-KTP. Namun KPK menegaskan memiliki bukti-bukti terkait aliran duit e-KTP sehingga dimasukkan dalam surat dakwaan.
“KPK tentu memiliki bukti-bukti lain dan tidak bergantung pada bantahan, termasuk tentang indikasi aliran dana,” kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Jumat (17/3/2017).
Febri mengingatkan agar para saksi yang dihadirkan di persidangan berbicara jujur. Jaksa pada KPK tidak akan terpengaruh dengan bantahan saksi.
“Terkait dengan bantahan jumlah uang, silakan saja. Namun, kami ingatkan agar saksi jujur di persidangan,” ujarnya.
Bantahan soal aliran duit disampaikan dengan tegas oleh Gamawan. Dia berani bersumpah tidak pernah menerima uang USD 4,5 juta dan Rp 50 juta terkait duit e-KTP.
Tapi Gamawan di persidangan mengakui adanya duit pinjaman Rp 1,5 miliar dari wiraswasta bernama Afdal Noverman. Nama Afdal yang disebut Gamawan sebagai pedagang termasuk di Tanah Abang, juga disebut dalam dakwaan KPK sebagai perantara pemberian uang dari Andi Narogong.
Sementara itu Chairuman juga dengan tegas membantah menerima uang USD 584 ribu dan Rp 26 miliar sebagaimana isi surat dakwaan jaksa KPK. Namun di sidang, majelis hakim menanyakan adanya bukti tulisan tangan di rumah Chairuman soal duit Rp 1,2 miliar dan catatan uang Rp 3 miliar. Chairuman menyebut catatan itu terkait duit pribadinya, bukan dari e-KTP.
Sedangkan, mantan Sekjen Kemendagri Diah Anggraeni mengaku hanya menerima USD 500 ribu dari Irman dan Andi Narogong. Di dalam dakwaan disebutkan kalau Diah menerima USD 2,7 juta dan Rp 22,5 juta.(DON)