JAKARTA,khatulistiwaonline.com
WN Singapura, Ng Yaoqiang Mathew dihukum mati karena mengedarkan paket sabu lebih dari 42 kg. Pria yang dipanggil Mat itu menyarukan paket sabu tersebut di dalam sachet kopi dan kue.
Pria pemilik paspor Singapura Nomor E.3774968 L itu dibekuk aparat kepolisian pada akhir 2015 silam. Dari apartemen Mat, ditemukan koper yang ternyata di dalamnya terdapat paket sabu. Bila tidak jeli, polisi bisa terkecoh karena sabu itu disarukan dalam sembilan bungkus kopi merek kenamaan.
Selain disarukan dalam bentuk bungkus kopi, juga dimasukan dalam kotak kondom dan plastik gula merek kenamaan. Ada juga yang disimpan dalam kotak kue. Secara kasat mata tidak bisa dikira bila dalam bungkus itu terdapat paket mematikan.
Mat akhirnya diproses secara hukum dan dibawa ke meja hijau. Empat jaksa dari Kejaksaan Tinggi Jakarta yaitu Wahyu Oktaviandi, Sandhy, Hadziqotul A dan Nurhayati menuntut Mat untuk dijatuhi hukuman mati.
Gayung pun bersambut. Pada 13 September 2016, PN Jakpus menjatuhkan hukuman mati kepada Mat. Majelis yang diketuai Sumpeno menilai Mat terbukti melanggar Pasal 114 ayat (2) jo Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika.
Atas putusan itu, Mat mengajukan banding. Apa kata Pengadilan Tinggi Jakarta?
“Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 13 September 2016 nomor 573/Pid.Sus/2016/PN.Jkt.Pst yang dimintakan banding tersebut,” kata majelis banding sebagaimana dilansir website Mahkamah Agung (MA), Kamis (7/12/2016).
Duduk sebagai ketua majelis yaitu Sutarto dengan anggota Sri Anggarwati dan Syamsul Bahri Borut. Vonis itu dibacakan pada 23 November 2016.
Kasus ini mengingatkan saat Singapura menghukum mati WN Malaysia, Devendran Supramaniam (31) karena memiliki 83 gram heroin. Hukuman mati dilakukan dengan cara digantung di kompleks penjara Changi pada Jumat (18/11).
Bila mengedarkan 83 gram di Singapura saja dihukum gantung, bagaimana Mat yang mengedarkan 42 kg sabu di Indonesia? (MAD)
JAKARTA, khatulistiwaonline.com
Perkara pelanggaran hukum bangunan rumah toko ( Ruko ) tiga lapis Jalan Lebak Bulus Raya/ Adiaksa Raya No. 33 Kavling 14 Blok Z Rt. 004/ 01 Lebak Bulus Cilandak Jakarta Selatan, terus bergulir. “Sebenarnya, terkait kasus ini pihak Kejaksaan Negeri telah melakukan proses hukum pemeriksaan secara dua kali dalam kurun waktu delapan bulan terakhir ini,” ujar Koordinator Jakarta Corruption Watch (JCW), Manat Gultom kepada Khatulistiwa, Selasa (6/12) .
Awal April lalu dan 18 Oktober 2016 silam, pihak Kejari Jaksel telah memanggil pemilik dengan Kepala Seksi ( Kasie ) Dinas Penataan Kota ( DPK ) Kecamatan Cilandak, Widodo Soeprayitno.
Kebenaran proses hukum terkait pelanggaran IMB dengan KDB, RTBl dengan dugaan gratifikasi, kata Manat, sesuai keterangan jaksa pemeriksa disertai pesan singkat atau sms Widodo. Seperti, sms Kasie DPK Cilandak pada tanggal 18 Oktober menyatakan, dianya sedang diproses hukum Kejari terkait dan berkait pelaporan JCW terhadap Ruko 3 lapis di Lebak Bulus Raya/ Adiaksa Raya.
“Karena sudah dua kali proses hukum tetapi tidak dilakukan pembongkaran hingga rata dengan tanah, akhirnya kami melayangkan pengaduan kepada Ombudsman Republik Indonesia,”terang Manat.
Pengaduan pertama di awal April lalu, Kasie DPK Cilandak menindak ruko dengan pembongkaran sebahagian kecil kerangka bangunan dengan penyertaan penyegelan bangunan. Tetapi, pembongkaran yang tergolong bongkar cantik justru berbanding lurus terhadap tindakan penataan kota yang tidak melakukan penyegelan secara mati. Buktinya, pembangunan tetap terus berlanjut dan lestari. Dimata JCW, dengan pengabaian pihak Kepala Suku Dinas Penataan Kota Kota Adminstrasi Jakarta Selatan, Syukria dengan Widodo Soeprayitno ( WS ) selaku otoritas hukum wilayah untuk membiarkan pelestarian penyelenggaraan pembangunan ruko adalah menunjukkan dalam perkara penatausahaan penanganan perkara pelanggaran hukum bangunan seperti UU No. 28 Tahun 2002 yang berserasikan Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 7 Tahun 2010 dan Nomor 1 Tahun 2014 tentang IMB dan Zonasi RDTR, menunjukkan dugaan kuat terjadi peristiwa korupsi dengan korupsi yang bersifat terselubung maupun korupsi dengan korupsi yang bersifat ganda.
Kepala Kejaksaan Negeri ( Kajari ) Jakarta Selatan, Sarjono Turin, kata Koordinator JCW itu, seharusnya dan semestinya belajar kepada Kajari Purwokerto atas keberhasilanya mengungkap suap atau gratifikasi terhadap pendirian/ pembangunan toko modern yang melanggar UUBG 28 Tahun 2002 dengan Perda Provinsi Jawa Tengah. Kepala Satpol PP Pemkab Purwokerta dengan pemilik atau pimpinan toko modern berhasil dijadikan selaku tersangka suap atau gratifikasi. Modus operandi pelanggaran perijinan adalah awal perbuatan korupsi dengan memberi atau janji hadiah kepada pejabat pemangku hukum,
Hal demikianlah yang sebenarnya dan sejatinya melingkupi kasus hukum bangunaan ruko lebak bulus itu. Tetapi, dikarenakan Kajari Jaksel tidak berkeinginan kuat untuk membangun sistem integritas hukum korupsi, dan tak prinsip untuk mendirikan penguatan pengawasan internal pemerintahan, sehingga penatausahaan penanganan perkara pelanggaran ijin dan dugaan gratifikiasi menjadi indikasi dalam sifat-sifat/ cara- cara, dan ciri-cri mempraktekkan kolusi, korupsi dan nepotisme ( KKN ).
“ORI selaku lembaga pengawasan publik diharapkan mengusut praktik maladministrasi hukum dalam dalam upaya menerapkan secara penuh undang- undang,” tegas Manat. (TIM)
TANGERANG, khatulistiwaonline.com
Pekerjaan sebanyak 26 proyek sumur dalam bawah tanah yang dianggarkan dalam Anggaran Biaya Tambahan (ABT) 2016 Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang dengan cara penunjukan langsung menyisakan masalah.
Pasalnya, sebagian dari sumur dalam bawah tanah tersebut dikerjakan oleh rekanan Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Tangerang sebelum pengesahan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) pada 17 Oktober 2016 atau sebelum ada kontrak.
Kepastian bahwa sumur dalam bawah tanah dikerjakan sebelum ada kontrak dengan pihak Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam hal ini Bidang Pembangunan Air Minum Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Tangerang terungkap saat sosialisasi yang dilaksanakan Rabu (16/11) lalu. Selain itu, berdasarkan foto yang didapat Khatulistiwa pada 3 November 2016, di mana sumur dalam bawah tanah yang dibangun di RT 04/RW 01, Kelurahan Gebang Raya sudah hampir mencapai 60 persen. Dengan kata lain, proyek sumur dalam bawah tanah tersebut telah dikerjakan sekitar 12 hari atau lebih sebelum sosialisasi dilaksanakan.
Sosialisasi sumur dalam bawah tanah dengan pagu anggaran sebesar Rp 200 juta per proyek yang berlangsung di lantai dua Kantor Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Tangerang dengan nara sumber Ir. H. Pardomuan Nainggolan, pimpinan proyek (Pimpro), Yosa selaku Kasi Bintek dan Teguh dari Distamben Provinsi Banten itu dihadiri sejumlah warga. Saat sosialisasi tersebut, Pardomuan Nainggolan meminta sebelum pekerjaan sumur dalam dilakukan, warga harus membentuk lembaga pengawas dan memastikan bahwa lahan tempat proyek sumur dalam tidak bermasalah.
Dalam tanya jawab yang juga dihadiri wartawan Khatulistiwa tersebut, salah seorang peserta menanyakan terkait adanya sumur dalam yang sudah dikerjakan sebelum sosialisasi, tapi Pardomuan Nainggolan tidak bisa menjawabnya selain mengarahkan pertanyaan tersebut kepada Yosa yang juga tidak bisa menjawabnya. “Seharusnya, sosialisasi dulu baru dikerjakan, justru yang terjadi proyek sudah dikerjakan baru sosialisasi dilakukan,” celutuk salah seorang peserta.
Pada kesempatan itu juga terungkap, sebagian dari pembangunan sumur dalam bawah tanah untuk kepentingan warga itu tidak tepat sasaran karena dibangun di lokasi sekolah dan tempat ibadah.
Sebelumnya, Ir. Dida, Kepala Bidang (Kabid) Pembangunan Air Minum dan Air Tanah Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Tangerang saat dikonfirmasi terkait adanya proyek sumur dalam bawah tanah yang dikerjakan rekanan sebelum pengesahan DPA ataua sebelum ada kontrak, dengan tegas membantahnya. “Tidak ada yang dikerjakan sebelum ada kontrak,” kata Dida.
Terkait dugaan penyimpangan dalam pekerjaan proyek sumur dalam bawah tanah ini, berbagai pihak mendesak Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang melakukan penyelidikan. “Kajari harus segera memanggil Walikota Tangerang dan Kepala Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air,” ujar sejumlah warga. (NGO)
TANGERANG. khatulistiwaonline.com
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten diminta mengusut sejumlah proyek yang mangkrak dan terlantar di wilayah Kabupaten Tangerang. Berdasarkan informasi dihimpun Khatulistiwa, proyek yang mangkrak adalah pembangunan gedung SDN Buaran Mangga IV di Kampung Sugri, Desa Surya Bahari, Kecamatan Pakuhaji. Sedangkan bangunan yang terlantar di antaranya Pasar Holtikultura di Kedawung Barat, Kecamatan Sepatan Timur dan docking kapal nelayan di Desa Surya Bahari, Kecamatan Pakuhaji.
Sejumlah warga mengaku, pembangunan gedung SDN Buaran Mangga IV di Kampung Sugri terkesan dipaksakan, dan sejak awal sejumlah orang tua siswa telah menyatakan keberatan jika anaknya di sekolah di lokasi yang baru karena letaknya cukup jauh dari tempat tinggal mereka. “Selama ini, siswa SDN Buaran Mangga IV yang belajar pada sore hari menumpang di SDN Buaran Mangga II yang letaknya di Kampung Buaran Mangga. Dengan alasan bahwa belajar pada sore hari kurang efektif, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang membangun gedung untuk SDN Buaran Mangga IV di Kampung Sugri,” ujar salah seorang warga.
Terkait mangkraknya gedung SDN Buaran Mangga IV tersebut, Khatulistiwa telah melayangkan surat konfirmasi/klarifikasi kepada Bupati Tangerang, Zaki Iskandar, namun orang nomor satu di Pemerintahan Kabupaten Tangerang itu tidak memberikan jawaban. Mustofa salah seorang staf Bupati saat dikonfirmasi mengenai surat tersebut mengatakan bahwa pihaknya telah menyampaikan masalah ini kepada Dinas Pendidikan setempat. Tapi, hingga berita ini diturunkan belum ada penjelasan dari pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang. (DON)
JAKARTA, khatulistiwaonline.com
Jakarta Corruption Watch ( JCW ) salah satu LSM bidang antikorupsi tengah menelisik dugaan korupsi pengadaan 10 unit Bus Rapid Transit (BRT) di Pemerintahan Kota Tangerang tahun 2015.
Koordinator JCW Manat Gultom, kepada Khatulistiwa, Selasa (6/12) mengungkapkan tidak beroperasinya 10 unit BRT tersebut sesuai jadwal yang ditentukan menunjukkan penyelengaraan negara di Pemkot Tangerang tergolong tak menjalankan fungsi pemerintahan secara penuh sesuai undang-undang.
Walikota Tangerang berlandaskan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ( Pemda ) berkolaborasikan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dengan UU No. 1 Tahun 2004 Diperbendaharaan Negara serta oleh PPRI No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah berikut Permendagri tentang Penyusunan APBD, kata Manat, pada hakikatnya adalah selaku kepala pemerintahan atau chief operational officer( COO ) dan selaku Chief operational financial ( CFO ) atau kekuasaaan atas pengelolaan keuangan daerah.
Akan tetapi kata Manat, otoritas perundang- undangan yang melekat pada tugas dan tanggungjawab kewenangan Walikota Tangerang tersebut justru ditampakkan oleh sikapnya mengkangkangi tatanan undang- undang itu. “Artinya, Walikota selaku pembuat kebijakan dan keputusan publik untuk mencegah kemacetan akut di kota Tangerang tak dijalankan. Padahal, 10 unit BRT tersebut diharapkan terintegrasi dengan APTB TransJabodetabek,” terangnya.
Dimata JCW, jelas Manat, tidak beroperasinya selama hampir 10 bulan 10 unit BRT menunjukkan pengadaan bus dari sebahagian pengumpulan pajak masyarakat adalah klasifikasi mangkrak. Dan mangkrak peruntukan barang jasa adalah tergolong dari bahagian sifat- sifat/ cara- cara, dan ciri- ciri silih korupsi dalam bentuk korupsi dengan korupsi yang bersifat terselubung maupun korupsi dengan korupsi yang bersifat ganda.
Publik seharusnya melaporkan perkara ini ke aparat hukum. Dimungkinkan ada peristiwa korupsi rahasia melibatkan elemen keuntungan timbal balik, “ tegas Manat.
Hakikatnya, Walikota semestinya mencopot Kepala Dinas Perhubungan selaku Kuasa Pengguna Anggaran ( KPA ) dari Pengguna Anggaran ( PA ) dalam hal ini Walikota yang pendelegasian anggaran satuan kerja kepada Engkos Zarkasih. Selain mencopot Kadis Perhubungan Engkos Zarkasih, Walikota menurut upaya penerapan secara penuh undang- undang, yakni melaporkan dugaan korupsi atas pengadaan 10 unit BRT . Hal ini sesuai perintah UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ( ASN ) dengan UU No. 23 Tahun 20014 tentang Administrasi Pemerintahan. Sebab, ‘domain’ kolektif kolegial dua undang- undang tersebut secara jelas disebutkan, Walikota duduk dan berperan selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil ( PPNS ) serta struktural yang berhak menghukum ( ‘ankum ). Prinsip best practices terhadap undang- undang itu harus diterapkan Walikota Tangerang jikalau tidak mau tertuduh secara psikologi politik dalam unsur ganda atau terafiliasi terhadap permainan pengabaian atau kelalaian maupun maladministrasi pengadaan dengan peruntukan 10 unit BRT.
Dan JCW mengancam mengadukan perkara ini ke KPK, berkesesuaian terhadap suburnya korupsi di Pemprov. Banten.Sebagaimana diberitakan, pengadaan BRT dan halte sudah dilakukan sejak tahun 2015 lalu dan selama berbulan-bulan belum beroperasi hanya terparkir di halaman Pusat Pemerintahan (Puspem) Kota Tangerang. Namun, sejak beberapa hari terakhir berdasarkan pengamatan Khatulistiwa, BRT yang seharusnya melayani trayek Terminal Poris Plawad-Jatiuwung itu terlihat beroperasi. Sejumlah pemilik dan pengemudi angkutan kota (angkot) yang selama ini melayani trayek Terminal Poris Plawad-Jatiuwung tak pelak mempertanyakan pengoperasian BRT itu. “Berdasarkan informasi, pengoperasian BRT terunda karena lelang operatornya gagal. Kita perlu tahu apakah lelang operator sudah dilakukan atau belum. Kalau belum, berarti BRT itu beroperasi secara ilegal.
Agar tidak menimbulkan hal tak diinginkan, Pemkot Tangerang harus menjelaskan secara transparan terkait pengoperasian BRT itu ,” ujar salah seorang pengusaha angkot.Dikatakan, dalam kondisi seperti sekarang ini pengoperasian BRT untuk melayani penumpang dengan trayek Poris Plawad-Jatiuwung tidak begitu mendesak, karena dengan jumlah angkot yang ada masih mampu mengangkut penumpang. “Pengadaan BRT dan halte terkesan dipaksakan dan hanya menghambur-hamburkan uang yang jumlahnya sangat besar,” kata pengemudi angkot lainnya. (Tim)
JAKARTA, khatulistiwaonline.com
Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) pimpinan Agus Raharjo diminta mengedepankan prinsip best practices ( penerapan kaidah – kaidah hukum yang baik) untuk koordinasi dan supervisi terhadap dugaan korupsi bantuan sosial ( Bansos ) Rp 100,5 miliar tahun 2015 serta dana hibah 2014 sebesar Rp 20 miliar di Pemerintah Kota Tangerang Selatan ( Tangsel ).
Komisi antirasuah itu harus bergerak bersama Ombudsman Republiik Indonesia ( ORI ) dalam rangka mendirikan penguatan pemberantasan korupsi di Tangsel.
Hal tersebut dikatakan Koordinator Jakarta Corruption Watch ( JCW ) Manat Gultom kepada Khatuslistiwa di kantor KPK Jalan Haji Rangkoyo Rasuna Said Kavling C-1 Kuningan Jakarta Selatan, Selasa ,(6/12 ) seusai mengadukan penatausahaan penanganan perkara dugaan korupsi Bansos Tangsel di Kejaksaan Agung dengan peningkatan pengaduan masyarakat (dumas) pada KKRI dan Jamwas.
Manat, menjelaskan, sebenarnya kasus dugaan korupsi dana bansos dan hibah Pemkot Tangsel telah diadukan ke Jaksa Agung dengan peningkatan pengaduan kepada Ketua Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI) serta ke Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan ( Jamwas ) Kejagung beberapa waktu lalu.
Tetapi, dua lembaga negara bidang pengawasan eksternal dan internal kejaksaan itu terkesan tidak berkeinginan kuat untuk mengusut dana bansos dan hibah Pemkot Tangsel tersebut. “Sehingga harus diadukan ke pihak ORI dengan ke KPK,” katanya.
Tujuan pengaduan ke pihak ORI adalah klasifikasi kewenangan lembaga negara berlandaskan UU No. 37 Tahun 2008 untuk mengusut pengabaian dan kelalaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pengusutan dugaan korupsi dana bansos dan hibah di Pemkot Tangsel.
Hal tersebut beriringan terhadap pelayanan dumas JCW kepada Kejagung yang disposisi kepada Kepala Kejati Banten. Disertai peningkatan dumas ke KKRI dengan Jamwas Kejagung. Akan tetapi, pengaduan- pengaduan tersebut justru tidak ada azas kepastian hukum dan profesionalime.
Sedangkan pengaduan kepada KPK yakni, sejalan dengan upaya menerapkan secara penuh Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Di mana menurut pasal undang- undang tersebut, diatur kewenangan KPK untuk koordiansi dan supervisi ( Korsup ) atas penanganan suatu perkara korupsi pada instansi kejaksaan dan kepolisian. Dan, dumas JCW bernomor 1043/ LSM JCW/ XII/ 2016 itu, selain desakan korsup terhadap penatausahaan perkara dugaan korupsi dana bansos dan hibah Pemkot Tangsel, pihaknya juga mendesak KPK mengusut peristiwa tindak pidana korupsi lainnya di Pemerintah Provinsi Banten juga Permkot Tangsel.
Misalnya, jelas Manat, penanganan dugaan korupsi dan/ korupsi pengadaan alat kesehatan ( alkes ) kedokteran umum pada APBDP 2012, pembangunan tiga puskesmas dan satu RSUD di Tangsel berikut kasus tindak pidana pencucian uang ( TPPU ) kasus tersangka suami Walikota Tangsel, Tubagus Chaeri Ardana alias Wawan.
Demikian juga kasus dugaan korupsi pengadaan alkes Pemprov Banten 2011- 2013 yang menetapkan Wawan bersama kakaknya yang adalah mantan gubernur Pemprov Banten, Ratu Atut Chosiyah (RAC) sebagai tersangka. “Wawan dan RAC yang sudah berstatus terpidana pemberi suap Rp. 8,5 miliar kepada M. Akil Mochtar selaku hakim dan ketua Mahkamah Konstitusi ( MK ) untuk pengurusan sengketa Pilkada Lebak 2013 dan sengketa Pilgub Banten 2011 yang diikuti RAC- Rano Karno, Wawan bertindak sebagai ketua tim pemenangan kakaknya.
Penyerahan uang tersebut , menurut Manat, tidak bisa dilepaskan dari bentuk korupsi seperti bentuk penyalahgunaan wewenang ( abuse of discretion ) serta bentuk pertentangan kepentingan politik. Dijelaskannya, abuse of dicretion dan pertentangan kepentingan politik oleh putri/putra dan menantu Tb. Hasan ( almarhum ) itu, sangat tidak bisa dibantah. Seperti kasus korupsi di Tangsel. Biar bagaimanapun, suami dari Walikota Tangsel dipastikan secara psikologi politik sangat berpengaruh dalam fungsi penyelenggaaran pemerintahan di Tangsel. Pengungkapan di persidangan melaui media yaitu, Wawan yang divonis setahun dalam perkara korupsi pembangunan tiga puskesmas dan satu RSUD tahun 2011- 2012 secara jelas terungkap ke publik bahwa Wawanlah yang menjadi aktor utama dalam korupsi sebesar Rp 9,6 miliar tersebut.
“Wawan diketahui yang mengatur mulai penganggaran , lelang proyek hingga pelaksanaan pembangunan. Rapatnya dilakukan di kantor PT. Bali Pacific Pragama ( BPP ),” beber Manat.
Sementara menurut tatanan atau hukum anggaran, meliputi UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 Diperbendaharaan Negara, PPRI No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah berbanding lurus terhadap Peratuan Menteri Dalam Negeri ( Permendagri) tentang Pedoman Penyusunan APBD, menyebutkan dan mengatur bahwa Airin Rahmi Diany adalah selaku Chief Operational Officer dan Chief Finacial Officer. Penjabarannya, dianya selaku Pengguna Anggaran ( PA ) yang serta mengeluarkan/ menerbitkan dan menandatangani Surat Keterangan Otomatis ( SKO ) berkait dan terkait surat- surat maupun dokumen pelaksanaan anggaran ( DPA ) dalam kekuasaaanya atas pengelolaan sejumlah uang untuk pembangunan tiga puskesmas dan satu RSUD di Tangsel.
Ironisnya, dalam perkara itu, Jaksa dari Kejagung dan hakim di pengadilan Tipikor Serang justru tidak menyeret Airin. Melainkan, hanya menjerat dengan vonis 4 tahun kepada Dadang Priyatna selaku manager opersional PT. BPP dan mantan Kepala Dinas Kesehatan Pemkot Tangsel, Dadang M. Epid. Jaksa dan hakim ternilai mengkangkangi perundang – undangan demi kompromi mengikuti kekuatan uang dan politik dalam tanda petik dua ( “ ) keluarga Tb. Hasan.
“Karena itulah, pihak JCW harus mengadukan contoh penerapan hukum yang tidak semestinya tersebut kepada pihak ORI dan KPK, termasuk pengusutan korupsi pengadaan alkes Pemprov. Banten 2011 – 2013 yang melibatkan Wawan dan RAC selaku tersangka, tetapi belum berkepastian hukum,” tegas Manat. (Tim)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Penyidik Polda Metro Jaya telah menetapkan Rudi sebagai tersangka penghadangan kampanye Cawagub (petahana) DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat di Petamburan, Jakarta Pusat. Tersangka Rudi akan dimintai keterangan.
“Sudah ditetapkan sebagai tersangka, nanti akan dimintai keterangan,” kata Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya Kombes Pol Ruddy Herianto Adi Nugroho kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (7/12/2016).
Ruddy menambahkan, tersangka bernama Rudi itu segera dipanggil untuk dilakukan pemeriksaan. Namun, apabila upaya itu tidak bisa dilakukan maka polisi akan melakukan penjemputan paksa. “Kalau tidak bisa hadir, ya kita upaya paksa,” imbuhnya.
Upaya paksa dilakukan mengingat penyidik hanya memiliki batasan waktu selama 14 hari untuk menyelesaikan perkara hingga berkas dinyatakan lengkap (P21).
“Kita kan cuma punya waktu sedikit, 14 hari harus sudah P21 sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan panggilan. Iya kalau datang, kalau enggak bagaimana?” tutur dia.
Kendati dilakukan upaya paksa, namun Ruddy memastikan pihaknya tidak akan melakukan penahanan. Sebab, ancaman pidana kasus itu di bawah 5 tahun penjara sehingga tidak dapat dilakukan penahanan. (ADI)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Polisi mengungkap alasan tidak melakukan penahanan terhadap tujuh tersangka dugaan makar. Sebab dalam kasus ini, hanya tersangka Sri Bintang Pamungkas yang masih ditahan.
Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Martinus Sitompul mengatakan, tersangka ditahan atau tidak merupakan subjektifitas penyidik yang berlandaskan undang-undang. Ada tiga hal landasan penyidik untuk memutuskan menahan tersangka atau tidak. Tiga hal itu adalah:
1. Menghilangkan barang-bukti atau tidak.
2. ,Melarikan diri atau tidak.
3. Akan mengulangi perbuatannya atau tidak.
“Penilaian terhadap indikasi ini kan menurut penilaian penyidik. Penyidik diberikan otoritas untuk melakukan penilaian itu ditahan atau tidak,” kata Martinus di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (6/12/2016).
“Namun ada sisi lain memang dari sisi kesehatan, sisi kemanusiaan itu juga diberikan oleh penyidik, saya kira itu yang menjadi dasar bagi penyidik untuk melakukan penahanan atau tidak,” sambungnya.
Sementara itu, Martinus mengungkapkan, polisi telah memiliki sejumlah atau bukti saat menangkap 8 tersangka makar tersebut pada Jumat (2/12) lalu. Bukti-bukti tersebut yakni adanya dokumen-dokumen, video-video yang diunggah ke internet, statement-statement ajakan serta bukti transfer adanya pengiriman sejumlah uang dari seseorang ke orang lain.
“Dan kemudian adanya indikasi lain yang mendukung terjadinya upaya permufakatan jahat dengan menempatkan mobil-mobil komando untuk mengajak orang-orang atau mempersiapkan orang-orang yang akan dibawa ke gedung DPR,” tuturnya.
Namun begitu, Martinus tidak bersedia membeberkan isi dokumen-dokumen yang dimaksud. Sebab, isi dokumen itu menjadi catatan penyidik dalam menelusuri kasus ini lebih jauh.
“Isi dokumennya apa ini jadi catatan penyidik,” sebutnya. (RIF)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Kapolri Jenderal Tito Karnavian tengah mempertimbangkan pemindahan lokasi sidang Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Pemindahan lokasi dikaji untuk mempermudah sistem pengamanan yang disiapkan.
“Pengamanan siap, tapi kita akan bicarakan tempatnya dimana, kita berpikir ada tempat lain yang lebih mudah kita amankan,” ujar Tito kepada wartawan di Hotel Borobudur, Jl Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Selasa (6/12/2016).
Sidang perdana Ahok pada Selasa (13/12) pekan depan dijadwalkan digelar di gedung Pengadilan Negeri Jakpus, Jl Gajah Mada. Sidang digelar di PN Jakpus karena bangunan PN Jakut sedang direnovasi.
Namun lokasi sidang di PN Jakpus dianggap terlalu dekat dengan sentra pemerintahan. Karena itu dikaji pemindahan lokasi sidang yang lain.
“Masih dikaji, masih dibicarakan, karena kan yang di Gajah Mada itu kan di (Jakarta) Pusat, mungkin kita coba yang agak menjauh sedikit dari sentra pusat pemerintahan dan lainnya, untuk kemudahan pengamanan,” imbuh Tito.
Ahok akan disidangkan terkait kasus penistaan agama karena menyebut surat Al Maidah ayat 51 saat bertemu warga di Kepulauan Seribu pada 27 September. Jaksa akan mendakwa Ahok dengan dakwaan yang disusun secara alternatif yakni dakwaan Pasal 156 a KUHP dan atau Pasal 156 KUHP.
Terkait dengan sidang Ahok, Ketua PN Jakut Dwiarso Budi Santiarto sudah menunjuk majelis hakim yakni Dwiarso Budi Santiarto, Jupriyadi, Abdul Rozak, Joseph V Rahantoknam, I Wayan Wirjan. (NOV)