JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Jenazah beauty blogger terkenal, Rini Cesilla (27), yang ditemukan tewas di Bali belum diserahkan ke keluarga. Polisi masih menunggu hasil visum.
“Kan baru diidentifikasi, artinya kan nunggu visum, kan enggak cepat, iya (masih akan dilakukan visum),” kata Kabid Humas Polda Bali Kombes Anak Agung Made Sudana saat dihubungi khatulistiwaonline, Rabu (14/12/2016).
Namun begitu, lanjut Agung, kepolisian telah menghubungi pihak keluarga Rini untuk proses lebih lanjut. “Mungkin Polres (Denpasar) sudah koordinasi (sama keluarga),” ujar Agung.
Rini diketahui beralamat di sebuah apartemen di wilayah Cengkareng Jakarta Barat. Rini dan rekannya sedang berwisata di Bali.
Rini ditemukan tewas dalam keadaan tanpa busana di dalam kamar mandi di Jalan Tukad Badung, Renon, Denpasar, Bali, Selasa (13/12/2016) siang. Polisi menemukan ada bekas luka bakar di tubuh rini.
“Terdapat luka bakar di dada berbentuk selang,” ujarnya.(ADI)
SURABAYA,khatulistiwaonline.com
Dukungan moril terhadap Dahlan Iskan terdakwa dugaan korupsi pelepasan aset PT Panca Wira Usaha (PWU) terus mengalir dari tokoh nasional, Selasa (13/12/2016).
Saat sidang pembacaan dakwaan, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD hadir untuk memberikan dukungan.
Kini, sidang lanjutan dengan agenda pembacaan nota keberatan atas dakwaan dihadiri 3 tokoh yakni mantan Ketua KPK Abraham Samad, mantan anggota tim ekuin Kepresidenan Faisal Basri dan pakar komunikasi Universitas Indonesia Effendi Ghazali.
Ketiganya datang satu mobil bersama Dahlan Iskan di Pengadilan Tipikor Surabaya di Juanda, Sidoarjo. Tidak ada pernyataan yang keluar dari ketiga tokoh tersebut.
Menurut ketua tim kuasa hukum Dahlan Iskan, Yusril Ihza Mahendra, kedatangan ketiganya hanya memberikan dukungan moril pada sahabatnya yang sedang menjalani sidang dugaan korupsi.
“Tidak ada apa-apa, kebetulan ketiganya sahabat Pak Dahlan, iya memberikan dukungan saja di persidangan ini,” kata Yusril.
Dahlan Iskan didakwa menguntungkan orang lain sehingga merugikan negara sebesar Rp 10 Miliar dan dijerat Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. (DON)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Rohadi, PNS PN Jakut pemilik 19 mobil divonis 7 tahun penjara. Rohadi terbukti menerima suap total Rp 300 juta terkait pengurusan perkara Saipul Jamil.
“Mengadili menyataan terdakwa Rohadi terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi,” kata ketua majelis hakim Sumpeno saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor, Jl Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis (8/12/2016).
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa saudara Rohadi dengan pidana penjara selama 7 tahun serta membayar denda Rp 300 juta dengan ketentuan jika terdakwa tidak membayar denda tersebut dipidana dengan pidana kurungan selama 3 bulan,” lanjutnya.
Rohadi yang sehari-hari bekerja sebagai panitera pengganti di PN Jakarta Utara terbukti menerima suap Rp 50 juta dan Rp 250 juta dari kakak Saipul Jamil, Samsul Hidayatullah yang pemberiannya melalui pengacara Saipul, Berthanatalia Ruruk Kariman.
Pemberian Rp 50 juta terkait pengurusan penunjukkan majelis hakim diberikan Bertha kepada Rohadi pada April 2016. Sedangkan uang Rp 250 juta diberikan pada 15 Juni 2015 di depan kampus 17 Agustus di kawasan Sunter, Jakarta Utara. Pemberian dilakukan di hari yang sama dengan pembacaan vonis perkara Saipul Jamil.
Rohadi tak terbukti menerima suap secara bersama-sama dengan hakim Ifa Sudewi yang merupakan ketua majelis hakim perkara Saipul Jamil. Meski begitu, hakim meyakini ada 2 kali pertemuan antara Bertha dengan hakim Ifa dan Ifa kemudian menyanggupi untuk memberikan bantuan.
Akibat perbuatannya, Rohadi terbukti melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b UU Tipikor. (MAD)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
WN Singapura, Ng Yaoqiang Mathew dihukum mati karena mengedarkan paket sabu lebih dari 42 kg. Pria yang dipanggil Mat itu menyarukan paket sabu tersebut di dalam sachet kopi dan kue.
Pria pemilik paspor Singapura Nomor E.3774968 L itu dibekuk aparat kepolisian pada akhir 2015 silam. Dari apartemen Mat, ditemukan koper yang ternyata di dalamnya terdapat paket sabu. Bila tidak jeli, polisi bisa terkecoh karena sabu itu disarukan dalam sembilan bungkus kopi merek kenamaan.
Selain disarukan dalam bentuk bungkus kopi, juga dimasukan dalam kotak kondom dan plastik gula merek kenamaan. Ada juga yang disimpan dalam kotak kue. Secara kasat mata tidak bisa dikira bila dalam bungkus itu terdapat paket mematikan.
Mat akhirnya diproses secara hukum dan dibawa ke meja hijau. Empat jaksa dari Kejaksaan Tinggi Jakarta yaitu Wahyu Oktaviandi, Sandhy, Hadziqotul A dan Nurhayati menuntut Mat untuk dijatuhi hukuman mati.
Gayung pun bersambut. Pada 13 September 2016, PN Jakpus menjatuhkan hukuman mati kepada Mat. Majelis yang diketuai Sumpeno menilai Mat terbukti melanggar Pasal 114 ayat (2) jo Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika.
Atas putusan itu, Mat mengajukan banding. Apa kata Pengadilan Tinggi Jakarta?
“Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 13 September 2016 nomor 573/Pid.Sus/2016/PN.Jkt.Pst yang dimintakan banding tersebut,” kata majelis banding sebagaimana dilansir website Mahkamah Agung (MA), Kamis (7/12/2016).
Duduk sebagai ketua majelis yaitu Sutarto dengan anggota Sri Anggarwati dan Syamsul Bahri Borut. Vonis itu dibacakan pada 23 November 2016.
Kasus ini mengingatkan saat Singapura menghukum mati WN Malaysia, Devendran Supramaniam (31) karena memiliki 83 gram heroin. Hukuman mati dilakukan dengan cara digantung di kompleks penjara Changi pada Jumat (18/11).
Bila mengedarkan 83 gram di Singapura saja dihukum gantung, bagaimana Mat yang mengedarkan 42 kg sabu di Indonesia? (MAD)
JAKARTA, khatulistiwaonline.com
Perkara pelanggaran hukum bangunan rumah toko ( Ruko ) tiga lapis Jalan Lebak Bulus Raya/ Adiaksa Raya No. 33 Kavling 14 Blok Z Rt. 004/ 01 Lebak Bulus Cilandak Jakarta Selatan, terus bergulir. “Sebenarnya, terkait kasus ini pihak Kejaksaan Negeri telah melakukan proses hukum pemeriksaan secara dua kali dalam kurun waktu delapan bulan terakhir ini,” ujar Koordinator Jakarta Corruption Watch (JCW), Manat Gultom kepada Khatulistiwa, Selasa (6/12) .
Awal April lalu dan 18 Oktober 2016 silam, pihak Kejari Jaksel telah memanggil pemilik dengan Kepala Seksi ( Kasie ) Dinas Penataan Kota ( DPK ) Kecamatan Cilandak, Widodo Soeprayitno.
Kebenaran proses hukum terkait pelanggaran IMB dengan KDB, RTBl dengan dugaan gratifikasi, kata Manat, sesuai keterangan jaksa pemeriksa disertai pesan singkat atau sms Widodo. Seperti, sms Kasie DPK Cilandak pada tanggal 18 Oktober menyatakan, dianya sedang diproses hukum Kejari terkait dan berkait pelaporan JCW terhadap Ruko 3 lapis di Lebak Bulus Raya/ Adiaksa Raya.
“Karena sudah dua kali proses hukum tetapi tidak dilakukan pembongkaran hingga rata dengan tanah, akhirnya kami melayangkan pengaduan kepada Ombudsman Republik Indonesia,”terang Manat.
Pengaduan pertama di awal April lalu, Kasie DPK Cilandak menindak ruko dengan pembongkaran sebahagian kecil kerangka bangunan dengan penyertaan penyegelan bangunan. Tetapi, pembongkaran yang tergolong bongkar cantik justru berbanding lurus terhadap tindakan penataan kota yang tidak melakukan penyegelan secara mati. Buktinya, pembangunan tetap terus berlanjut dan lestari. Dimata JCW, dengan pengabaian pihak Kepala Suku Dinas Penataan Kota Kota Adminstrasi Jakarta Selatan, Syukria dengan Widodo Soeprayitno ( WS ) selaku otoritas hukum wilayah untuk membiarkan pelestarian penyelenggaraan pembangunan ruko adalah menunjukkan dalam perkara penatausahaan penanganan perkara pelanggaran hukum bangunan seperti UU No. 28 Tahun 2002 yang berserasikan Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 7 Tahun 2010 dan Nomor 1 Tahun 2014 tentang IMB dan Zonasi RDTR, menunjukkan dugaan kuat terjadi peristiwa korupsi dengan korupsi yang bersifat terselubung maupun korupsi dengan korupsi yang bersifat ganda.
Kepala Kejaksaan Negeri ( Kajari ) Jakarta Selatan, Sarjono Turin, kata Koordinator JCW itu, seharusnya dan semestinya belajar kepada Kajari Purwokerto atas keberhasilanya mengungkap suap atau gratifikasi terhadap pendirian/ pembangunan toko modern yang melanggar UUBG 28 Tahun 2002 dengan Perda Provinsi Jawa Tengah. Kepala Satpol PP Pemkab Purwokerta dengan pemilik atau pimpinan toko modern berhasil dijadikan selaku tersangka suap atau gratifikasi. Modus operandi pelanggaran perijinan adalah awal perbuatan korupsi dengan memberi atau janji hadiah kepada pejabat pemangku hukum,
Hal demikianlah yang sebenarnya dan sejatinya melingkupi kasus hukum bangunaan ruko lebak bulus itu. Tetapi, dikarenakan Kajari Jaksel tidak berkeinginan kuat untuk membangun sistem integritas hukum korupsi, dan tak prinsip untuk mendirikan penguatan pengawasan internal pemerintahan, sehingga penatausahaan penanganan perkara pelanggaran ijin dan dugaan gratifikiasi menjadi indikasi dalam sifat-sifat/ cara- cara, dan ciri-cri mempraktekkan kolusi, korupsi dan nepotisme ( KKN ).
“ORI selaku lembaga pengawasan publik diharapkan mengusut praktik maladministrasi hukum dalam dalam upaya menerapkan secara penuh undang- undang,” tegas Manat. (TIM)
TANGERANG, khatulistiwaonline.com
Pekerjaan sebanyak 26 proyek sumur dalam bawah tanah yang dianggarkan dalam Anggaran Biaya Tambahan (ABT) 2016 Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang dengan cara penunjukan langsung menyisakan masalah.
Pasalnya, sebagian dari sumur dalam bawah tanah tersebut dikerjakan oleh rekanan Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Tangerang sebelum pengesahan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) pada 17 Oktober 2016 atau sebelum ada kontrak.
Kepastian bahwa sumur dalam bawah tanah dikerjakan sebelum ada kontrak dengan pihak Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam hal ini Bidang Pembangunan Air Minum Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Tangerang terungkap saat sosialisasi yang dilaksanakan Rabu (16/11) lalu. Selain itu, berdasarkan foto yang didapat Khatulistiwa pada 3 November 2016, di mana sumur dalam bawah tanah yang dibangun di RT 04/RW 01, Kelurahan Gebang Raya sudah hampir mencapai 60 persen. Dengan kata lain, proyek sumur dalam bawah tanah tersebut telah dikerjakan sekitar 12 hari atau lebih sebelum sosialisasi dilaksanakan.
Sosialisasi sumur dalam bawah tanah dengan pagu anggaran sebesar Rp 200 juta per proyek yang berlangsung di lantai dua Kantor Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Tangerang dengan nara sumber Ir. H. Pardomuan Nainggolan, pimpinan proyek (Pimpro), Yosa selaku Kasi Bintek dan Teguh dari Distamben Provinsi Banten itu dihadiri sejumlah warga. Saat sosialisasi tersebut, Pardomuan Nainggolan meminta sebelum pekerjaan sumur dalam dilakukan, warga harus membentuk lembaga pengawas dan memastikan bahwa lahan tempat proyek sumur dalam tidak bermasalah.
Dalam tanya jawab yang juga dihadiri wartawan Khatulistiwa tersebut, salah seorang peserta menanyakan terkait adanya sumur dalam yang sudah dikerjakan sebelum sosialisasi, tapi Pardomuan Nainggolan tidak bisa menjawabnya selain mengarahkan pertanyaan tersebut kepada Yosa yang juga tidak bisa menjawabnya. “Seharusnya, sosialisasi dulu baru dikerjakan, justru yang terjadi proyek sudah dikerjakan baru sosialisasi dilakukan,” celutuk salah seorang peserta.
Pada kesempatan itu juga terungkap, sebagian dari pembangunan sumur dalam bawah tanah untuk kepentingan warga itu tidak tepat sasaran karena dibangun di lokasi sekolah dan tempat ibadah.
Sebelumnya, Ir. Dida, Kepala Bidang (Kabid) Pembangunan Air Minum dan Air Tanah Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Tangerang saat dikonfirmasi terkait adanya proyek sumur dalam bawah tanah yang dikerjakan rekanan sebelum pengesahan DPA ataua sebelum ada kontrak, dengan tegas membantahnya. “Tidak ada yang dikerjakan sebelum ada kontrak,” kata Dida.
Terkait dugaan penyimpangan dalam pekerjaan proyek sumur dalam bawah tanah ini, berbagai pihak mendesak Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang melakukan penyelidikan. “Kajari harus segera memanggil Walikota Tangerang dan Kepala Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air,” ujar sejumlah warga. (NGO)
TANGERANG. khatulistiwaonline.com
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten diminta mengusut sejumlah proyek yang mangkrak dan terlantar di wilayah Kabupaten Tangerang. Berdasarkan informasi dihimpun Khatulistiwa, proyek yang mangkrak adalah pembangunan gedung SDN Buaran Mangga IV di Kampung Sugri, Desa Surya Bahari, Kecamatan Pakuhaji. Sedangkan bangunan yang terlantar di antaranya Pasar Holtikultura di Kedawung Barat, Kecamatan Sepatan Timur dan docking kapal nelayan di Desa Surya Bahari, Kecamatan Pakuhaji.
Sejumlah warga mengaku, pembangunan gedung SDN Buaran Mangga IV di Kampung Sugri terkesan dipaksakan, dan sejak awal sejumlah orang tua siswa telah menyatakan keberatan jika anaknya di sekolah di lokasi yang baru karena letaknya cukup jauh dari tempat tinggal mereka. “Selama ini, siswa SDN Buaran Mangga IV yang belajar pada sore hari menumpang di SDN Buaran Mangga II yang letaknya di Kampung Buaran Mangga. Dengan alasan bahwa belajar pada sore hari kurang efektif, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang membangun gedung untuk SDN Buaran Mangga IV di Kampung Sugri,” ujar salah seorang warga.
Terkait mangkraknya gedung SDN Buaran Mangga IV tersebut, Khatulistiwa telah melayangkan surat konfirmasi/klarifikasi kepada Bupati Tangerang, Zaki Iskandar, namun orang nomor satu di Pemerintahan Kabupaten Tangerang itu tidak memberikan jawaban. Mustofa salah seorang staf Bupati saat dikonfirmasi mengenai surat tersebut mengatakan bahwa pihaknya telah menyampaikan masalah ini kepada Dinas Pendidikan setempat. Tapi, hingga berita ini diturunkan belum ada penjelasan dari pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang. (DON)
JAKARTA, khatulistiwaonline.com
Jakarta Corruption Watch ( JCW ) salah satu LSM bidang antikorupsi tengah menelisik dugaan korupsi pengadaan 10 unit Bus Rapid Transit (BRT) di Pemerintahan Kota Tangerang tahun 2015.
Koordinator JCW Manat Gultom, kepada Khatulistiwa, Selasa (6/12) mengungkapkan tidak beroperasinya 10 unit BRT tersebut sesuai jadwal yang ditentukan menunjukkan penyelengaraan negara di Pemkot Tangerang tergolong tak menjalankan fungsi pemerintahan secara penuh sesuai undang-undang.
Walikota Tangerang berlandaskan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ( Pemda ) berkolaborasikan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dengan UU No. 1 Tahun 2004 Diperbendaharaan Negara serta oleh PPRI No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah berikut Permendagri tentang Penyusunan APBD, kata Manat, pada hakikatnya adalah selaku kepala pemerintahan atau chief operational officer( COO ) dan selaku Chief operational financial ( CFO ) atau kekuasaaan atas pengelolaan keuangan daerah.
Akan tetapi kata Manat, otoritas perundang- undangan yang melekat pada tugas dan tanggungjawab kewenangan Walikota Tangerang tersebut justru ditampakkan oleh sikapnya mengkangkangi tatanan undang- undang itu. “Artinya, Walikota selaku pembuat kebijakan dan keputusan publik untuk mencegah kemacetan akut di kota Tangerang tak dijalankan. Padahal, 10 unit BRT tersebut diharapkan terintegrasi dengan APTB TransJabodetabek,” terangnya.
Dimata JCW, jelas Manat, tidak beroperasinya selama hampir 10 bulan 10 unit BRT menunjukkan pengadaan bus dari sebahagian pengumpulan pajak masyarakat adalah klasifikasi mangkrak. Dan mangkrak peruntukan barang jasa adalah tergolong dari bahagian sifat- sifat/ cara- cara, dan ciri- ciri silih korupsi dalam bentuk korupsi dengan korupsi yang bersifat terselubung maupun korupsi dengan korupsi yang bersifat ganda.
Publik seharusnya melaporkan perkara ini ke aparat hukum. Dimungkinkan ada peristiwa korupsi rahasia melibatkan elemen keuntungan timbal balik, “ tegas Manat.
Hakikatnya, Walikota semestinya mencopot Kepala Dinas Perhubungan selaku Kuasa Pengguna Anggaran ( KPA ) dari Pengguna Anggaran ( PA ) dalam hal ini Walikota yang pendelegasian anggaran satuan kerja kepada Engkos Zarkasih. Selain mencopot Kadis Perhubungan Engkos Zarkasih, Walikota menurut upaya penerapan secara penuh undang- undang, yakni melaporkan dugaan korupsi atas pengadaan 10 unit BRT . Hal ini sesuai perintah UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ( ASN ) dengan UU No. 23 Tahun 20014 tentang Administrasi Pemerintahan. Sebab, ‘domain’ kolektif kolegial dua undang- undang tersebut secara jelas disebutkan, Walikota duduk dan berperan selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil ( PPNS ) serta struktural yang berhak menghukum ( ‘ankum ). Prinsip best practices terhadap undang- undang itu harus diterapkan Walikota Tangerang jikalau tidak mau tertuduh secara psikologi politik dalam unsur ganda atau terafiliasi terhadap permainan pengabaian atau kelalaian maupun maladministrasi pengadaan dengan peruntukan 10 unit BRT.
Dan JCW mengancam mengadukan perkara ini ke KPK, berkesesuaian terhadap suburnya korupsi di Pemprov. Banten.Sebagaimana diberitakan, pengadaan BRT dan halte sudah dilakukan sejak tahun 2015 lalu dan selama berbulan-bulan belum beroperasi hanya terparkir di halaman Pusat Pemerintahan (Puspem) Kota Tangerang. Namun, sejak beberapa hari terakhir berdasarkan pengamatan Khatulistiwa, BRT yang seharusnya melayani trayek Terminal Poris Plawad-Jatiuwung itu terlihat beroperasi. Sejumlah pemilik dan pengemudi angkutan kota (angkot) yang selama ini melayani trayek Terminal Poris Plawad-Jatiuwung tak pelak mempertanyakan pengoperasian BRT itu. “Berdasarkan informasi, pengoperasian BRT terunda karena lelang operatornya gagal. Kita perlu tahu apakah lelang operator sudah dilakukan atau belum. Kalau belum, berarti BRT itu beroperasi secara ilegal.
Agar tidak menimbulkan hal tak diinginkan, Pemkot Tangerang harus menjelaskan secara transparan terkait pengoperasian BRT itu ,” ujar salah seorang pengusaha angkot.Dikatakan, dalam kondisi seperti sekarang ini pengoperasian BRT untuk melayani penumpang dengan trayek Poris Plawad-Jatiuwung tidak begitu mendesak, karena dengan jumlah angkot yang ada masih mampu mengangkut penumpang. “Pengadaan BRT dan halte terkesan dipaksakan dan hanya menghambur-hamburkan uang yang jumlahnya sangat besar,” kata pengemudi angkot lainnya. (Tim)
JAKARTA, khatulistiwaonline.com
Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) pimpinan Agus Raharjo diminta mengedepankan prinsip best practices ( penerapan kaidah – kaidah hukum yang baik) untuk koordinasi dan supervisi terhadap dugaan korupsi bantuan sosial ( Bansos ) Rp 100,5 miliar tahun 2015 serta dana hibah 2014 sebesar Rp 20 miliar di Pemerintah Kota Tangerang Selatan ( Tangsel ).
Komisi antirasuah itu harus bergerak bersama Ombudsman Republiik Indonesia ( ORI ) dalam rangka mendirikan penguatan pemberantasan korupsi di Tangsel.
Hal tersebut dikatakan Koordinator Jakarta Corruption Watch ( JCW ) Manat Gultom kepada Khatuslistiwa di kantor KPK Jalan Haji Rangkoyo Rasuna Said Kavling C-1 Kuningan Jakarta Selatan, Selasa ,(6/12 ) seusai mengadukan penatausahaan penanganan perkara dugaan korupsi Bansos Tangsel di Kejaksaan Agung dengan peningkatan pengaduan masyarakat (dumas) pada KKRI dan Jamwas.
Manat, menjelaskan, sebenarnya kasus dugaan korupsi dana bansos dan hibah Pemkot Tangsel telah diadukan ke Jaksa Agung dengan peningkatan pengaduan kepada Ketua Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI) serta ke Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan ( Jamwas ) Kejagung beberapa waktu lalu.
Tetapi, dua lembaga negara bidang pengawasan eksternal dan internal kejaksaan itu terkesan tidak berkeinginan kuat untuk mengusut dana bansos dan hibah Pemkot Tangsel tersebut. “Sehingga harus diadukan ke pihak ORI dengan ke KPK,” katanya.
Tujuan pengaduan ke pihak ORI adalah klasifikasi kewenangan lembaga negara berlandaskan UU No. 37 Tahun 2008 untuk mengusut pengabaian dan kelalaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pengusutan dugaan korupsi dana bansos dan hibah di Pemkot Tangsel.
Hal tersebut beriringan terhadap pelayanan dumas JCW kepada Kejagung yang disposisi kepada Kepala Kejati Banten. Disertai peningkatan dumas ke KKRI dengan Jamwas Kejagung. Akan tetapi, pengaduan- pengaduan tersebut justru tidak ada azas kepastian hukum dan profesionalime.
Sedangkan pengaduan kepada KPK yakni, sejalan dengan upaya menerapkan secara penuh Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Di mana menurut pasal undang- undang tersebut, diatur kewenangan KPK untuk koordiansi dan supervisi ( Korsup ) atas penanganan suatu perkara korupsi pada instansi kejaksaan dan kepolisian. Dan, dumas JCW bernomor 1043/ LSM JCW/ XII/ 2016 itu, selain desakan korsup terhadap penatausahaan perkara dugaan korupsi dana bansos dan hibah Pemkot Tangsel, pihaknya juga mendesak KPK mengusut peristiwa tindak pidana korupsi lainnya di Pemerintah Provinsi Banten juga Permkot Tangsel.
Misalnya, jelas Manat, penanganan dugaan korupsi dan/ korupsi pengadaan alat kesehatan ( alkes ) kedokteran umum pada APBDP 2012, pembangunan tiga puskesmas dan satu RSUD di Tangsel berikut kasus tindak pidana pencucian uang ( TPPU ) kasus tersangka suami Walikota Tangsel, Tubagus Chaeri Ardana alias Wawan.
Demikian juga kasus dugaan korupsi pengadaan alkes Pemprov Banten 2011- 2013 yang menetapkan Wawan bersama kakaknya yang adalah mantan gubernur Pemprov Banten, Ratu Atut Chosiyah (RAC) sebagai tersangka. “Wawan dan RAC yang sudah berstatus terpidana pemberi suap Rp. 8,5 miliar kepada M. Akil Mochtar selaku hakim dan ketua Mahkamah Konstitusi ( MK ) untuk pengurusan sengketa Pilkada Lebak 2013 dan sengketa Pilgub Banten 2011 yang diikuti RAC- Rano Karno, Wawan bertindak sebagai ketua tim pemenangan kakaknya.
Penyerahan uang tersebut , menurut Manat, tidak bisa dilepaskan dari bentuk korupsi seperti bentuk penyalahgunaan wewenang ( abuse of discretion ) serta bentuk pertentangan kepentingan politik. Dijelaskannya, abuse of dicretion dan pertentangan kepentingan politik oleh putri/putra dan menantu Tb. Hasan ( almarhum ) itu, sangat tidak bisa dibantah. Seperti kasus korupsi di Tangsel. Biar bagaimanapun, suami dari Walikota Tangsel dipastikan secara psikologi politik sangat berpengaruh dalam fungsi penyelenggaaran pemerintahan di Tangsel. Pengungkapan di persidangan melaui media yaitu, Wawan yang divonis setahun dalam perkara korupsi pembangunan tiga puskesmas dan satu RSUD tahun 2011- 2012 secara jelas terungkap ke publik bahwa Wawanlah yang menjadi aktor utama dalam korupsi sebesar Rp 9,6 miliar tersebut.
“Wawan diketahui yang mengatur mulai penganggaran , lelang proyek hingga pelaksanaan pembangunan. Rapatnya dilakukan di kantor PT. Bali Pacific Pragama ( BPP ),” beber Manat.
Sementara menurut tatanan atau hukum anggaran, meliputi UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 Diperbendaharaan Negara, PPRI No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah berbanding lurus terhadap Peratuan Menteri Dalam Negeri ( Permendagri) tentang Pedoman Penyusunan APBD, menyebutkan dan mengatur bahwa Airin Rahmi Diany adalah selaku Chief Operational Officer dan Chief Finacial Officer. Penjabarannya, dianya selaku Pengguna Anggaran ( PA ) yang serta mengeluarkan/ menerbitkan dan menandatangani Surat Keterangan Otomatis ( SKO ) berkait dan terkait surat- surat maupun dokumen pelaksanaan anggaran ( DPA ) dalam kekuasaaanya atas pengelolaan sejumlah uang untuk pembangunan tiga puskesmas dan satu RSUD di Tangsel.
Ironisnya, dalam perkara itu, Jaksa dari Kejagung dan hakim di pengadilan Tipikor Serang justru tidak menyeret Airin. Melainkan, hanya menjerat dengan vonis 4 tahun kepada Dadang Priyatna selaku manager opersional PT. BPP dan mantan Kepala Dinas Kesehatan Pemkot Tangsel, Dadang M. Epid. Jaksa dan hakim ternilai mengkangkangi perundang – undangan demi kompromi mengikuti kekuatan uang dan politik dalam tanda petik dua ( “ ) keluarga Tb. Hasan.
“Karena itulah, pihak JCW harus mengadukan contoh penerapan hukum yang tidak semestinya tersebut kepada pihak ORI dan KPK, termasuk pengusutan korupsi pengadaan alkes Pemprov. Banten 2011 – 2013 yang melibatkan Wawan dan RAC selaku tersangka, tetapi belum berkepastian hukum,” tegas Manat. (Tim)