JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Presiden Joko Widodo mengatakan demokrasi di Indonesia sudah kebablasan dan solusinya adalah penegakan hukum yang tegas. Sebagai institusi penegak hukum, Mabes Polri selama ini telah menegakkan hukum secara objektif dan netral.
“Iya kan sudah (selama ini Polri sudah tegas), memang begitu kita. Demokrasi kami kan dikawal oleh hukum. Sejauh ini, kami juga melakukan penegakan hukum secara objektif, netral,” kata Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar saat dihubungi khatulistiwaonline, Kamis (23/2/2017).
Boy mengatakan semua agenda demokrasi harus mengacu kepada aturan hukum yang ada. Demokrasi dikawal dengan hukum agar demokrasi berjalan dengan baik. “Polri memang men-support itu selama ini. Jadi agar demokrasi itu lebih baik peradabannya maka harus dikawal dengan hukum,” ujarnya.
Presiden Jokowi sebelumnya menyebut kunci jalan keluar dari demokrasi kebablasan itu adalah penegakan hukum yang tegas.
“Kuncinya… kuncinya dalam demokrasi yang sudah kebablasan adalah penegakan hukum,” ujar Jokowi dalam acara pelantikan pengurus Hanura di Sentul International Convention Center, Sentul, Bogor, Rabu (22/2).
Jokowi meminta penegak hukum tidak ragu dalam mengusut suatu kasus. Ketegasan diperlukan.
“Aparat hukum harus tegas. Tidak usah ragu-ragu,” ujar Jokowi, yang disambut tepuk tangan.
Jokowi lantas menyinggung soal banyaknya hoax yang beredar. Kabar bohong tersebut, jika tidak disikapi dengan tegas, bisa menimbulkan perpecahan.
“Ini ujian bagi bangsa kita. Tapi kalau kita bisa lalui dengan baik, ini menjadikan kita semakin matang dan tahan uji,” ujar Jokowi. (ADI)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
KPK memanggil Kabid Mutasi BKD (Badan Kepegawaian Daerah) Kabupaten Klaten, Slamet, terkait dugaan suap promosi jabatan yang melibatkan Bupati Klaten Sri Hartini. Slamet dipanggil sebagai saksi untuk kasus tersebut.
“Yang bersangkutan dipanggil sebagai saksi untuk tersangka SHT (Sri Hartini),” kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah, Rabu (22/2/2017).
Selain Slamet, KPK juga memanggil saksi dari pihak swasta, Subardi. Salah satu tersangka, Suramlan juga dipanggil untuk diperiksa dalam statusnya sebagai tersangka.
Keterangan yang diperlukan dari Slamet tentunya yang berkaitan dengan tugas dan kewenangannya sebagai Kabid Mutasi. Penyidik KPK akan mencecarnya tentang pengetahuannya terkait dengan suap promosi jabatan yang melibatkan Sri tersebut.
Sebagai informasi, Sri Hartini sendiri sudah mengajukan diri sebagai justice collaborator dalam kasus ini. Sebagai justice collaborator, Sri harus mengakui perbuatannya dan diharuskan membuka informasi seluas-luasnya terkait kasus dugaan suap di Pemkab Klaten tersebut.
KPK telah menetapkan Bupati Klaten Sri Hartini dan PNS di Dinas Pendidikan Kabupaten Klaten, Suramlan sebagai tersangka dugaan menerima suap berkaitan dengan promosi jabatan. Dalam kasus ini awalnya KPK menyita Rp 80 juta dari rumah pribadi Sri serta Rp 2 miliar, USD 5.700, dan SGD 2.035, yang disita dari rumah dinas Sri saat operasi tangkap tangan.
Kemudian, KPK kembali menggeledah rumah dinas Sri pada Minggu (1/1) dan menemukan uang Rp 3 miliar di dalam kamar anaknya, Andi Purnomo, dan Rp 200 juta di dalam kamar Sri. Andi yang juga merupakan anggota DPRD Klaten sempat diperiksa KPK terkait kasus yang menjerat ibunya. (DON)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Ahli agama dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Miftahul Ahyar ditanya hakim mengenai asal muasal turunnya surat Al-Maidah ayat 51. Selain itu, Miftahul juga ditanya mengenai arti kata ‘aulia’ yang ada di dalam ayat tersebut.
“Dalam konteks Al-Maidah sendiri, kalau menurut ahli sendiri itu makna yang paling tepat di situ itu makna yang mana?” tanya hakim dalam lanjutan persidangan di Auditorium Kementerian Pertanian (Kementan), Jalan RM Harsono, Jakarta Selatan, Selasa (21/2/2017).
“Itu memang aulia diartikan sebagai pemimpin. Ada (yang memaknai lain), tapi yang lebih tepat itu,” jawab Miftahul yang merupakan Wakil Rois Aam PBNU itu.
Menurut Miftahul, terjemahan lainnya bisa juga pertemanan dekat. Dia juga mengatakan ‘aulia’ merupakan bentuk jamak dari wali.
“Pertemanan istilahnya. Tapi pertemanan yang khusus, teman dekat, bentuk jamak daripada wali. Karena dilarang mengambil pemimpin itu justru sederhana. Kalau diartikan mengambil pertemanan bisa jadi lain. Itu ada persamaan dari segi hakekat pemaknaan. Baik itu diartikan sebagai pemimpin maupun pertemanan,” ujar Miftahul.
Miftahul juga ditanya apakah terjemahan di Indonesia untuk kata aulia memang sama atau tidak. Dia menjawab untuk Al-Maidah 51 memang penafsirannya pemimpin.
“Saya pernah membaca, bahwa ulama di Indonesia, itu penafsirannya pemimpin bagi Al-Maidah,” tutur Miftahul.
Miftahul menyatakan sempat dipertontonkan video pidato Ahok oleh pihak kepolisian saat dipanggil untuk dimintai keterangan. Hakim kemudian bertanya apa hubungan ahli agama dengan pidato gubernur.
“Karena di situ, saat itu, sudah ribut pidato yang di tengah-tengah penyampaian. Ada kata-kata yang dianggap menyinggung perasaan, atau menistakan Al-Maidah ayat 51,” jawab Miftahul. (ADI)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Mantan Ketua DPD Irman Gusman divonis 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan. Irman terbukti menerima suap Rp 100 juta dari suami istri pengusaha gula asal Sumatera Barat.
“Mengadili, menyatakan terdakwa Irman Gusman terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi,” kata Ketua Majelis Hakim Nawawi Pomolango saat membacakan surat putusan di Pengadilan Tipikor, Jl Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (20/2/2017).
“Menjatuhkan pidana penjara selama empat tahun dan enam bulan dan denda sebesar Rp 200 juta, dengan ketentuan apabila tidak membayar denda diganti dengan hukuman kurungan selama 3 bulan,” lanjut Nawawi.
Irman terbukti menerima suap Rp 100 juta di rumahnya dari pasangan suami istri Xaveriandy Sutanto dan Memi pada 16 September 2016. Memi yang merupakan pengusaha terlebih dahulu menelepon Irman soal kelangkaan gula di Provinsi Sumatera Barat.
Irman kemudian menghubungi Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti pada 22 Juli 2016 atau beberapa hari setelah Hari Raya Idul Fitri. Irman merekomendasikan Memi sebagai pengusaha yang bisa membantu mendistribusikan gula impor milik Bulog.
Djarot lantas meminta Kadivre Bulog Sumbar Benhur Ngkaimi untuk menindaklanjuti permintaan Irman. Akhirnya disepakati Memi mendapat jatah pembelian 1.000 ton dari 3.000 ton yang diminta.
Tim KPK yang memang telah melakukan pemantauan di rumah kemudian menangkap tangan Irman, Xaveriandy dan Memi di hari yang sama saat uang diberikan. Sekitar 1x 24 jam kemudian ketiganya ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan.
“Majelis hakim berpendapat bahwa unsur menerima hadiah atau janji telah terpenuhi,” ujar anggota majelis hakim Franky Tambuwun.
Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa yang menuntut Irman dengan 7 tahun penjara. Akibat perbuatannya, Irman terbukti melanggar Pasal 12 huruf b UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (MAD)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Setelah menghilang beberapa lama, Salman Nuryanto akhirnya ditangkap polisi. Bos Pandawa Group itu saat ini tengah diperiksa penyidik Subdit Fiskal, Moneter, dan Devisa (Fismondev) Ditreskrimsus Polda Metro Jaya.
“Iya benar dini hari tadi, nanti mau dirilis,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono saat dikonfirmasi khatulistiwaonline, Senin (20/2/2017).
Sedangkan para korban penipuan mengaku sudah mendapatkan informasi penangkapan tersebut. Kuasa hukum para korban, Rio Rambaskara mengatakan, pihaknya sudah mengkroscek ke penyidik dan sudah diberitahu perihal penangkapan Salman Nuryanto.
“Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, serta setelah melalui kroscek informasi kepada penyidik. Kami selaku kuasa hukum korban Pandawa Group dengan ini sangat mengapresiasi penuh keberhasilan menangkap SN selaku pimpinan Pandawa Group,” terang Rio.
Salman ditangkap di kawasan Mauk, Tangerang, pada Senin (20/2) sekitar pukul 02.00 WIB dini hari. Informasi yang diperoleh Rio, Salman ditangkap bersama sejumlah orang yang melindunginya.
Sebelum dinyatakan DPO, penyidik Polda Metro Jaya telah memanggil Salman untuk diperiksa sebagai saksi terlapor dalam kasus dugaan penggelapan dan penipuan investasi bodong Pandawa Group. Namun, dua kali panggilan polisi tidak diindahkan oleh Salman.
Salman diduga telah melarikan dana ribuan nasabahnya. Total kerugian diperkirakan mencapai triliunan Rupiah. Pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri telah memberikan waktu kepada Salman untuk mengembalikan dana para nasabah. Akan tetapi, Salman tidak memenuhi janjinya dan malah menghilang.
“Sesuai dengan batas waktu yang diberikan oleh OJK dan satgas waspada Investasi, yaitu pada 1 Februari 2017,” kata Rio.
Di sisi lain, para leader dan investor telah membentuk forum percepatan pencairan dana anggota Pandawa Group, yang diketuai oleh Abdul Karim yang dipusatkan di perumahan Palem Ganda Asri, Desa Limo, Sawangan Depoki. Bagi investor yang belum mengumpulkan data-data diminta untuk mengumpulkan data melalui leader masing-masing, atau bisa langsung. (DON)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) segera memutuskan sanksi etik Patrialis Akbar. Putusan majelis etik akan menentukan nasib pemberhentian mantan Menkum HAM itu dengan hormat atau tidak.
“Informasi sudah dianggap sangat cukup, untuk itu majelis sudah pula bermusyawarah, dan akan segera bacakan keputusan,” ujar jubir MK Fajar Laksono kepada khatulistiwaonline, Kamis (16/2/2017).
Fajar menjelaskan sebelumnya majelis telah memutuskan pemberhentian terhadap Patrialis Akbar. Putusan itu telah diberikan kepada Ketua MK Arief Hidayat dan telah disetujui Presiden Joko Widodo.
“Nanti akan diputuskan oleh majelis apakah diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat,” paparnya.
Fajar menuturkan, sebelum sidang, MKMK akan menggelar rapat pleno tertutup. Namun, secara teknis, pembacaan putusan terbuka untuk umum.
“Setelah rapat, baru dibacakan hasilnya. Kemungkinan nanti jam 14.00 WIB,” pungkasnya.
Patrialis ditangkap pada Rabu (25/1) malam di Grand Indonesia bersama seorang perempuan bernama Anggita. Beberapa jam sebelumnya, KPK menangkap Kamaludin di Lapangan Golf Rawamangun dan Basuki Hariman di kantornya di Sunter. Serangkaian penangkapan itu membuka tabir dugaan jual-beli putusan terkait dengan uji materi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Dari OTT itu, Patrialis akhirnya ditetapkan sebagai tersangka setelah diduga menerima suap USD 20 ribu dan SGD 200 ribu atau senilai Rp 2,15 miliar. (DON)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Ahli agama dari Komisi Fatwa MUI Muhammad Amin Suma dan ahli bahasa dari Universitas Mataram, Mahyuni, menjadi saksi di sidang ke-10 Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Mereka menjelaskan pidato Ahok tentang Surat Al-Maidah dari sisi agama dan bahasa.
Ada empat saksi yang awalnya akan dimintai keterangan yakni ahli agama Islam dari MUI Prof Dr Muhammad Amin Suma, ahli bahasa dari Universitas Mataram Mahyuni, ahli hukum pidana Dr Mudzakkir dan Dr H Abdul Chair Ramadhan. Namun, hanya Amin dan Mahyuni yang bersaksi. Sedangkan Mudzakkir dan Abdul batal dihadirkan di meja hijau.
Amin dan Mahyuni bersaksi dalam sidang yang dipimpin Dwiarso Budi Santiarto di Auditorium Kementan, Jalan RM Harsono, Ragunan, Jakarta Selatan, pada Senin 13 Februari 2017.
Dalam persidangan Amin menjadi saksi pertama yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum (JPU). Majelis hakim menanyakan kata-kata ‘dibohongi dan dibodohi’ dalam pidato Ahok yang menjadi masalah.
Menurut Amin, Al Quran tidak pernah membohongi siapapun. Amin mengatakan pada dasarnya tafsir Al Quran itu bisa berbeda-beda. Oleh sebab itu ada beberapa ulama yang melarang penerjemahan dari Al Quran. Amin menegaskan yang boleh menafsirkan Alquran harus umat muslim.
Amin juga menceritakan tentang kisah latar belakang turunnya Surat Al-Maidah ayat 51. “Salah satunya terkait dengan salah seorang yang berpura-pura mengaku memeluk Islam, padahal dia tidak. Namanya Abdullah bin Ubai bin Salul,” kata Amin yang usai menjadi saksi menyerahkan sebuah buku kepada hakim.
Setelah Amin, ahli bahasa dari Universitas Mataram Mahyuni menjadi saksi kedua di sidang Ahok. Masyuni menjelaskan momen pidato Ahok di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016.
Menurut Mahyuni. Ahok bicara di luar konteks saat menyebut Surat Al-Maidah ayat 51. Pernyataan Ahok disebut melenceng karena Ahok bicara Al-Maidah saat kunjungan kerja untuk panen ikan kerapu. Penyebutan Surat Al-Maidah ini, disebut Mahyuni, berkaitan dengan Pilkada. Ahok dianggap memiliki maksud saat menyampaikan ayat Alquran di hadapan warga. (DON)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Ahli agama dari Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhammad Amin Suma menceritakan tentang kisah latar belakang turunnya surat Al Maidah ayat 51. Hal itu disampaikan Amin dalam sidang lanjutan kasus dugaan penodaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
“Salah satunya terkait dengan salah seorang yang berpura-pura mengaku memeluk Islam, padahal dia tidak. Namanya Abdullah bin Ubai bin Salul,” kata Amin dalam sidang di aula Kementerian Pertanian (Kementan), Jalan RM Harsono, Jakarta Selatan, Senin (13/2/2017).
Amin mengatakan Abdullah itu hidup di zaman Nabi Muhammad SAW. Saat itu, lanjut Amin, Abdullah melakukukan kerja sama dengan orang-orang non muslim meski mengaku memeluk agama Islam.
“Di sebelah lain ada juga tokoh yang tidak sependapat dengan Abdullah bin Ubai, itu yang saya katakan. Berbeda-beda termasuk sikapnya saat itu,” ujar Amin.
“Abdullah bin Ubai menyatakan saya tidak ikut bersama Muhammad, karena saya begini-begini, masing-masing punya alasan,” tutur Amin.
Menurut Amin, Abdullah sering bertentangan dengan Muhammad meski mengaku Islam. Saat itulah, kata Amin, turun surat Al Maidah ayat 51.
“Di saat ada sesuatu yang diperlukan, nabi memerlukan, kalau istilah sekarang itu bantuan, termasuk bantuan suara. Di mana Islam ini bisa eksis tanpa mengganggu orang lain. Abdullah bin Ubai bin Salul yang secara formal mengaku muslim tapi dia tidak mau, malah berpihak kepada yang non muslim. Itulah turunnya ayat itu,” ujar Amin.
MUI sendiri melalui sikap keagamaannya menyatakan pidato Ahok terkait Surat Al Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu termasuk menghina Al Quran dan ulama. (ADI)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Penyidik KPK memanggil 2 orang hakim konstitusi terkait dengan kasus yang menjerat Patrialis Akbar. Kedua hakim itu adalah I Dewa Gede Palguna dan Mahanan MP Sitompul.
“Keduanya diperiksa sebagai saksi untuk tersangka PAK (Patrialis Akbar),” kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin (13/2/2017).
Selain itu, penyidik juga memanggil seorang pihak swasta atas nama Pina Tamin. Namun KPK tidak mengungkap apa peran Pina dan keterangan apa yang akan digali darinya.
Sementara itu, 2 hakim konstitusi itu telah hadir sekitar pukul 09.50 WIB. Namun keduanya tidak memberikan keterangan apa pun ke wartawan.
Kasus ini berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK. Penangkapan itu terkait dengan putusan perkara nomor 129/PUU-XIII/2015 tentang uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di Mahkamah Konstitusi.
Dalam kasus itu, Patrialis dan tersangka yang menjadi perantara, Kamaludin, dijerat dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 UU Tipikor. Kemudian terhadap pihak yang diduga pemberi suap, Basuki Hariman dan Ng Feni, KPK mengenakan Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU Tipikor. (MAD)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
KPK memanggil pemohon judicial review UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, Mangku Sitepu dan Teguh Boediyana terkait dugaan suap Hakim MK, Patrialis Akbar. Mereka dipanggil sebagai saksi dalam kasus ini.
“Keduanya dipanggil sebagai saksi untuk tersangka PAK (Patrialis Akbar),” kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah, Senin (6/2/2017).
Pemanggilan pihak pemohon untuk mengetahui relasi antara pemohon dengan Basuki Hariman yang diduga sebagai pemberi suap.
“(Untuk mendalami) Apakah ada relasi pemohon dengan BHR (Basuki Hariman) yang diduga sebagai pemberi suap,” ujarnya.
Selain dua orang tersebut, KPK juga memanggil ajudan Patrialis Akbar, Eko Basuki Teguh Argo Wibowo. Dia juga dipanggil sebagai saksi untuk Patrialis Akbar.
Sebelumnya, KPK menemukan draf putusan perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015 tentang uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di Mahkamah Konstitusi saat menangkap Kamaludin di Lapangan Golf Rawamangun. Penangkapan itu merupakan rangkaian dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terkait dengan kasus dugaan suap yang melibatkan hakim konstitusi Patrialis Akbar.
Saat ini, Patrialis telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Dia diduga menerima hadiah atau janji senilai USD 20 ribu dan SGD 200 ribu dari Basuki Hariman.
Dalam kasus itu, Patrialis dan tersangka yang menjadi perantara, Kamaludin, dijerat dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 UU Tipikor. Kemudian terhadap pihak yang diduga pemberi suap, Basuki Hariman dan Ng Feni, KPK mengenakan Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU Tipikor. (ADI)