PEKANBARU,khatulistiwaonline.com
Seorang PNS tertangkap tim Saber Pungli Polresta Pekanbaru, Riau. Pungli tersebut melibatkan dua warga lainnya sebagai calo mengurus KTP di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Pemkot Pekanbaru.
“Tim Saber Pungli kita sudah bekerja terkait adanya pungli pengurusan kartu Keluarga dan KTP. Satu PNS Disdukcapil Pekanbaru tadi ditangkap tim Saber Pungli Polresta Pekanbaru,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Wali Kota Pekanbaru Edwar Sanger kepada khatulistiwaonline, Rabu (25/1/2017).
Edwar menjelaskan oknum PNS berinisial F itu ditangkap bersama istrinya RA dan seorang warga lainnya RO selaku orang yang turut serta dalam pengurusan KTP.
“Satu sisi saya apresiasi tim Saber Pungli kita telah bekerja sejak saya lantik dengan menangkap kasus pungli dalam pengurusan KTP,” ujarnya.
Namun, Edwar yang Kamis (26/1) ini akan dilantik dari Plt menjadi Pejabat Wali Kota Pekanbaru, menyayangkan adanya PNS yang terlibat kasus pungli.
“Padahal saat kita melantik tim Saber Pungli, saya sudah pesan ke seluruh jajaran, jangan coba-coba melakukan pungli. Tapi ternyata masih ada yang berani melakukan itu,” katanya.
Karena itu, Kepala BPBD Provinsi Riau ini meminta agar kasus tersebut tetap ditindaklanjuti. Proses hukum harus ditegakkan agar menimbulkan efek jera terhadap PNS lainnya.
“Harus diproses sesuai hukum yang berlaku. Ini peringatan keras buat jajaran lainnya, agar jangan coba-coba melakukan pungli dalam bidang apa pun,” tegas Edwar.
Sementara itu, Kasat Reskrim Polresta Pekanbaru Kompol Bimo Aryanto yang dikonfirmasi khatulistiwaonline tidak bersedia menerima telepon.
Informasi yang dihimpun, dalam kasus pungli pengurusan KTP ini, tim Saber Pungli menyita uang Rp 2 juta dan sejumlah dokumen kartu keluarga. (DON)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
KPK menangkap Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar. Mantan anggota DPR itu menjadi hakim konstitusi sejak tahun 2013.
Patrialis lahir di Padang, 31 Oktober 1958. Dilansir dari website mahkamahkonstitusi.go.id, Kamis (26/1/2017), diketahui Patrialis besar dari keluarga veteran. Setelah lulus STM, ia memutuskan merantau ke Jakarta untuk menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Indonesia.
Niatnya untuk masuk ke Universitas Indonesia kandas setelah modal yang dibawanya, yakni surat keterangan dia adalah anak veteran, dibuang ke tempat sampah oleh seorang pegawai TU UI. Akhirnya Patrialis masuk dan diterima di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta tahun 1983. Ia mendapat banyak kesempatan dan cukup dianggap di kampus tersebut.
“Saya langsung menjadi asisten dosen filsafat hukum di Ilmu Filsafat Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. Di situlah saya menggali ilmu,” ungkap Patrialis seperti tertulis di Website Mahkamah Konstitusi.
Aktif di berbagai organisasi seperti Pemuda Muhammadiyah dan Lembaga Keadilan Hukum Universitas Muhammadiyah, membuat kemampuan Patrialis sebagai pengacara mulai terasah. Ia menangani beberapa kasus, di antaranya kasus mengenai Hotel Citra. Patrialis juga mulai memasuki dunia politik pada era ini.
Lulusan S2 program Magister Hukum Universitas Gajah Mada (2010) itu ditawarkan bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN) pada 1998 setelah berkenalan dengan Amien Rais. Patrialis langsung ditawari menjadi Wakil Sekretaris Jenderal. Partai inilah yang membawanya menjadi anggota DPR dan MPR selama dua periode.
Di periode 1999-2004, Patrialis menjabat sebagai Wakil Ketua Fraksi Reformasi DPR RI. Ia juga duduk sebagai anggota Komisi III yang salah satunya menangani bidang hukum. Di MPR, Patrialis tercatat sebagai salah satu pelaku perubahan UUD 1945 dengan menjadi salah satu Anggota Panitia Ad Hoc I BP MPR.
Untuk periode 2004-2009 di Senayan, Patrialis menjabat sebagai Ketua Fraksi PAN MPR, Pimpinan Sub Tim Kerja I MPR RI, Anggota Komisi III DPR, dan Kuasa Hukum DPR. Setelah dua periode, lulusan S3 Doktor (Hukum) Universitas Padjadjaran tersebut memutuskan berhenti.
Namun ia kembali aktif di dunia politik dengan tergabung dalam tim sukses Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono pada tahun 2009 sebagai anggota tim advokasi dan bantuan hukum. Pada periode kedua Presiden SBY, Patrialis diangkat sebagai Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) di Koalisi Indonesia Bersatu Jilid II dari Oktober 2009 hingga Oktober 2011. Ia digantikan oleh Amir Syamsuddin hingga periode KIB II habis. Bapak lima anak ini juga pernah menjadi anggota Kompolnas.
Jejak Patrialis sebagai pejabat publik sempat terhenti. Hingga akhirnya pada 2013, ia terpilih sebagai Hakim Konstitusi. Pria berdarah Minang itu mengucap sumpah jabatannya pada Selasa (13/8/2013) di Istana Negara. Masa jabatannya baru akan habis pada 2018 mendatang.
Untuk menjadi Hakim Konstitusi yang melengkapi jejak kariernya di eksekutif, legislatif dan yudikatif itu, Patrialis sempat kalah saing dengan rekannya sesama pelaku perubahan UUD 1945 saat MK terbentuk tahun 2003 yaitu Harjono. Suami dari Sufriyeni ini baru bisa mewujudkan harapannya menjadi Hakim Konstitusi pada tahun 2013.
Perjuangan Patrialis menjadi Hakim Konstitusi pada 2013 tidak lah mudah. Banyak tudingan yang terlontar dari berbagai pihak terhadap dirinya berkaitan dengan independensi mengingat riwayat Patrialis yang berlatar belakang dari dunia politik dan dekat dengan pemerintah saat itu.
“Saya jauh mundur (dari partai politik) sebelum menjadi hakim konstitusi. Jadi itu tidak masalah. Saya paham betul bagaimana menjadi hakim dan tak mungkin memihak kepada pihak manapun. Saya bertekad untuk menegakkan keadilan,” ujar Patrialis.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengonfirmasi operasi tangkap tangan (OTT) terhadap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar. Penangkapan itu dilakukan di Jakarta.
“Benar, informasi sudah kami terima terkait adanya OTT yang dilakukan KPK di Jakarta,” kata Agus saat dikonfirmasi, Kamis (26/1).
Agus menyebut ada sejumlah pihak lain yang juga ditangkap. Agus menyebut para pihak itu saat ini sudah diamankan.
“Ada sejumlah pihak yang diamankan saat ini. Terkait dengan lembaga penegak hukum,” ujar Agus. (DON)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Subdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya menetapkan status tersangka terhadap dosen Komunikasi Fisip Universitas Indonesia, Ade Armando. Ade ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan kasus UU ITE (Informasi dan Transaksi Eektronik).
“Ade Armando sudah ditetapkan sebagai tersangka UU ITE,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono kepada khatulistiwaonline, Rabu (25/1/2017).
Argo mengatakan, Ade sebelumnya dilaporkan oleh Johan Khan ke Polda Metro Jaya pada 2016 lalu. Johan mempermasalahkan cuitan Ade Armando dalam akun facebook dan juga Twitternya @adearmando1.
“Yang bersangkutan menulis ‘Allah kan bukan orang Arab. Tentu Allah senang kalau ayat-ayat-Nya dibaca dengan gaya Minang, Ambon, Cina, Hiphon, Blues’,” terang Argo. Status itu dibuat Ade Armando pada tanggal 20 Mei 2015.
Argo mengatakan, pelapor sempat meminta Ade untuk meminta maaf dengan membalas akun Twitternya. Tetapi Ade tidak meminta maaf.
Hingga berita ini dimuat, belum ada keterangan dari Ade Armando. (ADI)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Saksi pelapor Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Willyudin Abdul Rosyid mengaku laporannya sempat ditolak oleh Polresta Bogor. Dia lantas menyebutkan jumlah jamaah yang memberikan amanah kepadanya.
“Tadinya laporan saya tidak diterima, kemudian saya diminta konsultasi dengan Reskrimnya. Kalau laporan ini tidak diterima bahwa besok umat Islam ribuan orang ke sini karena (laporan) itu adalah amanah dari jemaah. Saya berharap laporan saya diterima,” tutur Willyudin dalam sidang Ahok di auditorium Kementan, Jalan RM Harsono, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (17/1/2017).
Willyudin datang melaporkan Ahok pada 7 Oktober 2016. Dia mengaku hanya datang berdua saat melaporkan Ahok meski Briptu Ahmad Hamdani menyebut Willyudin datang bersama tiga orang lainnya.
“Saya ditanya kejadian dimana, saya bilang kalau kejadian yang di video itu di Kepulauan Seribu. Kalau lihat video Kamis, tanggal 6 Oktober 2016 di rumah saya sekitar jam 11,” sambungnya
Di persidangan, Willyudin dikonfrontir dengan Briptu Ahmad. Konfrontir menyangkut keterangan bertolak belakang antara kedunya.
Briptu Ahmad yang dihadirkan sebagai saksi pertama menyebut Willyudin melaporkan kejadian dugaan penistaan agama dalam pidato Ahok pada 6 September 2016. Pada tanggal ini pula, Willyudin disebut Briptu Ahmad menonton video Ahok melalui YouTube.
Namun keterangan ini langsung dibantah Willyudin. Dia mengaku menonton video di YouTube pada 6 Oktober. Urusan tanggal ini juga yang jadi fokus tanya jawab dalam persidangan.
Saat pelaporan, Briptu Ahmad mencatat waktu Willyudin menonton video pada 6 September yang sebenarnya hari Selasa namun ditulis dalam pelaporan menjadi hari Kamis. Keterangan waktu ini juga dianggap janggal karena peristiwa saat Ahok bertemu warga di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu terjadi pada 27 September 2016.
Selain soal penulisan laporan terhadap Ahok, majelis hakim bertanya mengenai lokasi aduan ke Mapolresta Bogor. Hakim menanyakan alasan laporan tidak langsung diteruskan ke Polres Kepulauan Seribu sesuai dengan lokasi pidato Ahok yang diduga mengandung penistaan agama.
“Kenapa tidak suruh lapor di sana?” tanya hakim
“Ya kan kita harus terima laporan, kalau ke Pulau Seribu kan jauh, saya hanya nerima laporan nanti diteruskan,” jawab Briptu Ahmad.
Usai persidangan, Willyudin kepada wartawan menjelaskan dirinya tidak mengumbar ancaman terkait laporannya ke polisi. “Bukan mengancam, kalau ini tidak diterima laporan saya, besok akan ada 1.000 orang yang datang melapor untuk membuat laporan sendiri-sendiri. Apa bapak nggak repot,” sebutnya.
Sidang Ahok hari ini ditutup dengan hanya mendengarkan 3 orang saksi dari 6 saksi yang dijadwalkan. Ketiga saksi adalah anggota Polresta Bogor, Bripka Agung Hermawan dan Briptu Ahmad Hamdani, termasuk Willyudin Abdul Rosyid yang juga dihadirkan pada sidang hari Selasa (10/1).
Sedangkan tiga saksi lainnya, yakni Ibnu Baskoro, Muhammad Asroi Saputra, Iman Sudirman, tidak hadir dalam persidangan.
Jaksa penuntut umum dalam persidangan sebetulnya mengajukan dua saksi lainnya, yakni Yulihardi dan Nurkholis. Namun kedua saksi ini ditolak didengar keterangannya pada hari ini karena tidak pernah dikoordinasikan jaksa dengan tim penasihat hukum.
Ahok didakwa melakukan penodaan agama karena menyebut dan mengaitkan Surat Al Maidah 51 dengan Pikada DKI. Penyebutan Surat Al Maidah 51 itu dilakukan saat Ahok bertemu dengan warga di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016. Ahok dijerat dengan Pasal 156 a huruf a KUHP dan atau Pasal 156 KUHP. (DON)
PALANGKARAYA,khatulistiwaonline.com
Polisi masih mendalami informasi terkait beredarnya foto buku nikah Bupati Katingan, Kalimantan Tengah, Ahmad Yantenglie dengan FY di media sosial (medsos). Polisi juga mengecek buku nikah tersebut ke Kantor Urusan Agama (KUA) Bogor, Jawa Barat.
“Kita dapat fotokopi surat keterangan nikah, itu dari nikah siri. Ini sedang kita dalami dan juga buku pernikahan sebagaimana beredar di medsos ini sedang kita dalami,” kata Dirkrimum Polda Kalteng Kombes Gusde Wardana kepada khatulistiwaonline, Jumat (13/1/2017).
Dari hasil penyelidikan, Bupati Katingan menurut Gusde menikah siri dengan FY di Bogor. Karena itu, polisi mendatangi Kantor KUA Bogor.
“Hari ini saya sedang ke Bogor untuk melakukan pengecekan surat keterangan nikah ini, apakah itu benar atau tidak dan juga buku nikahnya,” kata Gusde.
Gusde menyebut hubungan Yantinglie dengan FY atas dasar saling cinta. Penyidik tidak menemukan adanya iming-iming jabatan kepada FY yang diketahui sebagai PNS.
“Kalau dari pengakuannya atas nama cinta, belum ada iming-iming apa-apa. Nanti kita dalami,” kata Gusde.
Menurut Gusde, Yantenglie mengaku sudah mengenal FY pada tahun 2010 saat FY pindah dari Palangkaraya ke Katingan.
Dari awal perkenalan itu, Yantenglie dengan FY menjalin hubungan hingga setahun terakhir. Hingga akhirnya perselingkuhan Yantenglie dengan FY terungkap saat suami FY, Aipda SH, mencari FY.
Aipda SH saat itu menemukan istrinya bersama Yantenglie di tempat kos di Jalan Nangka setelah sebelumnya FY diketahui tidak berada di rumah.
Yantenglie dan FY dijerat Pasal 284 KUHP tentang Perzinaan dan dikenakan wajib lapor. (DON)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Polres Jakarta Utara mulai melakukan pemeriksaan atas saksi dan tersangka dalam kasus penganiayaan di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP). Kapolres Jakut Kombes Awal Chairuddin menargetkan pengungkapan kasus ini selesai pada minggu depan.
“Nanti dari pemeriksaan akan terlihat siapa yang jadi otak, siapa yang menginstruksikan. Mudah-mudahan minggu depan bisa terjawab semuanya. Siapa yang punya ide dan benda apa saja yang dipakai,” ujar Awal di kantornya, Jalan Yos Sudarso, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (13/1/2017).
Awal mengatakan, pihak keluarga korban sudah berulang kali meminta kepada pihak kepolisian untuk dilakukan tindak lanjut atas kasus ini. Dia pun berjanji akan mengungkap kasus ini secara terang.
“Keluarga sudah berulangkali menghubungi kami dan meminta seluruh pihak terlibat dihukum seberat-beratnya. Dan kami yakinkan kepada keluarga, Polres Jakut sesuai arahan Kapolri dan Kapolda untuk membuat terang kasus ini. Insya Allah akan kita ungkap dengan terang atas peristiwa penganiayaan sampai meninggalnya taruna tingkat 1 bernama Amirullah Adityas Putra,” ujar Awal.
Hari ini, polisi memanggil Kepala STIP nonaktif Weku Frederik Karuntu untuk diperiksa sebagai saksi. Dia akan diperiksa mengenai pengetahuannya sehubungan dari peristiwa yang terjadi pada Selasa (10/1) ini.
Pada hari Senin (16/1) dan selanjutnya, polisi akan memanggil PNS yang bekerja di STIP. Selain itu siswa taruna yang menjadi resimen dan perwira pengawas juga akan dimintai keterangan.
Dalam pemeriksaan itu, Awal mengatakan akan menggunakan keterangan dari pihak dokter forensik sebagai panduan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui cara penyiksaan dan benda apa saja yang dipakai pada penyiksaan tersebut.
“Nanti kita akan hubungkan dengan apa yang dikatakan dokter. Dokter mengatakan ada bibir dalam pecah, itu menandakan ada pemukulan di wajah. Makanya keterangan dari dokter akan kita jadikan panduan terutama dalam proses penyidikan dan penyelidikan,” tutur Awal.
Pada Rabu (11/1) Amirullah tewas karena diduga menerima penyiksaan oleh seniornya. Dia bersama lima taruna junior lainnya diduga dianiaya di Dormitory 4 kamar DM-205 lantai 2.
Lima rekan Amirullah yang juga diduga dianiaya adalah Ahmad Fajar, Ilham Wally, Bagus Budi Prayoga, Josua Simanjuntak, dan Benny Syahril. Mereka mengalami luka memar dan sempat menjalani rawat jalan.
Terkait penganiayaan ini, polisi telah menetapkan lima tersangka, yaitu Sisko Mataheru, Willy Hasiholan, Iswanto, Akbar Ramadhan, dan Jakario. Namun, untuk tersangka Jakario, polisi menyebut dia terlibat atas korban lain bernama Ahmad Fajar. (DON)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Kasus suap AKBP Raden Brotoseno memasuki babak baru. Penyidik Bareskrim Polri hari ini melimpahkan berkas dan tersangka Brotoseno beserta tiga tersangka lainnya ke Kejaksaan Agung.
“Betul, keempatnya tahap dua di Kejagung,” kata Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Kombes Erwanto Kurniadi saat dikonfirmasi khatulistiwaonline, Rabu (11/1/2017) sekitar pukul 09.44 WIB
Selain Brotoseno, 3 tersangka lainnya yaitu Kompol D, pengacara inisial H, dan perantara inisial L. Erwanto menyebut pelimpahan tahap dua itu tengah dilakukan saat ini.
AKBP Brotoseno ditetapkan sebagai tersangka bersama Kompol berinisial D karena menerima duit Rp 1,9 miliar untuk memperlambat penanganan perkara dugaan korupsi cetak sawah di Kalimantan periode 2012-2014.
Selain AKBP Brotoseno dan Kompol D, pengacara berinisial H dan perantara yang menyerahkan duit berinisial L juga menjadi tersangka. Pengacara H disebut menjanjikan uang Rp 3 miliar untuk memuluskan keinginan memperlambat proses penyidikan kasus cetak sawah.
Belakangan, Polri juga menyita duit Rp 1 miliar terkait kasus suap hasil operasi tangkap tangan Tim Saber Pungli Polri ini. Total duit yang disita sebagai barang bukti Rp 2,9 miliar.
Brotoseno, Kompol D, H, dan L dijerat dengan Pasal 5 juncto Pasal 12 a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (MAD)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Polisi masih memburu F, terduga pelaku pengeroyokan kader PDI Perjuangan, Widodo. Satu orang pengeroyok berinisial I yang menyerahkan diri dan ditahan.
“Yang satu ini masih kita kejar. Mudah-mudahan hari ini (tertangkap). Kita mohon doanya,” kata Kapolres Metro Jakarta Barat Kombes Roycke Harry Langie kepada wartawan di Mapolres Jakarta Barat, Jl. S. Parman, Palmerah, Jakarta Barat, Selasa (10/1/2017).
Polisi dipastikan Roycke sudah mengetahui keberadaan terduga pelaku. F diharapkan segera menyerahkan diri.
“Ya kita imbau untuk supaya segera menyerahkan diri, saudara F ini dan terus akan kita kejar. Kami bisa menangkapnya,” ujar Roycke.
Dari keterangan Widodo, ada lebih dua orang pelaku pengeroyokan. Namun dua orang yang berinisial I dan F yang dikenali Widodo.
“Dari keterangan saksi korban, itu dua yang dikenali. Kemudian karena pada saat itu dia dipukuli, dia juga sudah tidak melihat. Tapi rangkaian orang yang ada di situ kurang lebih 7-10” kata Roycke.
Hingga saat ini polisi sudah memeriksa 7 orang saksi dan I yang menyerahkan diri pada hari Minggu (8/1).
Pengeroyokan terhadap Widodo terjadi sekitar pukul 21.00 WIB, Jumat (6/1). Ada dua tetangga Widodo yang diduga menjadi pelaku pengeroyokan.
Pengeroyokan berawal dari adu mulut pada siang hari terkait dengan rencana blusukan Djarot ke Jl Jelambar Utama, Grogol Petamburan, Jakbar. Malam harinya, Widodo dihampiri oleh pelaku.
“Pemicunya, pelaku ini berteriak haram terhadap salah satu calon. Korban menyampaikan, ‘Yang haram itu apa’,” sebut Roycke, Sabtu (7/1).
Pengeroyokan Widodo ini menjadi perhatian Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. Megawati memberikan penghargaan kepada Widodo dan Nurdayat saat HUT ke-44 PDIP di JCC, Senayan, Jakarta.
“Anak buah saya ada yang sudah digaplok sama orang. Ada 2, kasihan. Anak ranting. Kalau sudah sembuh, anaknya akan saya beri hadiah kehormatan,” kata Mega saat menyampaikan pidato politik di Assembly Hall JCC. (MAD)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Penyidik KPK memanggil Anas Urbaningrum terkait dengan kasus dugaan korupsi pengadaan proyek e-KTP. Anas akan diperiksa sebagai saksi.
“Saksi atas nama Anas Urbaningrum diperiksa untuk tersangka S (Sugiharto),” ujar Kabiro Humas KPK Febri Diansyah ketika dimintai konfirmasi, Selasa (10/1/2017).
Selain itu, penyidik KPK akan memeriksa M Nazaruddin sebagai saksi dalam perkara yang sama. Namun, baik Nazaruddin maupun Anas belum terlihat hadir.
Sebelumnya, Setya Novanto, yang juga dipanggil sebagai saksi terkait dengan kasus itu, telah hadir. Dia mengaku penyidik KPK ingin mengonfirmasi tentang hal-hal yang kurang dari pemeriksaan sebelumnya.
Nama Novanto dan Anas memang muncul dari ‘nyanyian’ Nazaruddin. Dia menyatakan ada dugaan permainan dalam pengadaan e-KTP. Sejumlah nama dia sebut, dari tingkat eksekutif hingga legislatif.
Novanto disebut menerima fee proyek tersebut saat proyek e-KTP berlangsung pada 2011-2014. Saat itu, Novanto menjabat Bendahara Umum Golkar sekaligus Ketua Fraksi Golkar di DPR.
Namun Novanto, yang pernah dipanggil penyidik KPK pada Selasa, 13 Desember 2016, membantah menerima aliran uang terkait dengan kasus itu. “Itu tidak benar. Ya, itu nggak benar,” kata Novanto saat itu.
Dalam kasus tersebut, KPK baru menetapkan dua tersangka, yaitu eks Dirjen Dukcapil Irman dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Sugiharto. Saat proyek e-KTP berlangsung, Irman menjabat kuasa pengguna anggaran, sedangkan Sugiharto sebagai pejabat pembuat komitmen. (DON)
JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Sofian Effendi akan segera berkoordinasi dengan KPK terkait dengan temuan-temuan perihal indikasi pelanggaran dalam pengisian jabatan di sejumlah pemerintah daerah. Dia mengaku banyak mengantongi data soal pengisian jabatan berbasis merit.
“Kita akan meningkatkan kerja sama ini, memformalkan kerja sama dengan KPK, sehingga setiap ada pengaduan kepada KASN, atau ada pelanggaran-pelanggaran sistem merit dalam pengisian jabatan, kita akan koordinasi dengan KPK sehingga KPK bisa melanjutkan. Selama ini tidak bisa dilakukan akan lolos terus,” kata Sofian saat berbincang dengan khatulistiwaonline, Sabtu (7/1/2017).
Sistem merit adalah penilaian kinerja aparatur sipil negara berdasarkan prestasi kerja. Sofian menyebut sejauh ini KASN sudah menerima permintaan izin pengisian jabatan sistem merit dari 8 provinsi dan 159 kabupaten/kota.
“Ini ada 8 provinsi yang sudah meminta rekomendasi kepada kita, 159 kabupaten dan kota. Meminta izin untuk melakukan pengisian jabatan pimpinan tinggi. Sampai tahun 2016,” ucapnya.
Dia mengaku sampai saat ini baru ada indikasi pelanggaran yang perlu ditelisik lebih lanjut. Ke depan, saat bekerja sama dengan KPK, Sofian menyebutkan akan berkolaborasi terkait dengan hal itu.
“Misalnya kami ada mencurigai ada pelanggaran, katakanlah jabatan di 8 provinsi tadi ada 1 atau 2 provinsi yang melakukan pelanggaran, misalnya dia minta untuk mengisi katakanlah 5 jabatan kepala dinas, tahu-tahu dia mengisi lebih dari itu 10 kali atau 15 kali, nah ini akan kita teliti lebih lanjut. Kalau lebih lanjut lagi, di situ ada informasi masuk ini yang dipilih adalah orang yang membayar, maka itu KPK yang punya kewenangan,” ujarnya. (DON)