Mekah –
Masa krusial penyelenggaraan haji 2018 telah terlewati, tinggal menyisakan fase pemulangan secara bergelombang. Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadizly memiliki sejumlah catatan yang bisa menjadi bahan evaluasi untuk peningkatan penyelenggaraan haji di tahun depan.
Ace bersama delegasi DPR berada di Arab Saudi selama 18 hari dari tanggal 11 – 28 Agustus 2018. Di rentang kurun waktu itu, Ace turut menyaksikan sendiri bagaimana penanganan puncak haji di Arafah, Muzdalifah dan Mina.
“Kami melakukan pengawasan dengan membaginya dalam 5 (lima) hal: Akomodasi (pemondokan), tranportasi (darat & udara), kesehatan, makanan (konsumsi), dan petugas haji atau sumber daya manusia. Tulisan berikut ini mendeskripsikan tentang bagaimana penyelenggaraan haji tersebut dan ditutup dengan 10 (sepuluh) saran perbaikan untuk lebih meningkatkan pelayanan ibadah haji pada tahun depan,” kata Ace dalam catatannya yang disampaikan Rabu (5/8/2018).
Berikut catatan lengkap Ace Hasan:
Selama 18 hari, dari tanggal 11 – 28 Agustus 2018, saya sebagai Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI bersama rombongan melakukan tugas pengawasan penyelenggaraan haji tahun 2018 atau 1439 Hijriyah. Kami melakukan pengawasan dengan membaginya dalam 5 (lima) hal: Akomodasi (pemondokan), tranportasi (darat & udara), kesehatan, makanan (konsumsi), dan petugas haji atau sumber daya manusia. Tulisan berikut ini mendeskripsikan tentang bagaimana penyelenggaraan haji tersebut dan ditutup dengan 10 (sepuluh) saran perbaikan untuk lebih meningkatkan pelayanan ibadah haji pada tahun depan.
Tahun 2018, Jemaah haji Indonesia secara resmi diikuti sebanyak 203.351 haji regular dan 16.905 haji khusus yang dikelola travel khusus dengan biaya yang jauh lebih tinggi dibanding dengan haji reguler. Jumlah Jemaah haji ini merupakan jumlah haji terbesar se-dunia dibandingkan dengan negara-negara lain. Sehingga tak mudah untuk mengelola haji sebanyak itu.
Kementerian Agama yang diberikan kewenangan untuk mengatur perjalanan ibadah ini. Dibutuhkan kemampuan ekstra untuk memastikan semua jamaah haji itu dapat terlayani dengan baik. Kementerian Agama seperti menjadi “big travel” yang mengatur pergerakan sekian banyak manusia dari satu titik ke titik yang lain dengan segala macam problematikanya.
Paling tidak, ada lima komponen utama yang harus dipastikan dalam pelayanan haji ini. 1) Akomodasi (pemondokan), 2) tranportasi (darat & udara), 3) kesehatan, 4) makanan (konsumsi), dan 5) petugas haji atau sumber daya manusia. Kelima komponen itu memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain dengan empat titik utama yang dilaluinya: embarkasi tanah air tempat dimana jamaah haji Indonesia berangkat dan kembali, Mekkah al-Mukaromah, Armina (Arafah, Muzdalifah dan Mina) dan Madinah al-Munawaroh. Para tamu Allah ini akan tinggal di Mekkah 28 Hari, di Armina 4 Hari, dan di Madinah 8 hari. Sehingga keseluruhan perjalanannya sebanyak 40 hari.
Akomodasi. Komitmen Kementerian Agama menyediakan pemondokan (maktab) Jemaah haji Indonesia baik di Mekkah maupun di Madinah adalah penginapan sekelas hotel bintang tiga dengan segala fasilitas yang dimilikinya. Setiap kamar dapat ditempati paling banyak 5 orang. Sejauh yang kami kunjungi, baik di Mekkah maupun di Madinah, maktab yang ditempati sudah sesuai dengan standar yang dijanjikan. Walaupun di Mekkah, jarak antara tempat penginapan dan masjid al-haram beragam. Ada yang 1 Km lebih dekat dan lebih jauh hingga 4 KM. namun, soal jarak ini memang dapat diantipasi dengan disediakannya bis sholawat (Sholat lima waktu) yang selalu berkeliling selama 24 jam menghantar Jemaah haji Indonesia setiap + 10 menit sekali menjemput jamaah haji yang ingin menuju Masjid al-Haram.
Akomodasi yang krusial sesungguhnya justru 5 hari di Arafah dan Mina. 2 hari 1 malam di Arafah membutuhkan perhatian yang ekstra. Jamaah haji Indonesia yang regular sudah berangkat ke Arafah pada tanggal 8 Dzulhijjah, menginap satu malam mempersiapkan diri menjelang ibadah wukuf yang merupakan puncak ibadah haji, dan ketika malam hari tiba, siap-siap menuju ke Muzdalifah untuk mabit (berdiam diri tengah malam). Menjelang dini hari, para jamaah sudah mulai bergerak dari Muzdalifah ke Mina untuk melakukan pelemparan jumroh aqobah. Selama 3 hari, mereka menginap tenda-tenda yang telah disediakan.
Tenda-tenda di Arafah ini memang perlu mendapatkan perhatian. Hampir 3 juta lebih jamaah se-dunia berkumpul di Arafah. Ruangnya sangat terbatas. Tenda yang disediakannya pun sangat sempit sehingga dalam tenda itu jamaah haji kita berjejer dan harus berhimpitan. Di tengah sengatan matahari pada siang harinya, jamaah haji disediakan kipas angin yang tak dapat mengurangi tingkat panasnya udara yang sangat tinggi yang temperaturnya kurang lebih 40-45 derajat celcius. Pada malam 8 Dzulhizah, kami sempat ditimpa sedikit cobaan. Ada badai angin selama 2 jam yang hampir membawa terbang tenda-tenda kami. Alhamdulillah badai angin itu tak menimbulkan korban. Kami hanya terkaget-kaget merasakan begitu kencangnya angin itu bertiup. Tenda yang disediakan alhamdulillah berdiri kokoh, walaupun ada beberapa yang rusak.
Tenda jamaah Haji Indonesia di Mina jaraknya cukup jauh dari tempat melempar jumroh (jamarat). Pemerintah Arab Saudi menempatkan tenda Jemaah haji Indonesia sebagian besar di wilayah Mina Jadid, sekitar 2 KM menuju jamarat, di balik terowongan Al-Moeasim. Soal wilayah Mina Jadid sebagai tempat Mabit ini hingga saat ini memang masih menjadi perdebatan, apakah masuk wilayah Mina atau bukan, sehingga mempengaruhi sah atau tidaknya wajib haji tersebut. Bagi saya, polemik itu tak perlu diperdebatkan lagi. Jika merasa tidak “afdhal”, maka sebaiknya menjelang malam hingga pertengahan malam jamaah haji kita dapat memasuki wilayah “Mina” yang orisinal di wilayah seputaran jamarat untuk mabit. Selepas tengah malam dapat kembali ke tenda masing-masing. Tentu, jika kita tidak beruntung beresiko akan dihardik petugas keamanan Arab Saudi jika berada pada tempat yang tidak boleh kita berdiam diri. Itu banyak dilakukan para jamaah haji Indonesia yang lain.
Soal waktu melempar jumroh, Kementerian Agama sudah sangat baik menyampaikan informasi jam-jam tertentu yang tidak boleh dilakukan. Melalui pesan pendek (SMS) blasting ke para jamaah haji, informasi itu tersampaikan. Informasi itu sangat penting untuk menghindari waktu yang sangat crowded, berdesak-desakan dengan Jemaah haji dari negara-negara lain. Jika tidak diatur dengan baik, akan berpengaruh terhadap kesiapan tenaga dan stamina jamaah haji. Karena mereka harus berjalan kurang lebih 5 KM pulang pergi dari tenda ke jamarat. Harus diakui bahwa tingkat kematian jamaah haji Indonesia pada masa Armina ini sebanyak 33 orang, dengan rincian 7 jemaah wafat di Arafah, 5 wafat Muzdalifah, dan sisanya atau 21 jemaah wafat di Mina, sebuah lonjakan yang sangat tinggi.
Transportasi. Transportasi baik udara maupun darat selama di Arab Saudi. Tahun ini terdapat inovasi yang sangat bagus. Pemeriksaan imigrasi jamaah haji telah dilakukan di embarkasi Indonesia. Pemeriksaan biometric dan sidik jari dilakukan di masing-masing asrama haji di daerah tempat asrama haji berasal. Ini sangat membantu antrian panjang dan lamanya pemeriksaan haji di Bandara Jeddah maupun di Bandara Madinah, Arab Saudi. Tahun-tahun sebelumnya, pemeriksaan di Arab Saudi bisa memakan waktu 4-5 jam. Namun, dengan pemeriksaan imigrasi di Indonesia, ketika di imigrasi Arab Saudi cukup memakan waktu 30-60 menit. Sehingga jamaah haji Indonesia dapat langsung ke Bis untuk diberangkatkan ke masing-masing penginapan.
Secara umum, bis yang digunakan untuk membawa Jemaah haji dari Bandara ke penginapan, Mekkah-Madinah, Madinah-Makkah, Mekkah-Arafah-Muzdalifah-Mina-Mekkah dan Bis Sholawat, sesuai dengan kesepakatan antara Kementerian Agama dengan pihak ketiga transportasi di Arab Saudi, harus nyaman dengan bis buatan paling tua tahun 2013. Sejauh yang saya amati, tidak ada bis yang digunakan tidak sesuai dengan kesepakatan tersebut. Hal ini tentu menambah kenyamanan jamaah haji Indonesia di perjalanan selama di tanah suci.
Namun, salah satu keluhan yang masih didapatkan adalah masih adanya bis sholawat yang mengangkut Jemaah haji dari negara lain sehingga Jemaah haji Indonesia malah tidak terlayani. Padahal aturannya, bis sholawat ini hanya dipergunakan hanya untuk Jemaah haji Indonesia.
Selain itu, pengaturan bagasi dan koper jamaah haji masih ditemukan ada masalah. Masalah itu antara lain penempatan koper jamaah setelah turun dari pesawat dan dibawa ke pemondokan masing-masing masih ada yang tercecer. Selain itu, masih ada koper Jemaah haji yang belum memenuhi standar.
Konsumsi. Tahun 2018 ini, Jemaah haji Indonesia mendapatkan makanan sebanyak 40 kali di Mekkah, 18 kali di Madinah dan 18 kali di Armina, dan 1 kali di Jeddah. Tentu pemberian makanan ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan sebelum tahun 2014, selama di Mekkah jamaah haji Indonesia tidak mendapatkan makanan sama sekali. Mereka dibiarkan untuk membeli sendiri dengan menggunakan uang living cost yang diberikan pada saat di embarkasi sebesar Rp 5 juta.
Komitmen Kementerian Agama RI makanan yang diberikan sesuai dengan citarasa Indonesia dengan mengandung gizi yang standar dengan menu yang bervariasi. Sebab jika yang dikonsumsi daging setiap hari, tentu mereka akan bosan. Sejauh yang kami amati, makanan ini relatif tidak ada persoalan. Walaupun soal citarasa Indonesia ini masih diperdebatkan karena bumbu asli Indonesia dengan bumbu makanan dari tanah arab atau India masih terasa kuat. Ini menyangkut dengan selera setiap orang. Tapi ya tidak apa-apa, yang penting jamaah haji juga membedakan rasa yang lain.
Yang menjadi catatan penting adalah ketersediaan makanan pada saat 4 hari menjelang puncak haji. Pada waktu itu, ketersediaan makanan ditiadakan karena terkendala akses logistik terhenti menjelang puncak haji. Temuan saya di lapangan, justru Jemaah haji Indonesia membutuhkan asupan makanan yang cukup untuk menyimpan tenaga dan stamina menjelang puncak haji. Mereka dibiarkan untuk membeli makanan di luar sendiri-sendiri. Masih mending jika di seputaran tempat mereka menginap ada rumah makan. Yang saya temukan, ada hotel yang jauh dari rumah makan sehingga mereka terpaksa memasak makanan instan seperti mie di kamar hotel mereka selama 3-4 hari. Tentu ini tidak baik bagi asupan gizi mereka menjelang puncak haji yang membutuhkan stamina yang lebih.
Kesehatan. Dalam statistik jamaah haji Indonesia tahun ini diesebutkan pengidap penyakit resiko tinggi sebanyak 66,55 sekian % dari jumlah haji yang berangkat. Di lihat dari sisi usia prosentase jumlah Jemaah haji Indonesia terdiri atas < 41-50 tahun 38 %, 51-60 tahun 35,4%, dan 61 tahun > 27% Banyaknya usia lanjut usia dalam rombongan haji Indonesia ini tentu beresiko bagi terjangkitnya banyak keluhan sakit. Dibutuhkan pelayanan kesehatan yang memadai. Tercatat ada 2038 tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat. Di setiap kloter disediakan 1 orang dokter dan 1 orang perawat. Mereka akan menjadi tenaga kesehatan yang 24 melayani Jemaah haji sebanyak 500 jemaah haji di masing-masing maktab. Ada posko kesehatan di setiap maktab dengan fasilitas kesehatan terbatas. Namun, jika membutuhkan rujukan dengan penyakit yang tidak dapat ditangani dokter kloter, mereka akan dirujuk ke KKHI (Klinik Kesehatan Haji Indonesia). KKHI ini ada di Mekkah dan Madinah.
Di KKHI ini, ketersediaan alat-alat medis sebetulnya terbatas. Namun, para petugas kesehatan relatif tersedia dengan baik. Hasil pengamatan kunjungan saya ke KKHI di Mekkah, sebagian besar Jemaah haji yang sakit adalah lanjut usia dan disebabkan pola makan yang tidak terkontrol dengan baik. Obat-obatan relatif tersedia, walaupun obat-obat tertentu ada yang sudah kehabisan.
Dibutuhkan pendampingan kesehatan kepada Jemaah haji lanjut usia dengan riwayat kesehatan yang terekam dengan baik sehingga para petugas kesehatan akan tahu penanganan medis apa yang harus dilakukan dan memberikan penjelasan pola kesehatannya kepada setiap jamaah, terutama bagi petugas kesehatan kloter.
Petugas Haji. Jumlah tenaga haji Indonesia tahun ini sebanyak 4.756 orang yang terdiri atas 2.718 dari Kementerian agama dan 2.038 dari Kementerian Kesehatan. Petugas haji yang ditugaskan sebagai petugas kolter sebanyak 2.535. Mereka menyertai Jemaah haji sesuai dengan kloternya. Petugas kloter haji ini meliputi Tim Pemandu Haji Indonesia (TPHI), Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia (TPIHI), Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) dan Tim Pembimbing Haji Daerah (TPHD). Sementara petugas haji non-kloter sebanyak 1.041 orang dan petugas pendukung sebanyak 1.180 orang.
Jumlah petugas haji ini lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang 3.500 petugas haji. Dengan jumlah Jemaah yang mencapai 204.000 haji regular, rasio kebutuhan petugas haji belum sepenuhnya dapat melayani secara optimal jamaah haji Indonesia, terutama petugas kesehatan dan petugas haji yang menguasai lapangan serta kemampuan manasik haji.
Masih banyaknya jamaah haji yang tersesat di Masjid al-Haram dan Madinah seharusnya diantisipasi dengan adanya petugas haji yang selalu standby di titik tertentu di area tersebut. Selain itu, petugas kesehatan haji kloter harus memiliki rekam jejak para Jemaah haji yang dilayaninya sehingga dengan demikian dapat memberikan penjelasan secara medis dan makanan apa saja yang dapat dikonsumsi untuk mengurangi resiko penyakit jamaah haji.
Saran Perbaikan
Secara umum, manajemen pelayanan Ibadah Haji tahun 2018 relatif lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena Kementerian Agama RI memiliki perencanaan yang lebih baik dalam mempersiapkan pelayanan Ibadah Haji dengan tata kelola dan manajemen yang lebih baik yang didukung petugas haji yang lebih kompeten dan sigap. Karena itu, patut kiranya memberikan apresiasi kepada Menteri Agama dan Dirjen Penyelengaraan Haji & Umroh yang telah bekerja keras menyukseskan penyeeSelain itu, tentu pihak Pemerintah Arab Saudi juga memiliki peran yang sangat penting dalam mengelola manajemen haji tahun ini yang lebih tertata, terutama penggunaan e-Hajj. Namun demikian, hasil pengamatan yang kami lakukan, hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai berikut:
Pertama, untuk lebih meningkatkan kualitas pemondokan, maka sebaiknya pemesanan pemondokan (akomodasi) harus dilakukan setelah musim haji selesai sehingga kita dapat lebih memiliki keleluasaan untuk memilih pemondokan yang lebih baik sekelas hotel bintang tiga dan lebih dekat dengan masjid al-Haram atau Mina. Dengan adanya Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), pengeluaran kebutuhan keuangan untuk keperluan dapat dikeluarkan setiap saat sesuai kebutuhan pengeluaran haji sesuai dengan UU Pengelolaan Keuangan Haji.
Kedua, terus meningkatkan fasilitas tenda jamaah yang digunakan untuk wukuf di Arafah dengan menyediakan fasilitas pendingin udara dan meningkatkan jumlah toilet yang lebih banyak. Demikian pula dengan tenda-tenda yang berada di Mina, agar lebih diperhatikan supaya para jamaah haji kita tidak terlalu bertumpuk-tumpuk dan dapat dipisahkan antara antara jamaah laki-laki dan perempuan.
Ketiga, patut dipertimbangkan menyewa lebih banyak pemondokan area dekat Mina agar lebih mempermudah jarak pada saat pelaksanaan puncak ibadah haji, terutama di Mina, sehingga Jemaah haji dapat melakukan Mabit berangkat dari pemondokan di Mina.
Keempat, menyediakan makanan harian bagi jamaah Indonesia di Mekkah 4 hari menjelang puncak ibadah haji. Hal ini justru dibutuhkan agar jamaah haji kita terjaga stamina dan tenaganya dalam menghadapi puncak haji. Bukan malah sebaliknya, pada saat menjelang puncak Haji, Jemaah haji dihentikan makanannya. Kami masih menemukan adanya maktab yang jauh dari rumah makan sementara transportasi menjelang puncak ibadah haji juga terbatas. Sehingga mereka kesulitan untuk membeli makanan. Sementara di hotel mereka tidak diperbolehkan untuk memasak sendiri.
Kelima, perlu dilakukan pengawasan katering yang lebih ketat agar penyedia catering menyediakan makanan sesuai dengan kesepakatan, terutama citarasanya sesuai dengan citarasa nusantara.
Keenam, agar pemeriksaan imigrasi Arab Saudi berupa biometric dan sidik jari yang dilakukan di beberapa embarkasi di tanah air yang merupakan fast track dapat diterapkan di seluruh embarkasi di Indonesia. Ini sangat baik supaya memudahkan pemeriksaan jamaah haji di bandara Arab Saudi dapat berlangsung dengan cepat yang biasanya antri hingga 3-4 jam.
Ketujuh, perlunya pengawasan penggunaan bis sholawat yang hanya diperuntukan Jemaah haji Indonesia. Bis sholawat yang seharusnya hanya dipergunakan untuk jamaah haji Indonesia, banyak digunakan oleh Jemaah haji lain, sehingga Jemaah haji kita tidak kebagian.
Kedelapan, meningkatkan jumlah petugas haji sesuai dengan rasio kebutuhan jamaah haji Indonesia yang jumlahnya banyak. Saat ini rasio 42 orang jamaah dilayani 1 orang petugas. Rasio ini dapat ditingkatkan menjadi 40 : 1 petugas, terutama petugas medis (dokter & perawat) mengingat Jemaah haji kita yang sebagian besar lanjut usia. Selain itu, perlu penguatan kapasitas petugas haji yang ditugaskan untuk pembinaan manasik haji agar lebih maksimal dalam membimbing Jemaah haji Indonesia.
Kesembilan, memperbanyak petugas haji Indonesia untuk disiapsiagakan di titik-titik yang sering tersesat. Petugas ini kebih pro-aktif dalam melakukan penyisiran dan mensosialisasikan kepada jamaah dimana titik keberadaan petugas yang berada di area tersebut.
Kesepuluh, melakukan rekruitmen petugas haji yang memiliki kompetensi manasik dan menguasai medan di Mekkah dan Madinah. Terutama yang harus mendapatkan perhatian adalah petugas pembimbing haji yang berasal dari daerah.
Selain kesepuluh saran di atas, masalah yang krusial yang dihadapi penyelenggaraan ibadah haji adalah masih panjangnya daftar tunggu jamaah kita. Solusi meminta penambahan kuota kepada Pemerintah Arab Saudi sangat terkait dengan daya tamping Arafah dan Mina.
Penambahan kuota Jemaah haji Indonesia dapat dilakukan jika daya tampung Arafah dan Mina semakin bertambah. Oleh karena itu perlu memberikan saran kepada Pemerintah Kerajaan Arab Saudi agar penambahan daya tampungnya dengan cara bertingkat atau manajemen pengaturan wukuf dan mabitnya memungkinkan ke arah pergerakan Jemaah yang lebih banyak lagi. Tentu hal ini memerlukan pendekatan diplomasi kepada Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
Di samping itu, Pemerintah Arab Saudi juga mengeluarkan visa haji khusus yang dikenal dengan haji furoda. Mungkin sebaiknya tentang visa haji furoda ini dapat dikoordinasikan dengan Kementerian Agama dan Kementerian Luar Negeri RI. Ini penting, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Jika visa haji furoda ini sepenuhnya diserahkan kepada travel-travel khusus dan tidak dikoordinasikan dengan Kementerian Agama dan Kementerian Luar Negeri, dikhawatirkan jika ada travel yang “nakal” dengan menelantarkan jamaah haji, Pemerintah dapat ikut bertanggungjawab untuk mengurusnya. (ARF)