JAKARTA,KHATULISTIWAONLINE.COM
Langkah KPU yang akan tetap membuat peraturan larangan eks koruptor untuk nyaleg dinilai melanggar hukum. Sebab berdasarkan hukum positif dan hukum materil, Peraturan KPU (PKPU) wajib diundangkan.
“Pasal 76 ayat (3) UU Pemilu, jelas menyebutkan PKPU harus diundangkan,” kata ahli perundang-undangan, Bayu Dwi Anggono, Sabtu (23/6/2018).
Menurut Bayu, langkah KPU itu bertentangan dengan ketentuan tentang prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia dan akan menimbulkan masalah hukum yang serius. Alasan pertama, tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai Pasal 1 angka 1 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
“Oleh karena pengundangan merupakan bagian dari tahapan pembentukan, maka wajib dilakukan dan akan membawa akibat hukum yaitu cacat prosedur dan batal demi hukum jika pemberlakuan peraturan perundang-undangan tanpa melalui pengundangan,” papar Bayu.
Kedua, dalam negara hukum berlaku fiksi hukum, yaitu asas yang menganggap semua orang tahu hukum (presumptio iures de iure). Dengan adanya asas ini maka seseorang tidak bisa mengelak dari tanggung jawab hukum dengan dalih belum atau tidak mengetahui adanya peraturan perundang-undangan tertentu.
“Adanya fiksi hukum ini membawa konsekuensi bagi pembentuk peraturan yaitu berkewajiban menyampaikan adanya peraturan perundang-undangan yang dibentuk kepada masyarakat melalui mekanisme pengundangan,” kata Bayu menegaskan.
Ketiga, kepastian mengenai kapan mulai berlaku dan mengikatnya peraturan perundang-undangan perlu disampaikan agar masyarakat mengetahuinya. Untuk itu pengundangan pada dasarnya merupakan sarana pengumuman resmi oleh negara mengenai kapan peraturan perundang-undangan mulai diberlakukan kepada masyarakat.
“Oleh karena itu Pasal 87 UU 12/2011 telah menyatakan Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan. Dengan demikian jika ada suatu peraturan perundang-undangan tidak diundangkan maka sesungguhnya peraturann tersebut tidak pernah berlaku dan tidak mempunyai kekuatan mengikat,” papar Direktur Puskapsi Universitas Jember itu.
Keempat, Pasal 76 ayat (3) UU 7/2017 tentang Pemilu mengatur PKPU dapat diuji ke Mahkamah Agung dalam jangka waktu paling lambat 30 hari kerja setelah diundangkan.
“Dengan demikian tindakan memberlakukan PKPU Pencalegan tanpa tanpa terlebih dahulu diundangkan sama saja dengan menutup peluang PKPU ini diuji oleh pihak tertentu ke MA yang berarti membatasi akses pencari keadilan. Selain itu Ketentuan Pasal 76 ayat (3) UU 7/2017 juga dapat dimaknai sebagai perintah setiap PKPU wajib untuk diundangkan,” cetus ahli dengan disertasi soal Kualitas UU Pasca Reformasi itu.
Kelima, Putusan MK yang sifatnya final dan mengikat serta wajib ditaati oleh semua lembaga negara tanpa terkecuali. Yaitu Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 yang menyatakan mantan terpidana yang tidak dicabut hak politiknya oleh Pengadilan sepanjang bersedia secara terbuka dan jujur mengemukakan ke publik bawah dirinya adalah mantan terpidana tetap memiliki hak untuk dicalonkan dalam Pemilu.
“Karena itu jika KPU tetap bersikeras untuk mengatur dalam PKPU larangan eks koruptor menjadi caleg maka sama saja KPU tidak mematuhi putusan MK,” tandas Bayu.
Lalu apa solusinya?
“KPU perlu secara kreatif mengambil solusi alternatif guna mencegah eks koruptor menjadi caleg namun tanpa harus melanggar putusan MK. Salah satu solusi alternatif yang bisa dilakukan adalah KPU mengundang seluruh Ketua Umum Parpol untuk menandatangani deklarasi tidak mencalonkan eks koruptor sebagai caleg di mana deklarasi ini diliput media besar-besaran. Jika ada Parpol yang menolak menandatangani deklarasi maka publik dapat mengkampanyekan Parpol bersangkutan tidak pro pemberantasan korupsi dan jangan dipilih dalam Pemilu,” jawab Bayu tegas. (DON)