Tel Aviv –
Saar mengatakan kepada wartawan, seperti dilansir AFP, Selasa (29/7/2025), jika Israel menghentikan konflik saat Hamas masih berkuasa di Jalur Gaza dan masih menahan para sandera, maka itu akan menjadi “tragedi bagi Israel dan Palestina”.
“Itu tidak akan terjadi, tidak peduli seberapa besar tekanan yang diberikan kepada Israel,” tegas Saar dalam pernyataannya.
Israel menggencarkan operasi militer melawan Hamas di Jalur Gaza selama hampir 22 bulan terakhir, sejak serangan lintas perbatasan pada 7 Oktober 2023 dilancarkan oleh Hamas.
Dalam beberapa pekan terakhir, tekanan internasional semakin meningkat untuk gencatan senjata agar badan-badan bantuan dapat membanjiri Jalur Gaza dengan bantuan pangan dan mencegah apa yang disebut oleh para pemantau yang didukung PBB sebagai kelaparan yang meluas.
Namun, dalam konferensi pers di Yerusalem, Saar bersikeras menegaskan bahwa Hamas bertanggung jawab penuh atas konflik tersebut dan bahwa tekanan terhadap Israel hanya akan mendorong Hamas untuk mengambil sikap garis keras.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Israel, Gideon Saar, menolak apa yang disebutnya sebagai “kampanye yang terdistorsi” dari tekanan internasional untuk gencatan senjata Gaza dan pengakuan resmi untuk negara Palestina.
“Ketika mereka menuntut diakhirinya perang ini, apa sebenarnya maksudnya? Mengakhiri perang saat Hamas tetap berkuasa di Gaza?” tanyanya.
Saar juga menanggapi langkah-langkah beberapa negara, termasuk Prancis, untuk menghidupkan kembali upaya solusi dua negara bagi konflik Israel-Palestina.
“Menteri Luar Negeri Prancis mengatakan di New York kemarin bahwa Eropa harus menekan Israel untuk menerima solusi dua negara,” ucapnya.
“Mendirikan negara Palestina saat ini sama saja dengan mendirikan negara Hamas, negara jihadis. Itu tidak akan terjadi,” tegas Saar dalam pernyataannya. (BAS)