Berlin – Holger Feldberg telah menjadi pilot Lufthansa selama 35 tahun. Tetapi mendarat dengan Boeing 747-nya di Bandara Auckland pada akhir Maret tahun ini adalah kali pertama baginya. Begitu banyak orang Jerman yang menunggunya untuk kembali ke rumah.
Biasanya, maskapainya tidak terbang ke Selandia Baru. Jadi untuk penerbangan kali ini, Feldberg tidak bisa mengandalkan data navigasi yang sudah diprogram ke dalam komputer. Sebaliknya, pilot berusia 56 tahun itu harus menggunakan peta konvensional: “Kami menilai risiko penggunaan peta dalam pendaratan.” Untungnya, baik-baik saja, seperti yang dia katakan kepada DW, bahwa inilah “yang kami selalu gunakan untuk menerbangkan pesawat.”
Perjalanan Feldberg ke Auckland adalah bagian tahap awal misi repatriasi besar yang diluncurkan oleh Menteri Luar Negeri Jerman, Heiko Maas ketika virus corona mulai menyebar secara global. Beberapa hari setelah penerbangannya ke dan dari Auckland, Feldberg kembali beraksi, menerbangkan warga negara Jerman pulang dari Lima, Peru.Sejauh ini, lebih dari 240.000 orang Jerman telah dipulangkan. Tetapi berbicara dengan mingguan Jerman Bild am Sonntag akhir pekan lalu, Maas mengatakan sekitar 1.000 warga negara masih terdampar di luar negeri. Situasi ini sangat bermasalah di Pakistan, yang telah menghentikan semua lalu lintas udara internasional hingga akhir April. Dua penerbangan repatriasi diselenggarakan untuk menjemput lagi warga Jerman dari sana, tetapi banyak yang masih belum bisa dipulangkan.
Solidaritas yang terbangun
Pada awal Maret, Ricarda, seorang mahasiswi berusia 21 tahun dan seorang temannya terbang ke Selandia Baru untuk mengunjungi bekas keluarga angkat mereka. Tetapi segera setelah mereka tiba, negara itu menetapkan ‘lockdown’ , dan tuan rumahnya menyarankan dia kembali pulang ke Jerman.
Ricarda mulai mencari penerbangan. Kemudian, larut malam, Kedutaan Besar Jerman menghubunginya, mengatakan bahwa dia harus datang ke bandara Auckland pukul 5 pagi keesokan paginya untuk naik pesawat. Itu adalah penerbangan yang dipiloti Holger Feldberg.
Dia tiba di terminal bandara dan dengan cepat melihat rasa solidaritas yang kuat di antara mereka yang menunggu di bandara. Dia memberi tahu DW bagaimana “semua orang sangat hangat. Ada satu keluarga di gerbang yang membawa banyak makanan; mereka berbagi dengan semua penumpang.”
Feldberg datang ke gerbang pintu boarding juga untuk membantu kru darat menyelesaikan check-in.
Tidak ada yang tertinggal
Awak kabin melakukan yang terbaik agar semua penumpang terangkut. Orang tua membawa anak-anak mereka di pangkuan mereka, dan kursi darurat yang biasanya disediakan untuk awak kabin diberikan kepada penumpang yang lebih muda.
Setelah singgah di Tokyo, beberapa penumpang menyerahkan kursi kelas bisnis mereka sehingga yang lain dapat menikmati perjalanan terakhir dalam kenyamanan yang lebih baik. “Kami tidak harus meninggalkan siapa pun di Auckland, atau Lima,” kata Feldberg.
Ricarda mengingat banyak pengumuman dalam pesawat yang disampaikan Kapten Feldberg. “Dia berbicara kepada kami lebih banyak dari pilot biasanya, dan setelah sampai di Tokyo dia menggambarkan bagaimana dia bisa melihat awak kabin berikutnya mendekat,” ingatnya. Di Tokyo, awak kabin dan pilot baru mengambil alih pesawat, menerbangkan ratusan penumpang kembali ke Frankfurt.
Untuk saat ini, Holger Feldberg sedang menikmati liburannya. Tapi begitu cutinya selesai, dia kembali siap untuk mengemudikan pesawat berikutnya guna membawa pulang orang-orang Jerman yang terdampar di mancanegara.(NOV)