JAKARTA,KHATULISTIWAONLINE.COM
Agus Rahardjo Cs hari ini menghadirkan 2 orang ahli dalam gugatan uji materi revisi UU KPK di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam sidang itu, ahli menyoroti keberadaan Dewan Pengawas KPK yang lahir dari UU KPK yang baru.
Ahli yang dihadirkan yakni Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti dan Zainal Arifin Mochtar. Dalam sidang itu, Zainal menyebut Dewas KPK membuat adanya dualisme di lembaga antirasuah itu.
“Saya tidak habis pikir sebuah lembaga negara independen dibuat dengan konsep ada dualisme di internalnya. Saya coba baca di lembaga negara independen, saya tidak temukan lembaga pengawas. Kalau pun ada dia bukan bagian yang setara,” kata Zainal di Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (19/2/2020).
Keberadaan Dewas KPK menurut Zainal akan menimbulkan konflik internal. Dia berkaca pada kasus yang baru-baru ini terjadi di TVRI.
“Dewan pengawas yang saya temukan agak mirip KPK ini, yang agak mirip saya lihat malah di TVRI melalui PP 13 2005, ada dewan pengawas. Kita lihat hasilnya sekarang, TVRI berantem di internal,” ujarnya.
“Pertarungan itu sederhana, karena tidak jelas siapa yang akan membuat konsep menjalankan kewenangan seperti dewan pengawas,” imbuhnya.
Dia juga bicara soal proses revisi UU KPK yang saat ini sudah berlaku. Guru besar Universitas Gajah Mada itu berpendapat ada banyak hal yang dilanggar dalam pembuatan UU itu.
“Pada dasarnya kita kita sudah dipertontonkan pembuatan undang-undang yang mengangkangi begitu banyak hal, fungsi representasi yang tak representatif, pubik dibelakangi, begitu juga pelanggaran yang banyak dan serius dalam undang-undang ini,” tutur Zainal.
Dia menjelaskan, pembentukan sebuah undang-undang harus didasarkan pada keinginan rakyat. Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU menurutnya tak boleh mengabaikan keinginan rakyat untuk menjalankan wewenang mereka.
“Menurut saya pembentukan undang-undang harus memperhatikan 2 hal, kewenangan lembaga pembentuk dan ada keinginan rakyat. Yang saya khawatirkan ketika mulai ada di kepala pembentuk undang-undang bahwa undang-undang ini tidak ada kaitan dengan keinginan rakyat. Rakyat tinggal menunggu saja apa yang akan diserahkan pada mereka untuk mereka pakai,” ucapnya.
“Gejala ini saya lihat makin membuncah belakang. Kalau kita baca undang-undang omnibus law. Apalagi begitu banyak sekarang alasan yang menurut saya ada kesenangan baru pemerintah dan DPR, dengan menyampaikan alasan bahwa kami salah kerik. Salah ketik ini terjadi juga di UU nomor 19 ini, pemerintah dan DPR mengatakan ada salah ketik di beberapa hal,” imbuh Zainal.
Dia juga menyoroti proses persetujuan revisi undang-undang KPK di DPR. Menurut 102 anggota DPR yang hadir ketika itu tak bisa semerta-merta dianggap mewakili suara anggota DPR lainnya.
“Menjadi menarik melihat undang-undang ini yang kemudian dihadiri hanya segelintir. Tidak sampai kuorum,” pungkasnya.(DON)