Santiago –
Korban jiwa akibat aksi-aksi demo yang diwarnai kerusuhan di Chile telah bertambah menjadi 23 orang seiring kerusuhan di negeri itu telah memasuki minggu kelima.
Aksi-aksi penjarahan dan demonstrasi besar-besaran terus terjadi di kota-kota di negara Amerika Selatan itu. Kesepakatan soal rencana politik untuk menyusun konstitusi baru Chile tak mampu menghentikan kemarahan rakyat maupun pertumpahan darah di negeri itu.
Diketahui bahwa sejak 18 Oktober lalu, warga Chile yang marah melakukan aksi-aksi demo untuk memprotes kesenjangan sosial dan ekonomi dan terhadap elit politik yang berurat berakar, yang berasal dari sejumlah kecil keluarga terkaya di negeri ini, di antara masalah-masalah lainnya.
Krisis tersebut menjadi krisis terburuk dalam tiga dekade demokrasi Chile dan telah menyebabkan sekitar 2 ribu orang luka-luka, termasuk sekitar 280 orang yang menderita kerusakan mata akibat shotgun kepolisian.
Korban jiwa terbaru adalah seorang anak laki-laki berumur 13 tahun yang ditabrak oleh sebuah mobil saat aksi demo di Arica, sekitar 2.100 kilometer utara Santiago, ibu kota Chile.
Pada Jumat (22/11) waktu setempat, ribuan orang kembali berkumpul di Plaza Italia, yang menjadi pusat aksi-aksi demo di Santiago dan lokasi aksi-aksi demo mingguan yang diikuti oleh massa yang besar.
“Kami tidak bisa tenang. Kami harus terus mengekspresikan diri kami karena kami belum mencapai apa-apa, karena penindasan terus berlanjut dan juga (pemerintah) terus menandatangani perjanjian palsu, seperti perjanjian damai,” cetus Claudia Ortolani, seorang pengunjuk rasa muda, mengatakan kepada AFP, Sabtu (23/11/2019).
Di dekatnya, orang-orang bersiap melawan polisi, yang membubarkan kerumunan massa dengan gas air mata dan meriam air.
Sementara itu, sekitar seratus orang berunjuk rasa di luar Costanera Center, mal terbesar di Amerika Selatan, saat sekitar dua puluh polisi anti huru-hara menjaga pintu masuk gedung.
Sebelumnya pada Kamis (21/11), otoritas Chile menangkap 700 orang dalam kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di sejumlah lokasi.
Gejolak di Chile awalnya dipicu oleh kenaikan tarif transportasi umum, khusus pada jam sibuk sebesar US$1,17 (sekitar Rp 16 ribu). Padahal pada Januari lalu, ongkos transportasi umum setempat juga sudah dinaikkan.
Pemerintah beralasan mengambil kebijakan itu karena kenaikan harga bahan bakar minyak dan nilai tukar Peso yang melemah.
Masyarakat Chile juga mengkritik pemerintah karena lambatnya pertumbuhan ekonomi, dan mendesak pemerintah supaya mengubah undang-undang tenaga kerja, perpajakan, serta jaminan pensiun.(DAB)