JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM
Tim Advokasi Kebutuhan Pokok Rakyat yang terdiri dari ELSAM, Greenpeace Indonesia, PILNET IndonesiaPerkumpulan HuMa, Sawit Watch, dan WALHI Nasional mengajukan banding atasputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait gugatan perkara kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng.
Putusan Perkara Nomor 150/G/TF/2022/PTUN.JKT terkait Perbuatan Melanggar Hukum (PMH) oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atas terjadinya kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng yang terjadi pada bulan Maret-April 2022.
Dalam siaran Pers Bersama di Jakarta pada Jumat (6/1/2023), Abdul Wahid Tim Kuasa Hukum dari PILNET Indonesia menjelaskan bahwa jika merujuk amar putusan PTUN Jakarta Nomor: 150/G/TF/2022/PTUN.JKT, tanggal 15 Desember 2022 tersebut menyatakan Gugatan Penggugat tidak diterima, dengan pertimbangan (alasan):
1. Objek gugatan Penggugat merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang dikecualikan sebagai objek sengketa dalam Kompetensi Absolut Tata Usaha Negara (TUN) sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf b Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
2. Objek Gugatan tidak termasuk kualifikasi keputusan tata usaha negara yang mencakup tindakan faktual (tindakan administrasi pemerintahan)
3. Objek Gugatan tidak termasuk sebagai objek sengketa tata usaha negara, dan Pengadilan TUN tidak berwenang mengadli perkara (Kompetensi Absolut).
Sedangkan Andi Muttaqien dari Tim Kuasa Hukum dan Koordinator PIL-Net menyatakan bahwa putusan perkara ini sangat mengagetkan dan mengecewakan Penggugat karena Majelis Hakim tidak memeriksa dan menilai pokok perkara.
Sehingga pada tanggal 28 Desember 2022, Penggugat melalui Kuasa Hukumnya yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebutuhan Pokok Rakyat mengajukan Permohonan Pernyataan Banding di Pengadilan secara elektronik (e-court) Upaya hukum banding ini dilakukan adalah karena Penggugat menilai pertimbangan Majelis Hakim PTUNJakarta salah dan keliru.
Untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat,Judianto Simanjuntak, Tim Kuasa Hukum dari PILNET Indonesia lebih lanjut menjelaskan bahwa Majelis Hakim PTUN Jakarta telah keliru dan salah menyimpulkan dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa Objek Gugatan Penggugat merupakan produk hukum dari Para Tergugat (Menteri Perdagangan RI dan Presiden RI) yaitu merupakan pengaturan yang bersifat umum.
Objek Gugatan yang merupakan ruang lingkup kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara, kata Judianto Simanjuntak tidak terbatas hanya pada sebuah penetapan tertulis saja (Surat Keputusan) tetapi juga sebuah tindakanfaktual (tindakan administrasi pemerintahan), baik itu melakukan atau tidak melakukan sesuatu oleh pejabat Tata Usaha Negara seperti halnya Objek Gugatan Penggugat.
Penggugat mengklasifikasikan Objek Gugatan Penggugat sebagai sebuah “tindakan faktual” (tindakan Administrasi Pemerintahan) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) Jo Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan Jo Peraturan Mahkamah Agung No 2 tahun 2019.
Oleh karena itu, Penggugat keberatan atas argumentasi maupun pertimbangan hukum dari Majelis Hakim PTUN Jakarta tersebut karena hal itu merupakan kekeliruan dari Majelis Hakim yang dengan sengaja menafsirkan Objek Gugatan Penggugat secara kabur.
“Selain itu, Penggugat menilai Majelis Hakim PTUN Jakarta telah salah dan keliru menyatakan Objek Gugatan tidak termasuk sebagai objek sengketa tata usaha negara, dan menyatakan Pengadilan Tata Usaha Negara tidakberwenang mengadli perkara (Kompetensi Absolut),” ujar Judianto Simanjuntak. Sementara Achmad Surambo dari Direktur Eksekutif Sawit Watch sebagai Penggugat menyatakan, pihaknya mengajukan banding terhadap putusan PTUN Jakarta dan didukung oleh aliansi masyarakat sipilyakni ELSAM, Greenpeace Indonesia, Public Interest Lawyer Network (PILNET) Indonesia, Perkumpulan HuMa, dan WALHI Nasional.
Menurut Achmad Surambo bahwa putusan atas gugatan yang diajukan tersebut tidak termasuk sebagai objek sengketa tata usaha negara sehingga gugatan penggugat tersebut tidak dapat diterima adalah keliru dan salah.
“Kekeliruan Hakim menyimpulkan tentang objek gugatanini akan berdampak besar karena membuka kemungkinan hal serupa terjadi lagi di masa depan.
Tata kelola hulu ke hilir industri sawit harus segera dibenahi untuk mencegah potensi pelanggaran hak asasi manusia lebih besar lagi,” kata Achmad Surambo.
Pada kesempatan yang sama, Sekar Banjaran Aji dari Greenpeace Indonesia menilai, bahwa dengan usaha banding dalam perkara ini, merupakan kesempatan kedua Majelis Hakim Pengadilan Tinggi TUN Jakarta membuka diri untuk melanjutkan memeriksa dan mempertimbangkan substansi perkara (pokok perkara).
Seharusnya, menurut Sekar Banjaran Aji, Majelis Hakim dapat secara jernih mempertimbangkan substansi perkara (pokok perkara) yaitu persoalan distribusi minyak goreng yang tidak terlepas dari aspek-aspek administratifberupa kecacatan administratif dan tindakan oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini perlu diuji dalam persidangan di Pengadilan. (AMS)