JAKARTA,KHATULISTIWAONLINE.COM
Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2019, salah satunya mengakui dan mengatur tata cara pernikahan antar penghayat kepercayaan. Beberapa waktu sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengakui penghayat masuk dalam identtas di e-KTP.
Sebagaimana dikutip dari website jdih.setneg.go.id, Selasa (23/7/2019), PP Nomor 40/2019 itu ditandatangani Jokowi pada 23 Mei 2019. PP itu bernama Pelaksana UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Sebagaimana Telah Diubah dengan UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Dalam Bab VI mengatur ‘Tata Cara Pencatatan Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa’.
“Perkawinan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilakukan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,” demikian bunyi Pasal 39 ayat 1.
Pemuka penghayat yang dimaksud ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Organisasi tersebut harus terdaftar di kementerian terkait.
“Pencatatan perkawinan dilakukan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota atau UPT Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota paling lambat 60 hari setelah dilakukan perkawinan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,” demikian bunyi Pasal 40 ayat 1.
Syarat administrasi yang harus dipenuhi adalah:
1. Mengisi formulir pencatatan perkawinan.
2. Pasfoto suami dan istri.
3. Akta Kelahiran.
4. Dokumen perjalanan luar negeri suami dan/atau istri bagi orang asing.
Setelah itu, pejabat terkait mengeluarkan kutipan akta perkawinan.
“Kutipan akta perkawinan diberikan masing-masing kepada suami dan istri,” demikian bunyi pada 40 ayat 2 huruf e.
Sebelum lahir PP 40/2019 itu, MK telah mengakui legitimasi Penghayat dengan memerintahkan mereka dicatat di e-KTP. Hal itu disambut baik para pihak, terutama penghayat.
“Hak untuk menganut agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan hak konstitusional (constitutional rights) warga negara, bukan pemberian negara. Dalam gagasan negara demokrasi yang berdasar atas hukum atau negara hukum yang demokratis, yang juga dianut oleh UUD 1945, negara hadir atau dibentuk justru untuk melindungi (yang di dalamnya juga berarti menghormati dan menjamin pemenuhan) hak-hak tersebut,” putus MK yang diketok oleh Ketua MK Arief Hidayat.(DAB)