TANGERANG,khatulistiwaonline.com
Situ Cipondoh yang terletak di wilayah Kota Tangerang merupakan aset limpahan dari Pemprov Jawa Barat kepada Pemrov Banten.Meski demikian, sampai saat ini Pemprov Banten belum dapat mengelola aset tersebut, karena pihak Pemprov Jabar masih terikat kontrak dengan pengelola swasta.
“Sejak penyerahan aset Situ Cipondoh dari Pemprov Jawa Barat kepada Pemprov Banten tahun 2007, Pemprov Banten tidak bisa mengelola Situ Cipondoh karena sudah dikelola PT. Griya Tritunggal Paksi dari hasil kerja sama dengan Jabar dulu,” kata Budi Usman, aktifis penggiat lingkungan Selasa (6/3/2018).
Diketahui, antara Pemprov Jawa Barat bersama PT. Griya Tritunggal Paksi terjadi MoU tentang pengelolaan situ tersebut sejak tahun 1993 dengan masa kerja selama 30 tahun.
“Artinya, kontraknya baru berakhir 2023 mendatang. Masalahnya, PT. Griya Tritunggal Paksi ini ternyata sudah menggadaikan sertifikat hak guna bangunan (HGB) kepada PT Sinar Mas Multi Finance. Ini akan jadi rigid (rumit) lagi kalau tidak segera diselesaikan. Bisa bisa aset Cipondoh ini hilang kalau begini,” tutur Budi Usman.
Pada 12 November 2016 lalu, pimpinan dan anggota Komisi I melakukan kunjungan kerja ke Setda Provinsi Jawa Barat. Dalam kunjungan kerja itu, pihaknya mempertanyakan tindak lanjut penyelesaian aset limpahan Provinsi Jawa Barat ke Provinsi Banten Situ Cipondoh sebagai lahan konservasi yang terletak di Provinsi Banten dikabarkan tergadai oleh pihak perusahaan yang terikat kontrak dengan Pemrov Jawa Barat untuk mengelola lahan ini menjadi kawasan wisata air.
Persoalan Situ Cipondoh ini sebenarnya sudah mengemuka dan ramai dibicarakan di media massa sejak sekitar tahun 2009. Masalah ini terkuak saat terjadi rapat pembahasan penanganan pasca bencana jebolnya tanggul Situ Gintung. Saat itu dalam rapat juga dibahas tentang status pengelolaan Situ Cipondoh pada pihak swasta selama 30 tahun terhitung sejak tahun 1993 hingga berakhir pada tahun 2023.
Fakta ini tertuang dalam dokumen Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) yang menyebutkan adanya perjanjian antara pemerintah provinsi Jawa Barat dengan Komisaris PT. Griya Tunggal Paksi (GTP). Saat itu Tangerang masih masuk wilayah Provinsi Jawa Barat, sebelum akhirnya dipecah terbentuk Provinsi Banten tahun 2000.
Karena itu saat ini, kepemilikan danau seluas 175 hektar ini masih tetap di tangan pemerintah Provinsi Banten.
Di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) inilah, saat itu Pemrov Jawa Barat membuatkan Hak Guna Bangunan (HGB). Namun ironisnya, perusahaan yang mendapat HGB ini bukan mengelola lahan ini menjadi tempat pariwisata yang mendatangkan manfaat, malah menggadaikan serifikat HGB ini ke sebuah bank swasta.
Awalnya diduga sertifikat ini disebut-sebut diagunkan ke sebuah perusahaan asal Singapura. Dasar pencabutannya jelas, karena sejak tahun 1993, investor pemilik HGB tidak melaksanakan kewajibannya mengelola dan mengembangkan Situ Cipondoh ini sebagai kawasan wisata air.
Menurut Budi Usman bahwa sudah terbayang akhirnya kasus ini menjadi perseteruan antara Pemrov Jawa Barat dan Pemrov Banten. Pemrov Jawa Barat mengklaim situ tersebut miliknya secara de jure, meski secara de factoterletak di wilayah geografis Provinsi Banten. Sejak pengukuhan Kota Tangerang masuk wilayah Provinsi Banten pada tahun 2000, ditegaskan dalam setahun semua aset Provinsi Banten sudah harus diserahkan oleh Pemrov Jawa Barat.
Namun karena Pemrov Jawa Barat belum mengubah ketentuannya, bahkan menggandeng pihak swasta dalam pengelolaannya selama kurun 30 tahun, membuat Situ Cipondoh ini sempat tak terurus. Danau yang menjadi tempat masyarakat bersantai itu terlihat sangat kotor dipenuhi eceng gondok. Hingga bagai kawasan tak bertuan.
Apapun persoalannya, harusnya semua pihak terkait bisa duduk bersama, tanpa harus saling tuding. Faktanya BBWSCC telah menegaskan, penguasaan seluruh Situ dan lahan disekitarnya oleh perorangan atau perusahaan tertentu, jelas bertentangan dengan konsep keberadaan situ sebagai lahan konservasi dan tampungan air pengendali banjir. Karena penguasaan lahan seperti ini memicu kerawanan terjadinya alih fungsi kawasan konservasi yang membahayakan kesimbangan lingkungan. (NGO)