JATINANGOR, khatulistiwaonline.com
Tanah eks perkebunan Jatinangor yang di atasnya telah berdiri sejumlah kampus terkenal dan fasilitas umum lainnya, digugat warga dan menuntut hak atas tanah tersebut.
Roni Riswara, selaku ahli waris mengatakan, tanah eks perkebunan Jatinagor sudah dikelola sejak tahun 1841 oleh pemiliknya, yaitu WA. Baron Baoed (Lahir di Batavia tahun 1816). Untuk pengelolaan perkebunan tersebut WA. Baron Baoed menggunakan perusahaannya NV. Maatschappy Tot Ekspoitatie Der Ondernemingen Nagelanten Door Mr. WA. Baron Baud. Sedangkan WA. Baron Baoed menikah dengan Antjiah Binti Moetakin Bin E, Koesoemah Bin Adiwikarta pada tahun 1857 dengan bukti kutipan akta nikah No : K15/V/Dup/11/IV/1984 yang bersumber dari buku ontang anting kawin tahun 1857, kemudian tahun 1879. Sehingga semua harta dan perusahaan WA. Baron Baoed selanjutnya dikelola oleh anak dan istrinya (Baronesse IdaLouise Junia Baoed/ Mimosa dan Antjiah). “Peralihannya jelas sebelum lahirnya UUPA tahun 1960” , ucap Roni Riswara.
Di atas tanah eks Perkebunan Jatinangor, kata Roni Riswara, sudah banyak berdiri universitas ternama, yang mana masing-masing memegang hak pakai dan hak pengelolaan berdasarkan Perda Tahun 1992 diatur pembagiannya (IPDN, Unpad, Unwin, ITB, Ikopin-Bumi Perkemahan Kiara Payung dan Lapangan Golf BGG-red). Terkait hak pakai tersebut merupakan turunan dari SHGU atas nama Pemprov. Jabar yang terbit pada tahun 1967 yang masa berlakunya habis tahun 1990.
Permasalahan menurut Roni Riswara, timbul ketika Pemprov Jabar pada tahun 1967 mendapatkan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU), yang mana dasar sampai terbitnya SHGU tersebut terdapat kesalahan penunjukan dan penetapan objek dasar Erfach No 3 milik NV. Maatschppy Tot Ekploitatie Der Ondermemingen Nagelanten Door Mr. WA. Baron Baoed, serta dicantumkannya SK HGU No.SK.17/HGU/65 tertanggal 22 Maret tahun 1965 . “Kemungkinan karena pada waktu itu perkebunan Jatinangor dikelola oleh NV. milik WA. Baron Baoed, sehingga pemerintah beranggapan tanah Jatinangor Erfach No3 (Hak Guna Usaha kalau sekarang), dan otomatis menjadi tanah Negara sesuai Undang-Undang No:1 Tahun 1958. Yang menjadi salah kaprah dinasionalisasi itu perusahaannya bukan hak kepemilikan tanah, pemilik tanah diberikan kesempatan untuk konversi atas tanah miliknya, sehingga yang asalnya administrasi konial diganti dengan administrasi tanah sesuai UUPA,” tegas Roni Riswara.
“Tugas pemerintah meluruskan dan menyelesaikan permasalahan yang terjadi saat ini akibat kesalahan pemimpin yang terdahulu. Jangan melupakan sejarah dan jangan membelokan sejarah, biarkan benang merah sejarah ini menjadi benang merah yang sebenarnya , tanpa ditunggangi kepentingan siapapun,” kata Roni Riswara.
Menurutnya, terkait tanah eks perkebunan Jatinangor tinggal niat dan kemauan pemerintah, khususnya pemerintah Provinsi Jawa Barat, apakah mau menyelesaikan permasalahan tanah eks perkebunan Jatinangor supaya menjadi berkah, bermanfaat dan bernilai ekonomi bagi semua pihak. Ataukah akan cuci tangan dan berdalih tidak tahu apa-apa “Saya tegaskan, pada prinsifnya sebagai ahli waris hanya menuntut supaya kami mendapat hak sebagai warga Negara, dan kami sepakat tidak akan mengganggu tatanan yang sudah ada. Tetapi mari sama-sama kita tata ulang tanah eks perkebunan Jatinangor bersama-sama, sehingga bisa menjadi pusat untuk menimba ilmu penerus bangsa yang diberkahi,” tuturnya.
Pada kesempatan ini akan saya uraikan beberapa fakta sebenarnya yang selama ini menjadi kesimpang siuran. Kami ahli waris sah atas eks perkebunan Jatinangor eks Eigendom Vervonding No:3 AN. WA. Barun Baoeud tahu pasti apa dasar tanah eks perkebunan Jatinangor, eks Erfach No:3 seperti yang diklaim pemerintah atau kah eks Eigendom Vervonding No :3 AN .WA. Baron Baoeud yang surat aslinya kami miliki. “Kamikan pemiliknya yang pasti lebih tahu dari pihak lain,” jelas Roni Riskara.
Menurut ketentuan UUPA yang dibuat oleh pemerintah setiap pemilik ataupun ahliwaris atas tanah Eigendom Vervonding diberikan kesempatan melakukan konversi dari tahun 1960 s/d tahun 1980. “Tetapi kenapa tahun 1965 tanah kami sudah diambil alih oleh pemerintah, bagaimana kami bisa mengurus hak kami,” ujarnya.
Berdasarkan buku panduan yang saya miliki, PP No: 19 tahun 1959.LN.1959. No.31 Direktorat Landreform tahun 1978, Direktorat penguasaan tanah BPN tahun 1966 aset Baron Baoed tidak terkena nasionalisasi, karena Baron Baoed sendiri lahir di Batavia tahun 1816 dan meninggal tahun 1879, sehingga sebelum lahirnya UUPA sudah terjadi peralihan berdasarkan TIRKAH waris ke anak dan istrinya, sementara anak dan istrinya asli orang Cibesi Jatinangor (sumber buku itu pemerintah yang membuatnya bukan ahli waris).
Berdasarkan data-data yang saya dapatkan dari Belanda juga membuktikan bahwa WA. Baron Baoed memang pemilik tanah perkebunan jatinangor dan sekaligus pemilik NV. Maatschappy Tot Ekploitatie Der Ondernemingen Nagelanten Door Mr. WA. Baron Baoed dan kalaupun pemerintah menganggap tanah jatinangor sebagai tanah yang terkena nasionalisasi kenapa ganti ruginya ga pernah dilakukan, (karena menurut undang-undang seperti itu yang saya tahu) . ini fakta hukum yang paling mendasar bahwa berdasarkan surat resmi Kementerian ATR /BPN No:2829/5.13-100/VI/VI/2016 tertanggal 21 Juni 2016 dan surat Balai Harta Peninggalan (BHP) bahwa terkait SK No:17/HGU/65 dan Erfach No:3 itu tidak pernah ada /tidak tercatat. “Pastinya, prosedur penerbitan HGU sudah benar tetapi dasar-dasar yang digunakan tidak benar, sementara turunan HGU ini masih melekat dalam Sertifikat Hak Pakai yang dipegang para pihak terkait sampai sekarang, mungkin kalau bahasa hukum pidana ada keterangan palsu yang digunakan pada Akta Autententik, dan mungkin juga kalau bahasa hukum perdata telah terjadi Mal Administrasi,” jelas Roni.
Pihaknya berharap pemerintah memperbaiki birokrasi atas kekeliruan di atas tanah eks perkebunan jatinangor eks Eigendom Vervonding No:3 yang terjadi di masa lampau.(HAR)