JAKARTA,khatulistiwaonline.com
UU MD3 telah disahkan DPR tapi langsung ditolak oleh masyarakat. Suara pun bermunculan bagaimana menganulir UU tersebut sehingga tidak berlaku karena dinilai bisa memberangus demokrasi.
Langkah pertama yaitu UU tersebut tidak akan ditandatangani Presiden. Tapi langkah tersebut dinilai sia-sia karena RUU yang telah disahkan itu tetap menjadi UU.
“Pasal 20 ayat (5) UUD Tahun 1945 menyebutkan bahwa dalam hal suatu RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan,” kata Direktur Puskapsi FH Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono kepada khatulistiwaonline, Rabu (21/2/2018).
Sesuai pasal 49 ayat (2) UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan Presiden dapat menugaskan menteri-menteri untuk mewakili Presiden membahas suatu RUU bersama DPR. Namun demikian tidaklah dapat diartikan bahwa menterilah yang bertanggung jawab atas disetujuinya suatu RUU mengingat menteri dalam melaksanakan tugas membahas RUU bersama DPR sesungguhnya tetap atas nama Presiden.
“Dengan logika yang demikian maka tidak bisa di kemudian hari karena ada persoalan di publik maka Presiden menyatakan tidak ikut bertanggung jawab atas RUU yang telah disetujui oleh DPR dengan menteri-menteri karena pada dasarnya menteri-menteri tersebut bertindak atas nama Presiden,” ujar pakar di bidang ilmu perundangan itu.
Secara substansi, UU MD3 yang dinilai oleh mayoritas publik antidemokrasi, bertentangan dengan prinsip persamaan di depan hukum dan bertentangan dengan putusan MK terdahulu. Atas permasalahan ini telah tersedia upaya hukum yang dijamin oleh UUD 1945 yaitu menguji ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Sikap Presiden yang tidak segera mengesahkan RUU Perubahan UU MD3 justru akan menghambat publik untuk dapat segera menguji ke MK, hal ini dikarenakan hukum acara MK mensyaratkan hanya UU yang telah disahkan Presiden dan diundangkan yang dapat jadi obyek pengujian di MK,” papar Bayu.
Langkah terakhir, yaitu Presiden setelah mengesahkan dan mengundangkan UU MD3, dapat menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang menghapus pasal-pasal dalam UU Perubahan UU MD3 yang ditolak mayoritas publik. Jalan membuat Perppu ini dijamin oleh Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan tafsir putusan MK tahun 2009 atas makna ‘kegentingan yang memaksa.
“Dalam kasus yang hampir sama sejarah kenegaraan kita mencatat pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengeluarkan Perppu sesaat setelah mengundangkan UU Pilkada karena mayoritas publik menolak pengaturan dalam UU Pilkada yaitu kepala daerah dipilih oleh DPRD,” cetus Bayu. (NGO)