Khartoum –
Militer Sudan membubarkan secara paksa massa yang telah duduk selama berminggu-minggu di depan markas militer Khartoum. Ada 30 orang yang tewas dan ratusan lainnya terluka akibat pembubaran paksa ini.
Dilansir dari AFP, Selasa (4/6/2019), anggota Pasukan Pendukung Cepat paramiliter bersenjata berat dikerahkan di sekitar ibu kota, menjaga pintu masuk ke jembatan yang melintasi Sungai Nil, dan bergerak dalam konvoi di sekitar kota.
Amerika Serikat menyebut tindakan terhadap para pengunjuk rasa itu perbuatan brutal. Para demonstran sendiri disebut ingin para jenderal di belakang penggulingan presiden veteran Omar al-Bashir untuk diserahkan ke pemerintahan sipil.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga mengutuk penggunaan kekuatan berlebihan oleh pasukan keamanan terhadap pengunjuk rasa dan menyerukan penyelidikan independen. Dewan Keamanan PBB pun disebut akan bertemu secara tertutup untuk membahas Sudan usai permintaan perundingan olehInggris dan Jerman.
Komite Sentral Dokter Sudan, yang dekat dengan para pengunjuk rasa, mengatakan jumlah korban meningkat menjadi lebih dari 30 orang dan ratusan orang terluka. Seorang anak berusia delapan tahun disebut termasuk di antara mereka yang tewas.
Cuplikan dari rumah sakit Royal Care pada hari sebelumnya di dekat lokasi aksi duduk itu menunjukkan orang-orang di lantai bangsal menerima perawatan ketika pria berseragam yang duduk di truk pickup berkumpul di luar. Jalan-jalan di ibu kota disebut sebagian kosong pada Senin malam waktu kota itu, padahal biasa jalanan sibuk.
Beberapa jalan diblokade para demonstran yang mendirikan barikade yang terbuat dari batu, batang pohon, dan ban yang terbakar pada hari sebelumnya. Banyak toko dan bisnis tutup di sekitar kota.
Dewan militer telah membantah pasukannya secara paksa membubarkan aksi duduk di depan markas tentara. Namun, para pemimpin protes mengatakan tempat-tempat utama di Khartoum telah dibersihkan.
“Pasukan Dukungan Cepat, batalion tentara dan polisi serta milisi membubarkan aksi damai,” kata Aliansi untuk Kebebasan dan Perubahan.
Mereka juga menyebut tak ada seorang pun yang tersisa di luar markas tentara kecuali mayat yang belum memungkinkan untuk dievakuasi. Asosiasi Profesional Sudan, yang mempelopori protes nasional yang dimulai pada bulan Desember, mengatakan tindakan keras pada hari Senin merupakan ‘pembantaian berdarah’.
Dia menyerukan warga Sudan mengambil bagian dalam pembangkangan sipil total untuk menjatuhkan dewan militer. Mereka juga meminta orang-orang untuk pergi keluar pada Selasa (4/6) untuk mengadakan salat Id.
Mereka mengajak warga berdoa bagi orang-orang yang tewas dan kemudian melakukan demonstrasi secara damai. Kantor berita SUNA mengatakan Idul Fitri di Sudan sendiri telah ditetapkan jatuh pada Rabu (5/6).
Unjuk rasa menentang Bashir yang memerintah selama tiga dasawarsa menyebabkan sang presiden mundur pada April 2019. Namun, demonstran tetap di luar markas tentara dan meminta para jenderal menyerahkan kekuasaan kepada otoritas transisi.(ADI)