JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Sejak Juni 2012, PDI Perjuangan menggulirkan wacana Juni sebagai ‘Bulan Sukarno’. Kini, muncul wacana Maret sebagai ‘Bulan Soeharto’, yang digulirkan sejak tahun lalu. Sederet acara digelar, mulai dari seminar hingga kegiatan sosial di Yogyakarta, Solo, dan Jakarta.
“Ini wujud kepedulian dan penghargaan kami kepada beliau yang pernah mendapat gelar Bapak Pembangunan melalui Tap MPR pada 1983. Sama sekali bukan untuk mengkultuskannya,” kata Sabrina, pejabat Humas Yayasan Damandiri (Dana Sejahtera Mandiri), Kamis (1/3/2018).
Yayasan tersebut menjadi salah satu yang ikut menyokong rangkaian acara ‘Bulan Suharto’. Keluarga Cendana tentu menyokong penuh, tapi yang aktif terlibat cuma Siti Hediati Haryadi (Titiek Soeharto). Sabrina memastikan Tommy Soeharto, meskipun ikut menyokong, tak terlibat secara aktif. Hal itu untuk menghindari kesan ada motif politik dari acara-acara yang digelar karena Partai Berkarya baru saja tercatat sebagai peserta Pemilu 2019.
Upaya pencanangan Maret sebagai Bulan Soeharto merujuk pada sederet peristiwa bersejarah. Sebut saja Serangan Umum 1 Maret 1949, yang menampilkan sosok Soeharto sebagai pemimpin serangan. Lalu, ada 11 Maret 1966, peristiwa terbitnya Surat Perintah dari Presiden Sukarno kepada Soeharto untuk mengambil langkah-langkah penertiban pasca-Gerakan 30 September 1965.
Perintah itu ditindaklanjuti keesokan harinya dengan membubarkan PKI dan ormas-ormasnya. Soeharto kemudian dilantik menjadi penjabat Presiden RI pada 12 Maret 1968, lalu pada 27 Maret 1968 dilantik sebagai Presiden Kedua RI.
Jauh sebelum memunculkan wacana Maret sebagai Bulan Soeharto, upaya memperbaiki citra Soeharto dilakukan dengan menerbitkan sejumlah buku. Pengusaha Probosutedjo, yang merupakan adik Soeharto, misalnya, menulis ‘Dari Pak Harto untuk Indonesia’ pada 2008.
Buku setebal 215 halaman itu, antara lain, mengupas kisah sukses melakukan pembangunan ekonomi dan industri. Juga mengulas falsafah kepemimpinannya, sekaligus menepis berbagai tuduhan miring terkait HAM hingga isu KKN dan kekayaan keluarga.
Probo juga menulis buku ‘Memoar Romantika Probosutedjo: Saya dan Mas Harto’ pada Mei 2010. Di luar buku yang ditulisnya, terbit pula ‘Pak Harto The Untold Story’ pada Juni 2011 dan ‘Incognito Pak Harto’ pada Juni 2013.
Selain buku, Probosutedjo membangun museum Soeharto di Desa Kemusuk, yang merupakan tempat kelahiran sang ‘Jenderal Besar’. Museum di Bantul, Yogyakarta, itu diresmikan Probosutedjo pada 11 Maret 2013.
Sementara itu, Titiek berencana menjadikan rumah di Jalan Cendana juga sebagai museum Soeharto. Niat itu disampaikannya saat bersilaturahmi dengan sejumlah mantan menteri Soeharto pada Desember 2017.
Di luar lingkaran keluarga Cendana, ada Abdul Rohman, alumnus sebuah perguruan tinggi di Jember, Jawa Timur, yang berkhidmat memperbaiki citra Soeharto lewat sejumlah situs berita. Dia mengaku merogoh kocek sendiri untuk mengelola Soeharto.co sejak 2013.
Untuk Soeharto.co isinya arsip sepak terjang Soeharto selama menjadi presiden, sedangkan Cendananews merupakan situs berita umum yang memiliki rubrik khusus, Jejak Orba dan Kabar Cendana.
Di pengujung Orde Baru, dia mengaku ikut melakukan berbagai unjuk rasa menuntut Soeharto mundur, tapi kemudian dia bertobat. “Saya bilang ke Mbak Tutut, dulu saya ikut mendemo Pak Harto, sekarang sudah tobat,” kata Abdul Rahman menirukan percakapannya dengan Tutut. (ARF)