Caracas –
Krisis politik tengah melanda Venezuela. Akibat situasi tak menentu itu, nyaris 5 ribu warga Venezuela meninggalkan negara tersebut setiap harinya.
Angka tersebut disampaikan oleh Badan Pengungsi PBB, UN High Commissioner for Refugees (UNHCR). Juru bicara UNHCR, Joung-ah Ghedini-Williams mengatakan, warga Venezuela memilih untuk angkat kaki dari negara mereka dikarenakan “instabilitas dan ketidakpastian” di tengah krisis mengenai kepresidenan Venezuela.
“Brasil, Kolombia, Ekuador dan Peru masih menjadi negara-negara yang menerima jumlah terbesar warga Venezuela,” tutur Ghedini-Williams saat konferensi pers di markas besar PBB di New York, seperti dilansir media Anadolu Agency, Kamis (31/1/2019).
Data UNHCR menunjukkan, sekitar 3 juta warga Venezuela telah meninggalkan negara tersebut sejak tahun 2015. Hiperinflasi dan kekurangan barang-barang kebutuhan pokok, seperti makanan dan obat-obatan, telah memaksa jutaan orang tersebut meninggalkan negara itu.
Pekan lalu, pemimpin oposisi yang menjabat sebagai ketua parlemen Venezuela, Juan Guaido memproklamirkan dirinya sebagai presiden sementara negeri itu. Langkah Guaido dengan cepat mendapat dukungan dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Lebih dari 20 negara telah mengikuti langkah AS dalam mengakui Guaido sebagai presiden sementara Venezuela.
Namun demikian, sejumlah negara seperti Rusia, China, Meksiko dan Turki menyatakan secara terbuka bahwa mereka mendukung Maduro.
Menanggapi situasi itu, Presiden Venezuela Nicolas Maduro dengan cepat memutus hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat. Maduro pun menuding AS mendalangi upaya kudeta terhadap pemerintahannya.
Dalam beberapa pekan terakhir, Venezuela menghadapi krisis ekonomi yang akut dan telah terjadi aksi-aksi demo yang diwarnai kerusuhan dan kekerasan. Aksi protes telah digelar di seluruh negeri sejak Maduro memulai masa jabatan keduanya pada 10 Januari lalu.
Dia terpilih tahun lalu dalam pemilu kontroversial yang ditandai larangan kepada kandidat oposisi untuk dapat dicalonkan, atau bahkan dipenjara. Menurut PBB, setidaknya 40 orang diyakini telah tewas dan ratusan orang lainnya ditangkap sejak 21 Januari lalu.(DON)