BANYUWANGI, KHATULISTIWAONLINE.COM –
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut 82 persen dana politik bersumber dari sponsor dan sisanya 12 persen dana pribadi. Ini hasil penelitian yang dilakukan KPK beberapa tahun ini.
Wakil Ketua KPK RI, Nurul Ghufron mengatakan, para petarung dalam kontestasi politik di Indonesia mulai dari Pemilihan legislatif (pileg), Pemilihan kepala daerah (Pilkada) bagaikan petarung di permainan tong edan, yang hanya bermodal nekat. Sebab, mereka tak memikirkan secara finansial seluruh kegiatan tersebut. Oleh karena itu, banyak calon bupati maupun legislatif yang dibiayai sponsor.
“Mahar politik bukan dibayar bakal calon peserta, melainkan dibayar pihak sponsor atau donator atau pemodal. Maka pasti ketika duduk menempati posisi jabatan sudah terjerat dan tergadai-gadai. Meski sisanya 18 persen dari dana pribadi, maka tentu ada kepentingan pribadi untuk mengembalikan,” ujarnya saat mengisi materi dialog publik peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di aula PCNU Banyuwangi, Selasa (8/9/2020).
“Jika sudah prosesnya rusak, maka ketika duduk di kursi panas untuk memikirkan untuk mengembalikan modal. Kalau misal habisnya Rp 30 miliar, kira-kira kapan balik modal,” tambahnya.
Oleh karena itu, hasil sikap dan implementasi hasil penelitian, KPK juga telah menyampaikannya kepada Presiden, DPR dan juga pimpinan partai politik jika ingin proses politik menghasilkan pemimpin yang diharapkan.
Karena, kata Nurul Ghufron, proses pemilihan umum mulai dari pilpres, pileg dan pilkada ada tiga pemangku atau penopang kepentingan. Diantaranya penyelenggara yakni komisi pemilihan umum (KPU), kedua peserta pemilu yakni partai polirik (parpol) yang mengusung calon, dan ketiga yakni pemilih.
“Jika ketiganya benar, maka akan bisa tegak. Tapi, jika salah satu putus maka akan tidak seimbang. Ketiga-tiganya harus dibetulkan. Kami sampaikan kepada Presiden bahwa sistem pemilu perlu memperbaiki tiga hal tersebut. Jika ketiga-ketiganya tidak diperbaiki secara holistic maka akan tetap goyang,” jelasnya.
Masih, kata Nurul Ghufron, Parpol adalah kumpulan orang-orang pemilik kepentingan. Salah satunya adalah membutuhkan dana untuk melakukan proses kaderisasi, pendidikan dan lainnya. Tapi pendanaan dari negara kecil. Oleh karena itu, KPK telah menyarankan kepada pemerintah agar pendanaan terhadap parpol dinaikkan supaya parpol mandiri, agar tidak ada mahar-mahar politik.
“Karena parpol bukan kumpulan orang pertapa atau sedang tirakat, tapi kumpulan orang mengkader, mau berbisnis juga tidak boleh. Untuk mengkader butuh anggaran. Dananya harus dicukupi, kataya.
Parpol merupakan tempat proses kaderisasi, maka yang didorong tentu harus kadernya. Namun sayangnya, kader yang telah berproses di parpol justru tidak didukung partainya, sehingga loncat ganti perahu lainnya karena kalah bersaing dengan orang yang memiliki uang. Memang sampai saat ini tidak dilarang, itulah yang mengakibatkan kaderisasi bisa berganti atau pindah. Karena tinggal lihat siapa punya duit dan punya popularistas, itulah yang didorong,” terangnya.
Tidak hanya parpol, penyelenggara dalam hal ini KPU juga harus benar-benar independen. Tidak jarang orang yang tidak mampu jadi pengurus parpol gagal dalam pileg didorong daftar di KPU. Padahal harapannya penyelenggara non parpol, sehingga berjarak yang sama ke partai manapun. Maka jangan salahkan, jika ada penyelenggara yang di operasi tangkap tangan (OTT).
“Karena banyak parpol yang tidak perlu capek-capek ke daerah cukup beli di KPU sebagai penyelenggara. Maka, parpol dan penyelenggara harus kuat,” beber Pria kelahiran Sumenep ini.
Tidak cukup itu saja, pemilihnya juga harus di edukasi dan di didik untuk memilih yakni tidak mudah menerima apapun dari parpol atau calon kontestasi pileg dan pilkada hanya karena dihargai Rp 500 ribu. Karena hal itu sebetulnya sama saja menggadaikan hak-hak publik selama lima tahun. Bahkan, rusaknya bisa lebih dari lima tahun.
“Maka tidak bisa menyalahkan Parpol, dan KPU sebaga penyelenggara. Tetapi ketiga hal harus seiring sejalan seimbang,” pungkasnya.(DAB)