JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM-
Pengurus Pusat Gereja HKBP menggelar aksi damai dan doa bersama yang dihadiri oleh Pimpinan Pusat Gereja HKBP yakni Oppui Ephorus Pdt. Dr. Victor Tinambunan, M.ST. di Taman Proklamasi Jakarta Pusat pada Senin (18/8/2025) pagi.
Pada kesempatan tersebut, ada juga sejumlah organisasi masyarakat yang turut serta berpartisipasi menyampaikan aspirasi mereka, diantaranya adalah Forum Perjuangan Masyarakat Habinsaran, Borbor dan Nassau Kabupaten Toba (Forpemas Habornas)
.
Ketua Forpemas Habornas, Drs. Parasman Pasaribu, MM, yang diberi waktu sekitar 2 menit berorasi secara tegas menyerukan, “Merdeka! Tutup TPL! Desa Natinggir Kabupaten Toba belum merdeka!” diikuti dengan seruan lantang masyarakat yang setuju dengan pernyataan tersebut.
“Kami dari Forum Perjuangan Masyarakat Habornas merasa senang lantaran diberi waktu untuk berorasi mendesak pemerintahan Presiden Prabowo dan Menteri Kehutanan untuk mau hadir menutup TPL,” ujar Parasman ketika ditanyai mengenai partisipasi kelompoknya dalam kegiatan aksi damai tersebut. Ia pun menyatakan bahwa kehadiran Forpemas Habornas tidak sekedar untuk berdoa, tetapi juga bersaksi dan meminta kepada Oppui Ephorus HKBP untuk menghajar TPL yang selama ini telah dinilai tidak berpihak pada kelestarian alam maupun Masyarakat Adat Toba.
Sementara itu, seorang anggota Forpemas Habornas lainnya bernama Maruli Siahaan juga mengatakan sangat mendukung aksi hari ini. “Bila perlu bersama masyarakat Batak yang ada di seluruh dunia kompak mendesak pemerintah Pusat supaya segera mencabut SK Keputusan Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1992 tanggal 1 Juni 1992 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri atau HPHTI,” tegasnya.
Hal ini dikarenakan SK tersebut juga telah mengalami beberapa kali perubahan, yang terakhir dengan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI No. SK.307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020 tentang Perubahan Kedelapan Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 493/KPTS-II/1992 tentang Pemegang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri yang diberikan kepada PT. Inti Indorayon Utama.
Maruli menambahkan, “Sejak awal kehadirannya di tahun 1980-an, PT. TPL disinyalir selalu menciptakan multidimensi krisis di Tano Batak. Mulai dari perampasan tanah dan sumber penghidupan Masyarakat Adat Batak.
Kekerasan dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang mempertahankan wilayah adatnya, bahkan juga sudah melakukan penggundulan hutan dan pengrusakan lingkungan di Wilayah Adat sampai menimbulkan bencana ekologis.
Masalah ini disampaikan oleh Maruli menjadi poin penting dalam kajian kelompok Masyarakat Adat yang didukung oleh Forpemas Habornas.
“Diduga juga terdapat praktik perbudakan modern bagi para pekerja PT. TPL. Semuanya ini perlu ditelisik lagi oleh pihak Kementerian Tenaga Kerja.” tandasnya.
Ketika dimintai tanggapan dari manager media PT. TPL, Salomo Sihotang, pihaknya memberikan beberapa poin jawaban sebagai berikut:
• Bahwa TPL telah beroperasi selama lebih dari 30 tahun dan berkomitmen membangun komunikasi terbuka dengan masyarakat melalui berbagai dialog, sosialisasi, dan program kemitraan yang telah dilakukan bersama Pemerintah, Masyarakat Hukum Adat, Tokoh Agama, Tokoh Pemuda, Akademisi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat;
• Bahwa secara tegas menolak tuduhan bahwa operasional TPL menjadi penyebab bencana ekologi sebab telah sesuai dengan izin, peraturan, dan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah yang berwenang;
• Bahwa TPL menjalankan Standar Operasional Prosedur yang jelas dan terdokumentasi;
• Bahwa pemantauan lingkungan dilakukan secara periodik, bekerja sama dengan Lembaga independen dan tersertifikasi untuk memastikan seluruh aktivitas sesuai ketentuan yang berlaku;
• Bahwa kegiatan peremajaan pabrik dilakukan dengan fokus pada efisiensi dan pengurangan dampak lingkungan melalui teknologi yang lebih ramah lingkungan;
• Bahwa audit menyeluruh oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah dilakukan pada tahun 2022-2023 dan hasilnya menyatakan bahwa TPL taat mematuhi seluruh regulasi serta tidak ditemukan pelanggaran terhadap aspek lingkungan maupun sosial;
• Bahwa perusahaan menjalankan secara berkelanjutan berbagai program tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR) di bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan pelestarian lingkungan yang menyasar kebutuhan nyata masyarakat sekitar wilayah operasional dan dilaporkan kepada pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya;
• Bahwa TPL melakukan operasional pemanenan dan penanaman kembali di dalam konsesi berdasarkan tata ruang, Rencana Kerja Umum, dan Rencana Kerja Tahunan yang telah ditetapkan. Dengan sistem tanam-panen berkelanjutan, perusahaan menjaga kesinambungan hutan tanaman sebagai bahan baku industri pulp, sehingga jarak waktu antara pemanenan dan penanaman hanya berselang paling lama 1 bulan, sesuai dengan prosedur yang tercantum dalam dokumen Amdal. Hal ini juga dilaporkan secara berkala melalui Laporan Pemantauan dan Pengelolaan Lingkungan. Dari luas konsesi sebesar 167.912 ha, Perseroan hanya mengembangkan sekitar 46.000 ha sebagai perkebunan eucalyptus dan mengalokasikan sekitar 48.000 ha sebagai area konservasi dan kawasan lindung yang dijaga oleh Perseroan dengan komitmen menjaga keanekaragaman hayati di dalamnya;
• Bahwa TPL mempekerjakan lebih dari 9.000 orang, baik pekerja langsung maupun tidak langsung, dan didukung oleh lebih dari 4.000 Kelompok Tani Hutan dan pelaku UMKM. Bila termasuk keluarga dari para pekerja dan mitra tersebut, maka jumlah masyarakat yang bergabung pada keberadaan perusahaan mencapai sekitar 50.000 jiwa, belum termasuk kedai pengecer dan bengkel kecil di sekitar areal kerja dan jalur logistik. Ini menunjukkan peran penting TPL dalam mendukung perekonomian lokal dan regional,
• Bahwa TPL menghargai hak setiap pihak untuk menyampaikan pendapat, namun berharap hal tersebut didasarkan pada data dan fakta yang akurat. Perusahaan membuka ruang dialog dan menerima masukan dari semua pihak guna menciptakan keberlanjutan yang adil dan bertanggung jawab di wilayah Tano Batak. (**)