JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM –
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, ketegangan hubungan antara Amerika Serikat (AS) dengan China kini agak sedikit mereda, menyusul inisiatif kedua pihak untuk melakukan negosiasi dagang.
“Ketegangan perdagangan agak sedikit menurun tensinya dengan adanya inisiatif kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi, meskipun sampai hari ini belum tercapai persetujuan sehingga ini masih menimbulkan ketidakpastian,” kata Sri Mulyani, dalam Konferensi Pers APBN KiTa Edisi Juni 2025, di Kantor Kementerian Keuangan, kemarin.
Namun demikian, perang antara Israel-Iran dalam 3 hari terakhir memberikan tekanan terhadap perekonomian global. Hal ini langsung terlihat dari harga minyak dunia, yakni minyak mentah Brent, yang naik hampir 9% hingga mencapai US$ 78 per barel.
“Mengenai situasi kondisi global dan nasional, geopolitik yang sayangnya atau unfortunately situasinya tidak membaik dengan terjadinya perang yang sekarang ini sedang berlangsung makin sengit antara Israel dengan Iran,” ujar Sri Mulyani.
“Ini memunculkan suatu kejadian yang langsung mempengaruhi secara signifikan kondisi perekonomian, baik melalui harga komoditas maupun nilai tukar, suku bunga, hingga capital flow. Ini yang akan terus kita hadapi, geopolitik makin meruncing,” jelasnya.
Rencana penerapan kebijakan fiskal rancangan undang-undang yang disebut One Big Beautiful Bill juga diproyeksikan akan menambah defisit pada APBN AS dengan sangat signifikan dalam 10 tahun terakhir. Hal ini menyebabkan sentimen terhadap kebijakan fiskal dari negara-negara maju, terutama AS, menjadi relatif negatif dan mempengaruhi persepsi terhadap risiko fiskal.
Kombinasi dari hal-hal di atas akan menimbulkan ketidakpastian komoditas, rantai pasok atau supply chain sehingga menghasilkan dua risiko. Risiko pertama adalah ketidakpastian harga cenderung naik, seperti harga minyak yang naik, namun di sisi lain dari sisi perekonomian global akan cenderung melemah.
“Jadi kombinasi kenaikan harga-harga karena disrupsi geopolitik dan security itu menyebabkan tekanan harga. Berarti inflasi naik namun dikombinasikan dengan ketidakpastian yang menyebabkan ekonomi global normal,” terang dia.
“Itu kombinasi yang harus kita waspadai karena tidak baik, kelemahan ekonomi membuat dampak yang buruk, kenaikan inflasi dan kemudian menimbulkan kenaikan yield,” sambungnya.
Risiko kedua, dampak kepada seluruh dunia termasuk Indonesia, di mana kondisi ini akan menggerakkan nilai tukar dan suku bunga global. Kegiatan ekonomi, terutama di sektor manufaktur ikut mengalami tekanan.
Kondisi tersebut sudah mulai terlihat dari Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur global yang bergerak kontraksi di bawah 50, yakni ke posisi 49,6. Ini berarti secara global kegiatan sektor manufaktur cenderung dalam zona kontraktor dan angka ini adalah angka terendah sejak Desember 2024.
“70,8% negara-negara yang disurvei dari sisi kegiatan manufaktur mereka semuanya mengalami kontraksi. Artinya, indeks PMI-nya untuk manufaktur di bawah 50, termasuk Indonesia dalam hal ini, 47,4,” ujar Sri Mulyani. (DON)