New Delhi –
Menteri Luar Negeri India, Subrahmanyam Jaishankar memastikan bantuan New Delhi bagi proyek infrastruktur di Maladewa. Kepada rekan sejawatnya, Abdulla Shahid, dia menjanjikan kucuran dana hibah senilai US$ 100 juta, dan dana kredit sebesar US$ 400 juta.
Duit itu akan dipakai buat membiayai proyek pembangunan jembatan yang menghubungkan ketiga pulau terbesar, Villingili, Gulhifahu dan Thilafushi, dengan ibu kota Male. Proyek ini tercatat sebagai program infrastruktur paling mahal di negeri kepulauan tersebut.
“Jembatan sepanjang 6,7 kilometer ini menghubungkan Male dengan Pelabuhan Gulhifalhu dan kawasan industri Thilafushi untuk membantu merevitalisasi dan mentransformasi perekonomian Maladewa,” tulisnya via akun Twitter.
Subrahmanyam juga berkicau perihal hubungan ekonomi antara kedua negara. “Konektivitas membawa kemakmuran,” tulisnya. “Saya senang mengumumkan dimulainya layanan kapal feri kargo antara India dan Maladewa buat meningkatkan bisnis dan perdagangan. Kami juga mulai membuka koridor udara dengan Maladewa untuk mempromosikan pertukaran antara penduduk di kedua negara.”
Adu pengaruh China dan India
Kepulauan yang hidup dari pariwisata itu belakangan terseret ke dalam perseteruan diplomatik antara China dan India. Melalui program investasi infrastrukturnya, Beijing mampu memperluas pengaruhnya di negara-negara yang berbatasan dengan India.
Saat ini Pakistan, Nepal, Sri Lanka dan Bangladesh tercatat sedang meningkatkan kerjasama dengan China. April silam, perusahaan pengembang asal China, Beijing Construction Group, mengalahkan kompetitor dari India dalam tender proyek pembangunan bandar udara di Bangladesh. Lenyapnya proyek senilai US$ 250 juta itu dikabarkan memicu alarm di kalangan pejabat tinggi di New Delhi.
Bulan Juni Beijing gantian mencabut bea masuk bagi 97% produk asal Bangladesh yang berjumlah 8.000 jenis barang. Dhaka juga memilih China untuk membantu manajemen air di sungai Teesta yang mengalir dari India. Secara total, proyek infrastruktur di sepanjang sungai itu mencapai US$ 1 miliar.
Penetrasi ekonomi yang dilancarkan Beijing kepada Bangladesh mulai marak ketika Presiden Xi Jinping mengunjungi Dhaka, 2016 lalu. Dalam kesempatan itu dia menjanjikan dana pinjaman sebesar US$ 20 miliar untuk 27 proyek infrastruktur di Bangladesh.
China juga menggelontorkan dana pinjaman infrastruktur untuk proyek koridor ekonomi di Pakistan, serta membiayai beragam proyek pembangunan jalan dan pembangkit listrik tenaga air di Nepal. Baru 2019 lalu Xi menjadi presiden China pertama sejak Jiang Zemin, 1996, yang mengunjungi Kathmandu.
Di sana dia menegaskan pentingnya peran Nepal dalam proyek Jalur Sutra Abad 21.
Perseteruan di tengah samudra
Serupa negara lain di kawasan, Maladewa dalam tahapan awal menyesap utang dalam jumlah besar dari China. Ironisnya uang itu dipakai untuk membayar perusahaan China yang membangun proyek infrastruktur di bawah kebijakan Presiden Abdulla Yameen. Ketika dia diturunkan pada 2018 silam, pemerintahan penggantinya di bawah pimpinan Ibrahim Solih mengritik utang yang diwariskan pendahulunya.
Partai Demokrat yang berkuasa mengkhawatirkan nilai utang Maladewa bisa mencapai US$ 3 miliar dan berpotensi menenggelamkan ekonomi. Beijing sempat berusaha merawat pertautan usai suksesi di Male. Namun upaya tersebut urung membuahkan hasil. Menurut laporan Times of India, pemerintahan baru Maladewa lebih memprioritaskan kerjasama dengan India ketimbang China.
India dan negara-negara barat berulangkali menuduh China membuat jebakan utang untuk menjerat negara-negara miskin di kawasan. Belt and Road Initiative misalnya menawarkan kredit infrastruktur yang acap membebani kas negara. Sri Lanka misalnya harus menyerahkan Pelabuhan Hambantota kepada China setelah gagal membayar utang.
China sebaliknya mengklaim kucuran pinjaman dari Beijing sangat dibutuhkan oleh negara-negara tersebut. Pinjaman China yang kerap diberikan secara cepat dan tidak berbelit, menjadi alternatif menggiurkan dibandingkan dari Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) yang menerapkan syarat ketat.(RIF)