Manila –
Bertujuan menghilangkan keterkaitan kolonialisme pada nama negara, Presiden Rodrigo Duterte ingin mengubah nama Filipina menjadi ‘Maharlika’. Namun, gagasan Duterte itu belakangan menuai perdebatan.
“(Dinamakan) Filipina karena ditemukan oleh Magellan menggunakan uang dari Raja Philip (II). Itulah mengapa ketika penjelajah yang bodoh datang, dia menamakannya Filipina,” ujar Duterte pada Senin, 11 Februari 2019.
Duterte pun merujuk pada seruan mendiang diktator Ferdinand Marcos untuk mengubah nama Filipina menjadi ‘Maharlika’. “Karena Maharlika adalah kata-kata Melayu dan itu berarti ketenangan. Marcos benar,” imbuh Duterte.
Namun pakar sejarah menyebut kata ‘Maharlika’ telah disalahartikan sejak lama. Seperti dilansir media lokal Filipina, Philstar.com, Kamis (14/2/2019), sejumlah sejarawan Filipina berusaha memberikan penjelasan soal salah terjemahan untuk kata ‘Maharlika’. Sejarawan Xiao Chua yang juga seorang asisten Guru Besar De La Salle University menyebut pemahaman kata ‘Maharlika’ sebagai bangsawan telah menjadi kesalahpahaman umum yang disebabkan oleh ‘salah terjemahan’ pada teks-teks sejarah Filipina.
“Dalam Blair and Robertson, Maharlika salah diterjemahkan sebagai bangsawan,” sebut Xiao Chua yang merupakan sejarawan Filipina keturunan China, kepada Philstar.com. “Ketika kita membaca Bahasa Inggrisnya, kita berpikir bangsawan berarti berdarah kerajaan (darah biru),” imbuh Chua.
‘Blair and Robertson’ merupakan sebutan lain untuk dokumen sejarah ‘The Philippine Islands’ yang dipublikasikan tahun 1903-1909. Dokumen sejarah sebanyak 55 edisi itu diterjemahkan oleh Emma Helen Blair dan James Alexander Robertson, yang merupakan Direktur Perpustakaan Nasional Filipina tahun 1910-1916. Keduanya menerjemahkan dokumen sejarah itu dari bahasa Spanyol ke bahasa Inggris.
“Tapi William Henry Scott, seorang pakar antropologi dan sejarawan, menyebut ini salah karena apa yang terjadi adalah, warga Amerika yang menerjemahkan dokumen-dokumen berbahasa Spanyol diketahui salah diterjemahkan, meskipun pada akhirnya dibetulkan,” tutur Chua dalam penjelasannya. Scott yang meninggal dunia tahun 1993 lalu, telah mempelajari sejarah dan komunitas pra-Hispanik di Filipina hingga akhir hayatnya.
“Ketika Anda menyebut seseorang itu bangsawan, Anda menyebut ‘dugong bughaw’ (darah biru), Anda bahkan punya lagu-lagu yang diciptakan saat masa Darurat Militer yang berbunyi ‘ako ay Pilipino, may dugong Maharlika’ (saya orang Filipina, dengan darah Maharlika),” imbuhnya.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Chua bahwa ‘Maharlika’ sebenarnya berarti ‘seseorang yang bebas’. “Orang-orang berpikir, kita ingin nama itu, itu nama yang diromantisir, anggota kerajaan. Tidak, itu (artinya) hanya orang biasa yang bebas,” tegas Chua.
Penjelasan senada disampaikan sejarawan dari Komisi Budaya dan Seni Nasional Filipina, Dr Rolando Borrinaga, dalam keterangan seperti dilansir media lokal Filipina, ABS-CBN News. Borrinaga menegaskan bahwa ‘Maharlika’ sebenarnya berarti ‘orang bebas’ namun telah salah diterjemahkan sebagai kaum bangsawan.
Belakangan Duterte ternyata tidak akan secara aktif mendorong perubahan nama itu. Juru bicara Duterte menyebut Kongres Filipina sebagai institusi yang tepat untuk mendorong perubahan tersebut.
Juru bicara kepresidenan Filipina, Salvador Panelo, mengatakan seperti dilansir media lokal Filipina, SunStar Manila, Kongres Filipina bisa mendorong sebuah langkah untuk memperkenalkan nama baru bagi negara Filipina.
“Para anggota Kongres bisa mengubahnya menjadi Republik Maharlika. Kita akan disebut sebagai Maharlikan. Maharlikana untuk Filipina (sebutan untuk wanita). Maharlako untuk Filipino (sebutan untuk pria). Itu akan berkembang soal bagaimana kita akan dipanggil. Tapi itu gagasan yang menarik,” ujar Panelo.
Saat ditanya lebih lanjut apakah Duterte akan secara aktif mendorong perubahan nama negara itu, Panelo menegaskan: “Tidak.”
“Gaya Presiden (Duterte) adalah dia melontarkan sebuah gagasan, kemudian seseorang atau siapa saja dari Kongres akan mengambilnya,” imbuhnya.
Dalam pernyataannya, Panelo mencetuskan agar Kongres Filipina mengambil langkah resmi untuk mengubah nama negara Filipina. “Konstitusi menyatakan Kongres bisa menetapkan sebuah aturan hukum yang bisa mengubah nama negara ini dan mengajukannya kepada rakyat untuk sebuah referendum, semacam plebisit,” cetusnya.
Disebutkan Philstar.com bahwa pasal XVI ayat 2 Konstitusi 1987 menyatakan Kongres bisa, dengan aturan hukum, mengadopsi nama baru untuk negara, lagu kebangsaan, atau lambang nasional, yang sungguh mencerminkan dan menyimbolkan cita-cita, sejarah dan tradisi rakyat. Jika hal itu dilakukan, maka aturan hukum yang mengatur nama baru Filipina mulai efektif setelah diratifikasi rakyat melalui sebuah referendum nasional.
Secara terpisah, Presiden Senat Filipina, Vicente Sotto III, menyebut perubahan nama negara membutuhkan banyak perubahan yang salah satunya membutuhkan amandemen Konstitusi Filipina tahun 1987.(MAD)