JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Mantan Ketua DPR Marzuki Alie mengaku terkejut namanya disebut dalam dakwaan kasus korupsi e-KTP. Dirinya menegaskan tidak pernah mau bermain anggaran selama menjabat.
“Saya tidak menduga sama sekali. Sepanjang saya di DPR, saya tidak pernah mau main-main dengan anggaran, tidak mau main proyek. Silakan tanya seluruh teman di Banggar, di kementerian, apakah ada Marzuki Alie minta-minta proyek,” kata Marzuki dalam diskusi bertajuk ‘Sambar Gledek e-KTP’ di Warung Daun, Jakarta Pusar, Sabtu (11/3/2017).
Selaku Ketua DPR, Marzuki mengatakan tidak pernah mencampuri urusan-urusan di tiap komisi kecuali terjadi deadlock. Saat itu, menurutnya, pembahasan anggaran proyek e-KTP tidak mengalami permasalahan sehingga tidak dipanggil oleh para pimpinan DPR.
“Biasanya yang jadi perhatian itu kalau ada deadlock, baru dipanggil sama pimpinan dan ditanya mana masalahnya dan apa solusinya. Contoh Kementerian Agama dan Komisi VIII itu sempat saya panggil, ditanya masalahnya apa dan dicarikan solusinya dan bisa selesai masalahnya. Saat itu bahas masalah pelayanan haji. Proses penganggaran e-KTP tidak ada masalah. Kalau bicara Rp 5-6 triliun, itu relatif sama dengan proyek lain, dan kita tidak ada wewenang menelusuri satu-satu. Yang berhak itu kan komisi sebagai mitra. Yang tidak sampai deadlock ya kita tidak cari-cari (masalahnya),” jelas Marzuki.
Selain Marzuki, anggota Komisi II DPR yang berasal dari PDIP Arteria Dahlan mengapresiasi KPK dalam pengungkapan kasus ini. Menurutnya, publik jadi bisa menilai dan mengkritisi secara objektif terhadap kasus ini.
“Saya mengapresiasi KPK karena sudah membawa ini jadi terbuka. Publik jadi bisa mengkritisi. Sayangnya, nggak boleh disiarkan langsung. Dakwaan penuntut umum sudah begitu detail,” ujar Arteria.
Meskipun nama partai tempatnya bernaung sempat disebut dalam dakwaan menerima uang, dirinya tetap mendukung KPK dalam mengungkap kasus ini. “Tetap mengapresiasi, PDIP antitindakan korupsi. Siapa pun yang korupsi ya kita proses. Tidak ada ruang bagi koruptor di PDIP dan kita nggak memberi bantuan hukum,” jelasnya.
Sementara itu, peneliti ICW, Tama S Langkun, yang juga hadir, sempat menyatakan e-KTP merupakan salah satu kasus besar yang pernah ditangani KPK dari sisi kerugian negara. Dia pun menjelaskan ICW sudah melihat adanya potensi masalah di kasus e-KTP ini.
“Kalau nilai proyek hampir Rp 6 triliun, ini termasuk yang besar dan kerugian negara Rp 2,3 triliun itu termasuk yang terbesar yang pernah ditangani KPK. Saya nggak tahu ya apakah ada kasus yang lebih besar dari ini dari sisi kerugian negara. Kalau menurut saya, ini paling besar. Kita sempat buat review tentang e-KTP ini ya. Ada beberapa pelanggaran yang kita lihat, ada di cost bidding, kemudian Pak Gamawan yang tanda tangan kontrak saat sanggah banding,” jelasnya.
Pengacara dua terdakwa Irman dan Sugiharto, Waldus Situmorang, menyatakan, sebelum menerima dakwaan, tidak tahu kalau nama-nama yang muncul sebanyak itu. Dia menjelaskan hal itu merupakan otoritas penuh KPK.
“Nama orang-orang yang disebut dalam dakwaan tidak kita ketahui seluruhnya, karena pemeriksaannya berantai. Pemeriksaan satu lalu dicocokkan dengan yang lainnya dan muncul nama-nama itu. Itu otoritas dari penuntut umum KPK. Nama-nama yang kita ketahui tidak sebanyak itu,” ujar Waldus dalam diskusi yang sama.
Sementara itu, Ketua Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia Baharuddin Thahir menyatakan kasus ini melibatkan banyak pihak. “Kasus ini sangat lengkap, ada penyelenggara negaranya, swastanya ada. Mulai dari perencanaan, pelelangan, dan seterusnya, ini bermasalah dari awal,” ujarnya. (MAD)