JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM
Pdt. Gomar Gultom berpesan agar gereja dan jemaatnya tidak tutup mata dengan masalah lingkungan dan perampasan hak masyarakat adat di Tanah Batak.
Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) itu juga mengapresiasi Tim 11 yang berjalan kaki dari Toba menuju Jakarta untuk bertemu Presiden Jokowi dan menyampaikan aspirasi masyarakat yang menamakan dirinya Aliansi Tutup TPL.
“Alam kini merintih karena parang-parang kepentingan,” kata Pdt. Gomar Gultom saat menyampaikan kotbahnya dalam ibadah dan doa bersama Tim 11 secara virtual, Minggu (1/8/2021) siang.
Mengutip ayat Alkitab dari Jeremia 29: 7, Pdt. Gomar Gultom juga mengajak agar gereja jangan memilih sikap diam dengan krisis lingkungan dan agraria yang terjadi di Tanah Batak.
“Apakah gereja diam seribu bahasa terhadap perampasan lahan? Bahkan ada yang malah memberi karpet merah kepada perusahaan perusak lingkungan, mungkin ada sumbangan di balik semua itu,” katanya.
Ia juga menyayangkan masih terjadinya tata kelola sangat tidak pro rakyat, meskipun ada UU Agraria, dalam kenyataannya tidak diimplementasikan.
“Land reform selalu dianggap komunis,” katanya.
Masyarakat di Tanah Batak, katanya, sudah cukup lama berjuang melawan perusahaan perusak lingkungan.
Masyarakat diusir oleh perusahaan yang tiba-tiba saja menguasai tanah adat dengan mengantongi izin konsesi di kawasan yang kemudian disebut “hutan negara”.
“Tiba-tiba saja desa itu jadi hutan negara, padahal ada penduduk, ada gereja di sana,” katanya.
Adapun putusan No. 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara, belum efektif melindungi hak masyarakat adat.
“Belum hilang dari ingatan puluhan orang tua dari Pandumaan Sipitu Huta yang harus meringkuk di penjara, hanya karena mereka mengusahakan tanah adat mereka,” katanya.
Keserakahan dari perusahaan ini juga telah menimbulkan kerusakan lingkungan, kehidupan masyarakat terserobot dari kehidupannya, terjadinya deforestasi yang mengakibatkan bencana alam dan mengakibatkan satwa terusir dari hutan di mana mereka hidup, seperti kera-kera di Parapat.
“Apa respon gereja terhadap masalah tersebut?” katanya.
Pdt. Gomar berharap gereja tidak hanya sibuk dengan ibadah, tapi abai terhadap ketidak adilan yang terjadi di sekitarnya.
Dia khawatir gereja malah mengambil sikap seperti ketika bangsa Israel pada saat pembuangan Babel [Mazmur 137].
Saat itu bangsa Israel hidup dalam ghetto dan tidak peduli dengan alam sekitarnya. Mereka duduk di tepian Sungai Babel dan seluruh mata hati tertuju pada bait Allah di Jerusalem.
“Mereka tidak peduli dengan keadaan sekitar, mereka hanya rindu dengan ibadah dan ibadah,” katanya.
Gomar pun mengajak agar gereja-gereja khususnya di Tanah Batak untuk keluar dari getto itu, tidak hanya tertuju pada ibadah.
“Keluar dari zona nyaman, ikut menentang segala bentuk perusakan alam,” ajaknya.
Ibadah virtual itu turut dihadiri secara virtual oleh sejumlah pejuang agraria, aktivis lingkungan dan sejumlah rohaniwan, antara lain Pdt. Faber Manurung, Abdon Nababan, Tunggul Sirait, Maruap Siahaan, Togu Simorangkir dalam Tim 11.
Pada kesempatan itu Pdt. Gomar juga mengapresiasi Tim 11 yang telah berjalan kaki sepanjang 1.700 kilometer dari Toba menuju Jakarta untuk bertemu Presiden Jokowi.
“Tim 11 menohok hati kita semua, yang lelah secara fisik dan mental. Ini adalah respon iman mereka atas ketidak adilan yang mendera masyarakat Batak, respon mereka akibat ketidak hadiran negara atas kerusakan alam,” katanya.
Tim 11, ujarnya, juga menampar wajah banyak orang yang masih hanya tertuju pada ibadah.
“Terima kasih buat kalian tim 11 sungguh menohok kami. Tuhan sedang berbicara kepada kita semua lewat Tim 11, perjuangan belum berahir, ujar Gomar Gultom.(JRS)