JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM
Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan (LBP) dikenal sebagai sosok yang memegang peranan penting dalam berbagai bidang. Kedekatannya dengan Presiden Joko Widodo juga sudah diketahui banyak orang.
Namun, dalam pencalonan Ganjar Pranomo sebagai calon Presiden RI pada pemilu 2024 nanti ia seperti menghilang.
Ketua LSM Derap Sengketa (Deras), Maruli Siahaan mengatakan, kebahagiaan Jokowi yang tampak jelas pada saat Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri mendeklarisan Ganjar Pranowo sebagai Capres pada 2024 nanti.
Kebahagiaan itu, menurut Maruli, tentu wajar karena sesama kader PDIP akan lebih mudah berkoordinasi.
“Program-program yang sudah dibuat Jokowi selama ini, seperti Ibu Kota Negara (IKN) tentu akan diteruskan oleh Ganjar,” kata Maruli kepada Khatulistiwa online, Rabu (26/4/2023).
Menurut Maruli, Jokowi biasanya dalam situasi apapun, selalu tampil Luhut Panjaitan. Namun, kali ini dalam kebahagiaan itu Luhut Panjaitan tidak tampil.
“Permainan Jokowi dengan Ganjar baru-baru ini masih jelas dalam ingatan, yaitu Bola Dunia U-20. Jokowi sejak awal senang dan menyetujui kejuaraan itu digelar di Indonesia, tapi batal karena Ganjar selaku Gubernur Jawa Tengah, menolak. Dalam hal ini bisa dikatakan Ganjar berseberangan dengan Jokowi.
Jokowi tidak mau kalah dengan Ganjar karena FIFA membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah. Sampai Jokowi mengutus pembantunya Eric Thohir ke luar negeri membujuk FIFA supaya Indonesia tidak disanksi berat.
“Pertanyaannya sekarang, apakah Luhut Panjaitan akan berperan habis-habisan memenangkan Ganjar seperti keinginan Jokowi, atau PDIP?” kata Maruli.
Ia mengingatkan, ketika Jokowi hendak jadi Presiden pada Pilpres lalu, LBP cukup memiliki peranan penting. Setelah itu LBP dipercaya menduduki beberapa jabatan penting, selain Menko.
Politik identitas, menurut Maruli, belakangan ini mulai ramai diperbincangkan masyarakat.
“Politik identitas ini sangat rentan digunakan untuk menekan kaum minoritas. Ini juga perlu diperhatikan dan menjadi bahan pertimbangan calon pemilih,” kata Maruli.
Maruli memberikan contoh sebelum Jokowi terpilih jadi Gubernur DKI Jakarta, cukup banyak umat Kristen yang kurang merasakan ketenangan dan kenyamanan beribadah. Setelah Jokowi jadi gubernur, bahkan jadi presiden, menurut Maruli, tidak serta merta membuat permasalahan ini selesai.
“Bahkan ketika sudah jadi presiden, ada jemaat Kristen yang merasa tidak berdaya beribadah di halaman Istana, tapi masih tetap tidak dipedulikan,” ujar Maruli.
Masalah ibadah yang di depan Istana selesai kabarnya oleh Anies Baswedan, padahal dia tidak dibanggakan Kristen dan ada isu dia kelompok intoleransi.
“Kalau Anies Baswedan kelompok intoleransi kenapa mau atau tidak ada lagi kedengaran ibadah di halaman istana negara? Dia menyelesaikan masalah tempat ibadah Kristen sehingga tidak seperti gelandangan. Sementara Ahok dan Jokowi yang dibanggakan orang Kristen membiarkan tidak jelas tempat ibadah sehingga harus beribadah di komplek Istana. Sebenarnya hal itu memalukan. Kalau ditanya adakah di antara Jokowi, Ahok, Anies Baswedan yang tidak toleran atau tidak menghargai perbedaan?” tambah Maruli.
Karena itulah Maruli menegaskan bahwa masalah Capres dan Cawapres ini jangan main-main.
“Ini menentukan nasib bangsa di NKRI. Harapan kami ke seluruh partai yang punya kuasa berjuanglah mengusung negarawan jangan hanya berpikir enak yang penting dapat beberapa kursi menteri dan berkoalisi,” katanya.
Meski demikian, Maruli tidak mengungkapkan siapa Capres yang harus dipilih masyarakat. Namun, menurutnya, dari sikapnya selama ini di antaranya mau berbaur dengan siapa saja, dari golongan atau agama saja, tentunya masyarakat sudah dapat menentukan pilihannya.
“Tokoh-tokoh yang berpengaruh seperti Luhut Panjaitan sudah seharusnya turun tangan memberikan pencerahan, supaya kaum minoritas tidak lagi terpinggirkan,” ungkapnya. (NGO)