JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial mengatur pula tentang ujaran kebencian atau hate speech. Bahkan, ujaran kebencian sebelumnya pun telah diejawantahkan dalam Surat Edaran (SE) Kapolri nomor SE/06/X/2015 yang ditandatangani pada 8 Oktober 2015.
SE itu terbit untuk menjadi pedoman bagi masyarakat dalam berekspresi di pergaulan sehari-hari, termasuk ketika menggunakan media sosial. Tindakan ujaran kebencian itu pun bisa berujung pidana karena merujuk pada unsur-unsur pidana seperti penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, memprovokasi hingga menghasut.
MUI pun melihat ujaran kebencian sebagai salah satu unsur yang haram untuk dilakukan. MUI menempatkan ujaran kebencian seperti penyebaran hoax, fitnah, gosip, hingga pemutarbalikan fakta.
“Bahwa penggunaan media digital, khususnya yang berbasis media sosial di tengah masyarakat seringkali tidak disertai dengan tanggung jawab sehingga tidak jarang menjadi sarana untuk penyebaran informasi yang tidak benar, hoax¸ fitnah, ghibah (membicarakan orang yang tidak disukai), namimah (adu domba), gosip, pemutarbalikan fakta, ujaran kebencian, permusuhan, kesimpangsiuran, informasi palsu, dan hal terlarang lainnya yang menyebabkan disharmoni sosial,” tulis salah satu poin dalam fatwa tersebut seperti dikutip, Selasa (6/6/2017).
Menurut MUI, penyebaran hoax hingga ujaran kebencian itu memiliki berbagai motif seperti untuk memperoleh simpati hingga menjadi lahan pekerjaan. Untuk itulah, MUI mengeluarkan fatwa untuk dijadikan pedoman. MUI pun menyebut perbuatan seperti itu adalah hal yang haram untuk dilakukan.
“Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi tentang hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, bullying, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain dan/atau khalayak hukumnya haram,” tulis MUI dalam fatwanya.
Apabila nantinya seseorang telah melakukan tindakan itu dan bersalah, maka menurut MUI, orang itu harus bertobat. Selain itu, orang itu harus meminta maaf pada pihak yang dirugikan serta berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama.
“Orang yang bersalah telah menyebarkan informasi hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis kepada khalayak, baik sengaja atau tidak tahu, harus bertobat dengan meminta ampun kepada Allah (istighfar) serta; (i) meminta maaf kepada pihak yang dirugikan (ii) menyesali perbuatannya; (iii) dan komitmen tidak akan mengulangi,” tulis MUI. (ADI)