Wellington –
Duta Besar Repubik Indonesia untuk Selandia Baru, Tantowi Yahya, tak henti-hentinya menegaskan bahwa reintegrasi Papua ke NKRI adalah sah dan sudah final.
Tantowi menyampaikan hal itu kembali saat memenuhi undangan anggota parlemen Selandia Baru yang mendukung Kelompok Separatis Papua di Wellington, hari Rabu (19/12/2018) lalu.
“Ini adalah momen bersejarah, kesempatan berharga bagi kita untuk menjelaskan segala sesuatu tentang Papua dengan sebenar-benarnya” jelas dubes yang juga politisi dari Partai Golkar tersebut, dalam keterangan pers kepada redaksi.
Didampingi oleh Frans Albert Yoku, intelektual Papua yang sekarang menjadi penasehat khusus Kemenpolhukam, dua staf KBRI; atase pertahanan, Kol Inf Iwan Suryono dan Kordinator Fungsi Politik, Elleanora Tambunan serta staf dari Kemlu, Jovanka Siahainenia, Rabu (19/12) Tantowi diterima oleh 3 anggota parlemen Selandia Baru penandatangan Deklarasi Westminster, deklarasi dukungan untuk Papua Merdeka. Dalam kesempatan itu, turut mendampingi satu orang anggota Dewan keturunan Indonesia, Marja Lubeck dan 2 orang staff dari Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Selandia Baru.
Tantowi memulai pertemuan dengan menjelaskan secara faktual sejarah reintegrasi Papua ke dalam NKRI yang sah, final, mengikat dan mengikuti hukum Internasional. Reintegrasi Papua ke dalam NKRI diputuskan oleh PBB melalui resolusi no. 2504 tahun 1969. Tidak ada lagi yang bisa di perdebatkan.
Terkait pelanggaran HAM di masa lalu yang banyak disorot dunia, Tantowi mengakui hal itu. Dan untuk itu Pemerintah saat ini sedang menyelesaikannya secara bersungguh-sungguh. Tantowi menjelaskan lebih lanjut bahwa Presiden Joko Widodo telah memerintahkan semua otoritas terkait untuk menuntaskan permasalahan pelanggaran HAM di masa lalu tersebut secara transparan dan segera. Hanya saja, karena kompleksitas yang ada, penyelesaiannya tidak semudah membalik telapak tangan jelas.
Sebagaimana diketahui, pendukung aktivis Kemerdekaan Papua di luar negeri bergerak dengan informasi yang salah dan dibelokkan dan ini telah banyak merugikan Indonesia. “Kami ini korban dari berita yang salah, dipelintir bahkan hoax yang terus disiarkan oleh pendukung separatis tersebut dalam rangka menyudutkan Indonesia” jelas Dubes Tantowi yang diamini oleh Frans Yoku.
Frans Yoku yang telah banyak berbicara tentang Papua di Forum-Forum Internasional menegaskan bahwa mereka yang menamakan dirinya wakil rakyat Papua di luar negeri tidak mewakili mewakili siapa-siapa di Papua.
“Mereka bukan mewakili kami karena mereka sendiri bukan lagi warga negara Indonesia” tegas Yoku. “Kami senang di Papua, kami bangga daerah kami terus dibangun dengan kecepatan tinggi, hak-hak kami diperhatikan dan dilindungi. Bantu kami dengan program-program peningkatan kapasitas, bantu kami agar lebih pintar dan lebih maju. Bukan ajak kami untuk merdeka.”
Para anggota Dewan demikian tekun dan antusias mendengarkan penjelasan Dubes selaku wakil pemerintah Indonesia dan Frans Yoku selaku wakil Orang Papua Asli yang belum pernah mereka dengar selama ini. Penjelasan runut, jujur namun disampaikan secara santai dan santun ini memancing mereka untuk aktif bertanya dan melakukan pendalaman. Hal-hal yang sering menjadi isu seperti kebebasan berpendapat, genosida, Jawanisasi dan kesejahteraan tidak luput dari perhatian mereka. Semua dijawab secara tuntas oleh Tantowi dan Yoku.
Tantowi menjelaskan bahwa seperti halnya Selandia Baru, sebagai negara Demokrasi Indonesia adalah pendukung kebebasan berekspresi. Semua orang bebas berpendapat didepan umum. Demo diperbolehkan tapi harus mendapat izin dari Polisi, hal yang lazim di negara manapun. Ketika melanggar, Polisi akan menertibkan. Tantowi menegaskan Papua adalah daerah terbuka, semua orang boleh masuk. Tentu saja setelah memiliki dokumen perjalanan yang sah. Tantowi pun mengundang mereka untuk datang dan berkunjung ke Papua.
Terkait Jawanisasi, Tantowi dan Yoku menjelaskan Papua adalah bagian dari NKRI, semua orang berhak bermukim dan mencari nafkah disana. Seperti halnya orang Papua yang bebas bermukim dan bekerja di manapun di Indonesia.
Yoku menjelaskan makna Kemerdekaan sesungguhnya sudah diberikan pemerintah melalui UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Rakyat Papua diberikan kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri. Hanya di Papua, pimpinan daerah di berbagai tingkatan harus orang Papua. Bagi hasil dengan pemerintah pusat pun jauh lebih besar dibanding daerah lain.
“Kami ini sudah Merdeka. Mengapa kami belum sejahtera? Korupsi masih menjadi penyakit utama kami,” jelas Yoku.
Diskusi hangat dan produktif ini harus diakhiri oleh keterbatasan waktu. Para anggota Parlemen dengan juru bicara Louisa Wall dari Partai Buruh mengapreasi seluruh penjelasan yang kami berikan. Dia menyimpulkan tidak ada gunanya lagi mereka mendukung gerakan aktivis Papua Merdeka termasuk di dalamnya upaya yang sedang digalang untuk memasukkan Papua dalam Decolonization List di PBB. Mereka bahkan berjanji untuk membantu Pemerintah Indonesia dalam mempercepat kemajuan Papua di segala bidang.(ADI)