JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Seorang dosen bernama Aminuddin membeberkan isi pertemuan yang digelar oleh Rachmawati Soekarnoputri Cs di kampus Universitas Bung Karno (UBK), 20 November lalu. Pertemuan itu diduga polisi sebagai upaya makar.
Aminuddin mengakui dirinya dan beberapa dosen UBK memang ikut menghadiri rapat tersebut. Tapi menurut Aminuddin, tidak ada agenda untuk upaya makar dalam pertemuan yang dihadiri oleh sekitar 300-an aktivis tersebut.
“(Isi pertemuan) kembali ke kiblat bangsa, UUD ’45, Pancasila dan UUD ’45 asli,” kata Aminuddin di Jakarta, Rabu (21/12/2016).
Aminuddin mengatakan, rapat tersebut merupakan kelanjutan dari kegiatan sebelumnya pada 15 Desember 2015, ketika Rachmawati Cs mendatangi gedung MPR. “Saat itu diterima oleh Pak Zulkifli Hasan, di situ ada ketua tim kajian kembali ke UUD ’45, kalau tidak salah dari Golkar,” imbuhnya.
Aminuddin mengingat, rapat tersebut dihadiri oleh sejumlah aktivis yang saat ini menjadi tersangka seperti Sri Bintang Pamungkas, Hatta Taliwang, Adityawarman Thaha, Rachmawati dan Firza Husein. UBK memfasilitasi pertemuan tersebut.
“Datanglah mereka dan disediakan tempat (oleh UBK) dan unek-unek disampaikan dan mengerucutkan ke UUD ’45 asli. Kita (rencananya) menyampaikan ke MPR/DPR dengan soft landing, artinya kita datang, menyampaikan petisi dan pimpinan DPR/MPR datang menyambut,” sambungnya.
Dalam tapat tersebut, menurut Aminuddin, tidak pernah ada ajakan dari para aktivis untuk menduduki gedung DPR/MPR. “Tidak ada, di UBK itu hanya ada pengerucutan tim kecil untuk merumuskan sebuah petisi bagaimana mekanisme kembali ke UUD 45 yang asli,” katanya.
Ia menegaskan, rencana para aktivis itu juga bukan untuk mendesak MPR mencabut mandat Presiden Joko Widodo. Adapun surat Sri Bintang yang menginginkan dilakukan sidang istimewa untuk mencabut mandat presiden, adalah di luar agenda para aktivis lainnya.
“Nah itulah yang kami menyesalkan, karena kita sendiri menyampaikan surat juga ke MPR-gerakan save NKRI-rupanya Pak Sri Bintang kirim juga, dia inisiatif sendiri di luar kesepakatan. Beda dengan people power (gerakan yang dibentuk Sri Bintang-red).
Itulah istilah Kapolri yang bilang mengajak massa 2 Desember ke MPR/DPR, padahal kita punya agenda sendiri yaitu bela islam dan bela negara dan kita punya massa punya sendiri,” terang Aminuddin.
Massa tersebut, menurut Aminuddin, rencananya dipersiapkan untuk melakukan aksi demo di depan gedung DPR/MPR. “Rencana kan Bu Rachma datang, menyampaikan petisi kemudian ketua MPR, karena pada tanggal 28 November Ibu Rachma langsung by call dengan Ketua MPR, cuma waktu itu ketua MPR menjawab bilang tidak bisa terima karena saya sedang di Monas dan nanti akan koordinasi dengan wakil-wakil saya agar menerima ibu. Ini kan tindak lanjut 15 Desember 2015 lalu,” bebernya.
“Kita enggak punya agenda sidang istimewa. Kita hanya ingin merubah UUD 45 ke asli dan tangkap Ahok (Basuki T Purnama). Kita juga ada surat pemberitahuan ke Kapolda Metro dan surat kepada MPR resmi, jadi tidak ada ajakan people power,” lanjutnya.
Setelah menyampaikan petisi ke MPR, rencananya para aktivis bersama massa akan kembali pulang. “Itu agendanya. Rupanya teman-teman ada agenda lain, misalnya menduduki MPR, sidang istimewa dan itu di luar konteks tuntutan kami,” ungkapnya.
Saat itu para aktivis sudah sepakat akan menyampaikan petisi tersebut pada tanggal 2 Desember. Rencananya, mereka berkonvoi dari Bundaran Hotel Indonesia (HI) hingga ke DPR. “Konvoi dengan massa yang sudah kita koordinir, di luar massa aksi damai 212 dan bukan menunggangi (massa aksi), sama sekali tidak. Mereka (massa 212) kan beda visi, ngaji dzikir dan kita ke DPR/MPR,” tuturnya.
Soal massa yang akan digerakkan untuk aksi tersebut, Aminuddin menyebut sudah dipersiapkan oleh Ketua Bidang Pengkajian Ideologi Partai Gerindra Eko Suryo Santjojo yang juga menjadi tersangka dugaan upaya makar. “Kebetulan ada temen kita Pak Eko yang sekarang ditetapkan tersangka juga (yang menyiapkan massa). Enggak ada sama sekali (massa dari mahasiswa UBK),” sambungnya.
Aksi yang rencananya digelar tanggal 2 Desember ini kemudian menimbulkan kekhawatiran bagi aparat polisi, lantaran bertepatan dengan massa Aksi Bela Islam yang dihadiri ribuan umat Islam. “Itu yang kemudian dipermasalahkan oleh pihak keamanan atau polisi dan kita dengan segala prasangka baiknya kepada mereka, sah saja ini bentuk preventif misalnya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, cuma kan satu sisi ini hak kita warga negara menyampaikan pendapat, ada undang-undangnya,” urainya.
Menurutnya, agenda yang direncanakan oleh Rachmawati sudah jelas dan konstitusional. Berbeda dengan agenda yang dilakukan oleh Sri Bintang. “Berbeda, kita menyampaikan pemberitahuan dengan jumlah massa jelas, jamnya jam berapa, bubarnya jam berapa. Jelas semuanya,” ungkapanya.
Lalu mengapa agenda Sri Bintang dan Rachmawati Cs berbeda? “Sebenernya mereka punya tujuan yang sama, cuma cara berbeda. Misal saya ingin ke Blok M lewat Sudirman, Mampang, Fatmawati, cuma ada yang ingin dengan bentrok dan sungguh ini tidak terpikir oleh kami gerakan save NKRI. Kami hanya datang menyampaikan petisi, petisi itu diterima pimpinan MPR, sudah itu saja,” cetusnya.
Menurutnya, Rachmawati tidak mengetahui apabila Sri Bintang mengirimkan sendiri petisinya ke MPR. “Tidak tahu, sama sekali enggak ngerti. Kita tahu belakangan ketika semua ditetapkan tersangka dan ada gerakan people power Indonesia, kita tidak tahu sama sekali. Tahunya bareng-bareng ke DPR menyampaikan dan selesai. Karena kesepakatan rapat pas Pak Sri Bintang, dia menyampaikan seperti itu tapi kenyataannya ada surat lain dan di luar tanggungjawab kami dan di luar kesepakatan kami. Kita bagaimana makar, tahu sendiri dari sisi fisik Bu Rachma bagaimana,” terang dia.
Aminuddin membantah jika upaya yang dilakukan oleh para aktivis itu adalah sebagai bentuk makar. “Bayangin, masa kalau mau makar ngadain konferensi pers (di Hotel Sari Pan Pacific-red). Contoh saya mau bunuh orang, tapi saya bilang mau membunuh,” tuturnya. (MAD)