JAKARTA,KHATULISTIWAONLINE.COM
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mencabut kasasi yang diajukan oleh Gubernur DKI sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dalam perkara sodetan Kali Ciliwung di Bidara Cina, Jakarta Timur. Dengan begitu, pemerintah akan mematuhi keputusan PTUN Jakarta yang memenangkan warga Bidara Cina.
“Tidak jadi banding (kasasi ke MA) intinya. Jadi kita menerima keputusan pengadilan dan memutuskan tidak meneruskan proses gugatannya. Jadi kita terima. Dengan kita terima, maka eksekusi bisa jalan,” ucap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kepada wartawan di Monas, Jakarta Pusat, Kamis (19/9/2019).
Anis ingin proses pembebasan lahan tidak terganjal masalah proses hukum. Jadi proses pembangunan bisa segera berlangsung.
“Intinya adalah kita ingin segera menuntaskan pembebasan lahannya. Yang membebaskannya sesungguhnya adalah PUPR, bukan DKI. DKI hanya membantu dengan warganya, proses pembeliannya oleh anggaran pemerintah pusat,” ucap Anies.
“Nah bila ini proses (hukum) jalan terus, maka nggak akan selesai-selesai. Jadi kita lebih baik mengikuti, menghormati putusan pengadilan, lalu kita jalankan. Tapi detailnya saya harus lihat lagi,” sambungnya.
Biro Hukum DKI Jakarta Yayan Yuhanah mengatakan pencabutan kasasi dilakukan sekitar akhir Agustus 2019. Dengan begitu, proses pembebasan lahan akan dilakukan dari awal.
“Kalau nggak awal bulan ini atau akhir Agustus saya lupa tanggalnya. Ya untuk percepatan aja proses pembangunan. Bisa selesai permasalahannya kalau masih ada di pengadilannya kan salah satunya belum inkrah kita harus ikuti proses itu dulu sampai inkrah baru dicabut oleh para pihak kita tergugat. Artinya, Pak Gubernur pengen kita mulai dari awal kalau gitu,” kata Yayan saat dihubungi.
Kasus ini bermula saat warga melayangkan gugatan dengan Nomor 59/G/2016/PTUN-JKT terhadap SK Gubernur Nomor 2779/2015 tentang Perubahan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 81/2014 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Inlet Sodetan Kali Ciliwung menuju Kanal Banjir Timur (KBT) di PTUN. Musababnya, warga tidak terima dengan langkah Pemprov DKI yang melakukan penertiban tanpa sosialisasi terlebih dulu.
Dalam SK Gubernur Nomor 2779/2015 disebutkan lahan yang akan dibebaskan untuk inlet sodet Sungai Ciliwung menuju KBT seluas 10.357 meter persegi. Akan tetapi, dalam SK semula yang diterbitkan pada 16 Januari 2014 lalu tertulis luas lahan yang akan dibebaskan hanya 6.095,94 meter persegi.
Padahal niat Pemprov DKI membebaskan lahan yang kini diduduki warga itu untuk dibangun jalur masuk air (inlet) Sodetan Ciliwung. Pembangunan tersebut merupakan proyek Kementerian Pekerjaan Umum melalui Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC).
Dalam hal ini, pemerintah pusat bertindak sebagai penentu luas wilayah yang dibutuhkan hingga melakukan pengerukan. Sedangkan Pemprov DKI, saat itu Gubernur DKI masih dijabat Ahok, hanya bertugas membebaskan lahan dan membayar ganti rugi.
Majelis hakim PTUN mengabulkan gugatan warga untuk seluruhnya yang dibacakan pada 25 April 2016. Sebagai konsekuensinya, SK Gubernur DKI Nomor 2779/2015 harus dibatalkan. Ahok lalu mengajukan kasasi pada 27 April 2016.
Warga mengaku mendukung program Ahok, tapi mereka keberatan dipindahkan ke rusun Cipinang Besar Selatan (Cibesel) yang telah disediakannya karena mereka mengaku memiliki sertifikat tanah. Mereka lebih memilih ganti rugi tanah per meter persegi Rp 25 juta dan harga bangunan per meter persegi Rp 3 juta.
Terkait ganti rugi lahan, warga menuntut pemerintah di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada 15 Juli 2015. Menurut Yayan, PN maupun Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta memenangkan warga, Pemprov sempat mengajukan kasasi ke MA, tapi kasasi pun dicabut.
“Kalau pertama yang PTUN nggak ada banding langsung kasasi. Sudah cabut. Yang perdata, (sudah) putusan pengadilan tinggi, prosesnya kalah. Kita kasasi itu, dicabut juga,” ucap Yayan.(NOV)