JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Mahkamah Agung (MA) menorehkan sejarah baru sepanjang Indonesia merdeka yaitu menghukum pembalak hutan Rp 16 triliun. PT Merbau Pelalawan Lestari terbukti membalak ribuan hektare hutan di Riau sehingga merusak lingkungan. Apa alasannya?
“Bahwa salah satu asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 huruf f Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 adalah asas kehati-hatian. Asas kehati-hatian dalam Pasal 2 huruf f tersebut diadopsi dari Prinsip ke-15 Deklarasi Rio 1992 yaitu precautionary principle,” kata ketua majelis hakim agung Prof Dr Takdir Rahmadi membeberkan alasan menjatuhkan vonis terbesar sepanjang sejarah itu sebagaimana tertuang dalam putusan yang dikutip khatulistiwaonline dari website MA, Kamis (17/11/2016).
Precautionary principle berbunyi:
“Untuk melindungi lingkungan hidup, pendekatan keberhati-hatian harus diterapkan oleh negara-negara. Bilamana terhadap ancaman serius atau sungguh-sungguh atau kerugian yang tidak terpulihkan, ketiadaan kepastian ilmiah tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk tidak membuat putusan yang mencegah penurunan kualitas lingkungan hidup (order to protect the environment, the precautionary approach shall be widely applied by states according to capabilities. Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific uncertainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measure to prevent environmental degradation).
“Peradilan sebagai salah satu cabang kekuasaan negara yaitu kekuasaan yudikatif berkewajiban menjalankan fungsi untuk memastikan bahwa asas keberhati-hatian yang menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia diberlakukan dalam perkara-perkara yang diadili,” ucap majelis yang beranggotakan hakim agung Nurul Elmiyah dan hakim agung IGA Sumanatha.
“Apalagi dalam perkara ini, pemerintah sebagai cabang kekuasaan eksekutif telah berusaha menjalankan fungsi penegakan hukum,” sambung majelis dalam halaman 43.
Hakim sebagai pelaku kekuasaan yudikatif dalam menyelesaikan perkara yang diadilinya dapat dan seharusnya juga merujuk atau menerapkan asas hukum karena asas hukum memiliki kedudukan lebih tinggi daripada norma hukum. Keberhati-hatian telah menjadi asas hukum lingkungan nasional karena telah tegas dinyatakan dalam Pasal 2 huruf f Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009.
“Bahwa kegiatan pemanfaatan hutan adalah termasuk kegiatan yang harus tunduk pada asas keberhati-hatian karena hutan merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang di dalamnya terdapat pelbagai tumbuhan dan hewan-hewan yang perlu dilindungi dari kepunahan karena kawasan hutan dan unsur-unsur yang hidup di dalamnya memiliki banyak fungsi selain fungsi
ekonomi, juga fungsi ekologis sebagai sumber obat-obatan, habitat satwa, penjaga tata air dan pembersih ruang udara,” papar majelis.
Manusia tidak mampu menciptakan hutan tetapi hanya mampu menanam pohon kayu. Hanya Tuhan Yang Maha Esa yang mampu menciptakan hutan dengan semua unsur hayati dan non hayati di dalamnya.
“Sekali hutan mengalami kerusakan atau degradasi maka hutan itu tidak dapat dipulihkan kembali (irreversible) seperti keadaan semula,” kata majelis secara bulat.
Oleh sebab itu, kawasan hutan tunduk pada pengelolaan yang sangat berhati-hati dan konsep zonasi yaitu kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung dan kawasan hutan konservasi. Pada asasnya penebangan kayu hanya dapat dilakukan pada hutan produksi sedangkan dalam hutan lindung dan konservasi tidak dibolehkan adanya penebangan kayu. Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan tanaman dilaksanakan pada lahan kosong, padang alang-alang dan/atau semak belukar di hutan produksi, tidak boleh dalam kawasan hutan alam.
PT Merbau Pelalawan Lestari terbukti membalak hutan seluas 5.590 hektare dan 1.873 hektare di Riau dan menyebabkan kerusakan lingkungan.
“Menghukum dan memerintahkan Tergugat untuk membayar ganti kerugian lingkungan hidup kepada negara melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia secara langsung enam belas triliun dua ratus empat puluh empat miliar lima ratus tujuh puluh empat juta delapan ratus lima ribu rupiah,” kata Takdir-Nurul-Sumantha. (RIF)