JAKARTA,khatulistiwaonline.com
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menegaskan penolakan penjemputan paksa Miryam S Haryani didasari pada hukum acara pidana. Penjemputan paksa dalam konteks Pansus Angket KPK bukan kategori proses pidana.
“Yang ada surat perintah membawa proyustitia langkah proses pidana. Ini bukan proses pidana, ini politik legislatif, persoalannya itu,” ujar Tito kepada wartawan di gedung PTIK, Jalan Tirtayasa Raya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (20/6/2017).
Polri, ditegaskan Tito, bekerja dengan berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sedangkan aturan dalam UU MD3, yakni Pasal 204 dan Pasal 205, bukan konteks ranah pidana untuk peradilan.
“Selama ini di Polri adalah acara KUHAP. KUHAP itu upaya paksa penangkapan, apalagi penyanderaan. Penyanderaan sama saja dengan penahanan. Itu acaranya harus proyustitia, dalam artinya dalam rangka untuk peradilan. Ini ada polemik mengenai pendapat hukum ini,” ujar Tito.
“Karena itu, Polri berpendapat karena acara MD3 itu tidak jelas bentuknya, apakah surat perintah penangkapan atau apa. Apa surat perintah membawa paksa atau apa. Kalau penyanderaan, apakah ada surat perintah penyanderaan. Nah, ini yang belum jelas karena dalam bahasa hukum kami tidak ada,” papar Tito.
Sebelumnya, Wakil Ketua Pansus Angket KPK Risa Mariska menyebut Kapolri Jenderal Tito Karnavian bisa membantu Pansus untuk menjemput paksa Miryam S Haryani dari ruang tahanan KPK. Caranya, menurut Risa, Kapolri mengeluarkan peraturan internal di kepolisian/peraturan Kapolri.
“Hal ini bisa dilakukan dengan cara menerbitkan perkap atau surat edaran dari Kapolri agar pihak kepolisian dapat membantu Pansus Angket memanggil pihak-pihak yang dinilai perlu untuk dihadirkan,” kata Risa di gedung DPR, Selasa (20/6). (MAD)