JAKARTA, KHATULISTIWAONLINE.COM –
Pengamat Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengungkapkan harga minyak bisa terkerek hingga US$ 100 per barel karena di timur tengah banyak sekali negara produsen minyak yang berpotensi terseret ke konflik antara Iran dan Israel.
Di sisi lain, Iran sendiri saja sudah merupakan produsen besar untuk minyak dan gas di dunia. Bila negara itu berperang, otomatis pasokan minyak akan berkurang dan harganya meningkat.
“Nah, kalau asumsinya perang ini meluas gitu ya, melibatkan negara seperti Saudi misalnya, atau juga Yordania gitu ya, atau kemudian Irak bergabung dengan Iran gitu ya, maka ini akan semakin menaikkan harga minyak dunia gitu ya,” sebut Fahmy.
“Kalau Perang tadi meluas, eskalasinya luas gitu ya, maka ini akan menaikkan, bahkan bisa di atas US$ 100 dolar per barrel gitu ya. Karena tadi ini melibatkan negara penghasil minyak,” sebutnya menambahkan.
Bukan cuma perang yang perlu diwaspadai, bahaya juga mengintai Selat Hormuz di Iran yang menjadi alur logistik utama perdagangan minyak. Bila selat itu terganggu perang, harga minyak juga bisa meroket lagi.
“Nah, kalau kemudian Perang menyebabkan Lautan Selat Hormuz itu terhambat, yang di situ adalah pelayaran untuk pengangkutan minyak, maka akan semakin pasokannya semakin berkurang, dan ini akan menaikkan harga minyak tadi,” sebut Fahmy.
Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri Diprediksi bakal naik apabila hingga akhir bulan ini konflik terus menerus memanas dan bahkan eskalasinya meluas ke beberapa negara lain yang jadi sekutu Iran maupun Israel.
Fahmy melanjutkan harga BBM non subsidi menjadi yang paling cepat mengalami kenaikan. Sebab, BBM jenis ini dijual mengikuti pergerakan pasar. Bila harga minyak dunia terus menguat bukan tidak mungkin Pertamax Cs bakal mengalami kenaikan.
“Untuk harga BBM non-subsidi, seperti Pertamax itu selama ini kan sudah diserahkan pada mekanisme pasar gitu, pada saat harga minyak mentahnya sudah naik, ya pasti dia akan menaikkan,” sebut Fahmy.
Untuk BBM subsidi, semacam Pertalite, dia menilai jangan buru-buru dinaikkan harganya. Sebab, hal itu jelas akan menaikkan inflasi dan menekan daya beli di tengah masyarakat.
Fahmy menjelaskan selama harga minyak mentah dunia masih berada di bawah US$ 100 per barel sebisa mungkin pemerintah menahan harga BBM subsidi. Namun apabila sudah lebih dari US$ 100 per barel, mau tak mau harga BBM subsidi dinaikkan agar APBN tak terbebani.
Di sisi lain, Peneliti Ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengungkapkan sejauh ini harga minyak masih di rentang US$ 73-75 per barel. Menurutnya, jumlah itu masih jauh di bawah rentang harga minyak asumsi makro dalam APBN 2025 yang ditetapkan sebesar US$ 82 per barel.
Dia menilai selama harga minyak mentah masih di bawah US$ 82 per barel pemerintah tak perlu menaikkan harga BBM subsidi. Namun, kalau harga minyak sudah lebih US$ 82 per barel, meskipun masih di bawah US$ 100 per barel, maka sudah saatnya kenaikan harga BBM subsidi diberlakukan.
“Selama harga minyak ini tidak mengalami peningkatan signifikan atau dalam hal ini mengalami peningkatan di atas US$ 82 per barel maka saya kira pemerintah belum perlu melakukan penyesuaian harga BBM karena kondisi subsidi masih mengacu pada asumsi makro yang ditetapkan pada APBN. (DON)