MANILA,khatulistiwaonline.com
Presiden Filipina Rodrigo Duterte meyakini dirinya bisa akrab dengan presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Hal ini diucapkan Duterte karena Trump belum menyinggung isu HAM terkait Filipina, topik yang selama ini selalu disinggung Presiden Barack Obama.
Sejak menjabat, Duterte cenderung keras pada AS yang merupakan sekutu lama Filipina. Namun Duterte berubah sikap sejak Trump memenangkan pilpres secara mengejutkan pada 8 November lalu.
“Itu adalah kemenangan yang layak. Anda (Trump-red) merupakan pemimpin terpilih dari negara paling berpengaruh,” ucap Duterte merujuk pada Trump, dalam acara di istana kepresidenan Filipina, seperti dilansir Reuters, Rabu (16/11/2016).
Duterte mengaku tahu soal niat Trump untuk memberantas imigran ilegal di AS. Sejumlah besar warga Filipina diyakini bekerja secara ilegal di wilayah AS. Bahkan jumlah total pengiriman uang dari warga Filipina yang tinggal di AS setara dengan 3 persen dari produk domestik bruto atau GDP Filipina.
“Saya meyakini penilaiannya bahwa dia akan adil dalam persoalan memperlakukan imigran ilegal. Saya tidak bisa membahas soal hal-hal ilegal, karena terlepas apakah Presiden Trump ataupun orang lain menghadapi persoalan ini, hal yang ilegal tetap selalu ilegal,” terangnya.
Saat ditanya apakah kira-kira dirinya akan bisa akrab dengan Trump, Duterte menyebut dirinya bisa berteman dengan siapa saja. Duterte juga menekankan bahwa presiden terpilih AS itu belum berkomentar apapun soal penegakan HAM, topik yang tidak disukai Duterte dan kerap kali memicu amarahnya.
“Kami tidak punya perselisihan. Saya selalu bisa menjadi teman bagi siapa saja, khususnya dengan presiden, kepala eksekutif negara lain. Dia (Trump-red) belum mencampuri HAM,” sebut Duterte.
Secara terpisah, juru bicara kepresidenan Filipina, Ernesto Abella, menyebut kebijakan imigrasi Trump diperkirakan akan berdampak bagi Filipina. Namun Abella menolak menyebut jumlah warga Filipina yang bekerja secara ilegal di AS. Dia menyebut, ada mekanisme tersendiri untuk memberikan kesempatan kerja dan bisnis bagi warga Filipina dan pemerintah mendorong mereka yang ada di AS untuk pulang sebelum Trump resmi dilantik pada Januari 2017. (RIF)