TANGERANG, KHATULISTIWAONLINE.COM
Pasca Hari Raya Idul Fitri tahun 2022, praktik
pat gulipat penyalahgunaan dan penimbunan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis solar ditengarai kuat kembali terjadi.
Praktik ilegal seperti itu tentu saja merupakan tindak pidana yang sangat merugikan negara dan harus diberangus.
Indikasi terulangnya penyalahgunaan BBM bersubsidi tersebut sempat terpantau oleh Wartawan Khatulistiwaonline dalam beberapa hari terakhir ini di sekitaran SPBU Kecamatan Benda.
Modus yang digunakan para pelaku dalam usaha penyelewengan BBM bersubsidi yakni dengan cara membeli solar dari Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dengan harga subsidi menggunakan kendaraan yang sudah dimodifikasi atau disebut ” Helikopter” yang dapat memuat solar dalam jumlah banyak.
Setelah BBM solar terkumpul dalam jumlah yang besar dan disimpan di tempat pengepulan, pelaku lalu menjual ke sejumlah perusahaan dengan harga non subsidi.
Sumber media ini menyebutkan, pangkal masalah terjadinya penyalahgunaan BBM bersubsidi ada pada disparitas harga yang besar antara harga solar bersubsidi Rp 5.150 per liter dan non subsidi seperti dexlite yang berkisar Rp 12.950 per liter.
Selisih harga yang tinggi ini melahirkan penyelewengan yang tak berujung.
Kondisi ini diperparah lemahnya penegakan hukum terhadap para mafia BBM dan terkesan adanya pembiaran dari instansi terkait.
“Agar penyelewengan BBM bersubsidi tidak semakin menjadi-jadi, kita hanya berharap pada penindakan tegas terhadap pihak yang menyalahgunakan BBM bersubsidi sebagai prioritas yang harus dilakukan,” ujar sumber tersebut.
Tindakan tegas tidak hanya dilakukan kepada para mafia BBM, tapi juga kepada pihak pengelola SPBU yang terbukti “kongkalingkong” dengan sopir ” Helikopter”.
Sebagaimana diketahui, penyelewengan BBM bersubsidi merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Sebagaimana telah diubah dengan Pasal 40 angka 9 Undang-undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling tinggi enam puluh miliar rupiah. (BUN)